Gina menatap Endra yang tengah berdiri membelakanginya sembari berbicara melalui telepon di dekat jendela ruangan yang mereka tempati. Suaminya itu tiba-tiba mendapat telepon sesaat sebelum pembicaraan mereka dimulai.Sebetulnya Gina paham apa yang akan Endra bicarakan. Ia hanya belum sanggup untuk kembali menampung semua beban hidupnya di saat-saat yang tak memungkinkan seperti ini. Bahkan segala bentuk perhatian dan perubahan sikap yang Endra tunjukkan padanya sama sekali tak sampai ke dalam hatinya. Ia tahu Endra hanya merasa bersalah, bukan menyesal apalagi merasa khawatir layaknya suami lain ketika istrinya yang tengah hamil berada dalam situasi berbahaya.Gina tahu. Tapi, biarkan ia untuk menikmati perhatian Endra yang masih palsu ini.“Maaf, barusan ada telepon dari kantor.”Anggukan Gina berikan sembari tersenyum tipis. “Diselesaikan saja dulu, Mas.”“Sudah selesai,” jawab Endra. “Bisa kita mulai bicara?”Gina tak memberikan jawaban, sekadar menggeleng atau mengangguk pun tak
“M-mas, a-aku –““Nggak apa-apa, santai saja. Maaf juga kalau aku lancang.”Kedua suster tadi sudah pergi beberapa menit lalu. Dan mereka yang tinggal bertiga di dalam ruangan itu, termasuk bayinya, hanya bisa berdehem canggung atas yang tengah terjadi.Sekadar info, kegiatan tadi masih berlangsung. Dan Gina luar biasa gugup dibuatnya.“Kayaknya udah cukup, Mas, ASI-nya udah keluar sedikit.”Endra seolah tersadarkan dari lamunannya, jadi ia sedikit terkejut. “O-oh, iya.”Pompa ASI itu Endra lepaskan dari payudara sang istri. Lantas ia menaruhnya di atas meja sesuai dengan instruksi suster tadi.Benar saja, kini anaknya tidak lagi menolak disusuinya. Bahkan mata anak itu terbuka, tanpa menangis atau merengek. Hanya diam menatap Gina meskipun Gina tahu penglihatan mata anaknya belum berfungsi normal.Mata Gina berkaca-kaca, menatap sang buah hati yang selama ini ia perjuangkan keberadaan dan kesehatannya. Bahkan setelah semua yang dilakukan Endra, setelah semua pesakitannya baik secara
“Nggak apa-apa, kok, Pak. Pengaruh bius dan obat pereda sakitnya sudah hilang, jadi rasa sakitnya sangat terasa. Setelah ini, ibu makan, lalu diminum lagi obatnya, ya, Bu. Nanti akan dibantu oleh suster.”Endra mengucapkan terima kasih pada dokter itu, kemudian kembali duduk di samping ranjang dan menatap Gina sebentar sebelum berinisiatif untuk menyodorkan air mineral pada sang istri.“Minum dulu.”Gina menurut lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap Endra dengan sendu seolah merasa bersalah. “Maaf jadi repotin Mas.”Entah mengapa hati Endra terasa diremas ketika mendengarnya. “Aku nggak merasa direpotin.”Senyuman tipis Gina selalu Endra lihat akhir-akhir ini. Ia jadi penasaran, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan Gina ketika tersenyum dengan cara seperti itu?Tak lama suster datang, memberikan makan malam untuk Gina lengkap dengan obat yang sudah disiapkan.Setelah semua s
Gina masih menunggu hal yang akan Endra lakukan setelahnya. Karena sedari tadi sang suami masih diam, mematung sembari menggenggam sepasang baju yang akan dikenakannya.Akhirnya Gina sadar bahwa ia terlalu lancang mengatakan hal itu. Mungkin saat ini Endra tengah memikirkan sesuatu seperti betapa menjijikannya ia karena meminta hal seperti itu pada lelaki yang tak peduli padanya.“Maaf, Mas, aku lancang, aku –“Ucapannya terhenti ketika Endra tiba-tiba berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya yang masih setengah berbaring di tempat tidur. Gina jelas terkejut, namun rasa haru dan sedih lebih mendominasi ketika dengan jelas ia bisa merasakan kehangatan yang menjalar pada tubuhnya.Maka dari itu ia langsung membalas pelukan sang suami. Pelukan pertama yang mereka lakukan tanpa paksaan keadaan, tanpa sandiwara yang biasa mereka lakukan. Meski Gina terkesan mengemis untuk mendapatkan ini, tapi sejatinya ia telah kehilangan harga dirinya dari semenjak Endra sering memperlakukannya dengan se
“Sudah?” tanya Endra dari luar.“Sudah, Mas.”Endra kembali masuk dan membantu Gina untuk kembali berjalan ke tempat tidur. Tubuh istrinya itu terbilang cukup kecil untuk seseorang yang baru saja melahirkan. Jadi Endra tak merasa kesulitan sedikit pun untuk memapahnya, bahkan untuk menggendongnya pun Endra rasa masih bisa ia lakukan.“Aku mau lanjut kerja, tinggal sedikit lagi. Habis itu aku kupasin buah buat kamu.”“Makasih, Mas.”Senyum manis Gina yang jarang ia lihat kini terpampang jelas di hadapannya. Sangat manis dan cantik. Endra tidak munafik, ia juga lelaki normal yang punya ketertarikan pada keindahan lawan jenis.“Sama-sama.”***Beberapa hari berlalu dan Gina beserta anaknya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Raut kebahagiaan tercetak jelas di wajah keluarganya, apalagi Anna yang tak henti memekik setiap melihat sang keponakan yang sangat lucu.“Adudududuhhh… Ponakannya aunty…”“Udah, dong. Dia takut sama kamu.”Ujaran ketus dari sang kakak tak kalah dibalas ketu
Tepat satu bulan usia Raka sekarang. Selama itu pula sikap Endra menjadi sedikit lebih baik terhadap Gina. Ya, hanya sedikit. Sebab bayang-bayang Safira masih ada di antara mereka. Bahkan baru-baru ini mereka berdebat hanya karena Endra masih kekeh untuk membantu Safira membebaskan Andhika dari penjara.“Mas, sarapan dulu.”Endra tampaknya masih marah. Ia menghiraukan ucapan Gina dan hanya berlalu begitu saja menuju kamar yang Gina tempati untuk menemui anaknya.Tak apa. Sudah Gina duga bahwa sikap Endra memang berubah karena adanya Raka, dan itu pun memang diperuntukkan untuk Raka. Bukan untuknya. Meski memang ia sempat berharap bahwa rumah tangga mereka akan membaik, apalagi ketika mengingat Endra pernah bersikap lembut padanya walau hanya beberapa kali.Jadi ketika Endra keluar dari kamarnya dan berjalan menuju pintu keluar untuk bekerja, ia memilih untuk diam, tak lagi menawari Endra untuk makan bersamanya seperti yang sering mereka lakukan dalam satu bulan belakangan ini. Sikap h
“Maaf, Fir, aku betul-betul mentok dan nggak bisa lagi bantu kamu. Aku cuma bisa kenalkan pengacara buat bantu Andika, selain dari itu aku nggak bisa apa-apa lagi.” “Nggak apa-apa, Ndra, aku paham. Maaf banget ya selama ini aku repotin kamu terus.” Endra menggeleng, menyangkal yang diucapkan sang mantan kekasih. “Nggak sama sekali. Santai aja.” Saat ini mereka tengah berada di sebuah restoran dekat kantor Endra. Mereka menyempatkan diri untuk bertemu sebentar di jam makan siang. “Aku nggak bisa lama-lama, Fir. Habis ini ada meeting sama karyawan.” Lantas setelah berpamitan, Endra segera beranjak dari sana, meninggalkan Safira yang kembali memakan makanannya sembari memikirkan tentang Andika. Tanpa tahu bahwa sedari tadi diam-diam seseorang berusaha mengambil foto dan video mereka. *** Seperti yang sudah direncanakan, foto dan video Safira dan Endra yang tengah makan siang bersama tadi sudah masuk ke ponsel Gina
Apa katanya? Yang kerjaannya hanya tinggal minum susu? Air mata Gina keluar begitu saja setelah beberapa detik kalimat Endra selesai terucap. Entahlah, ia hanya merasa lelah baik luar maupun dalam. Perasaannya sedang sangat sensitif, membuatnya menjadi mudah menangis hanya karena hal-hal kecil. Terlebih ucapan Endra barusan sangat tepat menusuk jantungnya, membuatnya berdenyut sakit dan seolah tengah berdarah-darah di dalam sana. Lelah, sangat lelah. Bahkan Gina hanya mampu terisak untuk beberapa saat ke depan, mengabaikan Endra yang malah menatapnya dengan malas. Alih-alih bertanya atau menenangkan, Endra malah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Gina yang masih tergugu dalam tangisnya di sela rasa pusing yang masih sangat ia rasakan. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi ketika Endra tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya. Ia haus dan merasa kesal karena lupa untuk mengisi air yang biasa ia letakan di atas nakas. Akhirnya ia memutuskan untuk men
Siapapun itu, tolong tenggelamkan Gina sekarang juga.Subuh ini, ia baru keluar dari kamar mandi dekat dapur dengan handuk yang melingkar menutupi rambutnya yang basah. Kamar tidurnya tak memiliki kamar mandi dalam seperti kamar di lantai atas, jadi mau tidak mau ia harus menggunakan kamar mandi dekat dapur.Dan tanpa diduga, saat ia keluar dari sana Irma sudah berdiri di dapur dengan segelas air di tangannya. Beberapa detik mereka lalui dengan keheningan, sebelum Irma menyadari sesuatu dan ia tersenyum menggoda ke arah sang menantu.“Duh, si Endra itu kebangetan, ya. Padahal Mama sama Papa lagi nginep di sini.”Wajah Gina memerah karena malu. Ia berniat berpamitan pada Irma untuk segera kembali ke kamar, namun ucapan Irma belum berhenti. “Baru jam 3 loh, Gin. Padahal nanti aja jam 4 biar bisa langsung sholat subuh.”Gina gelagapan, ia sangat malu.“M-mama kenapa udah bangun?” tanyanya untuk mengalihkan pe
“Ndra, gue nggak maksud gitu, gue juga nggak tahu kalau Darren bakal –““Iya, memang semuanya salah gue kok, Daf. Lo nggak salah karena yang lo bilang itu memang faktanya.”“Ndra –““Mungkin si Darren nya aja yang terlalu sayang sama Gina sampai dia begitu. Gue nggak nyalahin lo. ini memang salah gue.”Kali ini Daffa diam dan tidak berusaha menyela. Ia merasa sangat bersalah atas kenyataan yang terjadi saat ini. Ia tidak menyangka bahwa Darren akan sejauh itu. Yang ia pikir Darren hanya akan sedikit menggertak Endra untuk memberikan sahabatnya itu pelajaran.“Lagipula ini juga jadi tantangan buat gue. Proyek itu nilainya nggak main-main. Dan kapan lagi ya kan gue dapat kesempatan buat dapatin tender itu?”Kopi hitam pekat itu Endra seruput dengan nikmat. Ia mengedarkan pandangannya pada setiap sudut café untuk menghindari sorotan kecewa di matanya. Bagaimanapun hu
“Secepat itu?” “Iya, secepat itu.” Endra merinding mendengarnya. Sebenarnya apa yang Gina lihat darinya sampai wanita itu merasa demikian? “Perkembangan kasusnya Andika gimana, Mas?” Mungkin Gina malu untuk terus mengungkit masa lalunya ketika mengenal Endra, jadi ia mengalihkan topik pembicaraannya. “Aku belum tahu. Itu udah bukan ranahku lagi.” Kelegaan seketika menghinggapi hati Gina. Jawaban sang suami secara tidak langsung mengatakan bahwa Endra sudah tidak ikut campur lagi dalam masalah Safira yang masih berupaya untuk membebaskan tunangannya. Keheningan melanda mereka sampai tiba-tiba suara tangis Raka terdengar dan membuat keduanya langsung terburu-buru berlari ke kamar Gina. “Kenapa? Digigit nyamuk?” tanya Endra saat Gina menggendong tubuh mungil itu. “Kan udah pakai kelambu, Mas,” jawab Gina aneh. “Kayaknya cuma haus. Popoknya masih kering.” Tanpa ragu Gina mengeluarkan payudaranya untuk menyus
Jarum pendek menunjukkan pukul 10 malam ketika Endra baru menapakkan kakinya di ruang tengah. Ia sudah akan beranjak menaiki tangga, namun pemandangan sang istri yang tengah tidur dengan posisi duduk bersandar pada sandaran sofa cukup menyita perhatiannya. Kebiasaan Gina timbul lagi. Wanita itu kembali menunggunya di ruang tengah ketika ia terlambat pulang. Namun kali ini ada yang berbeda dengan apa yang Endra rasakan. Terbesit rasa iba dan tak nyaman ketika ia harus membiarkan tubuh itu untuk tertidur di sana sampai pagi seperti yang biasa ia lakukan. Jadi dengan ragu, Endra menghampiri sang istri, menyimpan tas kerjanya di sofa yang lain dan berjongkok untuk sekadar menatap wajah manis yang tengah terpejam anggun. “Kalau aja hubungan kita dimulai dengan cara yang baik, mungkin nggak akan seperti ini jadinya,” gumamnya dalam hati. Baru saja Endra akan mengangkat tubuh itu, tiba-tiba mata itu terbuka dengan pelan dan mengerjap beberapa saat. Beruntung Endra hanya baru menyentuh ka
“Gina Kairen yang dulunya anak manajemen bisnis?”“Iya, dia seangkatan sama lo.”“Bentar, bentar…” Wanita berkacamata bulat itu mengisyaratkan ia tengah berpikir. “Gina yang mantannya si Haris, kan?”“Haris siapa?”“Eh, bukan, itu cuma gosip. Yang betul itu mantannya si Renan, ya?’“Astaga, siapa lagi si Renan?”“Eh, mantan gebetan maksudnya.” Ia diam lagi. “Gina ini yang pernah pacaran sama Kak Darren, kan?”Endra menghela napas. Sepertinya kisah percintaan sang istri di masa lalu cukup menyita perhatian publik. Ia sendiri kuliah di tempat yang berbeda, jadi wajar saja ia tidak tahu bagaimana Gina saat kuliah dulu.“Iya, yang itu.”“Dulu gue nggak terlalu aktif di kampus, sih, beda sama dia yang cenderung aktif dan gampang akrab sama orang,” ujarnya sambil mengingat masa-masa kuliahn
Malam ini Gina tengah termenung di kamarnya. Di sampingnya Raka sudah tertidur setelah minum susu formula yang syukurnya diterima baik oleh sang anak.Pembicaraannya tadi bersama Endra berujung buntu. Sebab ketika ia bertanya bagaimana bisa Daffa tahu tentang ketidakharmonisan rumah tangganya, Endra hanya diam dengan raut wajah sedikit mengeras. Dan mereka tak terlibat pembicaraan apa-apa lagi perihal itu. Endra sendiri hanya beberapa kali bertanya tentang Raka, setelah itu mereka akan kembali diam.Tiba-tiba Gina merasa haus. Jadi setelah memindahkan Raka ke tempat tidurnya dan memastikan sang anak benar-benar tertidur, ia langsung beranjak ke dapur untuk mengambil minum.Tanpa disangka, ternyata Endra ada di sana; tengah duduk seorang diri di kursi meja makan dengan segelas air yang seolah sedang ia tatapi. Di balik itu, Gina jelas tahu Endra tengah melamun. Ia sendiri tidak ingin mengganggu, jadi setelah mengambil air ia berniat untuk langsung kembali ke kama
“Merk nya yang ini, ya?” tanya Endra sembari menunjukkan sekotak susu formula pada Gina. Gina mengambil alih kotak tersebut dan melihat-lihat tulisannya dengan detail. “Iya, yang ini.” Saat ini mereka tengah berada di supermarket. Setelah dari dokter dan mengantongi informasi mengenai susu formula yang dianjurkan sesuai dengan kondisi Raka, mereka langsung tancap gas menuju supermarket terdekat. Jangan tanyakan perasaan Gina saat ini. Jelas ia sangat bahagia karena ini adalah kali pertama mereka pergi belanja bersama. “Beli satu kotak dulu, Mas. Takutnya nggak cocok dan mubazir.” Endra memasukkan susu itu ke dalam troli dan mendorongnya sembari melihat beberapa produk yang dipajang di sana. Gina sendiri mendorong stroller Raka di depan Endra. “Gin?” Endra tiba-tiba berhenti. “Iya?” “Kamu nggak minum susu ini?” Itu susu khusus ibu menyusui. Sebenarnya Gina sempat ingin, tapi ia hampir tak punya waktu dan selalu lupa untuk membelinya. “Nggak,” jawabanya. “Kenapa?” “Aku belum
Dan di sinilah mereka sekarang; berbaring di masing-masing sisian tempat tidur dengan Raka yang berada di tengah-tengah. Gina sudah tidur beberapa saat lalu dengan Raka yang sudah pulas setelah menyusu. Sementara Endra masih belum tidur, bahkan kantuknya malah hilang entah kemana. Ia hanya diam, sembari memandangi wajah Gina yang kentara oleh rasa lelah; kantung mata menghitam, jerawat yang masih memerah di atas dahi, dan bibir pucat yang belum berubah semenjak ia memberi obat. Dan Endra merasa bodoh karena tak pernah memahami hal itu lebih awal. *** Pagi hari tiba tanpa terasa. Gina terbangun dari tidurnya karena alarm yang ia pasang setiap hari. Namun di antara pagi lain yang telah ia lalui, pagi ini adalah pagi terindah yang pernah ia rasakan. Bagaimana tidak jika pemandangan anak dan suaminya yang masih tertidur pulas menjadi hal pertama yang ia lihat ketika membuka mata. Bahkan gaya tidur keduanya pun sama; dengan tangan kiri ke atas dan kaki kir
Apa katanya? Yang kerjaannya hanya tinggal minum susu? Air mata Gina keluar begitu saja setelah beberapa detik kalimat Endra selesai terucap. Entahlah, ia hanya merasa lelah baik luar maupun dalam. Perasaannya sedang sangat sensitif, membuatnya menjadi mudah menangis hanya karena hal-hal kecil. Terlebih ucapan Endra barusan sangat tepat menusuk jantungnya, membuatnya berdenyut sakit dan seolah tengah berdarah-darah di dalam sana. Lelah, sangat lelah. Bahkan Gina hanya mampu terisak untuk beberapa saat ke depan, mengabaikan Endra yang malah menatapnya dengan malas. Alih-alih bertanya atau menenangkan, Endra malah keluar dari kamar itu. Meninggalkan Gina yang masih tergugu dalam tangisnya di sela rasa pusing yang masih sangat ia rasakan. Jam masih menunjukkan pukul 2 pagi ketika Endra tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya. Ia haus dan merasa kesal karena lupa untuk mengisi air yang biasa ia letakan di atas nakas. Akhirnya ia memutuskan untuk men