“Aak,” kata Yasmen sambil menyodorkan satu sendok kecil kuah capcai di depan bibir Byakta. Ternyata, bagi Yasmen memasak itu susah-susah gampang. Namun, ia akui hal baru tersebut cukup menyenangkan, apalagi saat Byakta mengatakan hasil masakan Yasmen lumayan enak.Byakta membuka mulutnya, lalu merasakan kuah kental itu dengan seksama. Terbiasa melihat dan terkadang membantu sang mama memasak di dapur, membuat Byakta tahu beberapa urutan dalam memasak capcai dan mi goreng.Untuk ayam goreng, sebelumnya Susi sudah memberi instruksi bagaimana cara memasaknya pada Yasmen, bahkan menuliskannya sebelum pulang. Jadi, semua sudah dilakukan sesuai petunjuk, dan hasilnya pun tidak terlalu buruk.“Sudah, pas!” kata Byakta yang bertugas menggoreng ayam, karena Yasmen jera setelah terkena cipratan minyak panas.“Serius sudah pas?” Padahal, Yasmen sendiri merasa aneh dengan capcai buatannya. Semua sudah sesuai instruksi Byakta, tapi menurut Yasmen masih ada yang kurang. “Kok, nggak seenak buatan ma
“Beneran nggak mau keluar?” tawar Byakta sekali lagi, karena melihat Yasmen hanya menggonta-ganti channel televisi tanpa ada yang ditonton sama sekali. Gadis yang sejak tadi berbaring di paha Byakta, benar-benar tampak bosan dengan aktivitasnya tersebut. “Ini malam minggu, Hun. Yakin nggak mau jalan-jalan?”“Capek!” seru Yasmen dengan malas, lalu menguap sebentar tanpa menutup mulutnya. “Seharian sudah ngurusin Mas Bee, jadi aku mau di rumah aja.”Byakta tertawa sambil mengacak rambut Yasmen. “Ngurusin aku lagi, malam ini mau?”“Di mana kameranya?” tanya Yasmen sambil melambaikan tangan yang memegang remote teve. “Lihat nggak, sih? Tanganku lagi melambai-lambai gini. Apa harus ditambahin bendera putih sekalian?”Tawa Byakta semakin keras, sambil merampas remote teve dari tangan Yasmen lalu melemparnya di ujung kaki sang istri. Byakta tidak akan meminta lebih, karena seharian ini Yasmen benar-benar menuruti semua permintaannya. Ia sadar, Yasmen juga butuh mengistirahatkan tubuhnya agar
“Hun, ini sudah dua mangkok bakso jumbo.” Byakta mencegah sang istri untuk memesan satu porsi bakso jumbo lagi, karena khawatir Yasmen akan sakit perut nantinya. “Kita bungkus aja, terus bawa pulang.”Yasmen menggeleng untuk menolak. “Kurang sip kalau di bawa pulang. Makan di sini, aja, ya? satuuu mangkuk lagi.”“Kalau sakit perut, aku—”“Nggak sakit, nggak,” sela Yasmen lalu segera berdiri dan meninggalkan Byakta untuk memesan satu porsi bakso jumbo lagi. Setelah selesai, Yasmen segera berbalik ke tempat duduknya sambil menyematkan senyum lebar pada sang suami.“Janji! Satu mangkuk lagi! Soalnya baksonya enak, kapan-kapan kita mampir lagi, ya.”“Hun, aku makan satu aja sudah kenyang.” Byakta menyentuh perut Yasmen lalu mengusapnya dengan gerakan melingkar. “Kamu cacingan barang kali.”“Jangan ngarang!” Yasmen segera menjauhkan tangan Byakta dari perutnya, karena tidak enak jika dilihat beberapa pengunjung lainnya. Walau status mereka sudah suami istri, tetap saja hal seperti itu rasa
“Jangan keseringan jajan di luar.” Sinar berdecak ketika melihat Yasmen membawa bungkusan plastik menuju dapur. Sudah beberapa waktu belakangan ini, Yasmen kerap memesan makanan secara online. Entah itu makanan berat untuk makan siang, ataupun camilan yang akan dimakan sambil bekerja. Terkadang, gadis itu masih sempat-sempatnya membeli makanan setelah jam kerja usai, dan memakannya sembari menunggu kedatangan Byakta. “Kamu lagi promil, harusnya makan makanan yang bergizi. Minta dibuatkan makanan, atau cemilan sama bu Susi, kan, bisa.”Yang membuat Sinar semakin geregetan, Yasmen tidak membayar semua makanan yang dibeli dengan uangnya sendiri. Gadis itu meminta Mai, atau Sila yang membayar melalui pembayaran elektronik. Jika ditegur, Yasmen beralasan dirinya saat ini sedang kerja rodi dan sama sekali tidak digaji dengan wajah memelas.“Aku ini beli salad, Nda.” Untung saja Yasmen bukan memesan makanan cepat saji, atau makanan olahan lainnya. Jika tidak, ceramah Sinar pasti akan bertamb
“Mau saya perpanjang masa kerjamu di sini satu bulan lagi?” Pras berjalan melewati meja Yasmen tanpa menoleh. Saat baru masuk ke ruang kerjanya, Pras melihat Yasmen tengah merebahkan separuh tubuhnya di atas meja. Kedua mata sayunya menatap layar laptop, dan tangan kanannya memegang mouse dengan malas-malasan. “Yang penting, kan, kerjaanku— kerjaan saya selesai,” jawab Yasmen seraya bangkit dan menegakkan tubuhnya. Yasmen menguap sambil menatap Pras tanpa menutup mulutnya. Terkadang, Yasmen bisa sangat membenci Pras karena sikap arogannya. Namun, rasa benci itu tidak pernah bertahan lama, karena ada sesuatu dalam diri Pras yang membuat Yasmen sangat menyayangi pria itu setelah Bira. “Lagian besok hari terakhir, masa’ Pak Pras nggak ngasih dispensasi sama sekali. Saya itu full kerja satu bulan di sini, nggak pake telat, nggak pake sakit, nggak pake izin ini itu.” “Reschedule pertemuan saya dengan Kasih,” titah Pras tanpa memedulikan rentetan kalimat Yasmen barusan. “Jadi satu minggu
“Selamat—” “Kantung!” Bira dengan cepat menyela sang dokter yang baru saja hendak berbicara. Telunjuknya mengarah pada layar monitor dengan antusias, dan binar bahagia yang menghiasi wajah tua itu. “Itu kantung bayi, kan, Dok?” “Kantung janin,” ralat sang istri. “Sama aja, Mi,” sahut Bira heboh sudah sendiri karena tidak pernah menduga, Yasmen akan cepat mendapatkan keturunan. Tidak seperti dirinya dan sang istri dahulu kala. Yang harus menunggu hingga hitungan tahun untuk mendapatkan Yasmen. “Itu kantung tempat Yasmen dulu.” Kala itu, Bira merutuk dirinya sendiri karena telah menghabiskan masa mudanya dalam pergaulan bebas. Mungkin, Tuhan sedang menghukumnya dan tidak akan memberinya keturunan sama sekali. Sampai akhirnya Bira pasrah, dan sang istri dinyatakan hamil beberapa minggu kemudian. “Dulu Yasmen persis begini waktu pertama periksa,” lanjut Bira masih bercerita tentang kehamilan Yasmen dahulu kala. Sebuah momen yang ditunggu-tunggu, sehingga Bira tidak bisa melupakan set
“Ingat, selama hamil nggak boleh makan sushi,” kata Bira yang lebih cerewet daripada sang istri, ketika memberi nasihat pada Yasmen. “Kalau makan steak, harus yang welldone, di luar itu nggak boleh. Ngerti Sayangnya Papi?”“Ngerti!” Yasmen mengangguk, dan menjawab dengan mulut yang masih penuh. Sepulang dari memeriksakan diri, Yasmen benar-benar menagih janji Bira untuk pergi makan di mana pun yang ia mau. Entah mengapa, malam itu tiba-tiba mulut Yasmen ingin sekali memakan masakan Padang. Hingga tibalah mereka di sebuah restoran Padang yang cukup terkenal, atas permintaan Yasmen. “Pokoknya, semua yang diomongin sama dokter tadi, dituruti aja,” timpal sang mami. “Nggak usah ngeyel, demi yang di dalam perut.”Yasmen kembali mengangguk, dan sudah berniat sepenuh hati untuk menjaga kehamilan yang sudah ditunggu-tunggunya. Tidak mungkin, kan, Yasmen menyia-nyiakan dan bersikap sembarangan hingga membahayakan janin di dalam perutnya.“By! Kalau ada apa-apa cepat kabari,” pinta Bira dengan
“Bee, aku besok siang mau jalan, cari daster hamil, ya!” Yasmen berdiri di depan meja rias, seraya mengusap perutnya yang masih terlihat rata. Sebenarnya, ada kekhawatiran bila nasibnya akan sama seperti sang mami dahulu kala. Yang harus menunggu hingga bertahun-tahun, sampai akhirnya mengandung seorang Yasmen.Byakta yang baru saja menghempaskan tubuhnya di tempat tidur menoleh. Melihat Yasmen yang mengangkat ujung blousenya sampai ke atas, hingga menampakkan perut ratanya. Perut Yasmen bahkan belum tampak membulat sedikit pun, tapi istrinya itu sudah ingin membeli daster hamil.“Memangnya, baju-baju di walk in closet sudah nggak ada yang bisa dipake?” tanya Byakta seraya mengingat banyaknya koleksi pakaian di miliki Yasmen. Bahkan, pakaian milik Byakta tida ada separuh dari seluruh isi dari walk in closet. “Perutmu masih rata, jadi belum perlu yang namanya daster hamil.”“Tapi aku mau beli!” Yasmen melepas ujung blouse yang sedari ia tahan untuk melihat perutnya. Kakinya menghentak
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak Imperfect Love : ArPi Kim : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Mulya Purnama : 750 koin GN + pulsa 150 rb Elin land : 500 koin GN + pulsa 100 rb Miss Ziza Ziza S : 350 koin GN + pulsa 50 rb Ziza Ziz S : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari Minggu, 2 April 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari Senin ke pihak GN. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Bee and Hunny ~~ Kita ketemu lagi di GN, Insya Allah habis lebaran yaaa .... Kissseeess …..
Apa ini? Asisten nyonya besar keluarga Sagara tiba-tiba menelepon dan meminta Arista datang ke kediaman atasannya. Bukan di rumah jabatan yang ditempati saat ini, tetapi di rumah pribadi kediaman Sagara. Bahkan, Arista dijemput langsung oleh salah satu sopir keluarga tersebut. Arista seperti di sidang. Duduk seorang diri dan menghadapi empat orang yang mentapnya dalam diam. “Maaf, Bu Aida.” Daripada hanya didiamkan, Arista akhirnya membuka mulut. “Kenapa saya dipanggil ke sini? Apa ada masalah, atau butuh bantuan saya?” Tatapan Arista tertuju sekilas pada Bira yang duduk paling ujung, di samping Pras. Jangan-jangan, pertemuan kali ini adalah buntut dari pembicaraan Arista dan Bira malam itu. Jangan-jangan, semua ucapan yang dikatakan Bira saat itu bukan hanya gurauan belaka. Jangan-jangan … Semakin dipikirkan, Aristas semakin sakit kepala karena takut menebak-nebak jawabannya. “Saya minta maaf kalau harus minta kamu datang mendadak seperti sekarang.” Aida berujar dengan sikap ang
Arista mengerjap dengan mulut yang terbuka. Berdiri mematung pada celah pintu mobil yang sudah dibuka Vincent sebelumnya. Mendengar perkataan Bira dan wajah serius pria itu, Arista jadi tidak bisa mengeluarkan kata-kata. “Becanda, Ris.” Bira spontan tertawa saat melihat Arista membeku dengan wajah tegang. Wanita itu mungkin syok akibat mendengar ucapan Bira barusan. “Buruan masuk, aku sudah lapar.” “Ahh …” Mulut Arista ikut melempar tawa, garing. Ia mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil dan menggeser bokongnya ke sisi pintu yang lain, karena Bira jelas akan duduk di sebelahnya. “Jangan terlalu tegang,” kata Bira setelah menutup pintu. “Kerja sama aku memang harus serius, tapi santai aja.” “Iya, Mas.” Arista kembali tertawa, terkesan dipaksakan. “Lagian, masa’ buaya dipercaya.” Bira tertawa. “Eh, tapi aku serius masalah yang tadi. Aku memang lagi nyari istri, soalnya lagi pusing disuruh nikah terus sama nyonya besar.” Arista berdecak. “Cewek-cewek di Casteel High, kan, banyak
“Kenapa belum pulang?” Bira menatap layar komputer yang dipandang Arista. Wanita itu memandang situs web yang berisikan berbagai video, yang bisa diunggah oleh penggunanya di berbagai belahan dunia manapun asal memiliki akses internet.“Hujan deras, Mas,” kata Arista sembari mengangkat wajah, menatap Bira yang berdiri di sampingnya. Dari pria itu datang ke kantor di pagi hari, sampai pulang di sore hari, atau malam sekali pun ketika mereka lembur, wangi parfum Bira tetap setia menempel di tubuh pria itu. Intensitas wanginya tidak berubah sedikit pun. “Saya nggak bawa jas hujan.”“Terus kenapa belum pulang?” ulang Bira kembali mempertanyakan hal yang sama. “Kita nggak lembur, dan kamu sebenarnya bisa pulang duluan.”“Hujan deras, Mas.” Arista juga mengulang jawaban yang sama, dan mulai menahan kekesalannya.“Aku tahu sekarang hujan deras, tapi kenapa kamu belum pulang?” tanya Bira sekali lagi. “Pesan taksi, kek! Gajimu di sini lebih besar dari Firma Sagara, masa’ bayar taksi buat pulan
Pagi itu, Bira berhenti di depan meja sekretarisnya sebelum memasuki ruang kerja. Perangkat komputer di meja Arista tampak belum menyala, pun dengan kursi kerja yang masih rapi menempel rapat dengan sisi meja.Bira mengeluarkan ponsel. Melihat notifikasi yang masuk di dalamnya. Tidak ada nama Arista di sana. Itu berarti, wanita itu tidak memberi info sama sekali tentang ketidakhadirannya, atau mungkin keterlambatannya. Kalau begitu, biarlah Bira menunggu kabar dari wanita itu sembari melakukan pekerjaannya.Saat Bira baru membuka pintu, hawa sejuk pendingin udara langsung menerpa wajahnya dengan suhu seperti biasa. Itu artinya, sudah ada seseorang yang menyalakan pendingin ruangannya lebih dulu, dan itu pasti Arista.“Mas Bira!”Bira terkejut mendengar seruan yang dilontarkan dengan nada kesal padanya. Namun, entah mengapa seruan tersebut juga terdengar sedikit manja. Sedikit mengusik indra pendengarannya.“Arista? Kamu kenapa?”“Mas Bira pasti tahu kalau pak Lex sudah nikah sama bu
Bira berhenti melangkah di depan meja sekretaris barunya. Ia bersedekap, lalu menghela saat melihat paras manis itu memanyunkan bibirnya.“Pagi, Mas Bira.” Arista tidak mengerti, mengapa ia harus dipindahkan dari Firma Sagara ke Casteel High seperti sekarang. Sejak awal menginjakkan kaki di dunia kerja, Arista sudah berada di firma hukum tersebut dan semua karyawan yang ada di sana sudah seperti keluarga baginya.Namun, perintah tiba-tiba dari Pras membuatnya tidak bisa mengajukan protes. Memangnya, karyawan mana yang berani membantah titah seorang Pras? Arista mungkin masih bisa bernegosiasi bila Lex yang memberinya perintah. Akan tetapi, sayangnya orang tersebut adalah Pras.Pria arogan yang selalu saja bertindak sesuka hati.“Pagi.” Bira berdecak, karena Pras benar-benar mengganti sekretaris lamanya dengan Arista. Apapun alasan yang ada di balik itu, Bira harus tetap menutup mulut dan tidak boleh membocorkannya pada siapapun. Jika Arista bertanya, maka Bira cukup mengatakan semua i
“Rajaaa.” Hari masih terbilang masih pagi, tapi Yasmen mulai mengeluarkan “tanduknya” karena baru saja menginjak sebuah lego yang membuat telapak kakinya nyeri seketika. Padahal, Yasmen sudah berulang kali memberitahu putranya, agar selalu membereskan semua mainannya ketika sudah selesai bermain. Namun, berapa kali pun Yasmen berujar dan memberi perintah, hasilnya tetap saja sama. Setelah bermain, bocah yang sudah berusia lima tahun itu, langsung meninggalkan semua mainannya begitu saja. Alhasil, Susilah yang akan membersihkan semuanya seperti biasa dan Yasmen hanya bisa mengelus dada. Anehnya, Raja akan selalu bersikap patuh bila sudah berada di rumah Pras. Mana berani bocah itu menghambur mainannya yang ada di sana. Seusai bermain, Raja akan selalu membereskan semua barangnya pada tempatnya, walaupun dalam keadaan yang tidak sempurna. Ternyata, merawat dan mendidik anak tidak semudah bayangan Yasmen. Keinginan untuk memiliki banyak anak pun Yasmen urungkan seketika, karena itu sem
Ternyata, semua tidak seperti yang ada di bayangan Yasmen. Setelah sebulan tinggal di rumah Bira, akhirnya Yasmen mengerti bagaimana perasaan Byakta. Mungkin hampir sama seperti yang dirasakan Yasmen saat ini, ketika memutuskan tinggal di rumah Mario.Bukan … kedua mertua Yasmen bukanlah sosok mertua kebanyakan, yang ada di sinetron maupun novel-novel online yang bertebaran di jagat maya. Justru sebaliknya. Mario dan Miskah bahkan terlalu baik, hingga membuat Yasmen semakin merasa tidak nyaman berada di rumah tersebut. Ditambah, tidak adanya asisten rumah tangga di rumah Mario, membuat Yasmen yang terbiasa memerintah jadi semakin segan berada di rumah mertuanya.Tidak mungkin, kan, Yasmen menyuruh mertuanya untuk membuatkannya ini dan itu? Belum lagi, Yasmen mau tidak mau harus tahu menempatkan diri. Ia harus berusaha bangun lebih pagi, walaupun, semalam hanya tidur beberapa jam karena putranya yang terus meminta ASI. Dan masih banyak hal lain yang membuat Yasmen semakin tidak enak ha
Akhirnya, Yasmen bisa pulang dari rumah sakit dan langsung menuju ke rumah orang tuanya. Yasmen sudah menetapkan hati, untuk tidak menambah anak lagi. Ditambah dengan proses menyusui yang penuh dengan drama, semakin membuat Yasmen enggan untuk hamil, dan melahirkan di masa mendatang. “Apa itu, Bu?” Yasmen melihat Susi membawa sebuah nampan ketika memasuki kamarnya. “Sayur bening, tapi pake daun katuk,” jawab Susi meletakkan satu mangkok sayur di nakas. Setelahnya, ada sebuah piring yang sudah berisi nasi dan ayam goreng bagian dada dengan potongan besar di atasnya. Susi juga meletakkan segelas air putih, dan segelas susu. “Di suruh makan sama ibu. Pelan-pelan aja, yang penting dihabisin.” “Tapi aku sudah makan tadi di rumah sakit, Bu.” Yasmen melihat boks bayi yang letaknya tidak sampai satu meter dari tempat tidurnya. “Mbak Yasmen sekarang menyusui, jadi makannya harus banyak dan bergizi biar ASInya juga lancar,” terang Susi kemudian bergeser ke samping boks bayi untuk melihat bay