Daniel mengatur loadspeaker ponselnya menyala agar ia bisa mengangkat telepon sambil membuka lemari pakaiannya untuk mengambil baju. Maklum, setelah pemulihan patah tangan kirinya belum sempurna, ia cedera parah lagi karena jatuh. Dan cedera itu makin parah lagi ketika Daniel kabur dari rumah sakit setelah operasi karena mendengar Risa meninggal. Di makam itu, Mario memukulnya karena emosi. Ia kembali ke rumah sakit dengan kondisi kacau. Setelah itu tangannya yang dokter bilang bisa pulih lagi seperti semula, jadi mati sebelah, alias tidak bisa digerakkan lagi. Sekilas ia tampak normal saja, seolah-olah posturnya tetap tampan sempurna, punya dua tangan yang gagah. Tapi pada kenyataannya, hanya tangan kanan saja yang bisa ia gunakan dengan maksimal. Tangan kirinya hanya menjuntai seperti tulang tak berguna. Menyetir ia jelas tak bisa lagi. Bahkan untuk aktivitas sederhana macam mengangkat telepon sambil memilih-milih baju ia tak bisa. Makannya ponselnya ia geletakkan di meja semen
Sang sopir melirik ke arah belakang dengan bingung. Tujuan sudah sampai, mesin mobil juga sudah dimatikan, tapi kenapa tuannya ini tidak segera turun? "Sebentar, Pak. Tahan. Tunggu," ucap Daniel dengan wajah tegang. Jantung Daniel langsung berdegup bertalu-talu. Tangannya langsung berkeringat dan mengepal. Pemandangan beberapa meter di depannya sungguh membuat ingatan yang ingin ia kubur dalam-dalam itu kembali lagi. Dilihatnya Mario sedang membuka bagasi belakang mobilnya dan mengambil stroller bayi yang terlipat itu lalu membukanya. Dan dari kursi penumpang, keluarlah seorang perempuan yang ia kenali sebagai adik Risa. Ya, ia ingat. Itu wanita yang sama yang ia ditemui di pemakaman. "Itu Lisa. Dan yang digendong berarti... Marsa. Anakku...," bisik Daniel dalam hati. Setelah cederanya divonis dengan berat tidak bisa pulih lagi, Daniel resign dari kantor dan menghilang. Mario mengira ia pengecut dan senang akan fakta itu. Padahal Daniel berobat. Orang tuanya memaksanya melarikan
Daniel tentu tak mungkin bilang begitu di depan Pak Harjo. Soal ia yang punya anak dari hubungan gelapnya dengan Risa kan hanya ia dan Risa saja yang tahu. Orang tua dan keluarganya saja tak ada yang tahu. Daniel pikir begitu. Ia tak tahu saja, Mario dan Lisa sudah menguliti skandalnya dengan Risa yang menjijikkan itu. Bahkan mereka sudah membuat rencana agar ia tak bisa bertemu bayinya lagi. Daniel melirik ke luar kaca coffee shop yang sepi itu lalu tertawa. Dengan satu tangan, ia tampak agak kesulitan menyimpan surat yang berharga itu kembali ke dalam tasnya. Daniel lalu menggeleng pelan. "Nggak, Pak. Saya belum punya pasangan," ucapnya. Sungguh Daniel minder sekali dengan keadaannya sekarang. Ia menganggap dirinya cacat. Mana ada perempuan yang mau? Ada yang mau pun pasti mengincar hartanya saja. Daniel makin minder karena sekarang karier-nya juga belum naik-naik amat seperti dulu di kantor lama. Selain itu, hatinya masih terpaut pada Risa. Risa cinta terlarangnya yang member
Drttt! Drttt! Di depan eskalator naik itu Daniel merasakan ponselnya bergetar. Ada notifikasi pesan dari Pak Anto alias sopirnya. Ada dua foto yang dikirimnya. Semua foto Mario yang sedang memasukkan tas belanjaan dan aneka paper bag toko pakaian ke dalam bagasi mobilnya. [ "Yang cowok masukin belanjaan terus masuk mall lagi, Pak." ] Daniel mengernyitkan alisnya. Diamatinya sekilas dari foto yang dikirim Pak Anto itu. Tampak Mario memasukkan tas-tas belanjaan berlogo brand fashion wanita dan juga beberapa tas belanjaan yang sepertinya dari toko bayi. Oke, Daniel mengasumsikan Mario berarti sudah selesai berbelanja di lantai ini. Ia lalu melongok ke lantai atas. Sekilas dilihatnya di sana ada beberapa resto, toko, dan juga tempat lainnya yang entah apa itu. Masalahnya baru pertama kali ia datang ke mall ini. Ia tampak tahu secara detail apa yang ada di lantai 4. "Oke, mungkin habis naruh belanjaan, mereka makan di resto di lantai 4. Mungkin, kan?" Daniel bergumam dan tanpa piki
Lisa tampak membeku. Ini situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Beberapa minggu setelah mereka resmi menikah dan Milena resmi berganti nama, Mario sempat bilang kalau kabar terakhir dari Daniel yang ia dengar adalah pria itu pindah ke Singapura. Waktu itu, ada kelegaan tersendiri di dalam dada Lisa. Artinya perseteruan dan perebutan soal anak itu tak akan pernah terjadi. Ia pikir begitu. Ia pikir Daniel memutuskan untuk menjadi pengecut dan tidak berani mengakui hubungan terlarangnya dengan Lisa dan juga soal Marsa pada Mario. Sudah begitu saja. Ia pikir kisah itu selesai dan Mario tinggal mengobati rasa trauma dan juga memulihkan diri. Tapi ternyata tidak. Setengah tahun berlalu dan hal yang paling menakutkan ini terjadi di depan mata. "Ceritanya panjang, Daniel. Kamu kayaknya nggak punya banyak waktu untuk mendengar," ucap Mario lalu ia tertawa kecil. Daniel yang pucat tampak menyeka keringat di dahinya. Tentu dengan tangan kanannya, sehingga tas selempang berisi lap
"Ini anak Lisa. Namanya Milena. Dia hamil di luar nikah dan pacarnya kabur. Sekarang jadi anakku. Umurnya seusia Marsa. Ya, menurutmu Lisa dulu bisa jadi donor ASI karena apa? Ya karena di waktu yang sama dia sedang menyusui anaknya. Cantik, kan?" Mario tersenyum lalu tangannya merogoh kantong stroller di bagian bawah untuk mengambil susu. Milena rupanya bangun setelah Mario membuka penutup strollernya. Mungkin kaget. Padahal tadinya ia sedang tertidur lelap. Tapi hebatnya walau terbangun, anak itu tak menangis. Tangan Mario agak gemetar juga. Sudah lama ia tak menyodorkan botol minum ke arah bayi ini. Bibirnya tersenyum lega saat Milena melahap botol favoritnya dan mata beningnya kembali terpejam pelan-pelan. Daniel masih tercengang. Ia berusaha mencerna fakta barusan dengan kepala berdenyut-denyut. Oke, ini bukan Marsa. Ini Milena anak Lisa dengan pacarnya. Lalu kemana Marsa? "Marsa dimana?" tanya Daniel pelan. Matanya terus menatap Milena yang sedang minum susu dari botol itu
"Maaf, Bu. Bisa menghadap ke arah cermin?" Pegawai salon berserakan hitam merah itu menegur Lisa dengan sopan. Ya, masalahnya dari tadi Lisa menengok ke arah dinding kaca terus. Ia makin panik saat melirik Mario sedang menatap tajam ke arah Daniel. Lisa jadi tak fokus. "Masih lama ya, Mbak?" tanya Lisa yang mencoba untuk tidak tegang. "Oh, masih harus keramas, dikeringkan, lalu kami beri serum khusus seperti paket perawatan yang Inu tunjuk di brosur kami tadi." Pegawai salon menjelaskan dengan sopan. Lisa hanya bisa menghela nafas pasrah. Ia tadi hanya asal tunjuk saja. Yang penting cepat. Tapi ternyata lama juga. Atau ia saja yang merasa ini lama karena mencemaskan Mario di luar sana?***"S--sorry, sorry. Maaf, Mario. Aku tak bermaksud." Daniel langsung panik. Kalau Mario marah, hilang sudah kesempatannya untuk mencari keberadaan Marsa dengan lebih detail. Ia tak mau hubungannya dengan Mario bersitegang. "Tahan dirimu, Daniel! Tahan!" Daniel berkata pada dirinya sendiri dalam
Daniel melirik ke arah salon kecantikan di belakangnya dan matanya bertemu mata Lisa. Ia membuang muka lalu melirik ke arah Mario lagi. "Maksudku aku ada rencana perjalanan bisnis ke Frankfurt. Mungkin kalau ada kesempatan, aku bisa mengunjungi Marsa. Bagaimanapun dulu Risa rekan dekatku di kantor lama..." Daniel menggantung kata-katanya karena respon Mario menatap makin sinis ke arahnya. "Kamu ingin mengunjungi keluarga Risa di Frankfurt dengan tampang konyolmu itu? Mau bilang apa? Begini, 'Halo, perkenalkan saya Daniel. Pria yang menabrakkan mobil sampai Risa koma dan meninggal. Saya yang membuat bayi yang kalian adopsi itu kehilangan ibu.' Begitu? Jangan konyol Daniel. Risa berharga di keluarganya. Menurutmu mereka tak bersedih? Tahu dirilah. Kamu hanya orang luar." Mario lalu tertawa merendahkan. "Maaf..." Daniel hanya menyahut lirih. Ya, Mario benar. Ia patut disalahkan atas kecelakaan itu. Risa meninggal karenanya. Marsa kehilangan ibu karenanya. "Ya. Kurasa jangan terlal
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu