"Baiklah, tapi jangan ditinggal keluar," ucap Salma. "Iya, kan Capa udah bilang, kalau mau temenin kamu," ucap Fariz. *** Seperti yang malamnya mereka lihat, ada kasus perceraian yang menyeret sahabat Fariz juga. Paginya ia mendapatkan chat untuk dimintai tolong menyadarkan suaminya. Istri dari sahabat Fariz tidak tega dengan anaknya. Padahal, istrinya sudah memaafkan suaminya yang selingkuh, demi kenyamanan anak mereka. Namun, ia laki-laki tetap saja mencari celah supaya menceraikannya. Fariz segera mengabari Salma. Salma juga ikut ke rumah tersebut. Istrinya meminta tolong Fariz, karena dia tahu keharmonisan keluarga Fariz. "Cam, sahabat Capa minta tolong, kamu ikut? Udah baikan belum perutnya?" tanya Fariz. "Alhamdulillah udah baikan. Iya dong, ikut, takut kamu digoda orang lain," "Astaghfirullah, Sayang!" Fariz membelai jilbab pink yang menempel di kepala istrinya. Rumah mereka lumayan jauh. Sampai di sana, si cowoknya memang sedang berada di luar. Hanya ada istri dan anak
"Mau diambilin apa?" tanya Salma. "Memangnya mau ke ruang tamu?" tanya Fariz. "Iya, jaket Cama di sana soalnya," ucap Salma. "Oooo, Capa cuma mau titip beberapa kata, gak usah lama-lama di luar kamar," pinta Fariz. "Duuuh, lebaynya!" Salma tersenyum centil kemudian melanjutkan jalannya. Salma juga tidak terlalu lama di luar. Untuk apa lama-lama di sana. Tanpa disuruh pun, ia juga bergegas ingin segera merebahkan tubuhnya di samping suaminya. Salma tidak sengaja menyenggol piring dan jatuh pecah. Fariz segera mencari sumber suara tersebut. Mertuanya sedang keluar, setelah mereka pulang tadi. "Panik, nggak? Hahaha …" tawa Fariz yang melihat istrinya seperti kepanikan. "Iiih, Cap! Kok malah diketawain? Ini piring Mami, gimana dong?" Salma merasa sangat panik. "Tenang, yang pecah itu piringnya, bukan mami dan bukan kamu. Beli lagi udah beres itu, sini biar Capa yang beresin," ucap Fariz menyingkirkan tangan istrinya dan menggantikan untuk memungut pecahan piring tersebut. Fariz t
"Benar, aku marah," jawab Salma. "Ya udah pergi sana!" ucap Fariz. "Astaghrullahal'adzim, kamu benar-benar tega!" Salma sangar sakit hati dengan kelakuan suaminya yang sangat berbeda. "Kenapa nangis? Kamu sendiri yang bilang kalau aku ngomong apapun namanya tetap sengaja! Aku mau berangkat, puaskan di rumah orang tuamu! Aku juga akan mencari kepuasanku!" Benar-benar tidak ada adab. Salma tidak mau bicara lagi. Ia pun pergi ke rumah orang tuanya dengan taxi online. Semuanya terasa runtuh. Duduk pun tak terasa duduk. Ia hanya diam, dengan air mata yang terus mengalir. Orang yang biasanya selalu memanjakannya. Selalu menyuguhkan sesuatu dengan romantis. Kini cepat sekali berubah drastis. Tentu rasanya sangat mengiris. Sampai di depan rumahnya pun, ia tidak bisa menyembunyikan tangis. Salma datang langsung memeluk kakaknya. Karena yang ada di rumah cuma kakaknya. Semuanya sedang pergi ke acara Asma. Sedangkan kakaknya itu akan menyusul setelah mengambil berkas di kantornya. "Sal,
"Hadiah? Kamu masih tanya aku mau hadiah apa? Mikir dong!" ketus Salma. "Loh, kok jadi gini? Kan Capa nawarin, Sayang!" ucap Fariz. "Udah bikin jengkel, masih saja terus suruh Cama mikir!" Salma lagi posisi manja. Ia maunya langsung ditunjukin tanpa dia mikir. Dalam hatinya, ia senang banget karena suaminya tidak benar-benar membentaknya. "Cama, Capa mau kasih kamu buah aja deh," ucap Fariz. "Buat apa?" Tidak paham dengan jalan pikiran suaminya. Salma rasa, buah itu bukan hadiah. Setiap hari juga dia makan buah. Namun, kenapa suaminya berpikir tentang hal tersebut? "Untuk kamu, biar sehat terus," ucap Fariz. "Setiap hari Cama juga makan buah, dimana bentuk hadiahnya?" tanya Salma. Fariz menjelaskan apa yang ia maksud. Bukan Fariz namanya, kalau tidak romantis. Salma saja sampai kalah, dengan ucapan dan juga tindakan romantis dari Fariz. Keluarga Salma hanya terkekeh, mengintip sedikit dari luar kamar, karena pintunya juga tidak ditutup. "Cama, aku mau ambil dulu, buah apel ya
"Mending kita chat dulu buat perjanjian. Kan orang sibuk kayak Capa," ucap Salma. Fariz gemas sekali mendengar ucapannya. Akhir-akhir itu kemanjaan Salma mulai meningkat. Sampai ingin lebih sedikit lagi waktu Fariz untuk di kantor, dan lebih dibanyakkan bersamanya. "Masih kurang jarah bersama kamunya?" gems Fariz yang menjawil pipinya dengan olesan buah naga. Tawa Hunaisa pun semakin kerasa mengetahui wajah Fsy yang ikut cemot. Orang tua Fariz hanya bisa mengikuti tawa Hunaisa. Sangat bahagia, sampai bingung mau berkata apa. Kebahagiaan dalam rumah tangga tentu menjadi sebuah hal yang diinginkan. Jalan mereka di setiap rumah tangganya pun berbeda-beda. Ada yang melalui jalur A tercipta sebuah kedamaian. Ada yang memakai jalur B bisa sampai kenyamanan. Ada pula yang pakai jalur C supaya tercipta keromantisan. Setiap rumah tangga pasti punya pegangan masing-masing. Itulah rumah tangga yang baik. Memiliki arah an tujuan tratur secara rapi dalam pernikahannya. Namun, kenapa per
"Yaaaa … Cap, kita keluar dulu, Cama mau bicara. Tolong yang lain bersihkan ruangan suami saya." Salma menarik tangan suaminya untuk keluar.Salma tahu, bahwa suaminya itu sangat sulit mengontrol emosi nya di saat seperti itu. Sepanjang jalan, Salma terus menggandeng tangan suaminya. Karena waktu juga siang, Salma mengajak Fariz untuk ke, restorannya Fariz dulu, sembari menenangkan pikiran."Capa, kita ke restoran Capa dulu," ucap Salma."Gak! Kamu tahu pikiran aku lagi kacau, Sayang. Tidak mungkin mau makan," ucap Fariz membuat Salma melongo, tumben tidak ingat istrinya yang juga sebenarnya waktunya makan.Salma masih tetap memandang kedua mata Fariz. Ia terdiam, menunggu kelanj
"Eaaa … mulai merajuk!" goda Fariz. Wajah Salma begitu menggemaskan, meskipun ia sudah berusia dua puluh tahun. Apalagi saat merajuk, wajahnya malah semakin lucu membuat suaminya selalu senang menggodanya. Salma terus saja mencebikkan bibirnya. "Tarik … senyum, kamu ingin apa gitu nggak sekarang," ucap Fariz. Salma masih terdiam. "Oooh, Capa tahu. Pasti kamu suka Capa bantu bersihin make upnya. Sebentar, Capa ambil dulu kapas dan kawan-kawannya." Fariz turun lagi dari ranjangnya. Namun, Fariz tidak menemukan pembersihnya Salma. Biasanya juga terpampang jelas di samping depan cermin. Salma masih tetap terdiam, menunggu kepekaan yang ia inginkan. "Cama, kok nggak ada? Kamu taruh mana?" tanya Fariz. Salma juga masih terdiam. "Sayang, kenapa jadi diam sih?" Sekalian mengerjai suaminya.Sakma melanjutkan diamnya dan langsung tertidur. Ya, meskipun dia memang kesal, tetapi, setelah muncul ide iseng, dia sudah tertawa dalam hatinya. "Yaaah … gak seru! Masa tidur tanpa persiapan, Capa
"Apa?" tanya Salma sambil terus dipegang tangannya oleh Fariz. "Namun, tidak mungkin aku membiarkanmu sakit. Capa ambil obat dulu," ucap Fariz. "Wait, memangnya Capa sudah paham dengan apa yang Cama katakan?" "Paham, dong. Maaf, Pura-pura aja tadi, wkwk …" tawa Fariz seraya mengecup kening istrinya. Perhatian suami itu sangat diinginkan oleh sang istri. Sikap manisnya, tentu membawa energi Salma menjadi lebih baik lagi. Hubungan mereka bisa semakin baik, meskipun dunia pekerjaan yang sedang tidak baik-baik saja. Fariz ini sudah sangat hebat. Entah yang memandang Salma, para karyawan apalagi orang tuanya. Orang tua yang tahu Fariz dari kecil sampai saat ini bagaimana sikapnya. Betapa ngenes sikap Fariz, di kala cintanya kandas dengan Clarissa. Sebenarnya Salma itu ingin menghargai suaminya. Ia paham, bahwasannya kenangan di jamannya dengan Clarissa itu memang dalam. Flashback "Sayang, kalau Fariz masih teringat dengan masa lalunya, kamu yang sabar ya," ucap Reva. "Iya, Mi. Insy