Daniel melirik ke arah salon kecantikan di belakangnya dan matanya bertemu mata Lisa. Ia membuang muka lalu melirik ke arah Mario lagi. "Maksudku aku ada rencana perjalanan bisnis ke Frankfurt. Mungkin kalau ada kesempatan, aku bisa mengunjungi Marsa. Bagaimanapun dulu Risa rekan dekatku di kantor lama..." Daniel menggantung kata-katanya karena respon Mario menatap makin sinis ke arahnya. "Kamu ingin mengunjungi keluarga Risa di Frankfurt dengan tampang konyolmu itu? Mau bilang apa? Begini, 'Halo, perkenalkan saya Daniel. Pria yang menabrakkan mobil sampai Risa koma dan meninggal. Saya yang membuat bayi yang kalian adopsi itu kehilangan ibu.' Begitu? Jangan konyol Daniel. Risa berharga di keluarganya. Menurutmu mereka tak bersedih? Tahu dirilah. Kamu hanya orang luar." Mario lalu tertawa merendahkan. "Maaf..." Daniel hanya menyahut lirih. Ya, Mario benar. Ia patut disalahkan atas kecelakaan itu. Risa meninggal karenanya. Marsa kehilangan ibu karenanya. "Ya. Kurasa jangan terlal
"Hei, Papa di sini, Nak." Mario tampak sudah menjulurkan tangannya yang gemetar ke arah Milena yang menangis. Daniel terus mengamatinya dari ujung matanya. Ia merasa Mario agak kaku. Tapi untunglah kepanikan dan kecemasan Mario berlalu. Lisa tiba-tiba datang dari arah salon. Rupanya ia sudah selesai. "Hai, anak Mama bangun, ya. Mama kelamaan ya di salonnya. Sini, Sayang." Lisa langsung mencairkan suasana dan mengangkat Milena dari stroller bayi. Mario bernapas lega. Ia lalu menggeser duduknya agar Lisa dan Milena bisa duduk di sebelahnya dan terpisah dari Daniel. Jelas ia tidak ingin Milena dekat-dekat dengan Daniel. Tangis Milena rupanya langsung reda begitu jatuh ke pelukan Lisa. Daniel terus mengamati dari tempat ia duduk. "Oh, manisnya. Cantik sekali. Berapa umurnya? Matanya coklat seperti mata... Marsa," ucap Daniel dengan ragu ketika menyebut nama itu. Mario langsung menunjukkan wajah ketidaksukaannya dengan melirik sinis ke arah Daniel. Lisa langsung paham dengan situasi
Pagi itu Mario punya aktivitas baru sebelum berangkat ke kantor, yaitu berbincang hangat dengan Lisa sambil memberanikan diri menimbang Milena. Mario tahu ia harus mengakrabkan diri kembali dengan bayi itu. Dan pagi ini kemeja Mario yang putih bersih kena tumpahan muntahan Milena. Lisa merasa bersalah dan tak enak hati. Tapi di luar dugaan, Mario justru tertawa-tawa. Ia hanya meletakkan Milena kembali ke strollernya lalu mengganti baju. Lisa masih bingung dengan semua perubahan sikap Mario yang begitu cepat. Tapi ia tak mau berprasangka. Bukankah ini hal yang baik? Dan mata Lisa berbinar bahagia begitu Mario mengecup kening Milena sebelum ia masuk ke dalam mobil dan pergi.***Di balik tawa dan senyuman baru Mario, ada wajah pria lain yang berkebalikan kondisinya. Setelah pertemuan di mall kemarin, Daniel merasa sangat terpukul. Ucapan Mario kembali terngiang-ngiang di telinganya. Ya, putrinya telah jauh di sana. Di tanah antah berantah yang bahkan belum pernah ia kunjungi. Jer
Mario memalsukan senyumnya di depan Meyrika. Walau ia membenci Daniel, tapi ia tak mau ikut campur urusan percomblangannya dengan Meyrika. Biarlah. Toh tak semua perjodohan berhasil. Daniel punya kekurangan fisik sekarang, karier juga biasa saja, bahkan jauh jika dibandingkan Meyrika. "Oh, gitu! Baguslah kalau sudah saling kenal." Meyrika agak kagat juga. Pertemuan tak sengajanya dengan Mario di sini sudah membawa banyak cerita baru. Pertama Mey baru tahu kalau istri Mario meninggal dan kini ia sudah menikah lagi. Lalu kedua, ternyata Mario dan Daniel sudah saling kenal. Mario tampak menikmati kecanggungan yang terjadi. Ia melirik dengan tatapan sinis lagi ke arah Daniel. Daniel hanya bisa berdiri terpaku dan merasa salah tempat. Oh, Meyrika sepertinya tipe cewek dominan. Sedangkan Mario tampak kesal padanya. Sungguh situasi yang tak mengenakkan. "Hai, Daniel. Panjang umur kita ketemu lagi di sini. Padahal kemarin baru aja ketemu juga. Aku tinggal dulu ya, Mey. Takut ganggu yang
Malam itu berkali-kali Lisa menatap cemas ke arah Milena yang sebenarnya baik-baik saja. Berkali-kali juga ia mengingatkan Mbak Asti soal ini dan itu, apa yang boleh dan tidak boleh selama Milena akan ia tinggal ke pesta. "Udah, Bu. Nggak apa-apa. Nanti kalau ada apa-apa saya kan bisa nelpon Ibu. Ada CCTV juga, kan? Ibu bisa mantau saya dari jauh," ucap Mbak Asti. Rupanya kepanikan Lisa membuatnya merasa takut juga karena ini baru pertama kali Lisa hendak pergi meninggalkan Milena. Hanya beberapa jam memang. Tapi rupanya Lisa mencemaskan hal itu. "Ya, Mbak. Maaf ya, Mbak. Saya cuma panik," ucap Lisa. Ia meletakkan gaunnya di kasur. "Udah. Bu Lisa siap-siap aja. Kata pak Mario tadi jam berapa? Jam tujuh kan berangkat dari rumah? Ibu mau saya bantuin apa?" tanya Mbak Asti. Lisa menggeleng. Lalu ia hampir lupa kalau sudah lama ia tidak menggunakan make up. Jadi pasti akan sedikit lama nanti membiasakan tangannya lagi untuk bergerak lihai merias wajahnya sendiri. "Oke. Aku siap-sia
Meyrika yang menyusul turun dari mobil langsung memecahkan kecanggungan ini. Ia melihat Lisa turun dan menyapa. Dalam hati, ia memuji kecantikannya. Sebagai sesama perempuan, harus Meyrika akui kalau Lisa sempurna sekali malam ini. "Oh, gaun kita sangat serasi." Mey mengomentari gaun mereka yang sama-sama berwarna putih. Dan yang lebih lucu lagi, warna tuxedo yang dipakai Daniel dan Mario mirip, yaitu biru tua. Dari potongan modelnya terlihat kalau mereka menggunakan merk dari rancangan desainer yang sama. Mario benci fakta ini. Tapi ia tak peduli. Ia tahu di pesta ini nanti, ialah yang akan menjadi pusat perhatian. Selain karena ia membawa Lisa, kedekatannya dengan Presiden Direktur alias Pak Gunadi selalu menjadi sorotan. "Hei, kamu pasti istri Mario. Kenalkan, aku Meyrika. Panggil saja Mey. Aku dan Mario berteman sejak lama karena kita sempat menjadi partner kerja dan bisnis," ucapnya sambil mengulurkan tangannya. "Hai, saya Lisa," ucap Lisa dengan agak kaku. Ia masih menggun
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu