"Freya nih, ngapain ya?" ucap Salma. "Angkat dong, Cama," ucap Fariz. "Angkatin coba, sepertinya gus Barra yang menelpon," ucap Salma. Fariz mengangkat teleponnya. Ternyata benar, gus Barra, yang memakai ponsel Freya. Ia meminta kehadiran mereka malam nanti dalam konser dan tasyakuran atas kehamilan Freya. "Tuh, entar malam ada acara di pesantren, tetap mau sekarang?" tanya Fariz. Hari itu Salma tidak masuk kuliah. Daripada bolak balik, Salma memutuskan untuk nanti saja ke pesantrennya sekalian acara. Ia ikut Fariz ke kantor lagi. "Ya sudahlah, nanti saja." Salma kembali duduk di ranjangnya. "Ikut Capa aja sekarang, mau kan?" ajak Fariz. "Gak mau kalau hanya untuk menonton perempuan lain mendekati Capa," ucap Salma. "Hhhh, kamu rela suami kamu dikejar perempuan lain?" Fariz ingin memulai perdebatan konyol mereka. Salma menatap suaminya yang masih berdiri. Jurus ampuh mereka mulai disimpan masing-masing. Pagi hari Tom and Jerry sudah tayang kembali. Fariz sering kali membuat
"Dari mana-mana, yang aku kerjain tentang kerja sama dengan pabrik tahu," jawab Fariz. "Memangnya sejak kapan punya album ini? Aku aja gak tahu semua foto kecilku ini, dan yang berseragam sekolah, pasti nyuri, iya kan? Ngaku!" seru Salma. "Hahaha … kok istriku jadi galak? Ini fotonya semenjak kamu sah jadi istri aku sudah terkumpul rapi ini. Sebelumnya, ini memang pemberian dari mama kamu dan aku tambahkan foto-foto kamu yang aku dapat dari internet banyak kok. Kan kamu terkenal, Sayang! Ada yang aku curi juga saat menjaga ujian kamu, hehe," tawa Fariz sambil mengusap foto-foto itu. *** Sore menjelang maghrib, mereka berangkat ke pesantren. Jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga adzan maghrib sudah sampai di pesantren. Melihat dari mobil terdapat banyak santri berbondong-bondong berangkat berjamaah, hari Salma jadi terenyuh. Tak ia sadari kalau ia melamun dan meneteskan air mata. Jangankan Salma yang sudah lama di pesantren dan berhati lembut, Fariz saja juga terenyuh melihat peman
"Judulnya Baby Permata," jawab Freya. "Wah-wah enaknya jadi istri musisi, dapat kejadian menarik, dibikinin lagu," ucap Salma. "Hehe… enak juga kan jadi istri CEO? Jatuh cinta dapat milih hadiah sepuasnya, dapat panti asuhan. Gimana kabarnya, udah jadi?" tanya Freya yang balik memuji Salma. "Aaah iya, setiap pekerjaan punya bidang istimewa masing-masing. Alhamdulillaah sudah tinggal sedikit lagi. Rencana, minggu depan peresmiannya," jawab Salma. "Waw, terus anak pantinya sudah ada yang kira-kira akan ke situ?" tanya Freya. "Ada, beberapa sudah masuk daftar. Aku gak tahu ya langkah Capa tuh gimana, tiba-tiba, sudah ngasih catatan daftar anak panti. Aku tanyain katanya rahasia." Salma nampak sambil berpikir. "Itu karena suami kamu gak mau kamu ikutan puyeng mikir palingan, biar kamu tinggal terima hasil aja," ucap Freya. "Bebas juga, tapi ada yang kebetulan pengurus panti sebelah akan pindah ke luar negeri. Pengurusnya sudah menyerahkan seluruh anak panti supaya pindah ke tempat a
"Maksudnya istri seperti payung tuh begini, kalau kamu lihat bagian payung, ada bagian atas ada juga kan yang dalam yang tidak terkena air? Nah, itulah perempuan, bisa mencegah masuknya air karena hujan deras. Perempuan itu tamengnya keluarga. Tapi, suami itu juga sangat dibutuhkan. Posisi suami seperti jeruji yang menyangga bagian payung. Maka dari itu, perempuan yang paling atas, merupakan bukti kuatnya cengkraman penjagaan jeruji, dan seorang ibu derajatnya lebih tinggi dari ayah. Sedangkan anak itu ibarat orang yang memakai payung. Semakin payungnya terkendali dan baik-baik saja, maka keamanan tidak terkena hujan juga semakin besar." "Masya Allah … kok Capa pintar sih?" kekeh Salma. "Hmm … Cama, Capa kan juga pernah dididik, apalagi sekarang kamu yang juga mendidik," gemas Fariz dengan mencubit pipi istrinya. "Ahhh memerah kan?" keluh Salma dengan mengelus pipinya. "Malah cantik kok," "Capa juga semakin tampan kalau gak marah-marah dan bentak-bentak" ucap Salma. "Memangnya,
"Iiih, kan udah pernah tanya," ucap Salma. "Belum kok, dulu Capa cuma tanyanya, kenapa bisa manja? Kalau sekarang siapa yang mengajarimu? Beda, kan?" "Oh, hahaha … jawabannya diri Salma. Lanjut obrolan yang tadi dong, Cama nungguin loh." Salma menarik tangan suaminya. "Obrolan yang mana?" Fariz pura-pura tidak tahu. "Ahhh! Ya udah mending tidur," rajuk Salma melepaskan tangan suaminya dan membalikkan badan. "Yakin nih, tidur?" ledek Fariz. *** Sesuai hari yang telah ditentukan, pada hari itu merupakan hari resepsi Salma dan Fariz di gedung impian Fariz. Salma juga sangat bahagia karena kakaknya waktu pernikahan di pesantren, belum jadi hadir, dan hari itu bisa hadir. Adik Fariz dulu juga belum ada. Kerabat Fariz dan Salma sekarang lebih lengkap yang bisa hadir. Karena saat pernikahan di pesantren, memang mendadak dan banyak yang belum persiapan. Saudara serta kerabat Salma dan Fariz banyak yang tinggal di luar provinsi dan luar negeri. Jadi, mereka harus mempersiapkan yang le
"Tentu suka dong, ternyata selera Capa sejoli juga dengan Cama. Cama kok lelah ya," ucapnya sembari bersandar ke suaminya. "Kamu lelah? Tapi terkesan dan bahagia, kan?" tanya Fariz. "Iya Capa," jawab Salma. Setelah semua selesai, Fariz dan Salma ke kamar. Mereka masih memakai kostum resepsinya. Rasanya, Salma sangat ngantuk dan ingin langsung tidur. Ia segera merebahkan tubuh tanpa ganti baju. Matanya terpejam, meski ia belum tidur. Fariz berusaha terus membangunkan Salma supaya membersihkan dirinya dulu. "Sayang, ganti baju dulu dan bersihin make upnya," ucap Fariz namun tak dianggap oleh Salma. "Cama, jangan begini, ah!" Fariz mengecup keningnya. Tapi hasilnya tetap saja. Salma tetap diam dan terlihat seperti sudah tidur beneran. Fariz jadi tidak tega mau melanjutkan membangunkan, tapi kostum yang dipakai juga pasti tidak membuat dirinya nyaman untuk tidur. "Bangun, nggak? Kalau nggak mau bangun, ya udah Capa yang melepas kostum kamu ini keseluruhan!" Seketika Salma terbangu
"Eh, Asma ngomong apa, Sal?" tanya Rifki. "Asma minta dedek bayi, Ayah. Kan Ontynya Siska habis acara rame-rame juga punya dedek bayi," ucap Asma dengan polosnya membuat Rifki dan mamanya yang baru datang juga tertawa. "Hahaha … itu ceritanya Asma habis dari acara tujuh bulanan ontynya Siska waktu di luar negeri. Tapi permintaan bagus nih untuk kalian, udah ada belum?" tanya Rifki. "Ooo begitu, hahaha ... masih kosong Kak, dan," "Baiklah Asma. Onty Salma akan berusaha yaaa, do'akan cepat ada dedeknya," sahut Fariz. "Ah iya Asma. Minta juga ke Ayah sama Mama yaa, biar Asma bisa serumah dengan dedek bayi," lanjut Salma. "Emang Ayah dan Mama bisa ya, Onty? Kan nggak habis rame-rame." Celotehan Asma semakin mewarnai obrolan tersebut. Asma hanya berpikir, anak kecil itu memahami kalau habis ada acara rame-rame yang menyudutkan suami istri, itu berarti akan bisa ada dedek bayi. Padahal, yang ia hadiri itu ialah acara tujuh bulan kehamilan, sehingga dekat dengan proses persalinan. Asm
"Aku Wildan, masih ingat, kan?" tanya Wildan dari telepon. "Oh iya, kita sejurusan kan, ya?" tanya Salma sengaja loudspeaker. "Iya betul. Kamu ada waktu hari ini?" tanya Wildan. "Maaf, aku sibuk," jawab Salma. "Mmm, sama laki-laki itu ya. Dia siapa sih? Kalian sudah seberapa dekat?" Salma sangat tidak suka mendengarnya. Siapa dia? Terlalu penasaran saja dengan orang lain. Papa Rahman hanya tertawa mendengarnya. Hal-hal semacam ini juga yang ingin papa Rohman hindarkan, kenapa papanya menjadikan sebuah syarat harus menikah dulu sebelum kuliah. "Dia suamiku," jawab Salma mematikan sambungan telepon dengan kesal. "Hahaha … bisa mencerna nasihat Papa?" tawa papa Rohman. "Hehe, iya Pa." Salma jadi malu mengingat waktu dulu di depan papanya. *** Akhirnya setelah beberapa hari, hari itu peresmian panti dilakukan. Semua yang akan menempati panti itu, beserta teman-teman Salma yang siap membantu juga datang. Asma juga tidak lepas dari dekat Salma. Ia ikut saja dari sebelum acara dim
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka