Novan segera membanting ponsel dan jasnya di ranjang. Ia ingin berteriak sekuat tenaga agar emosinya mereda.
Pesta yang ia harapkan akan menjadi awal kedekatan hubungannya yang baru dengan Aina, kacau balau dengan hadirnya Teddy yang terus mengganggu mereka."Sial..sial..sial.." Novan mengumpat berkali-kali.Ia bergegas menuju kamar mandi dan membuka kran shower dengan kecepatan paling tinggi. Air panas menganga tak ia hiraukan. Yang ia inginkan hanya ketenangan, itu saja!"Teddy... dasar sialan.. Kenapa kamu selalu mengacaukan semua rencanaku!"Guyuran deras shower membuatnya sedikit gelagapan. Sementara di luar kamar mandi, Aina sudah duduk menunggunya.Malam ini Davian tidur dengan kakeknya, jadi Aina bisa berduaan dengan bebas bersama Novan.Tok..tok..tok..Aina mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan. Baru setelah ketukan yang ketiga Novan menyadari keberadaan seseorang di luar kamar mandi.Ia segera menutup kran d"Kenapa kamu masih menyimpannya?" Teddy menghimpit tubuh Aina di kursi kerjanya. Hidung Teddy nyaris menyentuh dahi Aina. "Tidak, saya tidak se..." "Kamu mau menunjukkan padaku? Atau apa tujuanmu?" Aina tidak bisa berkata-kata. Apapun yang akan ia katakan, Teddy pasti tidak akan mau mendengarkannya. "Pak.. Saya ingin membuangnya beberapa waktu lalu..." Aina menjawab sambil memejamkan mata. "Kamu bohong!" Teddy makin mendekat. Teddy hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Kalau saja memang itu yang sebenarnya terjadi, mungkin Aina sudah dicincang habis olehnya. "Pak Teddy, saya tidak bisa bergerak..." Aina merintih kesakitan. "Minta tolonglah pada suamimu..heh.." Teddy tidak membiarkan Aina untuk bergerak sedetikpun. Aina yang berteriak kesakitan. Melihat Aina meronta dan memohon, malah membuat Teddy terpanggil menjadi sosok laki-laki seutuhnya. Hasratnya untuk melakukan hal yang dilarang justru mal
"Hai Novan. selamat malam!" Teddy tersenyum. Novan sama sekali tidak menduga jika rencananya akan tercium Teddy. Yang membuatnya terkejut, Teddy juga membawa teman untuk mengabadikan momen tertangkapnya hubungan gelap antara dirinya dengan teman kencannya. "Hei apa-apaan ini. Hapus videonya!" Novan berteriak. "Tidak perlu, buat apa dihapus. Bukankah Aina akan bahagia jika menontonnya juga?" Teddy lagi-lagi tersenyum bahagia. "Teddy, dasar b**gsat kau!" Novan gagal menampar Teddy. Tangan Teddy yang kuat berhasil menepis sebuah tamparan yang akan mendarat di pipinya. "Tidak semua orang boleh menyentuh wajahku!" Novan kesakitan saat Teddy memutar tangannya dengan sekuat tenaga. "Pakai baju sana! Aku jijik melihat kalian berdua..." Teddy mendorong Novan hingga terjatuh ke lantai. "Dan kamu, siapa namamu? Apakah kalian sudah lama berkencan?" Kini wanita molek yang berada di atas ranjang menjadi sasaran
"Ainaa.." Novan mencari Aina di kamar Davian. Terlihat istrinya yang tidur nyenyak sedang memeluk Davian, anak semata wayangnya. Dengan mengendap-ngendap bak maling yang akan mencuri, Novan mendekati Aina dan tidur di sampingnya. Aina terkejut saat mendapati Novan baru datang dan berada di belakangnya. Ia yang sedang tidak mengenakan kerudung mulai kebingungan. "Mas, mana kerudungku?" tangan Aina meraba-raba mencari dimana ia menaruh kerudung instannya. "Tidak usah.." Novan memegang tangan Aina. Ia segera memeluk Aina dari belakang. Aroma wangi rambut Aina yang panjang menyeruak ke seluruh syaraf pembaunya. Ia hanya diam sambil menikmatinya. "Mamaaaa.." Davian terbangun minta dielus punggungnya. "Ya, mama di sini..." Aina mengepuk-ngepuk punggung Davian dengan lembut. Hanya selang beberapa menit kemudian, Davian terlelap tertidur kembali. "Kapan kamu pulang mas?" Aina berbalik ke arah Novan. Novan hanya merebahkan tubuhnya di ranjang. Sementara pikirannya masih bergelayut e
"Apakah Pak Teddy mendengar semuanya?" Aina terkejut saat mendapati Teddy sudah bersandar di ambang pintu sambil tersenyum."Iyaap.." Teddy mendekati Aina dan duduk di atas meja kerjanya."Jangan terlalu sedih. Semua akan baik-baik saja.." Teddy berusaha menenangkan."Hmmhh.." Aina hanya menghela nafas panjang sambil terdiam menatap layar komputernya."Tenanglah. Dunia terkadang memang tidak adil pada kita.." Seolah Teddy mengingatkan Aina tentang dirinya yang dulu.Mata Aina sembab. Ia meratapi nasibnya yang selalu bermasalah dengan pria yang menjadi suaminya.Kini mungkin Teddy bisa tersenyum penuh kemenangan. Betapa sulit mencari pria setia, meski Teddy selalu dicap menjadi playboy oleh Aina. Namun ia belum pernah terbukti tertangkap berduaan di ranjang bersama wanita lain."Laki-laki memang harus bermain dulu. Baru bisa menemukan arti cinta yang sebenarnya.." Melihat Aina hanya diam terpaku, ia sedikit merasakan iba."Jangan bersedih Aina. Di luar sana banyak wanita yang lebih me
"Paa..." Aina melihat papanya yang tergeletak tak berdaya dengan alat-alat yang dipasang disekujur tubuhnya."Tenang Aina, sebaiknya kita keluar dulu.." Novan menenangkan sambil menuntun Aina yang tersedu."Apakah papa saya akan segera pulih dok?" Aina berdiri di sebelah dokter jaga."Kami akan memindahkannya ke ruang operasi malam ini Bu..Tolong ditandatangani surat pernyataan dari keluarga.." dokter itu menyerahkan sebuah kertas kepada Novan."Dok, lakukan apapun demi keselamatan papa saya. Uang bukan masalah bagi kami.." Aina memegang lengan dokter yang akan berlalu."Bu, kami hanya bisa berusaha semaksimal mungkin.. Untuk hasil tetap pasrahkan kepada Tuhan.." Aina berdiri lemas di samping Novan. Ia hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara. Air matanya membasahi pipi hingga sembab."Ayo kita duduk dulu.." Novan mengajak Aina duduk di ruang tunggu.Dengan tertatih-tatih Aina berjalan menuju ruang tunggu IGD. "Minumlah.." Sebuah air mineral disodorkan oleh Novan kepada Aina. T
"Ayo kita pulang.." Teddy mengajak Aina meninggalkan pusara."Aku mau disini dulu.." ia masih memegang nisan yang bertahtakan nama papanya.Semua bagaikan mimpi. Begitu cepat terjadi. Tanpa tanda ataupun mimpi, papa Aina pergi meninggalkannya begitu saja.Kini tinggallah Aina sebatang kara. Hanya Davian saja yang masih tersisa di ruang hatinya."Mama.." Davian yang digendong Teddy memanggil-manggil namanya.Aina masih enggan untuk beranjak. Ia masih duduk bersimpuh di hadapan makam baru itu.Mendung bergemuruh. Seolah alam ikut berduka seperti hati Aina. Semua tiba-tiba berubah menjadi gelap."Aina sebentar lagi hujan. Aku akan membawa Davian ke mobil.."Seolah Aina tak mendengar apapun. Ia masih mengelus pusara papanya."Papaa.. Aina sekarang sendirian tanpa papa.. Bagaimana bisa Aina membesarkan Davian sendirian?"Aina berusaha untuk tegar dan kuat menerima cobaan Tuhan. Namun ia hanyalah manusia biasa. Pundakny
"Mengapa kamu tidak pernah mendengarkan saat aku bicara?" Teddy menggertak Aina yang masih belum bisa mempercayai dia seutuhnya. Aina hanya terdiam sambil ketakutan di ujung ranjang. "Pakailah.. Lihatlah baju dan kerudungmu basah..." Teddy menunjukkan sebuah baju yang digantung di dekat kamar mandi. Aina terdiam sambil mencuri pandang Teddy yang benar-benar terlihat marah. Selama ia hidup bersama Teddy sebagai suami dan istri, belum pernah sekalipun ia melihat wajah Teddy memerah seperti saat ini. "Te..te..terima kasih.." Aina meraih baju dari tangan Teddy. "Aku mau ke kamar mandi.. Cepat kamu pakai pakianmu.." Brak.. Teddy menutup pintu kamar mandi dengan kasar. Jantung Teddy berdegup kencang lagi. Sampai hati ia memarahi Aina dengan begitu kasar? Ada sedikit penyesalan di hatinya. Bukankah memang Teddy yang akan menyulut api masalah? Bukankah jika Aina tetap tak sadarkan diri, bisa jadi Teddy sudah memuaskan naf
"Darimana saja kamu?" Novan memergoki Aina turun dari mobil Teddy. Aina hanya melewati Novan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di mata Aina, Novan telah lama mati dari hatinya. "Aina, aku bertanya padamu.. Semua orang sedang mencarimu..Bahkan semalam kamu tidak pulang.." "Stop! Jangan lanjutkan lagi..." Aina segera berjalan cepat menuju rumahnya. "Heh, suami macam apa kamu Novan? Mengatur istrimu saja tidak bisa..." Teddy meledek Novan yang masih berdiri menatap Aina. "Semua gara-gara kamu!" Novan menunjuk ke arah Teddy. Sebagai kandidat calon pemenang hati Aina, Teddy hanya tersenyum dan membiarkan Novan membuka mulutnya lebar-lebar. Kata-kata makian, celaan, hingga umpatan sumpah-serapah mengalir dari mulut Novan. Banyak orang yang melayat hanya melihat Novan yang terus berbicara tanpa henti. Meski ia jadi pusat perhatian, ia tak lagi peduli. Yang hanya ia inginkan hanya satu; bisa bersama Aina lagi. "Tuan Teddy, silahkan diminum dulu.." Bik Onat menyuguhkan secangkir kopi unt
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.