"Nyonya, golongan darah saya B. Saya bersedia mendonorkan darah saya pada Non Salsa. Bolehkah?"Tiga pasang mata yang sedang berdiri gamang di depan ruang operasi menoleh serentak pada seseorang yang baru saja berucap. Wanita yang Denita panggil dengan sebutan ibu itu menawarkan diri dengan sukarela. Ada gurat harap-harap cemas yang tak luput dari perhatian Denita terlihat jelas dari sorot mata itu. Hal ini membuat Denita terkejut sekali lagi. 'Ibu terlalu loyal pada majikannya!' gumam Denita tak habis pikir. "Golongan darah kamu B?" tanya Ibu Herlina pada sang asisten rumah tangga yang sudah lama ikut dengannya ini. "Iya, Nyonya!" jawab sang asisten rumah tangga yang bernama lengkap Ayu Hapsari itu. "Lalu kamu?" tanya Ibu Herlina beralih pada Denita yang kini pipi kirinya sudah mulai terasa bengkak. "A!" jawab Denita singkat. Alis Ibu Herlina segera menukik dengan tajam. Firasat buruk seketika menyapa hatinya. Dia menatap bolak-balik pada asisten rumah tangganya yang terlihat
Angga berdiri di balkon kamarnya seorang diri. Sesekali dia menatap pada ponselnya sambil beberapa kali menghela nafas. Dingin angin malam dibiarkan menampar wajahnya. Sudah beberapa kali dia mencoba menghubungi Denita, tapi wanita itu tidak kunjung mengangkat panggilannya.Ada rasa bersalah yang tiba-tiba tidak bisa dia halau dari hatinya. Dia tahu dengan jelas keluhan yang Denita miliki terhadap keluarga ini. Dia juga tahu bahwa Denita menaruh harapan besar padanya. Tetapi dia juga tidak bisa membohongi hatinya sendiri, kalau cinta itu perlahan mulai pudar. Dia tidak tahu sejak kapan semuanya bermula. Dia tidak tahu sejak kapan pesona Salsa menjerat hatinya. Wanita rapuh itu membuat Angga selalu merasa kasihan, dan ingin melindunginya. Sepasang bola matanya yang jernih, dan berair penuh dengan keluhan akan sikapnya selalu terbayang dalam benak Angga. Membuatnya memiliki rasa bersalah lain. Walau bagaimanapun, Salsa adalah istri sahnya, baik dimata hukum maupun agama. Angga menghe
Keesokan harinya, Angga dan Denita duduk saling berhadap-hadapan di sebuah cafe yang tak jauh dari apartemen biasa tempat mereka berkumpul. Hari ini hubungan mereka harus diselesaikan. Delapan tahun harapan rapuhnya harus segera diakhiri.Denita menatap terang-terangan pada Angga yang sedang menyeruput kopi hangatnya. Tidak ada di antara mereka yang berkeinginan untuk mulai berbicara lebih dulu. Tik tik tik, Waktu berlalu begitu saja. Akhirnya setelah terdiam selama beberapa saat, Angga mulai mengangkat kepalanya. Dia menatap sepasang manik hitam di depannya yang terlihat kosong tanpa gejolak emosi. Hembusan nafas panjang pun perlahan lolos dari hidung Angga.“Aku rasa ini semua salah!” ucap Angga lirih. Denita tetap diam. Dia menunggu Angga melanjutkan kalimatnya. Namun, hingga beberapa menit berlalu, tidak ada kalimat yang terucap. "Hubungan kita atau pernikahan kamu?" tanya Denita pada akhirnya. Ada nada sarkasme yang terkandung dalam suaranya. " ... "Angga tidak langsung me
Di hari minggu yang cerah, Denita tidak hanya menghabiskan waktu untuk berbelanja sepanjang hari. Dia juga menyempatkan diri untuk pergi ke salon bersama Widia. Dalam rangka memgawali rencana kehidupannya yang baru, Denita bahkan mewarnai rambutnya menjadi warna cokelat gelap. Terkhusus untuk hari ini, dia bahkan mengunjungi spa untuk merilekskan tubuh. Dia juga pergi ke naik art untuk menghias kukunya yang terlihat membosankan. Setelah melakukan banyak hal seharian, Denita akhirnya kembali ke kediaman Hadiwijaya ketika jarum jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Karena dia tidak berniat untuk tinggal lebih lama di tempat ini, Denita memutuskan untuk tidak membawa barang belanjaannya ikut turun dari mobil. "Mas ... "" ... "Denita menghentikan langkahnya yang hampir mencapai teras rumah ketika dia mendengar sayup-sayup suara seseorang. Denita mengedarkan pandangannya ke segala penjuru mata angin untuk mencari tahu. Namun, tidak dia temukan eksistensi aneh di sekitar. "Perasaanku aj
"Hari baru, semangat baru, dan awal baru!" ujar Denita menyemangati dirinya sendiri. Jika biasanya Denita berangkat ke kantor dengan penampilan seadanya, tapi kini tidak lagi. Celana panjang kulot yang biasa menyelimuti sepasang kaki jenjangnya telah digantikan oleh rok span hitam yang berada satu jengkal di atas lutut. Lalu blazer yang juga biasa melekat di tubuhnya juga telah digantikan oleh blouse lengan panjang berwarna biru muda. Adapun wajahnya yang biasa dirias senatural mungkin, kini dibubuhi make up tebal yang bisa memberikan kesan berani dan tegas! Dulu dia selalu lebih memilih untuk bersikap rendah hati dan tidak menonjol. Tapi sekarang, dia berubah pikiran. Kali ini dia ingin seluruh dunia tahu bahwa dia anak yang sah dari keluarga Hadiwijaya. Sementara Salsa, wanita itu hanya anak pembantu! "Nit, ka... " Dominic yang baru saja tiba di kantor tidak menyelesaikan kalimatnya saat melihat perubahan Denita. Sepasang netra nakal pria itu bergerak dari rambut kecoklatan Deni
Denita yang mendapat persetujuan dari Dominic langsung menekan tombol hijau pada layar ponselnya. Didekatkannya benda pipih itu ke samping telinga. Setelah menunggu sebentar, sapaan halus terdengar datang dari seberang. "Ma, lusa aku mau membawa seseorang untuk diperkenalkan pada kalian. Aku harap, Mama sama Ayah bisa meluangkan waktu untukku sekali ini saja," sambar Denita to the point. Bahkan sebelum pihak seberang mengeluarkan kalimat tanya. "Mengenalkan seseorang? Siapa?" "Calon suamiku!" jawab Denita acuh tak acuh. "Calon suami?" nada keheranan terdengar jelas dilemparkan oleh pihak lain. "Iya!" Denita kembali menjawab. Nadanya tidak hangat, tapi juga tidak dingin. Hanya biasa-biasa saja. "Siapa orangnya?" tanya orang di seberang. "Nanti juga kalian akan tahu. Tolong berpakaian yang rapi, dan jangan membuat aku malu," pungkas Denita. Perkataannya seolah-olah penghuni keluarga Hadiwijaya tidak pernah berpakaian rapi selama ini. Tapi yang dimaksud Denita adalah, agar keluar
D-day, Hari yang paling Denita nantikan akhirnya tiba juga. Senyum merekah tak pernah pupus dari wajahnya sejak pagi tadi. Lebih-lebih petang ini, ketika Dominic membawanya ke sebuah butik sekaligus salon yang menjadi langganan ibu dari sang Presdir. "Buat calon istri saya jadi semakin cantik!" perintah Dominic pada karyawan andalan di butik tersebut. "Baik, Pak!" sahut karyawan wanita itu dengan khidmat. "Silakan, Mbak!" lanjut karyawan itu sambil menunjuk sofa yang terletak di depan sebuah meja rias. "Terima kasih," sambut Denita sambil berjalan ke arah dimana dia dituntun oleh karyawan itu. Singkat cerita, malam ini, Denita tampil cantik dengan mengenakan sebuah dress berwarna hitam yang menjuntai lurus di tubuhnya hingga satu jengkal di atas lutut. Rambut sebahunya yang berwarna coklat di-curly, dan sengaja dibiarkan tergerai. Adapun untuk wajah, Denita mulai menyukai penggunaan make up yang lebih bold dari sebelumnya. Terakhir, kaki jenjangnya dibalut dengan hi-heels setin
"Aarrrgghhhh!"Salsa menjerit sambil menjambak rambutnya hingga kusut. Sepasang sorot matanya yang garang menatap penuh kebencian pada Denita. Dadanya juga membuncah naik-turun dengan cepat. "Kamu!""Kamu pasti sengaja melakukan ini 'kan?!""Kamu mau balas dendam sama aku 'kan?!" Jeritan disertai rentetan kalimat tuduhan itu diungkapkan Salsa sembari mengarahkan jari telunjuknya yang lentik ke arah wajah Denita. "Kenapa? Gak boleh?" tantang Denita dengan berani. Alisnya terangkat tinggi dengan disertai senyum samar penuh kesinisan terukir di wajahnya. Tangannya juga terlipat di depan dada dengan penuh kesombongan. "DE-NI-TA!" geram Salsa. "Kamu bisa menikah dengan pria manapun, tapi tidak dengan Dominic!" pekik Salsa histeris. "Kenapa?" tanya Denita. Dia kemudian mengalihkan tatapan sendu yang dibuat-buat ke arah Dominic yang ada di sampingnya."Dom, katanya aku gak bisa nikah sama kamu nih, emang kenapa?" tanya Denita pura-pura sedih. "Siapa bilang gak bisa? Justru mungkin,