Petang sudah mengarah ke maghrib ketika aku tiba di rumah dan menemukan Vespa milik Fajrin diparkir tepat di teras depan. Kupandangi Vespa bercat merah itu, kuamati kondisinya yang tak lagi ringsek. Motor ini kembali bagus setelah rusak parah akibat mengantar Fajrin pada kematiannya.
Tanda tanyaku terjawab ketika tak lama kemudian ayah Fajrin keluar dari rumah Elis dan berjalan mendekat ke arahku. Dan gadis berjilbab itu, mengikuti Bapak dari belakang.
"Bapak!" panggilku.
Aku membungkuk hormat saat mencium tangannya, lalu segera kubukakan pintu depan agar Bapak bisa istirahat di dalam. Kupersilakan Bapak, juga Elis, tapi gadis itu menolak untuk masuk. Sekilas, kutangkap ekpresi wajah Elis yang tidak seperti biasanya. Wajahnya jelas ditekuk. Tak sedikit pun Elis melihat ke arahku. Bukan itu saja, gadis itu langsung berpamitan pada Bapak dan pulang ke rumahnya tanpa melirikku sama sekali. Kenapa lagi di
Perlahan kubuka surat dari Sulis. Dia menuliskannya di kertas yang unik, ada motif mawar yang samar tertindih garis-garis yang memberi ruang untuk tulisan tangannya yang indah. “Assalaamualaikum. Mas Bram, kakakku yang sholeh. Mohon maaf jika Sulis mengganggu aktivitasmu. Ada banyak hal yang mesti Sulis sampaikan pada Mas Bram. Sungguh, Sulis sangat terkejut mendengar permintaan Bapak dan Ibu agar Sulis segera menikah. Dan yang membuat Sulis lebih terkejut lagi, Bapak dan I
Siang ini terik, tapi nyaris tak terasa lagi karena panas matahari seakan tersapu angin yang mengembus kencang. Aku melesat menuju sekolah tempatku mengajar, seperti melayang di atas Vespa yang membawaku. Pikiranku mengembara, seakan tak percaya bahwa teman berkendaraku saat ini bukan lagi mobil angkot sesak dan penuh asap, melainkan motor milik almarhum Fajrin, kendaraan “bersejarah” yang kini menjadi milikku. Saat Vespa yang membawaku mencapai pintu gerbang sekolah, beberapa siswa tersenyum melihatku. "Cieeee! Motor baru, Pak?" “Wahhh! Kereeen!”Aku hanya tersenyum sambil memarkir Vespa itu di parkir area, dan langsung menyusuri koridor yang ke arah ruang guru. Jadw
Setiba di rumah indekosku, kulihat Elis berdiri di teras. Terdiam mematung, seakan sengaja menantikan kepulanganku.Kupandangi wajah dengan senyum semringah itu. Ada lega yang menyelinap ke hatiku melihat ekspresinya kali ini. Dari raut wajahnya, aku yakin Elis belum mengetahui apa pun tentang perjodohanku dengan Sulis. Ekspresi marahnya kemarin, saat bapak Fajrin datang mengunjungiku, tentu bukan karena Elis mengetahui perjodohan itu. "Wah, kayaknya ada yang nungguin Aa dari tadi. Siapa, ya,” kugoda Elis sambil memarkir motor di dekatnya. "Nggak, kok. Elis baru aja ke sini. Alhamdulillaah, pas banget orangnya dateng." "Tumben sendirian, nggak sama Asep. Ada apa, Lis?" Aku melangkah ke arahnya.Hari ini Elis mengenakan jilbab yang lebih lebar dari biasanya. Ji
Hujan masih mengguyur deras. Aku dan Elis masih duduk berteduh. ''Oh ya, Lis,'' aku menoleh padanya. Elis pun melihat padaku disertai seulas senyum yang senantiasa mendamaikan hati, “kalau sudah lulus kuliah nanti, apa yang lebih dulu ingin Elis lakukan?'' Elis menyudahi bertemunya pandangan kami dengan menatap ke arah depannya, jalan beraspal basah yang ramai dilalui kendaraan. ''Sebenarnya, Elis pengen lanjut S2 ke luar negeri. Aa sendiri?'' "Kok pake sebenarnya segala?" Elis menggeleng pelan. Terlihat resah. "Nggak taulah, A. Itu kan cuma keinginan Elis, dan belum tentu kesampaian. Kalau Aa gimana?"&n
Aku berbaring di atas kasur. Setelah mandi tadi, aku diam termangu merasakan tubuhku yang terus menggigil sampai terdengar bunyi getaran dari ponselku.Sebuah pesan masuk. Dan tiba-tiba saja aku merasa yakin bahwa Elis yang mengirimnya. Kuraih ponsel itu segera. Dengan berdebar-debar penuh harap bahwa pesan itu benar-benar dari Elis, kuusap layar sentuh ponselku. Apa ya, kira-kira, yang Elis tuliskan dalam pesan ini?“Mas Bram sudah baca surat dari Sulis?”Aku langsung lemas saat menemukan nama Sulis di sana. Bagaimanapun, aku harus membalasnya. "Sudah." Jawabku singkat. Bingung harus mengetik kata-kata apa lagi. "Terus gimana?" Aku lebih dulu memutar otak sebelum mengetik sesuatu, hingga akhirnya kuketikkan kalima
“Tapi, Pak, kakaknya Edo dulu mati di sekolah ini karena dibunuh oleh murid SMK Tunas Bangsa,” tukas Derryl, mencoba memberi alasan agar aku membenarkan rencana itu. “Oh, ya? Lalu apakah tawuran akan terus jadi semacam tradisi karena dari generasi ke generasi dua sekolah ini masih saling menyimpan dan membalas dendam? Apapun itu, saya harap, tidak ada satu pun siswa di kelas ini yang ikut tawuran.” Ucapku tegas. Seisi kelas hening. Sebagian dari mereka diam menunduk. Hanya Derryl yang kemudian berdiri, menyandang tas, lalu berjalan ke arahku diikuti dua orang temannya. “Maaf, Pak. Saya nggak bisa. Yang mati itu sepupu Edo, Pak, dan Edo adalah sahabat saya! Saya nggak bisa maafin mereka!” Derryl menatapku tajam, menggeleng-geleng, lalu memimpin
Dengan berbalut lelah yang sangat, aku kembali ke rumah indekos. Penat pun terobati ketika kulihat Asep muncul bersama piring berisi gorengan yang dibawanya. Pikiranku sedikit tenang melihat senyum cerianya dan aroma pisang goreng yang sepertinya lezat. “Aa Bram, kata Umi, malam ini Aa mesti ngajarin Asep matematika. Besok, Asep ada ulangan.” Katanya.Kuacak-acak rambut Asep yang berpotongan mohawk, yang belakangan memang sedang trend bagi remaja pria. Ah, lengket! “Sejak kapan rambut Asep kayak gini?” tanyaku saat mencium aroma kuat hair wax dari tanganku.“Aa nggak tahu, ya, kan Asep mau jadi rocker!”“Rocker?” ulangku sambil tertawa miris. “Loh, kenapa? Aa ng
Kini semuanya seakan terlambat. Elis sudah menganggapku telah ‘terikat’ dengan gadis lain. Penyesalan ini membuatku menghindar ketika Elis menatapku dengan sorot mata menyimpan sesuatu : entah amarah, kesal, atau kecewa. “Elis ... Elis akan kasih keputusan itu sekarang, Abi,” kata Elis tiba-tiba sambil berdiri dan menunduk di hadapan ayahnya. “Insya Allah, Elis pun siap jadi istri Kang Hafiz.” Berbanding terbalik denganku, kudengar Abi mengembuskan napas lega seraya berucap, “Alhamdulillaah!”Aku bingung, tak tahu harus berbuat atau berbicara apa. Pura-pura senang? Atau pura-pura sedih? Atau gabungan dari keduanya?“Nah, Bram, Elis sudah bilang setuju. Artinya, nggak lama lagi setelah Elis lulus S1, mudah-mudahan Abi bisa segera menggendong cucu.” Ungkap Abi sambil ters
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu