Sudah hampir azan Subuh, ketika tiba-tiba saja aku terbangun.
Ah, sungguh pagi buta yang terasa aneh dan tak biasanya. Begitu hening. Sepi. Mencekam.
Kuusap kedua mata, lalu bangkit untuk mengambil air wudhu. Begitu selesai dan berdiri di depan cermin kamar mandi, tiba-tiba aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang.
“Astaghfirullaah! Fajrin?” gumamku akhirnya. “Ke mana dia?"
Barulah kusadari bahwa Fajrin tak kutemukan di rumah. Ah, paling-paling dia sudah berangkat duluan ke mushola, walaupun tak biasa-biasanya dia tidak mengajakku bareng. Kuputuskan sholat Subuh di rumah karena azan sudah berkumandang beberapa menit lalu. Usai dua rokaat dan salam, tiba-tiba sudut mataku menangkap selembar amplop surat di atas meja belajar kami.
"Sob ..., sorry, ya. Ane
Di kamar indekosku bersama almarhum Fajrin, kembali aku tergugu. Kuamati semua barang-barang milik Fajrin di kamar kami. Aku masih tak percaya kalau saat ini Fajrin telah tiada. Laki-laki sholeh, yang banyak mengajarkan kebaikan padaku. Dia pergi, hilang, dan tak akan pernah kembali.Kuraih secarik kertas berisi pesan terakhir yang Fajrin tuliskan untukku dini hari tadi. Seakan terbaca lelah dan sakitmu lewat goresan tangan yang sangat terburu-buru ini. Aku tahu, Sobat, ragamu mungkin tak sekuat dulu. Setelah malam itu kita menggigil bersama dalam hujan, kau hanya sempat tertidur beberapa saat karena kembali bangun untuk menemaniku mengurus murid-muridku di Bintaro. Setelah itu kau pun tak lagi bisa lelap tidur, karena kabar tentang ibumu membawa engkau pada takdirmu.Kenapa tak ajak aku, Sob. Kenapa kau tak bawaku serta. Setidaknya, salah satu dari kita bisa menjadi saksi kepergian sahabatnya. Kuusap
Aku mendongakkan wajah. Seketika, kulihat hujan sudah reda. Aku bangkit dan melangkah lesu meninggalkan kursi tunggu di depan loket. Kuputuskan untuk pulang kembali ke rumah.Belum jauh kaki beranjak, salah seorang yang duduk di deretan kursi tunggu—aku baru saja berjalan melewatinya—tiba-tiba berseru.“Mas! Mas!”Tak terlalu yakin, tapi kurasa panggilan tadi tertuju padaku.“Ya?” Aku berhenti berjalan, menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita paruh baya yang menggendong anaknya berjalan pelan ke arahku.“Tadi saya dengar obrolan Mas sama penjaga karcis,” kata wanita itu, “apa Mas masih pengen berangkat ke Tegal?”“Iya, Bu. Sebenarnya saya harus berangkat malam ini juga.”“Maaf, bukannya Mas masih bisa naik kereta api? Kalau Mas mau, masih ada keberangkatan kereta Tegal Arum yang dari stasiun Senen. Jam segini kayaknya masih keburu, kok,”
Belum lagi kaki yang lelah ini menginjak halaman rumah Fajrin, seseorang menyongsongku di depan pagar. Dialah ayah Fajrin, laki-laki tua yang sejak pertamakali kami bertemu sudah memperlakukanku tak ada bedanya dengan anaknya sendiri. “Bram? Kamu pulang, Nak?” “Iya, Pak. Ini Bram,” air mataku menetes saat mencium tangan beliau.Kusambut pelukan beliau. Laki-laki itu memelukku sangat erat, dan mulai sesenggukan di bahuku karena tak sanggup menahan haru. Orang-orang yang melihat kami mungkin mengira bahwa ini seperti pertemuan antara ayah dengan anak kandungnya yang lama terpisah.“Fajrin sudah pergi, Bram,” kata Bapak, matanya yang meredup kini benar-benar basah oleh air mata yang tak terbendung lagi, “kamu nggak punya teman lagi sekarang,"Aku mengangguk-angguk, menahan diri
Hari telah melarut ke arah petang. Kerabat dan keluarga Fajrin masih terus berdatangan ke rumah ini, baik yang dari jauh maupun yang dekat. Suasana rumah masih terasa berduka, apalagi setiap kutatap wajah tua ayah Fajrin. Beliau beruntung karena Sulis selalu menemaninya sekalipun tak banyak bicara, melainkan tak henti membaca Al Qur'an di sudut ruang tengah. Aku teringat janji Bapak pagi tadi, bahwa petang ini kami akan mengunjungi ibu Fajrin di rumah sakit. Bapak, Sulis dan keluarga besarnya memang menjaga Ibu secara bergiliran. Hingga saat ini, beliau masih koma. Aku hanya bisa berdoa semoga beliau bisa sadar dan sembuh kembali.Selesai sholat Maghrib, aku duduk di sebelah Bapak dan mulai membuka Al-qur'an. Ingin kusampaikan doa untuk kesekiankali bagi Fajrin. Kubaca dengan tartil surah Ar Rohmaan, salah satu surah yang sering kami baca bersama di rumah, sementara di pelupuk mata dan pikiranku kadang masih
Kereta api jurusan Jakarta melaju cepat. Pemandangan kota Tegal makin mengecil, makin jauh dari penglihatanku. Meninggalkan Fajrin dan kenangan yang pernah kami toreh bersama di sana.Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Surat terakhir dari Fajrin yang dia tulis untuk orang tuanya. Ayah Fajrin mengatakan bahwa ada keinginan terakhir Fajrin dalam suratnya itu. Tapi apa hubungannya denganku, sehingga Bapak malah menyuruhku membaca surat dari Fajrin yang ditujukan pada orang tuanya ini?Mengapa aku harus menunggu sampai tiba di indekos untuk membacanya? Karena begitu penasaran, kuambil surat itu dari dalam tas. Kubuka lipatannya, dan kubaca dengan hati-hati. “Assalaamualaikum warohmatullaahi wabarokatuh. Bapak dan Ibu yang Fajrin sayangi, alhamdulillaah Fajrin di sini sehat-sehat saja, t
Sudah hampir petang saat kereta api yang kutumpangi tiba di Stasiun Senen. Dari sana kucari bus jurusan Lebak Bulus, kendaraan umum pertama sebelum dilanjutkan dengan menumpang kendaraan angkutan kota tujuan Ciputat.Sampailah aku di tujuan. Perasaan nelangsa kembali menyergapku, ketika terbayang kenangan bersama Fajrin dan sekaligus barang-barang yang ditinggalkannya. Aku menggeleng resah, berjalan lunglai melewati teras depan rumah Elis, menuju rumah indekos yang kutempati bersama Fajrin selama ini.Langkahku melambat saat kulihat di depan rumah Elis terparkir sebuah sedan mewah bercat hitam. Dan langkahku terhenti sesaat ketika seorang pria keluar dari rumah Elis, diikuti oleh Elis dan ibunya yang berjalan mengiringinya. Elis tampak tersenyum malu ketika bersalaman tanpa saling bersentuh tangan dengan laki-laki itu.Siapa dia? Tubuhnya tinggi, putih, berperawakan sedang dan berambut cepak. Sekilas kulihat wajahnya tampan. Tak lama kemudian pemuda itu mencium
Entahlah, bagiku hanya Elis seorang tempat yang pantas untukku bermanja saat sedih seperti ini. Hanya Elis yang banyak menemani hariku dengan harapan. Tak heran seandainya di saat seperti ini kutumpahkan apa yang kurasakan hanya pada Elis. "Aa nggak punya sahabat sebaik dia lagi, Lis,” "A Bram nggak boleh bicara begitu,” sanggah gadis itu, lembut, sembari berusaha menahan tangisnya, “kan masih ada Elis, A,”Mendengar itu, aku juga berusaha menghentikan tangisanku. "Ya udah, kalau gitu Elis pulang, ya, A. Kelamaan di sini, bisa-bisa banjir ini kosan.” Kata Elis akhirnya, ketika melihatku sudah lebih tenang. "Makasih sekali lagi kirimannya, Lis,"
Usahaku mengikuti pelajaran dari Rhonda Byrne rupanya tak berhasil, karena yang kudapat hari ini malah wajah-wajah aneh murid-muridku lagi. Seperti menyimpan masalah denganku. Mengesalkan sekali sebenarnya, padahal beberapa menit lalu mereka mengirim pesan ke ponselku agar gurunya ini cepat-cepat datang ke kelas dan mengajar seperti biasanya. "Apa kabar semua?" sapaku dengan ragu.Benar saja, tak ada jawaban. Mereka lalu menyibukkan diri tanpa memedulikanku. Sebagian ada yang mengobrol, mencorat-coret bukunya dan banyak tingkah aneh lainnya yang menganggap saat ini aku sedang tidak ada di kelas.“Semuanya, apa kabar hari ini?" sapaku lagi.Lagi-lagi tak ada jawaban.Ah, kenapa ini? Aku duduk di meja guru, terdiam, tak mau mengambil tindakan apa pun. Sebenarnya aku bingung, tapi memilih diam saja dan mencoba untuk sejenak tak peduli dengan sikap aneh murid-muridku hari ini. Juga ket
Mataku mulai sembab oleh air mata begitu selesai mengirim Al Fatihah dan membaca doa untuknya. Kubersihkan kuburannya. Kulihat Asep masih merapalkan doa untuk kakaknya tercinta. Kulihat wajahnya biasa saja. Tak ada kesedihan yang seperti kurasakan. Mungkin kesedihannya sudah dikeluarkannya semua. Mendadak Asep menoleh padaku.“Aa, Teteh lagi ngapain, ya, di sana?" tanya Asep, polos.Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Aku pun tersenyum padanya."Hmm, insya Allah, Teteh ada di surga.” Jawabku sambil mengacak perlahan rambut Asep.Asep lalu berpikir lagi dan kembali menatapku dengan penasaran.“Katanya, di surga itu mau apa aja disediain, ya, A?"“Benar. Itulah janji Allah bagi orang-orang yang beriman. Makanya, Asep harus selalu rajin sholat, ngaji yang bener, selalu berbuat kebaikan kalau mau berada di sana.”“Tapi kan Asep belum mau mati, A,”Aku tersenyum. “Mungki
Aku tak menjawab. Tanda tangan, kata-kata bijak dan nama Elis memang ada di buku itu. Elis sendiri yang menulisnya. Elis bilang, setiap dia membeli buku, ia akan selalu menuliskan sesuatu di sana. Ah, tapi aku tak ingin menjelaskan banyak hal pada ‘orang baru’ ini. "Oh, maaf, Pak. Mengganggu privasi Pak Bram, ya? Hihihi, oke deh. Tapi nanti-nanti mau cerita, kan?” Salsabila urung mengorek cerita tentang Elis kali ini. “Sorry, nih, saya memang gini orangnya, nggak canggung buat kenalan sama orang-orang baru. Ya udah, Pak. Mumpung jam istirahat, saya nyicil baca buku-bukunya Kak Elis, ya? Terima kasiiih ...!"“Tunggu sebentar!" cegahku, agak gugup. “Salsabila, saya boleh panggil kamu apa?"Gadis itu tersenyum. “Panggil saja El.”El? Kebetulan saja atau ...?“Kamu suka baca fiksi?" &nb
Tak ada yang lebih indah hari ini selain kembali melihat senyuman dan menerima sambutan hangat murid-muridku. Mereka berebut mencium tanganku, mengelu-elukan namaku, seolah ratusan tahun kami tak bertemu. Aku hanya tersenyum tanpa terlalu melayani sapaan akrab mereka. Tugas mengajarku sudah menanti. Toh tak lama lagi kami akan kembali bersama di kelas.Tampak olehku, seseorang bertubuh gagah berdiri di depan pintu ruangannya. Dialah Pak Tris, yang tersenyum puas melihat kedatanganku.Tinggal beberapa langkah sebelum masuk ke ruang guru, bel tanda sekolah dimulai berbunyi nyaring. Kuyakinkan diri untuk melangkah tegap ke ruangan kelas XI IPA. Dari kejauhan, sudah tampak murid-muridku bersorak girang melihat kehadiranku."Hey! Kalian! Nggak dengar suara bel barusan? Masuk kelas! Cepat!”Aku hanya tersenyum mendengar suara nyaring tak jauh dariku, dan terus melangkah agak bergegas ke ruang XI IPA. Kuraih handle pintu kelas dan menuju meja guru
Rinai bergemercik mendendangkan tahmidSeperti dedaunan bergerak-gerak melantunkan takbirLembayung memesonakan indra, mengucap kidung kesyukuranMata ini sembab, sesembab tebing-tebing disinggahi embunAda lantunan dzikir di setiap hela embusan nafasBerucap tiada henti karena kehilanganKudayungkan asa di senja-Mu yang megahBilakah Engkau titipkan tulang rusuk yang Engkau kasihi?Seperti Engkau mengasihi seisi alam di senja iniMengasihi sepasang merpati mengalunkan kepakan menuju bias cahayaApakah ujian-Mu ini masih panjang?Apakah masih banyak kehilangan yang Engkau takdirkan untukku?Apakah masih banyak senja yang mesti kulalui dengan lantunan-lantunan panjatku pada-Mu?Duhai,Aku tak bisa melupakannya
Perlahan aku membuka mata. Kulihat abi dan umi Elis duduk di kedua sisiku. Kuedarkan pandangan, dan kusadari segera bahwa aku didudukkan di sofa ruang tamu rumah indekosku. "Bram, sadar, Nak. Istighfar," Umi menepuk-nepuk pipiku pelan. "Elis ke mana, Umi?" ini kalimat pertama yang terucap dengan lemah dari bibirku. “Tadi bukannya dia ada di sini bersama Abi dan Umi?"“Bram, sudahlah,” tegur Abi.“Elis ada di rumah, Abi? Bram mau ketemu Elis dulu, Abi. Bram pengen main gitar dan nyanyi untuknya, Umi. Elis minta Bram nyanyi lagi,"Mendengarku bicara, Umi seakan tak mampu lagi untuk berkata-kata. Kulihat sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Namun tak urung, Umi terlihat tak tega membiarkanku dan kembali menghibur, mengusap-usap bahuku, “Iya, iya, Bram. Elis ada di sini. Elis akan selalu tinggal di
"Apakah Elis sekarang lihat, bahwa Allah nggak adil sama Aa? Setelah Fajrin pergi ninggalin Aa, kenapa Elis juga pergi? Elis belum dengar kata hati Aa ... Aa sayang Elis! Elis nggak pernah tahu kegundahan Aa, bahwa Aa selalu mikirin Elis! Elis nggak tak tahu bahwa sejak pertamakali kita bertemu, Aa tak pernah bisa mengerti perasaan Aa ke Elis. Aa cuma tahu bahwa Aa hanya ingin selalu ketemu Elis. Selalu ingin melihat Elis," ratapku sambil jatuh duduk di lantai kamar yang lembab.Saat itulah, kudengar seseorang mengetuk pintu depan keras-keras dan memanggil-manggilku. Serta-merta aku berhenti meratap. Suara Umi, bisik batinku. Kuusap wajahku yang basah oleh air mata, keluar dari kamar dan menuju pintu yang masih diketuk-ketuk dari luar.“Bram! Buka pintu! Ini Umi!”“Ya, tunggu sebentar, Umi,” sahutku sambil memutar kunci pintu depan. Seketika, pandangan mataku membentur sesuatu yang terselip di bawah kakiku. Selembar amplop putih yang dili
“Elis ... Elis sudah pergi ...”“Pergi? Maksudnya? Elis pergi ke mana?"Bukannya menjawab pertanyaanku, Umi malah jatuh pingsan, tak sanggup menahan-nahan tangis yang terlihat menyesak hingga ke ulu hatinya. Suasana mendadak panik. Beberapa wanita memapah tubuh umi Elis dan merebahkannya di atas sofa di sudut ruangan.Sepertinya, hal buruk benar-benar terjadi pada Elis.Kulihat wajah-wajah sendu di ruangan ini. Beberapa tak kukenal, tetapi aku yakin sekali bahwa mereka adalah keluarga besar Elis. Ke mana abi Elis? Kenapa Asep? Di mana Elis?“Bram, kamu sudah pulang?”Aku menoleh mendengar sapaan itu. “Abi!”Kubalikkan badan cepat-cepat, dan kutemukan wajah lelah abi Elis di pintu. Saat aku membungkuk untuk mencium tangannya, tiba-tiba Abi meraih bahuku dan memelukku erat-erat.“Syukurlah kamu sudah pulih. Maafkan kami! Kami sengaja tak memberitahumu. Kami sengaja menunggu Bram sem
Aku membukanya. “Pak Bram yang Nayya hormati, Nayya mau ngucapin terima kasih sama Pak Bram, atas semuanya yang udah pernah Pak Bram berikan selama ini. Nayya minta maaf, Nayya nggak bisa lagi belajar bersama Bapak di kelas. Nayya harus keluar dari sekolah karena kesalahan Nayya sendiri. Selama Mamah pergi, Nayya melakukan kesalahan besar dalam hidup Nayya, Pak. Apa yang sering dibilang Sylla bahwa Nayya adalah simpanan om-om itu benar, Pak. Nayya menyesal setelah Nayya akhirnya hamil, Pak. Mau b
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu