Beberapa kali Teddy berusaha menghubungi ponsel Aina. Tak ada satu panggilanpun yang dijawab oleh Aina. Meski Teddy mengetahui jika Aina masih tetap dalam status online."Ah sial. Kenapa jam segini belum sampai di kantor juga?" Teddy kesal.Dalam posisi kebingungan, ia mencari cara agar bisa tersambung pada Aina secara langsung."Aha.. Aku bisa menghubungi papanya!"Segera ia menelpon papa Aina. Tanpa menunggu lama Teddy langsung mendapatkan jawaban."Selamat pagi Om Tanto, apakah Aina sakit?""Ah Teddy. Apakah Aina tidak memberitahumu?"Teddy makin penasaran. Apa yang sebenarnya tengah menimpa Aina."Sepertinya Aina lupa om.." ia berkelit."Oh, mungkin Aina sungkan padamu..""Sudah selesai Pak. Sebentar lagi penghulu akan datang.." suara samar-samar dari balik telepon.Ponsel Teddy langsung terjatuh. Ia pun jatuh tersungkur ke lantai. Apakah benar jika telinganya tak salah dengar?
Malam ini adalah malam yang paling ditunggu Novan selama hidupnya.Novan sudah bersiap untuk menyambut Aina di kamar pengantin. Seluruh atribut yang ia kenakan saat acara resepsi sederhana sudah ia lepas. Ia hanya mengenakan sebuah kemeja dan celana panjang."Aina, I'm coming!" Novan berbisik.Kreek..Untuk kali pertama Novan memasuki kamar baru di rumah Aina. Papa Aina memang sengaja menyiapkan kamar khusus untuk Novan dan Aina. Mengingat Davian sudah terlanjur terbiasa di kamar lama Aina. Papa Aina tidak mau kehadiran Davian akan mengganggu Aina dan Novan sebagai pengantin baru."Aina.." Novan berbisik.Meski tidak keras, pasti Aina bisa mendengarnya. Sekalipun jika Aina berada di kamar mandi. Namun tetap tidak ada jawaban dari Aina.Novan membuka-buka ruangan lain di kamar pengantinnya. Bahkan Aina juga tidak ada di kamar mandi. Hanya ponsel milik Aina yang tergeletak di meja rias."Kemana Aina perg
Aina tidak mendapati Novan di kamarnya saat terbangun. Meski ini masih pagi buta, Aina yang terbiasa bangun pagi, tidak melewatkan solat subuh dan juga mengaji seperti biasanya. Setelah selesai baru ia keluar dari kamarnya. "Novan!" Seketika Novan terbangun dan beranjak dari tidurnya. "Aina.." Rupanya Novan tidur di sofa ruang keluarga. Setelah kejadian semalam saat tidur, Novan menjadi tak bernafsu untuk tidur dengan Aina seketika. Laki-laki mana yang tahan ketika istrinya menyebut nama laki-laki lain dalam tidurnya? "Apakah kamu sudah solat subuh?" Novan hanya menggeleng dan bergegas ke kamar mandi. Ia tak banyak mengeluarkan suara pada Aina. Hatinya masih belum bisa tenang meski sudah tertidur lelap. "Mas Novan..Maafkan aku.." Aina menunggu Novan keluar dari kamar mandi. "Untuk apa?" Novan hanya bicara seperlunya. "Tadi malam..Maaf jika aku salah menyebut..." Aina tidak jadi melanjutkan pembicaraannya.
Davian segera memeluk Teddy dan tidak mau dilepaskan oleh Aina. "Papa..." Aina hanya bisa menatap anaknya yang begitu merindukan sosok ayah yang telah lama hilang. Seakan Davian memang takut jika tidak bertemu lagi selamanya. "Mau ikut papa?" Teddy menggendong Davian sambil membuka pintu mobilnya. "Kamu duduk di depan ya? Bisa?" Davian mengangguk dan duduk dengan tenang. Tangannya melambai-lambai pada Aina yang berada di luar. "Tidak mau ikut sekalian?" Teddy membuka kaca jendela sambil bertanya pada Aina yang masih berdiri di luar. "Ah, tidak usah. Aku pulang saja. Kunci hotelmu.." Aina menyerahkan sebuah kartu pada Teddy. "Yakin tidak mau ikut kami?" sekali lagi Teddy memastikan jika Aina berubah pikiran. "Mama cinii...." "Mama ciniii.. cinii..." Davian meminta Aina untuk ikut. "Masuklah, aku sudah tidak ada waktu lagi..." Aina segera masuk ke bangku belakang dan hanya memakai sebuah piyama dan sandal jepit. "Kemana kita akan pergi?" "Ada kebakaran di salah satu pabrik
Beberapa hari setelah menikah, Aina tidak selalu tidur dengan Novan. Ia lebih banyak menghabiskan malamnya dengan Davian. Terlebih sejak kehadiran Novan di rumahnya, Davian menjadi sensitif. Mudah marah dan posesif terhadap Aina. "Davian, ayo cepat tidur. Nanti mama mau keluar sama Om Novan ya..." Davian menggeleng. Ia lebih agresif kepaad Novan. Meski sebelumnya ia hanya diam dan penurut. "Ndaaakkk...." Davian berteriak dan menyuruh Aina berada di sampingnya. "Ainaa..ayo segera siap-siap.." Novan sudah rapi memakai setelan jas berwarna hitam menghampiri Aina di kamar Davian. "Iya sebentar lagi.." "Acaranya akan mulai satu jam lagi. Kita harus segera kesana.." Novan sedikit memaksa Aina. Mendengar sedikit keributan, Papa Aina segera mendekati Davian yang sedang marah. "Ikut sama kakek saja yuk? jalan-jalan naik sedan..." Kesukaan Davian adalah berputar-putar di area perumahan dengan m
"Om Gunawan.." Aina terisak tangis sambil berdiri di belakangnya.Teddy masih memegang senjata dan memandang Aina sebagai buruan yang harus ditangkap."Minggir Om Gunawan. Ini urusanku dengan Aina.." Teddy tetap berjalan bak ksatria yang masih liar diluar kendali dirinya sendiri."Teddy.." Pak Gunawan membentak Teddy yang belum sadar sepenuhnya.Plak. Sebuah tamparan dari Pak Gunawan mendarat di pipi kiri Teddy."Om, apa yang om lakukan?" Teddy masih tidak terima."Lihatlah Aina. Dia ketakutan..." Pak Gunawan menunjuk Aina yang meringkuk di belakang tubuhnya."Begini caramu memperlakukan ibu dari anakmu?" kata-kata Pak Gunawan membuat Teddy tertunduk dan terjatuh. Lesu.Kini Aina berganti melihat Teddy dengan iba. Sebegitu dalamkah cinta Teddy untuk Aina?"Teddy..." Aina mendekati Teddy dengan penuh kehati-hatian."Tolong maafkan aku, aku bukan istri yang baik saat menjadi istrimu dul
Novan segera membanting ponsel dan jasnya di ranjang. Ia ingin berteriak sekuat tenaga agar emosinya mereda.Pesta yang ia harapkan akan menjadi awal kedekatan hubungannya yang baru dengan Aina, kacau balau dengan hadirnya Teddy yang terus mengganggu mereka."Sial..sial..sial.." Novan mengumpat berkali-kali.Ia bergegas menuju kamar mandi dan membuka kran shower dengan kecepatan paling tinggi. Air panas menganga tak ia hiraukan. Yang ia inginkan hanya ketenangan, itu saja!"Teddy... dasar sialan.. Kenapa kamu selalu mengacaukan semua rencanaku!" Guyuran deras shower membuatnya sedikit gelagapan. Sementara di luar kamar mandi, Aina sudah duduk menunggunya.Malam ini Davian tidur dengan kakeknya, jadi Aina bisa berduaan dengan bebas bersama Novan.Tok..tok..tok..Aina mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan. Baru setelah ketukan yang ketiga Novan menyadari keberadaan seseorang di luar kamar mandi.Ia segera menutup kran d
"Kenapa kamu masih menyimpannya?" Teddy menghimpit tubuh Aina di kursi kerjanya. Hidung Teddy nyaris menyentuh dahi Aina. "Tidak, saya tidak se..." "Kamu mau menunjukkan padaku? Atau apa tujuanmu?" Aina tidak bisa berkata-kata. Apapun yang akan ia katakan, Teddy pasti tidak akan mau mendengarkannya. "Pak.. Saya ingin membuangnya beberapa waktu lalu..." Aina menjawab sambil memejamkan mata. "Kamu bohong!" Teddy makin mendekat. Teddy hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Kalau saja memang itu yang sebenarnya terjadi, mungkin Aina sudah dicincang habis olehnya. "Pak Teddy, saya tidak bisa bergerak..." Aina merintih kesakitan. "Minta tolonglah pada suamimu..heh.." Teddy tidak membiarkan Aina untuk bergerak sedetikpun. Aina yang berteriak kesakitan. Melihat Aina meronta dan memohon, malah membuat Teddy terpanggil menjadi sosok laki-laki seutuhnya. Hasratnya untuk melakukan hal yang dilarang justru mal
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.