"Teddy. Serahkan Davian padaku!"
Aina menunjukkan kemarahan yang hebat pada Teddy. Melihat wajah dan pipi Aina berubah menjadi merah merona, Teddy hanya tersenyum.Saat marah begini, Aina terlihat sangat cantik di mata Teddy. Meski Aina tidak pernah mengetahuinya."Dia masih senang bermain denganku..." jawab Teddy santai."Berapa lama lagi?" Aina seolah butuh sebuah kepastian."Sabarlah sedikit..Sejak menjadi janda, kamu sangat gampang sekali tersulut emosi..." Teddy mulai menggoda Aina.Wajah Aina berubah. Seolah kemarahannya berubah menjadi kebencian. Aina paling tidak senang menjadi bahan candaan atau olokan."Setidaknya aku tidak lagi menjadi istri laki-laki buaya sepertimu..."Emosi Aina makin meletup-letup. Seperti api yang sedang berkobar menyala."Apakah kamu sedang cemburu padaku?" godaan Teddy makin membuat Aina sebal."Sini..." Aina mengulurkan tangan pada Davian."Davian"Masuklah..." Teddy menyuruh Aina masuk ke ruangannya. Hanya beberapa menit Aina sudah duduk manis di depan Teddy. Dengan mengenakan pakaian kerja berwarna merah muda, Aina benar-benar terlihat seperti bunga yang merekah di pagi hari. Aroma parfum yang ia kenakan masih sama seperti dulu. Ya, aroma inilah yang selalu Teddy rindukan setiap kali ia mengingat Aina. "Jadi ada apa Pak?" "Pak?" Teddy mendekati Aina yang sedang memandangnya. "Ini kantor, Anda harus menghargai...." "APA INI??" Teddy memperlihatkan tangan kiri Aina. Aina terdiam. Matanya menatap wajah Teddy yang memerah."Jawab aku Aina, apa ini?" Sebuah cincin yang melingkar di jari manis sebelah kiri menjadi saksi bisu, jika mungkin Aina sudah siap untuk membina rumah tangga lagi."Berapa hari aku tidak bersamamu? Kamu ingat?" Teddy berbicara dengan keras tepat di telinga Aina sebelah kiri.Aina merinding mendengar suara Teddy yang berteriak seperti petir yang menyambar-nyambar."Wanita macam apa kamu ini..." Teddy me
"Bangun Aina..."Teddy berusaha membangunkan Aina setelah kejadian keji dan kejam itu terjadi. Aina syok berat setelah melihat seorang pria yang disiksa dan dibunuh oleh Teddy dalam kurun waktu yang sangat singkat.Entah iblis mana yang merasukinya, hingga Teddy harus melakukannya di depan Aina.Mata Aina yang terpejam membuat Teddy kebingungan. Berkali-kali ia memeriksa denyut nadi. Bahkan ia baru saja mengundang dokter pribadinya untuk memeriksanya."Dia syok berat setelah melihatnya Ted.. Kuharap kamu harus bisa lebih berhati-hati.." pesan Dokter Alan sambil menepuk pundak kiri Teddy."Thanks Alan.." Teddy mengantarkannya hingga ke pintu keluar.Yang Teddy lupakan adalah Aina sama sekali tidak membawa barang pribadinya, termasuk dompet dan ponselnya."Pasti Davian mencari mamanya.." Teddy langsung menyuruh anak buahnya mengambil tas. Beberapa saat kemudian Teddy menelpon Papa Aina agar tidak panik. Sekaligus untuk menenangkan Davian yang mungkin saja rewel."Aku hampir lupa kalau
"AINAAA..." Novan hampir saja meluncurkan sebutir pelurunya tepat di kepala Aina. Aina terkejut dan terjatuh seketika. Sementara Teddy segera membuang cerutunya dan berlari menangkap Aina yang terjatuh di lantai. "Apa maumu?" Teddy menatap Novan dengan tatapan yang bengis. "Serahkan Aina padaku!" Novan tetap menodongkan senjatanya ke arah Teddy. "Biarkan aku sendiri!" Aina berteriak sekuat tenaga. "Kenapa aku selalu bersama pria yang bermain dengan senjata? Aku ingin hidup normal seperti manusia biasa!" Aina yang mudah sekali menangis, tak kuasa membendung air matanya yang mengalir. Baru saja ia sembuh dari trauma kemarin, sekarang ia sudah berhadapan lagi dengan pistol yang hampir merenggut nyawanya, "Bunuh aku!" Aina bangkit dari duduk dan mendekati Novan. Tangan Aina dengan gemetar memegang senjata api dan menempelkan tepat di pelipis kanannya. "Bunuh aku agar kalian puas!" Aina mengancam Teddy dan Novan. "Aina aku tidak bermak..." kata-kata Novan terputus. Aina hanya b
"Bagaimana Om Tanto?" Novan menunggu sebuah kepastian."Sebaiknya biarkan Aina yang mengambil keputusan..Sekarang kamu pulang dulu..Nanti om bicarakan dengan Aina.." Papa Aina menjawab dengan tenang.Meski hatinya gundah, tapi sebagai orang tua tidak boleh menampakkan pada orang yang lebih muda darinya."Dada Daviaan.. Saya pamit dulu om kalau begitu..." Novan bersalaman dan mencium pipi Davian yang menggemaskan.Aina segera berjalan menuju kamarnya, pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakan Novan dengan papanya."Maaa..ini dicari Davian.." papa Aina mencari Aina di ruang keluarga."Mammmaammm.." Davian seolah membantu kakeknya untuk mencari."Ahh pandainya cucu kakek, kecil-kecil sudah bisa membantu orang tua!"Pujian kakeknya membuat Davian tertawa. Davian tak henti-hentinya tersenyum pada kakeknya."Nah ini dia mama.." Aina nampak sedikit mengantuk. Ia segera menggendong Davian yang sudah seharian tidak menyusu mamanya."Lapar ya? kan sudah makan sup ayam sama Bik Onat ya?" Aina m
"Jangan terburu-buru.." Teddy memegang pintu lift dengan tenang. "Terimakasih.." Novan terlihat sedikit ngos-ngosan mengejar pintu lift. "Hai Davian, selamat pagi..." Begitu melihat Teddy, Davian langsung antusias untuk mengulurkan tangannya pada Teddy. "Mau ikut papa?" tanpa pikir panjang, Teddy langsung menggendongnya. Dengan berat hati Novan harus melepaskan Davian yang rupanya lebih tertarik pada Teddy. Davian terlihat merekahkan senyuman manisnya untuk papanya. "Ayo ikut papa bekerja hari ini..." Davian terlihat nyaman berada dalam gendongan Teddy. Ia merasa aman dan bahagia berada di dekatnya. Sesekali Davian memegang wajah atau hidung Teddy yang mancung. Beberapa kali ia menengok ke arah Novan yang ada di belakangnya. Novan hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. ** "Selamat Pagi, terimakasih sudah menunggu..." Teddy membuka pintu ruang rapat saat semua sudah berkumpul. Mata peserta rap
Keesokan harinya... "Hai Aina, maaf kemarin aku tidak bisa menemani Davian makan siang.." Teddy yang baru masuk ruangan segera duduk di meja kerja Aina. "Iya tidak apa-apa Pak.." Aina masih tidak memperhatikan keberadaan Teddy. Ia masih sibuk dengan komputernya. Melihat Aina yang tidak melihatnya, Teddy langsung mendekati wajah Aina. Ditatapnya dalam-dalam Aina yang tetap menatap layar segi empat itu. "Apa yang kamu kerjakan?" Karena terlalu bersemangat, Aina tak sadarkan diri jika Teddy sudah sangat dekat dengan dirinya. Mata Aina melirik ke kiri, bertabrakan dengan mata Teddy yang juga memandangnya. "Maaf Pak, saya sedang bekerja..." jawab Aina. Teddy hanya berpindah beberapa sentimeter saja. Ia melihat wanita itu selalu serius dalam bekerja. "Hari ini agenda kita akan pergi ke site, ke sebuah tempat pembangunan resort di dekat Istana Putih..." Mendengar nama Istana Putih, Aina menelan ludah. Seakan dibawa bernostalgia ke masa lalu. Bayangannya menjelajahi tempat yang san
Teddy masih menunggu Aina di villa. Sengaja ia menggendong Aina ke tempat tidur utama agar Aina merasa nyaman.Sementara itu Teddy sudah memesan makanan jika sewaktu-waktu Aina terbangun.Menatap Aina yang begitu lelap, hasrat liar Teddy kembali muncul."Kenapa selalu seperti ini!" Teddy berguman.Kepandaiannya untuk mencari kesempatan memang tidak bisa diragukan. Tak menunggu lama, Teddy langsung merebahkan tubuhnya di sebelah Aina. "Teddy..Teddy.. mengapa kamu bisa secinta ini dengan wanita macam ini?" Teddy berbicara sendiri sambil tertawa. Dipandanginya Aina yang terlihat lemah. Ia juga sudah mengundang dokter untuk memeriksa Aina, Teddy masih menikmati momen kebersamaannya bersama Aina. Beberapa kali ia mengambil foto bersama Aina. Bahkan tak ragu ia menyentuh atau mengecup pipi Aina. "Aina.. Kalau kamu tahu isi hatiku.." Teddy kembali mengecup keningnya. Belum puas melakukan itu semua, kini Teddy merendahkan tubuhnya sama dengan posisi Aina. Dipeluknya Aina dengan perlahan.
Beberapa kali Teddy berusaha menghubungi ponsel Aina. Tak ada satu panggilanpun yang dijawab oleh Aina. Meski Teddy mengetahui jika Aina masih tetap dalam status online."Ah sial. Kenapa jam segini belum sampai di kantor juga?" Teddy kesal.Dalam posisi kebingungan, ia mencari cara agar bisa tersambung pada Aina secara langsung."Aha.. Aku bisa menghubungi papanya!"Segera ia menelpon papa Aina. Tanpa menunggu lama Teddy langsung mendapatkan jawaban."Selamat pagi Om Tanto, apakah Aina sakit?""Ah Teddy. Apakah Aina tidak memberitahumu?"Teddy makin penasaran. Apa yang sebenarnya tengah menimpa Aina."Sepertinya Aina lupa om.." ia berkelit."Oh, mungkin Aina sungkan padamu..""Sudah selesai Pak. Sebentar lagi penghulu akan datang.." suara samar-samar dari balik telepon.Ponsel Teddy langsung terjatuh. Ia pun jatuh tersungkur ke lantai. Apakah benar jika telinganya tak salah dengar?
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.