hai, ada yang udah baca sampai sini belum? :)
Tanisha memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper besarnya. Semua barang-barang yang ia bawa ke rumah ini dimasukannya ke dalam tas. Gerakannya seperti terburu-buru, disertai derai air mata yang tak hentinya membasahi kedua pipinya. Ucapan-ucapan Aqlan yang bernada larangan tak ia pedulikan. Bahkan Tanisha berkali-kali mendorong tubuh laki-laki itu saat berusaha menghentikannya. Berkali-kali ia pun mengeluarkan kata-kata cacian pada suaminya itu. "Cha, tolong! Jangan kayak gini. Kita bisa selesain ini baik-baik."Tanisha yang semula sedang mengemas sisa barangnya lantas berdiri tegak dengan raut wajah yang nampak dingin. Matanya berubah sipit saking banyaknya ia mengeluarkan air mata. "Selesain baik-baik kamu bilang? Map itu udah kamu robek, Bang! Sadar gak, sih?!" Tanisha berteriak sekencang-kencangnya, seolah tengah mengeluarkan beban yang selama ini dipendamnya. Aqlan mengusap wajahnya frustrasi. Kali ini ia benar-benar tak bisa menangani amarah istrinya yang begitu memuncak
"Tehnya, Cha."Afzar meletakkan secangkir teh dengan dua sendok gula pasir ke atas meja. Perempuan yang tengah duduk di kursi sambil menghadap ke arah jendela lantas menoleh ke sampingnya sekilas. Laki-laki itu tampak menghela napas lelah. Afzar mendekati Tanisha, lalu berjongkok di hadapannya. Perempuan itu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut seolah udara pagi ini begitu dingin. Padahal nyatanya udara di pagi hari cukup segar dan tak terlalu dingin. Kedua mata Tanisha masih terlihat sembab. Ia juga terlihat tak bersemangat seperti biasanya. Perbedaan yang cukup drastis semenjak Afzar bertemu dengannya terakhir kali tentu membuatnya agak heran dan curiga. "Ada apa, sih, Cha? Kok, dari semalem diem mulu. Tadi ditanya sama Bunda pun jawaban kamu kayak gak yakin gitu. Kamu sama Aqlan baik-baik aja, kan?" tanya Afzar memecah keheningan di antara mereka. Tanisha tersenyum tipis. Kepalanya menunduk disertai helaan napas yang meluncur dari mulutnya. Selimut di tubuhnya ia naikkan dan
"Sejak kapan kamu sama Aqlan bermasalah?"Afzar mengusap-usap kepala adiknya yang tengah bersandar di dada bidangnya. Tatapannya yang tajam mengarah lurus ke depan. Suara isak tangisnya Tanisha seolah telah membuat aura kakaknya terbangun. "Udah lama.""Kenapa baru cerita sekarang?" Tanisha mengangkat kepalanya menatap wajah sang kakak sejenak. Kemudian, ia kembali menyandarkan kepalanya ke tempat yang cukup nyaman itu sambil memeluk erat perut Afzar. "Aku nggak mau ngerepotin Abang ataupun Bunda sama Ayah. Aku pikir, aku bisa nanganin masalah aku sendiri," kata gadis itu dengan suaranya yang parau. Terdengar helaan napas yang lolos dari mulut Afzar. Tangannya yang besar turun, beralih mengusap lengan adik perempuannya tersebut. "Harusnya kamu gak perlu punya pemikiran kayak gitu. Kapan pun Abang bakalan siap denger keluh kesah kamu. Kenapa? Karena Abang tau kamu masih agak labil untuk bisa menangani masalah serumit itu," sahutnya lembut. Afzar merasa tak habis pikir dengan adikn
Sepulang dari bertemu Aqlan, Tanisha hanya duduk diam sambil bersandar pada tembok dekat pintu balkon sedari tadi. Keduanya matanya begitu fokus menatap rintikan hujan yang turun membasahi bumi dengan derasnya. Ia nampak melamun. Entah sedang melamunkan apa. Afzar yang juga sedari tadi berdiri dekat pintu kamar sambil memandangi sang adik, menghela napas berat. Pikirannya terasa dipenuhi dengan permasalahan Tanisha yang seolah tiada berujung. Sulit baginya untuk memutuskan sesuatu yang begitu besar. "Cha, mau sampe kapan kamu gini? Abang sedih liat kamu gini terus," ujar Afzar, lalu berjalan mendekati adiknya. Laki-laki itu mengikuti arah pandang Tanisha. Hujan deras disertai angin yang cukup kencang membuat dedaunan berterbangan. Langitnya begitu mendung, persis seperti suasana hati Tanisha saat ini. Ya, itulah yang ada di pikiran Afzar. "Bunda sama Ayah bakalan ikut sedih kalo kamu cuma diem di kamar kayak gini. Ayo, keluar! Cerialah seperti biasanya!" ucapnya berusaha memberika
Suara krusak-krusuk di kamar Aqlan begitu jelas terdengar. Lantai kamar dipenuhi dengan berbagai macam benda yang berserakan. Sebuah koper berukuran sedang terlihat terbaring di samping ranjang. Sementara itu, Tanisha yang sudah berada di tempat ini sejak satu jam yang lalu masih sibuk mengemasi barang-barangnya yang belum sempat ia bereskan. Ia begitu sibuk dengan kegiatannya tersebut seolah ia lupa ada Aqlan yang berdiri di ambang pintu dengan raut wajah sedihnya. "Masih ada lagi?" tanya Afzar yang tengah membantu Tanisha mengemasi barang-barangnya. Posisinya saat ini tepat di meja kerja adiknya. "Dikit lagi. Kalau udah, langsung masukkin aja barang-barangnya ke koper, ya, Bang," sahut Tanisha agak dingin. Afzar mengangguk, lalu menghela napas panjang. Agak berat sebenarnya untuk mengikuti keinginan adiknya yang memilih mengemasi barang-barangnya miliknya dari rumah Aqlan. Berkali-kali dirinya mencoba meyakinkan Tanisha agar memikirkan hal ini lebih matang lagi, tetapi jawaban y
"Kamu yakin sama keputusan kamu, Cha?"Sa'diyah menggenggam erat tangan putri satu-satunya. Mata sayunya lurus menatap wajah Tanisha yang menunduk dalam. Wanita paruh baya itu masih merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan putrinya. "Aku udah besar, Bunda. Aku udah bisa mutusin semuanya sendiri, 'kan?" tanya Tanisha dengan suara yang amat lirih. Dalam lubuk hatinya sebenarnya ia tak tega harus mengungkapkan keinginannya pada sang ibu. "Tapi, Cha, permasalahan rumah tangga kalian itu gak seberapa. Coba kamu pikir-pikir lagi. Lagipula, Aqlan itu laki-laki yang baik." Sekuat tenaga Sa'diyah menahan air matanya yang sudah hampir menetes. Rasa iba menyelimuti hatinya kala melihat rumah tangga putrinya yang hampir di ujung tanduk. "Acha udah pikirin ini matang-matang, kok, Bunda. Bunda gak usah khawatir. Semua konsekuensi siap Acha terima," ujar Tanisha meyakinkan. Keputusan yang ia buat secara tiba-tiba itu seolah sudah tak dapat lagi diganggu gugat. "Bunda bener-bener sedih denger
Tugas Rezvan kini sudah selesai. Semua kru sudah merapikan barang-barang dan mengumpulkan semuanya ke sebuah villa kecil. Pembuatan film akan kembali dimulai besok pagi, meski agaknya disebut "besok pagi" itu tidak tepat, melihat kini waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Rezvan yang terlihat sangat kelelahan memilih untuk duduk sejenak di kursi lipat pribadinya. Dengan gerakan yang amat malas, laki-laki itu memasangkan jaket ke tubuhnya. Sandi—asisten pribadi Rezvan—menatap iba pada tuannya yang kelihatan sedang tak sehat. "Pak, Bapak baik-baik aja? Mau saya anterin pulang sekarang?" tanya laki-laki berkumis tipis itu. Rezvan yang sedang bersandar sambil memejamkan matanya lantas mengintip sejenak. "Gak, gak. Lo pulang aja duluan. Istri lo pasti udah nungguin. Gue pulang bawa motor, kok," tolaknya. Suaranya pun terdengar begitu berat dan lemah. Sandi makin yakin kalau keadaan atasannya itu benar-benar tak baik-baik saja. Fisiknya terlihat begitu rapuh, dan dilihat dari ra
Malam harinya Rezvan mulai mengemas barang-barang miliknya ke dalam koper ukuran besar. Hanya barang-barang penting yang akan ia bawa. Sisanya, ia memilih untuk membiarkannya di rumah sampai nanti kembali lagi. Rezvan sudah memutuskan di mana tempat yang nanti akan menjadi tempat tinggalnya. Yang pasti, tempat itu cukup jauh dari jangkauan orang-orang yang ada di kota ini. Meski begitu, sesekali ia akan berkunjung kembali ke kampung halamannya ini guna menjaga silaturahmi dengan keluarga dan kerabatnya. Kalandra yang juga ikut membantu Rezvan mengemasi barang-barang, tak henti-hentinya mempertanyakan keputusan temannya itu untuk pergi dari rumah. Bukan apa-apa, ia sendiri pun merasa khawatir jika harus membiarkan temannya pergi sendirian dalam keadaan tebgah bersedih berat. Namun, Rezvan pun terus meyakinkan Kalandra bahwa semua akan baik-baik saja. "Lo gak usah khawatir. Gue bisa jaga diri, kok. Lo doain aja semoga gue selalu dalam keadaan baik-baik aja, ya," ujar Rezvan dengan na
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil