“Si Endra itu profesinya apa?”“Bentar, bentar. “ Daffa mengangkat tangannya seolah menahan Darren untuk jangan dulu bertanya. “Lo kenapa nanyain Gina, A? Kenal sama Gina?”Pertanyaan itu hanya ditanggapi dengan kibasan tangan. “Udah lah, jawab aja dulu.”Lagi pula ini tidak masuk ke ranah pribadi, jadi Daffa rasa tidak ada salahnya untuk menjawab.“Si Endra itu arsitek dan konsultan proyek, punya perusahaan konstruksi yang sebetulnya belum besar-besar banget, sih. Tapi lumayan udah banyak proyeknya. Namanya lebih terkenal sebagai arsitek, sempat jadi konsultan proyek perorangan tapi karena nggak mau ribet sendiri akhirnya dia bikin perusahaan. Cukup?”“Belum.”“Ya kerjanya dia begitu doang. Masa iya gue kudu ngarang yang lain?”Darren menjadi sedikit insecure. Dia hanya lulusan bisnis yang punya satu perusahaan pusat dan tiga perusahaan cabang yang bergerak di bidang furniture. Ia juga punya beberapa ruko serta kos-kosan yang sudah penuh, alias semuanya dalam keadaan disewakan. Hampi
“Kok ada di halaman belakang, Bi?” Endra melirik sepatu hitam yang sangat tak asing baginya; sepatu pemberian Safira yang hilang. “Ini sepertinya jatuh waktu dijemur di atas. Untungnya masih musim kemarau, jadi sepatunya nggak kena hujan.” “Oh, iya. Tolong simpan aja di tempat biasa. Terima kasih, ya, Bi.” “Sama-sama, Pak. Silakan dinikmati sarapannya.” Ketika Bi Asih kembali ke dapur, diam-diam Endra melirik pintu kamar Gina yang selalu tertutup rapat. Istrinya itu kini tak lagi suka menungguinya di meja makan seperti dulu. Bahkan ia pernah memergoki Gina yang tengah melamun di depan meja makan setelah menyiapkan sarapan, tapi tak lama, wanita itu kembali masuk ke kamarnya. Sebetulnya Endra tidak ingin ambil pusing tentang itu. Tapi perasaan bersalah sedikit muncul, jadi ia selalu memakan sarapan yang disiapkan Gina meski wanita itu tak pernah lagi menunggunya dengan antusias seperti dulu. Di tengah kegiatan mengisis perutnya,
Irma menggeram marah ketika ponsel Endra sama sekali tidak bisa dihubungi. Kini mereka sudah berada dalam perjalanan menuju rumah sakit, dengan kondisi Gina yang luar biasa memprihatinkan.Ketika ditemukan tadi, Gina sudah dalam posisi tergeletak lemas di lantai dekat tempat tidurnya; ketubannya pecah dengan sedikit rembesan darah yang ikut menggenang di sana. Kesadarannya masih ada, namun menantunya itu sama sekali tidak memberikan respon apapun selain kedipan mata lemah.“Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai. Sabar, ya. Tahan. Kamu kuat, Mama tahu kamu kuat.”Gina yang berada di dekapan Irma hanya bisa menatap sang ibu mertua dengan sayu. Tubuhnya sangat sulit untuk digerakan. Ia bahkan tak bisa merasakan keberadaan anggota tubuhnya sama sekali.Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di depan IGD. Irma panik bukan main ketika melihat kelopak mata Gina mulai sesekali memejam, kesadarannya menurun dan seperti akan hilang dalam bebe
Masih dengan penampilan acak-acakan, Endra mendatangi rumah sakit yang Irma maksud dan segera bertanya pada resepsionis sesuai petunjuk sang ibu. Namun hatinya terasa diremat sakit saat mendengar bahwa orang yang dicarinya sedang dalam tindakan operasi.Endra kembali berlari menuju ruang operasi yang dimaksud. Dan benar saja, ibu, ayah dan ART-nya berada di sana; duduk di kursi tunggu tepat di depan ruang operasi.“Ma? Pa?” panggilnya.Alih-alih mendapat penjelasan, kedua orang yang dipanggilnya sama sekali tidak memberikan respon apapun. Bahkan sang mama hanya diam sembari memejamkan matanya di pelukan sang papa.Hanya Bi Asih yang menatapnya dengan ragu-ragu.“Bi, apa yang sebenarnya terjadi, Bi?”“A-anu, i-itu…” Bi Asih melirik Irma dan Ardi yang masih diam, jadi ia melanjutkan ucapannya, “tadi pagi non Gina ditemukan sudah lemas di kamarnya, air ketubannya pecah dan ada sedikit pendarahan. Dokter bilang, kemungkinan non Gina jatuh dari semalam, karena air ketubannya sudah pecah te
“Ma…” Endra memanggil sang ibu yang masih betah duduk di samping hospital bed yang Gina tempati sejak setengah jam yang lalu. Sementara sang ayah tengah pergi membeli sarapan untuk istrinya. Tidak ada jawaban dari Irma. Maka dari itu, tanpa pikir panjang Endra langsung berlutut dan menundukkan wajahnya yang sudah memerah menahan tangis sedari tadi. Irma jelas terkejut. Seumur-umur baru kali ini anaknya bersikap merendah hingga berlutut seperti sekarang. “Maaf…” ucap Endra. Bahkan kini ia tak kuasa menahan tangisnya. “Maafkan Endra, Ma. Maaf, karena Endra ceroboh dan nggak dengarkan nasehat Mama dan Papa. Endra lakukan kesalahan fatal yang buat istri dan anak Endra dalam bahaya. Endra belum bisa jadi anak dan suami yang baik buat Mama dan Gina. Ha-harusnya… Harusnya Endra nggak ngelakuin ini semua. Maafkan Endra, Ma, maaf…” Hati ibu mana yang tidak luluh dengan pemandangan seperti itu. Jelas Irma adalah salah satunya. Jadi dengan berurai air mata, ia membantu Endra untuk berdiri dan
Endra hampir terlonjak dari tempat duduknya ketika mendengar panggilan lirih itu. Terlalu larut dalam lamunan membuat Endra luput akan kesadaran sang istri. “Gi-gina?” “Air…” lirihnya lagi. Lekas-lekas Endra menekan tombol di atas kepala ranjang sebelum membantu sang istri untuk minum melalui botol yang telah diberi sedotan. Irma sudah menyiapkan semuanya, omong-omong. Setelah selesai minum, Gina kembali ke posisinya tadi dan memejamkan matanya untuk beberapa saat. Efek bius masih melekat padanya, alhasil kepalanya sedikit pusing dan ia merasa bahwa tubuhnya tengah melayang-layang di udara. “Ada lagi yang kamu butuhin?” Gina hanya menggeleng lemah. Tak lama kemudian dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Gina yang masih seperti orang linglung. Setelah selesai, dokter itu mengernyit melihat Endra yang terlihat pucat. Jadi ia berkata, “Pak, sebaiknya Anda istirahat. Jangan terlalu khawatir, sekarang keadaan Bu Gina sudah be
Irma sungguh tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi pada anak dan menantunya pagi ini? Ketika ia datang, keduanya hanya saling berdiam diri, terlihat canggung dan sedikit kikuk.Jadi setelah bertanya pada Gina tentang bagaimana keadaannya, dan memastikan semuanya baik, Irma mulai menelisik gerak-gerik kedua anak itu.“Kenapa? Kalian bertengkar?” tanya Irma to the point.Pertanyaan itu langsung dijawab gelengan oleh keduanya.“Jangan bohong. Pasti kalian bertengkar soal malam itu, kan?” tanyanya lagi. “Endra, Gina marah, kan, sama kamu gara-gara malam itu? Sudah Mama bilang kamu itu keterlaluan, seharusnya kamu –“Usapan tangan sang suami pada punggungnya membuat kalimat Irma terhenti seketika. Ia menoleh pada Ardi yang duduk di sampingnya. Suaminya itu memberi kode padanya untuk tak melanjutkan ucapannya yang terkesan mencampuri urusan rumah tangga sang anak. Beruntung Irma adalah tipe yang penurut.“Maaf, Mama nggak bermaksud mencampuri urusan rumah tangga kalian. Mama hanya kha
Gina menatap Endra yang tengah berdiri membelakanginya sembari berbicara melalui telepon di dekat jendela ruangan yang mereka tempati. Suaminya itu tiba-tiba mendapat telepon sesaat sebelum pembicaraan mereka dimulai.Sebetulnya Gina paham apa yang akan Endra bicarakan. Ia hanya belum sanggup untuk kembali menampung semua beban hidupnya di saat-saat yang tak memungkinkan seperti ini. Bahkan segala bentuk perhatian dan perubahan sikap yang Endra tunjukkan padanya sama sekali tak sampai ke dalam hatinya. Ia tahu Endra hanya merasa bersalah, bukan menyesal apalagi merasa khawatir layaknya suami lain ketika istrinya yang tengah hamil berada dalam situasi berbahaya.Gina tahu. Tapi, biarkan ia untuk menikmati perhatian Endra yang masih palsu ini.“Maaf, barusan ada telepon dari kantor.”Anggukan Gina berikan sembari tersenyum tipis. “Diselesaikan saja dulu, Mas.”“Sudah selesai,” jawab Endra. “Bisa kita mulai bicara?”Gina tak memberikan jawaban, sekadar menggeleng atau mengangguk pun tak
Siapapun itu, tolong tenggelamkan Gina sekarang juga.Subuh ini, ia baru keluar dari kamar mandi dekat dapur dengan handuk yang melingkar menutupi rambutnya yang basah. Kamar tidurnya tak memiliki kamar mandi dalam seperti kamar di lantai atas, jadi mau tidak mau ia harus menggunakan kamar mandi dekat dapur.Dan tanpa diduga, saat ia keluar dari sana Irma sudah berdiri di dapur dengan segelas air di tangannya. Beberapa detik mereka lalui dengan keheningan, sebelum Irma menyadari sesuatu dan ia tersenyum menggoda ke arah sang menantu.“Duh, si Endra itu kebangetan, ya. Padahal Mama sama Papa lagi nginep di sini.”Wajah Gina memerah karena malu. Ia berniat berpamitan pada Irma untuk segera kembali ke kamar, namun ucapan Irma belum berhenti. “Baru jam 3 loh, Gin. Padahal nanti aja jam 4 biar bisa langsung sholat subuh.”Gina gelagapan, ia sangat malu.“M-mama kenapa udah bangun?” tanyanya untuk mengalihkan pe
“Ndra, gue nggak maksud gitu, gue juga nggak tahu kalau Darren bakal –““Iya, memang semuanya salah gue kok, Daf. Lo nggak salah karena yang lo bilang itu memang faktanya.”“Ndra –““Mungkin si Darren nya aja yang terlalu sayang sama Gina sampai dia begitu. Gue nggak nyalahin lo. ini memang salah gue.”Kali ini Daffa diam dan tidak berusaha menyela. Ia merasa sangat bersalah atas kenyataan yang terjadi saat ini. Ia tidak menyangka bahwa Darren akan sejauh itu. Yang ia pikir Darren hanya akan sedikit menggertak Endra untuk memberikan sahabatnya itu pelajaran.“Lagipula ini juga jadi tantangan buat gue. Proyek itu nilainya nggak main-main. Dan kapan lagi ya kan gue dapat kesempatan buat dapatin tender itu?”Kopi hitam pekat itu Endra seruput dengan nikmat. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut café untuk menghindari sorotan kecewa di matanya. Bagaimanapun hu
“Secepat itu?” “Iya, secepat itu.” Endra merinding mendengarnya. Sebenarnya apa yang Gina lihat darinya sampai wanita itu merasa demikian? “Perkembangan kasusnya Andika gimana, Mas?” Mungkin Gina malu untuk terus mengungkit masa lalunya ketika mengenal Endra, jadi ia mengalihkan topik pembicaraannya. “Aku belum tahu. Itu udah bukan ranahku lagi.” Kelegaan seketika menghinggapi hati Gina. Jawaban sang suami secara tidak langsung mengatakan bahwa Endra sudah tidak ikut campur lagi dalam masalah Safira yang masih berupaya untuk membebaskan tunangannya. Keheningan melanda mereka sampai tiba-tiba suara tangis Raka terdengar dan membuat keduanya langsung terburu-buru berlari ke kamar Gina. “Kenapa? Digigit nyamuk?” tanya Endra saat Gina menggendong tubuh mungil itu. “Kan udah pakai kelambu, Mas,” jawab Gina aneh. “Kayaknya cuma haus. Popoknya masih kering.” Tanpa ragu Gina mengeluarkan payudaranya untuk menyus
Jarum pendek menunjukkan pukul 10 malam ketika Endra baru menapakkan kakinya di ruang tengah. Ia sudah akan beranjak menaiki tangga, namun pemandangan sang istri yang tengah tidur dengan posisi duduk bersandar pada sandaran sofa cukup menyita perhatiannya. Kebiasaan Gina timbul lagi. Wanita itu kembali menunggunya di ruang tengah ketika ia terlambat pulang. Namun kali ini ada yang berbeda dengan apa yang Endra rasakan. Terbesit rasa iba dan tak nyaman ketika ia harus membiarkan tubuh itu untuk tertidur di sana sampai pagi seperti yang biasa ia lakukan. Jadi dengan ragu, Endra menghampiri sang istri, menyimpan tas kerjanya di sofa yang lain dan berjongkok untuk sekadar menatap wajah manis yang tengah terpejam anggun. “Kalau aja hubungan kita dimulai dengan cara yang baik, mungkin nggak akan seperti ini jadinya,” gumamnya dalam hati. Baru saja Endra akan mengangkat tubuh itu, tiba-tiba mata itu terbuka dengan pelan dan mengerjap beberapa saat. Beruntung Endra hanya baru menyentuh ka
“Gina Kairen yang dulunya anak manajemen bisnis?”“Iya, dia seangkatan sama lo.”“Bentar, bentar…” Wanita berkacamata bulat itu mengisyaratkan ia tengah berpikir. “Gina yang mantannya si Haris, kan?”“Haris siapa?”“Eh, bukan, itu cuma gosip. Yang betul itu mantannya si Renan, ya?’“Astaga, siapa lagi si Renan?”“Eh, mantan gebetan maksudnya.” Ia diam lagi. “Gina ini yang pernah pacaran sama Kak Darren, kan?”Endra menghela napas. Sepertinya kisah percintaan sang istri di masa lalu cukup menyita perhatian publik. Ia sendiri kuliah di tempat yang berbeda, jadi wajar saja ia tidak tahu bagaimana Gina saat kuliah dulu.“Iya, yang itu.”“Dulu gue nggak terlalu aktif di kampus, sih, beda sama dia yang cenderung aktif dan gampang akrab sama orang,” ujarnya sambil mengingat masa-masa kuliahn
Malam ini Gina tengah termenung di kamarnya. Di sampingnya Raka sudah tertidur setelah minum susu formula yang syukurnya diterima baik oleh sang anak.Pembicaraannya tadi bersama Endra berujung buntu. Sebab ketika ia bertanya bagaimana bisa Daffa tahu tentang ketidakharmonisan rumah tangganya, Endra hanya diam dengan raut wajah sedikit mengeras. Dan mereka tak terlibat pembicaraan apa-apa lagi perihal itu. Endra sendiri hanya beberapa kali bertanya tentang Raka, setelah itu mereka akan kembali diam.Tiba-tiba Gina merasa haus. Jadi setelah memindahkan Raka ke tempat tidurnya dan memastikan sang anak benar-benar tertidur, ia langsung beranjak ke dapur untuk mengambil minum.Tanpa disangka, ternyata Endra ada di sana; tengah duduk seorang diri di kursi meja makan dengan segelas air yang seolah sedang ia tatapi. Di balik itu, Gina jelas tahu Endra tengah melamun. Ia sendiri tidak ingin mengganggu, jadi setelah mengambil air ia berniat untuk langsung kembali ke kama
“Merk nya yang ini, ya?” tanya Endra sembari menunjukkan sekotak susu formula pada Gina. Gina mengambil alih kotak tersebut dan melihat-lihat tulisannya dengan detail. “Iya, yang ini.” Saat ini mereka tengah berada di supermarket. Setelah dari dokter dan mengantongi informasi mengenai susu formula yang dianjurkan sesuai dengan kondisi Raka, mereka langsung tancap gas menuju supermarket terdekat. Jangan tanyakan perasaan Gina saat ini. Jelas ia sangat bahagia karena ini adalah kali pertama mereka pergi belanja bersama. “Beli satu kotak dulu, Mas. Takutnya nggak cocok dan mubazir.” Endra memasukkan susu itu ke dalam troli dan mendorongnya sembari melihat beberapa produk yang dipajang di sana. Gina sendiri mendorong stroller Raka di depan Endra. “Gin?” Endra tiba-tiba berhenti. “Iya?” “Kamu nggak minum susu ini?” Itu susu khusus ibu menyusui. Sebenarnya Gina sempat ingin, tapi ia hampir tak punya waktu dan selalu lupa untuk membelinya. “Nggak,” jawabanya. “Kenapa?” “Aku belum
Dan di sinilah mereka sekarang; berbaring di masing-masing sisian tempat tidur dengan Raka yang berada di tengah-tengah. Gina sudah tidur beberapa saat lalu dengan Raka yang sudah pulas setelah menyusu. Sementara Endra masih belum tidur, bahkan kantuknya malah hilang entah kemana. Ia hanya diam, sembari memandangi wajah Gina yang kentara oleh rasa lelah; kantung mata menghitam, jerawat yang masih memerah di atas dahi, dan bibir pucat yang belum berubah semenjak ia memberi obat. Dan Endra merasa bodoh karena tak pernah memahami hal itu lebih awal. *** Pagi hari tiba tanpa terasa. Gina terbangun dari tidurnya karena alarm yang ia pasang setiap hari. Namun di antara pagi lain yang telah ia lalui, pagi ini adalah pagi terindah yang pernah ia rasakan. Bagaimana tidak jika pemandangan anak dan suaminya yang masih tertidur pulas menjadi hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata. Bahkan gaya tidur keduanya pun sama; dengan tangan kiri ke atas dan kaki kir
Apa katanya? Yang kerjaannya hanya tinggal minum susu? Air mata Gina keluar begitu saja setelah beberapa detik kalimat Endra selesai terucap. Entahlah, ia hanya merasa lelah baik luar maupun dalam. Perasaannya sedang sangat sensitif, membuatnya menjadi mudah menangis hanya karena hal-hal kecil. Terlebih ucapan Endra barusan sangat tepat menusuk jantungnya, membuatnya berdenyut sakit dan seolah tengah berdarah-darah di dalam sana. Lelah, sangat lelah. Bahkan Gina hanya mampu terisak untuk beberapa saat ke depan, mengabaikan Endra yang malah menatapnya dengan malas. Alih-alih bertanya atau menenangkan, Endra malah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Gina yang masih tergugu dalam tangisnya di sela rasa pusing yang masih sangat ia rasakan. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi ketika Endra tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya. Ia haus dan merasa kesal karena lupa untuk mengisi air yang biasa ia letakan di atas nakas. Akhirnya ia memutuskan untuk men