Di tengah-tengah aktivitasnya menonton televisi di kamar setelah menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah, Hans kembali merasakan perutnya lapar. Dengan malas Hans beranjak dari posisi nyamannya di atas ranjang. Ia berniat ke dapur mencari camilan untuk mengganjal rasa laparnya, karena tidak mungkin membangunkan Bi Harum yang sedang beristirahat, apalagi kini sudah tengah malam.
Hans tersenyum ketika tiba di dapur dan membuka kulkas karena menemukan kotak makanan berukuran tanggung berisi potongan-potongan nugget yang siap digoreng. Ia yakin nugget tersebut sengaja dibuat Bi Harum seperti yang sering dilakukannya di kediaman Narathama. Tanpa membuang waktu, Hans langsung memanaskan minyak dan mengeluarkan kotak tersebut dari kulkas. Ia akan menggoreng semuanya agar rasa laparnya hilang.
“Aku kira nugget udang, ternyata ayam,” Hans bergumam saat mencicipi nugget yang sudah ditiriskan. “Tapi enak juga,” komentarnya.
Setelah semua nugget tersebut matang dan minyaknya sudah ditiriskan, Hans memindahkannya ke piring. Tidak lupa ia melengkapinya dengan sambal lombok instan kesukaannya. Ia akan menikmatinya sambil melanjutkan menonton televisi di kamar.
***
Diandra tengah membaca majalah fashion di ruang keluarga sambil menunggu Sonya datang menjemputnya. Mumpung Sonya tengah libur, sahabatnya itu mengajaknya berziarah ke peristirahatan terakhir Wira. Tanpa menunggu ajakan kedua kali, Diandra langsung mengiyakannya. Apalagi ia sudah sangat ingin dan merindukan sosok pelindungnya itu, yang kini telah tidur di dalam kedamaian abadi.
Dari balik bulu matanya, Diandra melihat Hans yang berpenampilan kasual sedang menuruni anak tangga. Ia kembali menyibukkan diri melihat majalah fashion di tangannya, tanpa berniat menyapa atau sekadar berbasa-basi dengan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya.
“Bi, nanti buatkan aku nugget lagi ya. Kalau bisa yang udang.” Diandra langsung mengangkat wajahnya dari majalah ketika mendengar perkataan Hans kepada Bi Harum.
“Nugget?” Bi Harum mengulang dan terkejut.
Hans manggut-manggut sambil mulai menyesap irisan buah lemon segar di atas meja makan. “Nugget yang ada di kulkas sudah aku goreng semua kemarin malam,” jawabnya santai.
“Tapi, Tuan, nugget tersebut bukan buatan Bibi,” beri tahu Bi Harum terbata. “Nugget itu Nyonya yang membuatnya,” sambungnya hati-hati.
Hans terkejut mendengar pengakuan Bi Harum dan kenyataan mengenai nugget yang kemarin malam dihabiskannya. Dari sudut matanya, ia melihat Diandra tetap bergeming pada posisi duduknya di ruang keluarga. Ia menormalkan keterkejutannya, kemudian berkata dengan nada dingin, “Berikan uang sebagai ganti rugi kepada orang yang membuat nugget itu.”
Andai saja Sonya tidak mengabarkan sudah menunggunya di depan rumah, Diandra pasti menanggapi perkataan angkuh Hans. “Bi, aku pergi dulu ya,” pamitnya pada Bi Harum tanpa memedulikan tatapan merendahkan Hans.
“Iya, Nyonya. Hati-hati,” balas Bi Harum gugup karena situasi menegangkan yang diciptakan kedua majikannya.
“Mulai besok Bibi kembalilah ke kediaman Narathama. Bibi lebih dibutuhkan di sana daripada di sini,” perintah Hans setelah menghabiskan irisan lemonnya. “Bibi hanya perlu datang sekali dalam seminggu ke sini. Biarkan wanita itu saja yang membersihkan rumah,” sambungnya tegas dan tidak ingin dibantah ketika melihat Bi Harum keberatan dengan perintahnya.
“Baiklah, Tuan,” ucap Bi Harum pelan, meski tidak sesuai dengan keinginannya.
Awalnya Bi Harum memang berharap segera dikembalikan ke kediaman Narathama karena mengira Diandra akan bersikap dan memperlakukannya dengan buruk. Namun, kini ia malah khawatir meninggalkan Diandra hanya berdua dengan Hans. Ia takut Hans akan bertindak dan bersikap kasar, terlebih kini Diandra dalam keadaan hamil.
***
Meski Diandra sudah berusaha keras menahan diri agar tidak menangis, tapi air matanya tumpah begitu saja ketika melihat tempat peristirahatan terakhir laki-laki yang sangat dicintainya. Ia meletakkan bunga lily putih yang dibawanya di atas makam Wira.
“Mohon maafkan aku, Kak. Baru sekarang aku datang mengunjungi Kakak,” ujar Diandra dengan suara serak karena air matanya kembali menetes. “Kak, sekarang aku tidak mempunyai tempat bersandar lagi yang bisa memberiku perlindungan dan membuatku merasa nyaman,” sambungnya sambil sesekali menyeka air matanya.
“Dee.” Sonya juga ikut meneteskan air mata karena kehilangan Wira dan kini tengah mencoba menguatkan Diandra. Meski ia dan Wira bukan bersaudara kandung, tapi laki-laki tersebut merupakan satu-satunya anggota keluarganya yang masih tersisa. “Jangan berbicara seperti itu, Dee. Kamu masih mempunyai aku yang bisa dijadikan sandaran,” imbuhnya serak sambil mengusap punggung Diandra.
Diandra langsung memeluk Sonya setelah menyadari jika sahabatnya ini lebih bersedih dibandingkan dirinya atas kehilangan Wira. Karena sama-sama tidak kuasa lagi memendam kesedihannya lebih lama, akhirnya mereka menumpahkannya bersama. Meski sama-sama kehilangan, tapi jenis dan porsi mereka berbeda.
“Kak, meski kini Dee telah menikah dengan laki-laki yang menabrakmu, aku harap Kakak tidak pernah menyalahkannya. Dee tidak pernah mengkhianatimu. Bahkan, aku yakin hingga kini ia masih sangat mencintaimu. Bantulah Dee meraih kebahagiaannya, terutama dengan anak yang kini dikandungnya,” batin Sonya berkata-kata tanpa melepaskan pelukannya pada Diandra.
Diandra melepaskan pelukannya dan segera menyusut air matanya. Ia kembali menghadap pusara Wira sambil berkata, “Kak, hingga kini aku belum bisa menepati janji terakhirmu. Namun, setelah pulang dari sini aku akan mencobanya.”
“Aku yakin kamu pasti bisa menepatinya, Dee. Demi kebaikanmu dan si kecil tentunya,” Sonya menyemangati sahabatnya. Ia mengetahui janji yang dimaksud sahabatnya. Sebelum Wira mengembuskan napas terakhirnya, sepupunya tersebut berpesan kepadanya dan Diandra agar tidak menangisi kepergiannya berlarut-larut. “Aku juga masih berusaha keras mencobanya, Dee,” sambungnya menimpali.
“Sepertinya Kak Wira mendengar perkataan kita,” Diandra berkomentar ketika tiba-tiba angin berembus, sehingga membuat kulitnya merasa sejuk.
Sonya menyetujui. “Sekarang kita berusaha bersama-sama agar Kak Wira tidak merasa kecewa,” ajaknya kepada Diandra meski cairan bening dengan lancangnya kembali menetes dari mata mereka. “Kak, kami pulang dulu ya. Nanti kami juga akan ajak Helena untuk berkunjung ke sini,” pamit Sonya dan mencium nisan Wira.
“I love you, Wira.” Diandra juga mencium nisan Wira bergantian dengan Sonya.
Sonya memegangi tangan Diandra saat keluar dari area pemakaman. Ia takut sahabatnya yang tengah mengandung tersebut tersandung. Perasaan mereka terasa lebih lega setelah mengeluarkan kesedihan masing-masing yang tertimbun.
***
Sepulangnya dari mengunjungi makam Wira, Diandra mengajak Sonya singgah di sebuah restoran untuk mengisi perut sekaligus melepas dahaga, mengingat sudah waktunya makan siang. Sambil menunggu pesanannya, mereka mengisinya dengan berbincang-bincang.
“Son, jangan lupa hari Sabtu besok. Aku akan membuat perhitungan denganmu jika kamu berani tidak datang,” ancam Diandra.
Bukannya takut, Sonya malah terkekeh. “Tentu saja aku akan datang, Dee. Apalagi aku dan Helena sudah membeli dress untuk menghadiri wisudamu,” beri tahunya sambil tersenyum.
Diandra memberikan jempol tangan kanannya kepada Sonya. “Saat wisudamu nanti, aku juga pasti datang. Ngomong-ngomong, kapan acara wisudamu?” tanyanya setelah tersenyum kepada waitress yang mengantarkan minuman pesanan mereka.
“Kamis depan, Dee.” Sonya menyesap lemonade setelah menjawab pertanyaan Diandra. “Dee,” panggilnya pelan.
“Hm,” jawab Diandra yang sedang meminum orange juice-nya.
“Semenjak kalian menikah, apakah suamimu pernah bersikap kasar padamu?” Sonya menatap Diandra penuh keingintahuan.
Diandra menggeleng agar Sonya tidak khawatir. “Meski hubunganku dengan laki-laki itu dingin, tapi sejauh ini ia tidak pernah bersikap kasar padaku,” dustanya.
Sonya merasa lega mendengarnya. “Aku hanya takut dan khawatir jika ia menyakitimu. Ketakutanku semakin bertambah ketika mengingat keadaanmu sekarang,” jujurnya. “Di rumah itu kamu tinggal dengan siapa saja?” imbuhnya.
“Aku, laki-laki itu, dan Bi Harum. Asisten rumah tangga ibu mertuaku,” beri tahu Diandra. “Son, sebaiknya kita makan dulu. Perutku sudah lapar.” Diandra sengaja memutus obrolannya saat melihat seorang waitress sudah datang. Ia sedang malas membicarakan Hans, apalagi setelah mendengar perkataannya tadi dengan Bi Harum di rumah.
Sonya menanggapinya dengan anggukan kepala. “Makan yang banyak, Dee, agar kamu dan janinmu sehat,” ujarnya.
***
Diandra terlihat anggun dalam balutan midi dress berlengan pendek berwarna hitam dan sedikit longgar untuk menyamarkan kehamilannya. Selain Sonya dan Helena yang hadir, Deanita juga menepati janjinya untuk datang. Meski kebahagiaannya terasa kurang lengkap karena ketidakhadiran orang tuanya, tapi kedatangan kedua sahabat dan kakaknya sudah membuatnya cukup bahagia.
Usai sesi upacara wisuda, mereka menyaksikan acara selanjutnya dari masing-masing jurusan yang penuh keseruan. Setelah menonton hingga selesai pertunjukkan dari masing-masing jurusan, Deanita pamit pulang lebih dulu dan langsung diizinkan oleh Diandra.
“Dee, seharusnya kamu tidak memakai high heels,” tegur Helena saat menyadari Diandra memakai high heels yang lumayan tinggi untuk menunjang penampilannya.
Menanggapi teguran Helena, Diandra hanya menyengir dan mengangguk. “Berangkat sekarang?” tanyanya setelah Sonya keluar dari toilet.
“Ayo,” jawab Helena dan Sonya bersamaan.
Mereka akan menuju kafe tempat Diandra dulu bekerja paruh waktu. Selain untuk merayakan hari wisuda Diandra, mereka juga ingin mengisi weekend dengan bersantai.
Butuh waktu satu jam mereka membelah jalanan yang macet agar bisa sampai di kafe. Setelah memarkirkan mobilnya, mereka pun langsung memasuki kafe yang cukup ramai pengunjung. Mereka memilih lantai dua kafe, tepatnya di rooftop untuk bersantai sekaligus menikmati pemandangan dari atas.
Baru saja ketiganya duduk, alangkah terkejutnya Sonya melihat keberadaan Deanita dan Hans di sudut rooftop, tepatnya membelakangi posisi duduk Diandra. Tanpa Sonya sadari, ternyata Helena memerhatikan gerak-gerik dan keterkejutannya. Ada kekhawatiran yang dipancarkan oleh mata keduanya ketika tatapan mereka bertemu, meski pertemuan antara Hans dan Deanita terbilang wajar. Terlebih keduanya pernah menjalin hubungan yang sangat dekat. Kini mereka hanya berharap Diandra yang tengah asyik melihat foto di ponselnya tidak menoleh ke belakang.
“Ternyata beda rasanya berada di tempat ini sebagai pengunjung.”
Ucapan Diandra membuat Sonya dan Helena menormalkan sikapnya, seolah tidak melihat sesuatu yang menyita perhatian. Ingatan Diandra kembali pada saat dirinya menjadi pekerja paruh waktu di tempat yang kini didatanginya.
“Bedanya karena dulu melayani pengunjung, sekarang kamu yang dilayani,” Helena mengomentari sambil menyamankan posisi duduknya.
Diandra dan Sonya mengangguk, menyetujui komentar Helena. “Terima kasih,” ucap Sonya pada waitress yang membawakan pesanan mereka.
“Aku permisi ke toilet dulu ya,” pamit Diandra karena cairan di tubuhnya ingin dikeluarkan. Semenjak hamil, intensitasnya ke toilet untuk buang air kecil menjadi lebih sering.
“Hati-hati dan perhatikan langkahmu, Dee,” Sonya mengingatkan sahabatnya karena menggunakan high heels.
Ketika berdiri dan berbalik dari posisinya, Diandra terkejut melihat keberadaan Deanita bersama seorang laki-laki tengah berpegangan tangan. Meski bisa mengenali laki-laki yang bersama kakaknya dari belakang, tapi ia ingin memastikannya. Ia memutuskan untuk menyapa sang kakak sebelum ke toilet.
“Dea,” panggil Diandra pelan.
Seketika wajah Deanita memucat setelah melihat pemilik suara yang memanggilnya, dan kini tengah melambaikan tangan kepadanya. “Di-Diandra,” gumamnya terbata. Ia terasa kesulitan bernapas saat melihat sang adik berjalan mendekat ke arahnya.
Hans langsung memberikan tatapan tajam kepada Diandra yang kini telah berdiri di sampingnya. Ia sempat terkejut saat mendengar gumaman terbata Deanita, apalagi melihat wajah wanita yang dicintainya seketika memucat.
“Dee, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Kami hanya menuntaskan urusan yang belum selesai,” Deanita memberi penjelasan agar Diandra tidak salah sangka padanya. Meski Deanita sangat jelas mengetahui dasar pernikahan Diandra, tapi bertemu dengan Hans secara diam-diam yang kini telah menjadi suami adiknya tetap saja salah.
“Santai saja, Dea. Kamu tidak usah tegang dan panik seperti itu,” balas Diandra dengan tenangnya tanpa memedulikan tatapan tajam Hans. “Silakan dilanjutkan acara kalian. Permisi,” sambungnya sambil tersenyum. Diandra kembali pada tujuan utamanya menuju toilet.
Sonya dan Helena yang menyaksikan Diandra menghampiri suami serta kakaknya tersebut ikut menahan napas. Mereka takut Diandra akan membuat keributan. Melihat Diandra menuju toilet, Helena memutuskan untuk menyusulnya. Harapannya dan Sonya agar Diandra tidak mengetahui keberadaan suami bersama kakaknya tidak terwujud.
Diandra tidak memusingkan pertemuannya yang tanpa sengaja dengan Hans dan Deanita di kafe seminggu lalu. Ia dan Hans pun tidak pernah berkomunikasi meski tinggal di atap yang sama. Untungnya Bi Harum tidak jadi kembali ke kediaman Narathama, setelah Allona marah besar mengetahui keputusan Hans. Selain itu, Allona juga kecewa padanya karena tidak memberitahukan mengenai acara wisudanya.Diandra tengah memeriksa kembali barang yang akan dibawanya ke kediaman Narathama sambil menunggu kedatangan Lavenia menjemputnya. Karena Hans sedang ada perjalanan bisnis ke Jepang selama beberapa hari ke depan, jadi Diandra diminta tinggal di kediaman Narathama oleh Allona. Awalnya ia menolak permintaan Allona, mengingat di rumah sudah ada Bi Harum yang akan menemaninya. Namun, akhirnya ia menyanggupinya setelah mendengar Allona meminta Lavenia menemaninya. Selain itu, Bi Harum juga diminta ikut ke kediaman Narathama untuk sementara waktu.“Nyonya, Nona Ve sudah datang,” Bi Harum memberi
Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.“Dam, nanti tolong temui Dea dan berik
Merasa jenuh dengan suasana tempat tinggalnya, Diandra berencana berkunjung ke rumah neneknya dan menginap di sana selama beberapa hari. Ia sangat merindukan udara sejuk di sekitar rumah neneknya yang memang berada di dataran tinggi, lebih tepatnya di Puncak, Bogor. Awalnya Diandra akan pergi sendirian, tapi saat ia memberitahukan rencananya kepada Helena, sahabatnya tersebut ingin mengantar dan menemaninya. Meski sempat menolak, tapi pada akhirnya Diandra mengizinkan setelah Helena bersikukuh ingin mengantar dan menemaninya. Andaikan hari libur, ia juga ingin mengajak Mayra dan Sonya, agar mereka sama-sama bisa menikmati sejuknya udara pegunungan.“Bi, aku berangkat dulu ya,” Diandra berpamitan setelah Helena menjemputnya.“Hati-hati, Nyonya. Kabari Bibi jika Nyonya sudah sampai,” pinta Bi Harum sebelum Diandra memasuki mobil Helena.Diandra mengangguk dan tersenyum. “Nanti pulangnya aku belikan Bibi oleh-oleh,” ucapnya sambil melambaikan tangannya setelah berada
Diandra meletakkan buket bunga mawar putih yang dirangkainya sendiri di atas makam milik Rossaline Lidya. Ternyata neneknya tadi meminta ditemani berkunjung ke tempat peristirahatan terakhir mendiang tantenya. Bunga mawar putih tersebut dipetiknya langsung dari kebun milik neneknya sendiri. Diandra merasa dari dulu hingga kini kebun tersebut tetap sama, yaitu hanya dipenuhi oleh bunga mawar putih. Ia memang mengetahui alasan sang nenek mengisi kebunnya hanya dengan bunga mawar putih, tidak lain karena mendiang tantenya sangat menyukai bunga tersebut. Selain di tempat peristirahatan terakhir milik tantenya, Diandra juga meletakkan bunga mawar putih tersebut di makam kakeknya, yang letaknya bersebelahan.Setelah menyapa anggota keluarganya yang telah lebih dulu menghadap Sang Pencipta, Diandra mengajak neneknya kembali pulang. Selain karena sudah cukup sore, rintik-rintik hujan yang mengenai kulit mereka pun menjadi alasan Diandra bergegas meninggalkan area pemakaman.“Dee
Setelah memastikan mobil yang ditumpangi orang tuanya meninggalkan halaman rumah, Deanita segera mencari Bi Asih dan menyuruhnya mengeluarkan barang-barang milik Diandra dari kamarnya. Tanpa sepengetahuan ibunya dan atas izin Bi Asih, ia menyembunyikan semua barang milik Diandra di kamar asisten rumah tangganya tersebut. Ia sengaja menolak ajakan ibunya yang memintanya ikut berkunjung ke rumah sang nenek.“Bi, masukkan semuanya ke bagasi mobilku ya,” pinta Deanita kepada Bi Asih.Bi Asih mengangguk. “Kalau boleh Bibi tahu, barang-barang milik Non Dee akan Nona mau bawa ke mana?” tanyanya penuh keberanian.Walau Deanita dan Diandra diketahuinya selama ini tidak pernah terlibat perseteruan secara langsung, tapi Bi Asih tetap mewaspadai jika putri sulung keluarga Sinatra mempunyai niat terselubung.“Mau aku antarkan ke rumah Dee, Bi,” Deanita menjawabnya sambil membaca pesan di ponselnya. “Bibi mencurigaiku?” tebaknya setelah mengalihkan perhatian dari ponselnya
Deanita langsung keluar setelah mobil yang dikendarai Hans terparkir di halaman rumah neneknya. Ia bertanya kepada Pak Bayu yang tengah mengobrol bersama Pak Budi mengenai kedatangan orang tuanya. Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui ternyata orang tuanya belum terlalu lama sampai di rumah sang nenek. Pak Bayu juga mengatakan jika tadi orang tuanya mampir ke rumah sakit, untuk menjenguk sahabatnya yang tengah dirawat.Tidak mau membuang waktu, Deanita diikuti Hans dan Lavenia bergegas memasuki rumah sang nenek. Ketiganya mengernyit ketika menyadari ketegangan tengah terjadi di dalam rumah. Mereka tersentak saat mendengar pertanyaan Diandra yang diajukan dengan nada datar.“Lalu siapa orang tua kandungku, Ma?” tanya Diandra. Jarum-jarum tak kasatmata seolah berlomba ingin menusuk dadanya.“Aku bukan ibumu, jadi hentikan panggilan menjijikkan itu!” protes Yuri sambil menatap Diandra penuh peringatan. “Berikan saja panggilan Mama untuk wanita murahan yang telah m
Setelah berulang kali mencoba, Diandra tetap kesulitan memejamkan mata. Sekelebat kejadian yang telah dilaluinya hari ini muncul silih berganti memenuhi benaknya. Dengan hati-hati ia menuruni ranjang agar tidak membangunkan Helena yang sudah terlelap di sampingnya. Meski angin malam kurang bagus untuk kondisinya yang tengah berbadan dua, tapi ia tetap ingin keluar rumah untuk menghirup udara segar. Diandra melapisi piama tidurnya dengan sweater rajut dan menggunakan beanie hat untuk menghalau udara dingin menusuk tubuhnya saat berada di luar rumah.“Mau ke mana?” Hans yang baru keluar dari kamarnya melihat Diandra berjalan menuju pintu utama di rumah sang nenek.Diandra seketika menghentikan langkah kakinya saat tiba-tiba mendengar suara dari belakang tubuhnya. Ia mengetahui pemilik suara yang bertanya padanya tersebut. “Keluar,” jawabnya tanpa menoleh.“Aku antar. Sudah malam.” Hans menghampiri tempat Diandra berdiri. “Jangan besar kepala dulu. Aku hanya tidak mau
Allona mengunjungi rumah yang ditempati Hans dan Diandra, ia sangat mengkhawatirkan keadaan menantunya tersebut. Saat mengetahui Diandra masih terlelap di kamarnya, ia melarang Bi Harum membangunkannya. Sambil menunggu Diandra bangun, Allona membantu Bi Harum membuat hidangan untuk makan malam.“Bi, Hans di kamarnya?” Allona menanyakan keberadaan putranya sambil mencincang daging ayam sebelum digiling.“Tuan belum pulang, Nyonya,” jawab Bi Harum usai menyerut wortel.Setelah mengetahui keberadaan Hans, Allona menyuruh Bi Harum membuat telur dadar, sedangkan ia akan menggiling daging ayam yang sudah selesai dicincang. Ia akan membuat rolade ayam wortel untuk makan malam mereka.***Diandra terlihat lebih segar seusai mandi, meski wajah pucat dan mata sembapnya masih terlihat jelas. Langkah kakinya yang hendak ke dapur memelan saat melihat Allona sedang menata hidangan di atas meja makan. Ia tersenyum tipis ketika Allona menyadari kehadirannya.“Sud
Kehamilan kedua Diandra kini telah berusia tujuh bulan. Jika sesuai dengan perkiraan dokter, maka dua bulan lagi Diandra akan melahirkan anak keduanya. Diandra merasakan perbedaan yang sangat mencolok antara kehamilannya yang sekarang dengan sewaktu mengandung Hara. Saat mengandung Hara dulu, ia masih bisa leluasa bergerak walau kandungannya sudah tergolong tua. Namun, kini yang terjadi adalah kebalikannya. Selain nafsu makannya yang meningkat drastis, ia pun sekarang tergolong pemalas, termasuk dalam urusan berdandan. Jika saat mengandung Hara dulu Diandra sangat suka menggunakandressbermotif, tapi tidak dengan sekarang. Pada kehamilannya sekarang ia lebih suka dan nyaman menggunakanjumpsuittanpa motif. Warna-warna yang lebih diminatinya kini pun warna netral, terutamanavy.Kehamilan Diandra kini juga membuatnya sungguh berat membuka mata, apalagi beranjak dari ranjang. Bahkan, sekarang ia sangat mudah sekali mengantuk
Setelah permintaan maaf Hans saat Hara demam, hubungan Diandra dengan suaminya tersebut kembali seperti sedia kala. Kini sudah dua bulan Diandra dan Hans mempekerjakan seorangbabysitteruntuk Hara, sejauh ini kinerjanya pun terlihat memuaskan. Walau Hara terlihat nyaman dengan Fitri,babysitter-nya, tapi Diandra dan Hans tetap ikut mengawasi putrinya tersebut. Dengan adanya Fitri, Diandra menjadi sangat terbantu. Contohnya saat mengajak Hara bertemu dengan klien, karena sudah ada Fitri yang akan menemani anaknya tersebut. Namun, hari ini Diandra terpaksa harus membawa Hara ke kantor suaminya karena Fitri tengah pulang kampung, sedangkan dirinya ada pertemuan penting dengan salah satu klien eksklusifCatharina Queen.Setelah usai bertemu dengan klien dan menyelesaikan urusan lainnya, Diandra langsung melajukan mobilnya kembali ke kantor Hans guna menjemput Hara. Ia sangat berharap Hara tidak merecoki Papanya b
Sejauh ini liburan Hans bersama Diandra dan Hara di pulau Lombok berjalan lancar. Hans sangat menikmati setiap kebersamaannya dengan istri dan sang anak. Dari bangun tidur hingga matanya terpejam kembali, ia bersama istri dan anaknya tak pernah berjauhan. Selain itu, Hans juga berhasil membujuk Diandra agar mempekerjakan seorangbabysitteruntuk Hara. Setelah kembali ke Jakarta nanti, ia dan Diandra akan mendatangi yayasan penyalurbabysitteryang terdidik serta terlatih untuk dipekerjakan. Selama enam hari berada di Lombok Hans bersama keluarga kecilnya sudah banyak mengunjungi tempat wisata, tentu saja yang aman untuk Hara. Selesai makan siang nanti ia sudah harus mengajak istri dan anaknya kembali ke Jakarta, mengingat waktu liburan mereka telah usai.Berhubung Hara telah bangun, Hans dan Diandra akan mengajak buah hatinya tersebut berenang sambil menikmatifloating breakfast. Hans memang sengaja mencari vil
Diandra tak pernah mengetahui cerita rumah tangganya akan seperti apa dan bagaimana. Yang ia lakukan hanyalah menjalani sekaligus menikmati setiap kebersamaan dengan suami, anak, dan keluarganya. Dalam hidupnya kini tak ada yang lebih penting dari kebersamaannya dengan suami dan anaknya. Walau mendapat dukungan penuh dari Hans untuk dirinya menjadi wanita karier, tapi ia tetap harus memprioritaskan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu. Kedua tugas tersebut sudah menjadi harga mati dalam hidupnya, terutama tumbuh kembang sang buah hati. Ia tidak ingin keegoisan menghancurkan keharmonisan rumah tangganya, merenggut tawa bahagia sang anak dan suaminya.Diandra terkejut sesaat ketika sepasang tangan tiba-tiba meremas penuh kelembutan kedua pundaknya. Ia menerima kecupan di bibirnya setelah mendongak untuk melihat wajah suami tercintanya di belakang tubuhnya yang sedang berkutat dengansketchbook. Diandra memejamkan mata saat menerima pijatan lembut d
Tidak terasa sudah enam bulan Diandra dan Hans menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Walau Hans dan Diandra sepakat menunda memberikan adik kepada Hara, bukan berarti tidak ada agenda percintaan dalam hari-hari mereka menjalani kehidupan sebagai suami istri. Sejak itu pula Hans membuat kamar pribadinya bersama Diandra menjadi kedap suara.Seperti sekarang, cucuran keringat telah membasahi tubuh Diandra dan Hans setelah keduanya berhasil meraih puncak pelepasan bersama, sekaligus menyudahi kegiatan panas mereka dalam menggapai kenikmatan. Lenguhan pelan Diandra terdengar saat Hans memutuskan untuk melepas penyatuan bagian bawah tubuh mereka secara perlahan. Hans menghela napas, kemudian menjatuhkan tubuhnya di samping sang istri. Dengan sisa tenaganya, Hans menarik tubuh Diandra dan membawa ke dalam dekapannya. Tidak lupa ia juga mendaratkan kecupan penuh kelembutan di kening dan bibir sang istri, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya atasservice
Berhubung hari ini Hans tidak pergi ke kantor, ia mengambil alih tugas Diandra dalam mengurus Hara. Seusai memandikan dan mendandani Hara, ia menemani sang buah hati bermain sambil menunggu kedatangan istrinya dari membeli kebutuhan rumah tangga bersama Lavenia. Awalnya, ia menawarkan diri ingin mengantar sekaligus menemani Diandra berbelanja, tapi tawarannya tersebut ditolak oleh istrinya dengan alasan Hara tidak ada yang menjaga di rumah. Sebenarnya Hara bisa saja mereka ajak, tapi Hans lebih memilih mengalah dan menuruti keinginan sang istri daripada berdebat hanya karena hal sepele.Meski sudah mendapatkan haknya sebagai seorang suami dari Diandra, Hans tetap memegang teguh komitmennya. Ia tidak akan pernah memaksakan keinginannya kepada sang istri. Buktinya, ia menyetujui saat Diandra mengutarakan niatnya ingin memakai kontrasepsi sebagai upaya dalam menunda kehamilan. Bahkan, ia sendiri yang mengantar sang istri ke rumah sakit dan ikut menemui dokter untuk berkonsultasi
Diandra menatap pantulan tubuhnya yang telah berbalutlingeriejenischemisepada cermin di kamar mandi. Meski pada awalnya sederet keraguan dan pemberontakkan memenuhi benaknya atas hadiah yang akan ia berikan kepada Hans, tapi akhirnya Diandra berani mengambil keputusan setelah memantapkan hatinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu lagi kemarin ia langsung pergi keoutletkhususlingerie, dan pilihannya jatuh pada pakaian sensual yang kini dikenakannya.Sebelum keluar dari kamar mandi dan beralih menuju dapur, Diandra mengenakannight robe-nya kembali untuk melapisilingerieyang membalut tubuhnya. Sesampainya di dapur, ia mengambilcakeulang tahun yang telah disiapkannya tadi, kemudian menyalakan beberapa lilin di atasnya. Ia melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati menuju ruang kerja sang suami agar api pada lilin tetap menyala.Meliha
Hans segera membuka mata, saat merasakan tempat tidur di sebelahnya kosong. Walau penerangan di kamarnya terbatas, ia tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan keberadaan sang istri. Hans mengambil ponsel yang ia letakkan pada nakas di sampingnya untuk melihat jam sebelum menuruni ranjang dan berjalan menuju balkon, tempat istrinya sedang berdiri sambil bersidekap. Tidak lupa ia membawa selimut untuk Diandra.Setelah menggeser pintu dan menyibakkan tirai yang menjadi pemisah antara kamar tidur dengan balkon, Hans langsung menyampirkan selimut pada pundak Diandra. Ia memeluk tubuh sang istri dari belakang supaya lebih hangat. Ia semakin mengeratkan pelukannya ketika tidak mendapat perlawanan atau penolakan dari Diandra.“Kenapa bangun, hm?” Diandra memukul punggung tangan Hans karena bibir suaminya tersebut mulai berulah menggodanya, dengan mengendus dan mengecup berulang kali leher mulusnya.“Karena a
Diandra dan Hans sangat menikmati perannya menjadi orang tua. Keduanya pun kompak dalam pola pengasuhan Hara. Seiring pertumbuhannya, selain menjadi lebih cerewet, kini Hara juga semakin aktif dalam bergerak sehingga membuat Diandra dan Hans meningkatkan pengawasannya terhadap aktivitas sang buah hati.Walau merasa lelah setelah berkutat dengan tumpukan pekerjaannya di kantor, saat berada di rumah Hans akan selalu meluangkan waktunya sebentar untuk berinteraksi bersama Hara. Bahkan, karena saking lelahnya, Hans sering ketiduran ketika tengah menemani anaknya bermain. Alhasil, hal tersebut kadang membuat sang buah hati menjadi kesal sendiri karena merasa terabaikan.Ketika memasuki kamar tidur Hara, Diandra terkejut sekaligus terharu melihat pemandangan di hadapannya. Ia mendapati Hans duduk di lantai dan bersandar pada pinggiran ranjang sambil memeluk Hara di pangkuannya. Suami dan anaknya tersebut juga terlihat sama-sama sudah memejamkan ma