"Teddy.." Aina masuk ke kamar rawat inap Teddy tanpa mengetuk pintu.Teddy memalingkan tubuhnya ke arah jendela. Ia sama sekali tidak bergerak ketika Aina datang."Tuan Teddyy.." Aina kembali memanggil suaminya.Masih sama, Teddy enggan untuk menanggapi panggilan berkali-kali dari Aina. "Apakah kamu tidur?" tanya Aina.Akhirnya Aina berjalan ke arah Teddy dan duduk di samping jendela. Betapa terkejut Aina ketika melihat Teddy yang ternyata membuka mata, tidak tidur sama ssekali!"Ada apa denganmu? Kenapa kamu hanya diam saja?" tanya Aina lagi."Hmm.." Teddy hanya menggeleng. Ia tak mengeluarkan suara apapun."Apakah ada sesuatu yang membuatmu sedih?" Aina berusaha untuk mencari tahu.Sementara Teddy lagi-lagi enggan untuk bersuara. Hatinya dipenuhi bara api kemarahan yang tak bisa untuk diredam."Pergilah.." kata Teddy."Aku hanya ingin melihat dan menjagamu.." Aina menatap wajah Teddy yang selalu memalingkan wajah darinya."Aku muak denganmu!" kata Teddy tanpa basa-basi.Kali ini Ai
"Baron..Aku membutuhkan bantuanmu.." sebuah pesan suara begitu saja masuk ke nomor ponsel Baron.Tanpa diketahui siapa pengirimnya. Namun tentu saja Baron yang sudah lama malang melintang di dunia paham betul siapa yang mengirimkan.Tak usah menunggu lama, Baron langsung menghubungi nomor itu secara langsung."Haloo..." suara di seberang sana menjawab."Kapan kamu ada waktu untuk bertemu denganku Steven?" tanya Baron tanpa basa-basi.Tentu Baron sangat update dengan berita terbaru seputar Aina maupun Teddy. Sebagai ahli waris yang menguasai harta papa Aina secara tunggal, Baron memang sangat protektif dengan aset dan harta bendanya."Bagaimana kalau malam ini?" tanya Steven."Hmm.." Baron berpikir sejenak. Mengingat-ingat apakah ada agenda malam ini."Apakah kamu ada waktu?" tanya Steven lagi."Kukira aku bisa meluangkan waktu sebentar untukmu.." jawab Baron dengan tersenyum."Bisakah kita bertemu jam sepuluh malam?" “Dimana tempatnya?” “BromBar, aku tunggu di sana..” Baron menjawab
"Apakah kamu masih berhubungan dengan Steven?" pandangan Teddy berubah seperti seekor singa yang akan menerkam mangsanya. Karena ketakutan, Aina hanya menggeleng dan tidak mampu berkata-kata. "Jangan berbohong!" kata Teddy lagi. Aina tak kuasa menatap kedua mata Teddy secara terus-menerus. Akhirnya Teddy menyuruh Aina untuk memindahkan tubuhnya dari ranjang tidurnya.Hati Aina berkecamuk. Kenapa ia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik ketika suasana hatinya sudah mulai bisa menerima Teddy sebagai seorang suami."Pergilah..." Teddy memalingkan wajahnya dari Aina. Sebenarnya Teddy sendiri juga heran, kenapa ia selalu terusik saat kondisinya sedang dekat atau sedang baik-baik saja dengan Aina. Ada saja halangan dan rintangan yang menguji hubungan mereka. Tapi, sejak Aina menikah dengan Novan dan bercerai, hubungan Aina dan Teddy tidak lagi seperti dulu-dulu. Seperti ada jurang pemisah yang sangat besar antara keduanya. Meski Teddy mengakui, Aina menjadi lebih 'berani' dalam
"Jangan pergi.." Teddy tersentak melihat Aina yang diam-diam turun dari ranjang dan memunguti bajunya.Tanpa menghiraukan permintaan Teddy, ia langsung masuk ke kamar mandi.Sementara Teddy merasakan pening akut di kepalanya. Terlebih tangan kiri bekas jarum infus terasa memar dan lebam.Tubuhnya yang masih dalam masa pemulihan terasa pegal-pegal. Kebahagiaan sementara malam tadi membuat Teddy tidak menyadari jika kesehatannya memang belum pulih sempurna.Dari luar, Teddy mendengar Aina berteriak dalam kucuran gemerincik air dari guyuran shower. Ia bisa menebak jika saat ini jiwa Aina memang terguncang.Apalagi jika tidak karena Teddy. Ya, perkataan Teddy yang begitu menyakitkan hati Aina membuatnya harus menahan tusukan kata-kata bak belati berkali-kali.Tetapi di sisi lain Teddy begitu merasa bahagia. Apalagi Aina memang begitu terlihat patuh dan tidak pernah melawan pada semua perintahnya."Akhirnya kamu menyerah padaku Ainaa.." Teddy mencium kerudung Aina yang masih berada di leng
"Tolong lepaskan aku Steven.." Aina memohon dengan menangis tersedu.Namun tak ada belas kasih sama sekali dari Steven. Hatinya telah berubah sekeras batu."Apakah kamu tidak kasihan kepadaku?" tatapan kedua mata Aina memelas.Dalam hati Steven, ia tidak tega melihat Aina seperti itu. Ia tak kuasa menahan amarah sekaligus rasa kasihan yang membelenggu hatinya yang paling dalam. "Aku sudah tidak ada rasa lagi untuk kasihan.." Steven tetap menodongkan senjata apinya kepada Aina. Melihat Steven yang sama sekali tidak ada reaksi, Aina akhirnya memutuskan untuk diam. Ia memberanikan memegang ujung senjata api itu dan mengarahkan kepada perut Aina. "Sekarang, bunuhlah aku dan anakku juga. Bukankah kamu sangat membenci Teddy saat ini.." Keputusan Aina yang berani membuat Steven terkejut. Ia yang mulanya hanya berniat untuk menakut-nakuti Aina menjadi gugup dan menjatuhkan senjata itu ke bawah. Deg. Jantung Aina seakan mau copot dengan adegan berbahaya itu. Tak disangka, rencananya berh
"Lepaskan aku.." Aina berusaha melepaskan tangan Steven yang terus menggenggamnya."Aina tunggu dulu.." Steven terus mengejar Aina yang sudah bersiap untuk berjalan meninggalkannya."Apa lagi?" pandangan Aina nampak terbelalak melihat Steven yang enggan melepasnya."Maafkan aku.." dengan penuh penyesalan Steven mengelus tangan Aina dan mengecupnya lagi.Tanpa menunggu lama, Aina mengusapkan punggung tangannya ke bajunya. Ia merasa jijik dengan Steven dan semua tentangnya."Aku harap kamu tidak membenciku.." kata-kata Steven membuat Aina muak dan ingin segera beranjak meninggalkannya."Selamat Tinggal..." Kini Aina benar-benar meninggalkan Steven sendirian di tengah jalan. Ia tersenyum saat mendapat kabar jika Teddy sudah menerima foto-foto mesranya dengan Aina."Selangkah lagi, kamu akan jadi milikku Aina.." Steven berguman lirih.Sementara Aina terus melangkahkan kaki dengan melihat ponselnya beberapa kali. Ia sudah me
Empat bulan kemudian.. "Bagaimana kabarmu?" tanya Steven dengan penuh perhatian. "Alhamdulillah baik.." tak banyak kata yang harus keluar dari mulut Aina. "Begitu aku tahu kabarmu meninggalkan rumah Teddy, aku terus mencarimu.." Kalimat Steven membuat Aina paham kemana arah pembicaraan akan bermuara. Ia dengan sekuat tenaga mencegah untuk berkata kasar ataupun membantah apapun yang Steven katakan. "Hmm.." "Perutmu sudah terlihat membesar, berapa usia kandunganmu?" Steven menatap perut Aina yang mulai membuncit. "Tujuh bulan.." "Oh sebentar lagi kamu akan melahirkan.. Apakah laki-laki?" Aina menggeleng. Ia tak berucap apapun tentang jenis kelamin anaknya. "Jadi bayi yang berada dalam kandunganmu bukan laki-laki?" Steven tersenyum. "Aku tidak tahu pasti.." jawab Aina sambil melihat Davian yang bermain dengan Bara di luar rumah. Beberapa saat kemudian, seorang pembant
"Sebaiknya kamu segera pergi.." Aina berjalan menjauhi."Tunggu dulu.. Aku belum selesai bicara.." ia masih bersikeras untuk bicara sesuatu pada Aina."Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.." "Aina...Masukk!" Bara membuka jendela mobil dan mengisyaratkan agar Aina segera masuk ke dalam mobil.Dalam gelap. Terlihat lelaki itu mengepalkan tangannya. Emosinya sudah mulai mendidih kembali."Turun Aina. Turun kataku!" ia masih bersikeras untuk menemui Aina."Teddy.. Sebaiknya biarkan Aina pulang dengan tenang.." Bara mulai mencampuri urusan pribadi Aina."Tapi..Aku ingin menyelesaikan masalahku sekarang.." Teddy seolah tak mengenal waktu. Malam sudah hampir larut."Teddy, lihatlah. Sudah hampir pukul sebelas. Esok saja.." Bara berusaha memberikan solusi agar ia bisa segera pulang.Beberapa kali Bara nampak menguap. Tanda ia sudah mulai mengantuk."Sejak kapan pemabuk tidur pukul sebelas?" Teddy balik meledek
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.