Eka terbangun dari tidur dengan wajah lelah dan rambut acak-acakan. Dia melirik jam dinding, lalu mendesah berat. Hari sudah menjelang siang. Eka benar-benar kesiangan.
Hampir semalaman dia tak bisa tidur. Wajah ketakutan Surtini terbayang-bayang. Eka sungguh menyesal sudah mendesak pelayannya untuk berhenti menghindar.
"Argggh! Harusnya aku lebih sabar. Dia pasti sangat syok mengetahui yang sebenarnya."
Eka mendengkus dan mengacak-acak rambut sendiri. Dia melirik ke arah pintu. Sebelumnya, Surtini berjaga di depan kamar sampai dia terbangun.
Setelah mengikat asal rambutnya, Eka bangkit dari kasur. Dia berjalan ke arah pintu dengan perasaan tak karuan. Eka menghela napas sebelum membuka pintu dengan harapan segera bertemu Surtini untuk meminta maaf.
"Surti, aku mint–"
Eka tercekat. Tak ada siapa pun di depan kamarnya. Dia mendecakkan lidah, lalu menutup pintu dengan kasar.
"Apa dia baik-baik saja? Apa sakit? Ah, belum tentu."
Hening merayap perlahan. Rehan dan Reina hanya bisa ternganga. Eka bahkan sudah pasrah apa pun yang akan dilakukan Surtini untuk meluapkan amarah."Aku rindu kelinci kecilku," bisik Eka.Lengan Surtini terangkat. Eka memejamkan mata, siap menerima segala konsekuensinya. Namun, Surtini bukan mendaratkan tamparan, tetapi justru memberikan pelukan balasan.Setelah saling mendekap hampir 5 menit lamanya, Surtini tersentak. Wajahnya merona. Dia refleks melepaskan pelukan dan mundur beberapa langkah."Maafkan saya, Non! Maafkan saya lancang meluk Non Eka! Saya sudah tidak sopan!" serunya canggung.Eka terkekeh, lalu mengusap rambut Surtini. Gadis itu awalnya terhanyut, seperti merasakan kenyamanannya. Namun, lagi-lagi dia tiba-tiba melompat mundur, mungkin teringat jenis kelamin Eka."Akulah yang memelukmu duluan. Jadi, kamu tetap sopan, Surti," sergah Eka sembari tersenyum hangat, juga menyentil pelan kening pe
"Makasih, ya, Mas Rehan!" Eka melambaikan tangan mengiringi kepergian mobil Rehan meninggalkan kediaman Keluarga Hartono. Pemuda itu baru saja mengantarkannya dan Surtini setelah mereka puas bermain di taman hiburan. Dia sengaja bersikap manja karena tahu Gayatri melihat dari jendela kamar. Surtini hanya bisa menyaksikan tingkah sang "nona" dengan mulut terbuka lebar. Eka memang pernah bercerita bahwa, sebelum masuk ke kediaman Keluarga Hartono, dia mendapatkan pelatihan akting untuk menjadi perempuan. Namun, Surtini tak menyangka sandiwara yang ditampilkan akan sebagus itu. "Jangan kaget, kenapa dengan hanya latihan akting sebulan, aku bisa memerankan seorang perempuan dengan baik. Itu karena aku memang jenius," celetuk Eka membuyarkan lamunan Surtini. Surtini mengerutkan bibir. "Iya, iya, Non Eka paling jenius sedunia. Eka tergelak. Dia segera mengajak Surtini masuk. Namun, gadis itu meminta izin untuk kembali ke asra
"Surti, Surti." Panggilan lembut dan tepukan pelan di pipi membuat Surtini membuka mata perlahan sambil menguap lebar. Dilihatnya Eka tengah menahan tawa. Gadis itu seketika duduk dengan tegak. Pipinya langsung merona saat melihat pantulan wajah dari kaca jendela mobil, ada bekas iler di sudut bibir kiri. "Maaf, Non, maaf, saya jorok!" seru gadis itu gugup. Eka terkekeh. Dia mengeluarkan saputangan bermotif bunga lili, lalu menyeka sudut bibir Surtini dengan lembut. Si gadis pelayan kembali merona, tetapi langsung tersentak. "Aduh, saputangan Nona jadi kotor!" keluhnya. Dia mengambil saputangan dari tangan Eka. "Nanti saya cuci dulu, Non." Eka menyeringai jail. "Sebenarnya, tidak apa-apa tidak dicuci. Mungkin nanti akan kumasukkan dalam kotak kaca sebagai kenang-kenangan," goda Eka. Surtini mengerecutkan bibir. Dia cepat memasukkan saputangan ke dalam saku jaket, khawatir sang nona akan benar-benar m
Eka menyeringai dan berbisik, "Aku mau apa? Tentu saja ingin bersenang-senang denganmu."Suaranya terdengar maskulin. Saat berduaan saja, dia memang sengaja tidak menggunakan suara perempuan. Surtini semakin panik."Jangan begini, Non. Orang-orang sering menyebut kita anak haram, tapi jangan sampai kita ikut mengulangi dosa yang dilakukan orang tua kita," gumamnya dengan suara memelas.Eka tergelak sambil memegangi perut. Air matanya sampai keluar karena tawa yang begitu lepas. Setelah puas tertawa, dia mencubit pipi Surtini dengan gemas."Aku hanya bercanda, Surti. Jika memang ingin menerkammu, aku pasti sudah lama melakukannya. Tenang saja, aku masih bisa menahan diri.""Nona ih! Suka banget, ya, ngeledekin!"Surtini mengerucutkan bibirnya. Dia memukuli lengan Eka. Pemuda itu berpura-pura meringis, membuat Surtini seketika menghentikan pukulan."Nona enggak papa? Tadi, Surti enggak keras kok mukulnya."Surtini mengangkat leng
Surtini meraparkan jaketnya saat memasuki mal. Dia memang masih tak terbiasa dengan pendingin di pusat perbelanjaan. Eka melihatnya sebagai kesempatan dalam kesempitan, lalu menggandeng tangan pelayannya itu. Tak ayal, wajah Surtini seketika memerah dan langsung melepaskan gandengan sang "nona"."Dosa, Non!"Eka terkekeh. "Aku hanya kasian karena kamu keliatan kedinginan. Padahal, dulu kamu yang selalu memeluk duluan," godanya sambil menarik-turunkan alis."Dulu itu, kan, Surti enggak tau kalo Non itu–"Eka meletakkan telunjuk di bibir. Dia memberi isyarat untuk melihat ke arah kanan. Surtini menurut dan menyadari maksud Eka. Ternyata, mereka memang sedang diikuti seseorang yang kemungkinan adalah mata-mata Jihan.Surtini seketika menjadi resah. Namun, Eka tetap terlihat tenang. Dia mengutak-atik ponsel."Sudah beres," ucapnya tiba-tiba."Apanya yang beres, Non?""Mata-mata sudah
"Jaga diri baik-baik. Jangan macam-macam sama Surti," pesan Mirna.Hari itu, Eka memang sudah akan pindah ke luar kota untuk kuliah. Mirna sengaja datang ke kamar cucunya untuk memberikan petuah sebagai nenek. Hanya kamar Eka yang aman dari pengawasan, sehingga mereka bisa melepas jabatan kepala pelayan dan majikan.Melihat sang nenek begitu mencemaskan Surtini, Eka tersenyum jail. "Ya, kalo tahan iman, ya, Nek ...," sahutnya usil, membuat Mirna mendelik tajam."Eka ....""Iya, iya, aku hanya bercanda nenekku yang kaku seperti kanebo kering."Mirna menekan keningnya dan menggerutu, "Kamu ini benar-benar, entah siapa yang ditiru." Dia menghela napas dan mengibaskan tangan. "Sudahlah, ayo kamu harus berangkat. Jika aku terlalu lama di sini, N/yonya Jihan bisa curiga.""Roger, Nek!"Mirna dan Eka pun keluar dari kamar. Tak banyak barang bawaan Eka, hanya satu koper berisi pakaian.
Para mahasiswa lain hanya menunduk dalam. Beberapa dari mereka malah menghela napas lega karena untuk sementara terbebas dari pengawasan senior. Gerombolan Sylvia jangan ditanya. Mereka tersenyum penuh kemenangan sembari berbisik-bisik mengejek.Surtini mengepalkan tangan dengan kuat, hingga terlihat buku-buku jari. Hatinya memanas. Dorongan ingin menghajar Sylvia, si senior dan antek-antek mereka itu menyeruak. Jika saja Eka tidak mengirimkan isyarat untuk diam, dia pasti sudah membuat beberapa orang masuk rumah sakit."Mengingat akan ada ulang tahun universitas, maka hukumannya ada hubungannya dengan itu. Fakultas kita paling terkenal dengan suara-suara yang merdu dan biasanya selalu menyumbang lagu. Jadi, hukuman bonusnya adalah kamu harus nyanyi," cerocos si senior."Baik, Kak," sahut Eka dengan wajah yang tampak sendu.Amarah Surtini surut. Sekarang, dia malah susah payah menahan tawa. Suruhan menyanyi tidak akan memperm
Sedu-sedan Surtini masih terdengar. Eka hanya menggeleng pelan sambil mengusap-usap rambut si pelayan. Mereka tengah menyusuri koridor yang tidak terlalu ramai. Beberapa orang melirik sekilas, tetapi tak acuh kembali, seperti layaknya individualisme penghuni apartemen."Sudah, sudah, Sur. Nanti kubelikan es krim kalo mau stop nangisnya," bujuk Eka.Tangis Surtini terhenti mendadak."Beneran, Non?""Iya. Besok kita ke kafe es krim yang ada di ujung jalan depan. Kamu boleh pesan sepuasnya.""Asyik! Janji lho, ya, Non.""Iyaaa."Surtini bersorak riang, lalu menyedot ingus yang melorot. Eka terkekeh melihat tingkah pelayannya. Meskipun sudah berusia 15 tahun, gadis itu kadang bertingkah kekanak-kanakan.Langkah mereka terhenti saat tiba di depan kamar nomor 415. Eka memencet 8 angka untuk memasukkan pin keamanan. Pintu terbuka. Dia masuk ruangan sambil melemparkan asal
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
Usaha toko kue Rukmini berkembang semakin pesat. Dia bahkan sudah membuka dua cabang. Hastuti sampai mengundurkan diri dari pekerjaannya demi mengelola cabang pertama. Sementara cabang satunya lagi dipegang oleh Surtini. Sudah 3 minggu berlalu sejak hari pembukaan cabang kedua toko kue Rukmini. Pelanggan semakin bertambah setiap harinya. Bahkan, mereka juga sudah menerima pesanan besar beberapa kali. Akibatnya, Surtini menjadi sangat sibuk. Namun, anehnya, dia sering melihat ke jalan raya, sedikit berharap Eka akan tiba-tiba datang. "Ada apa, Mbak Sur?" tegur salah seorang karyawan saat Surtini lagi-lagi tanpa sadar menatap sendu kaca jendela yang menghadap ke jalan raya."Eh, iya, Dek? Apa?""Aku liat dari tadi Mbak Surti liat ke luar terus, kirain ada apaan?"Surtini menyengir lebar. "Aku cuma berharap seseorang datang, tapi kayaknya enggak bakal datang deh."Karyawan itu mengangguk-angguk meskipun masih penasaran. Dia tak mungkin mengorek-ngorek informasi atasan sembarangan. Akhi
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal