Tugas Rezvan kini sudah selesai. Semua kru sudah merapikan barang-barang dan mengumpulkan semuanya ke sebuah villa kecil. Pembuatan film akan kembali dimulai besok pagi, meski agaknya disebut "besok pagi" itu tidak tepat, melihat kini waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Rezvan yang terlihat sangat kelelahan memilih untuk duduk sejenak di kursi lipat pribadinya. Dengan gerakan yang amat malas, laki-laki itu memasangkan jaket ke tubuhnya. Sandi—asisten pribadi Rezvan—menatap iba pada tuannya yang kelihatan sedang tak sehat. "Pak, Bapak baik-baik aja? Mau saya anterin pulang sekarang?" tanya laki-laki berkumis tipis itu. Rezvan yang sedang bersandar sambil memejamkan matanya lantas mengintip sejenak. "Gak, gak. Lo pulang aja duluan. Istri lo pasti udah nungguin. Gue pulang bawa motor, kok," tolaknya. Suaranya pun terdengar begitu berat dan lemah. Sandi makin yakin kalau keadaan atasannya itu benar-benar tak baik-baik saja. Fisiknya terlihat begitu rapuh, dan dilihat dari ra
Malam harinya Rezvan mulai mengemas barang-barang miliknya ke dalam koper ukuran besar. Hanya barang-barang penting yang akan ia bawa. Sisanya, ia memilih untuk membiarkannya di rumah sampai nanti kembali lagi. Rezvan sudah memutuskan di mana tempat yang nanti akan menjadi tempat tinggalnya. Yang pasti, tempat itu cukup jauh dari jangkauan orang-orang yang ada di kota ini. Meski begitu, sesekali ia akan berkunjung kembali ke kampung halamannya ini guna menjaga silaturahmi dengan keluarga dan kerabatnya. Kalandra yang juga ikut membantu Rezvan mengemasi barang-barang, tak henti-hentinya mempertanyakan keputusan temannya itu untuk pergi dari rumah. Bukan apa-apa, ia sendiri pun merasa khawatir jika harus membiarkan temannya pergi sendirian dalam keadaan tebgah bersedih berat. Namun, Rezvan pun terus meyakinkan Kalandra bahwa semua akan baik-baik saja. "Lo gak usah khawatir. Gue bisa jaga diri, kok. Lo doain aja semoga gue selalu dalam keadaan baik-baik aja, ya," ujar Rezvan dengan na
Suara knalpot motor yang berdendang di telinga para santri seolah menjadi nyanyian merdu. Semua orang saling pandang ke arah gerbang. Mereka terlihat begitu penasaran karena sudah lama tak ada tamu yang datang ke pesantren. Seorang santri senior yang bertugas menjaga gerbang lantas bergerak cepat untuk membuka gerbang berukuran besar itu. Ia menyambut sang tamu dengan senyum ramah disertai tubuh yang agak membungkuk. Tak lama kemudian, laki-laki itu berlari ke arah teman-temannya untuk memberitahukan bahwa tamu mereka kali ini perlu disambut dengan takzim.Para santri berbaris ketika tamu mereka sudah memarkirkan motornya. Tamu yang terdiri dari dua orang itu lantas saling pandang dengan heran atas perlakuan yang mereka dapatkan. Tamu perempuannya pun menunduk dalam diiringi perasaan yang agak tak enak. "Ahlan wa sahlan, Ning Acha."Kalimat sambutan itu berkali-kali Tanisha dengar. Ia hanya mampu membalasnya dengan senyuman tipis nan terlihat getir. Afzar yang tahu bagaimana perasaa
Ceklek!Seorang perempuan dengan jilbab ungu langsung membalikkan seluruh tubuhnya saat mendengar suara knop pintu. Dari dalam, keluar sosok Tanisha dengan raut wajah tak sukanya saat mendapati April ada di teras rumah. April menyunggingkan senyumnya pada Tanisha. Namun, perempuan itu tak membalas senyumannya. Ia menatap gadis di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ada apa?" tanya Tanisha to the point. Ia tak ingin basa-basi terlebih dahulu bahkan meski untuk sekadar menanyakan kabar. "Hei, jangan terburu-buru, dong. Santai. Gini, deh. Kamu ..., apa kabar?" April mengulurkan tangannya dengan niat untuk bersalaman. Namun, Tanisha hanya menatap tangan itu tanpa berniat untuk menjabatnya. Tanisha melihat ke belakang sejenak—ke dalam rumah—lalu kembali beralih pada gadis di depannya. "Kita pindah dulu, yuk. Gak enak ngobrol di sini," ucapnya dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Tanisha berjalan mendahului April. Dengan malas, gadis itu pun mengikutinya dari belakang.
Hari ini adalah hari persidangan terakhir antara Tanisha dan Aqlan. Setelah melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keputusan akan diputuskan hari ini. Sempat ada usaha dari hakim untuk menyatukan kembali mereka berdua, tetapi pihak penggugat tetap teguh pada pendiriannya. Aqlan pun tak sanggup melakukan apa pun. Ia benar-benar susah pasrah pada keputusan hakim nantinya. Bahkan ia sudah tak lagi berharap pernikahannya ini dapat diselamatkan. Takdir Allah pasti yang terbaik. Ia yakin akan hal itu. Sudah lama sekali Tanisha dan Aqlan tak saling bicara satu sama lain sejak beberapa bulan lalu. Mereka hanya bicara saat di persidangan. Di luar itu, tak ada yang berani menyapa lebih dulu, bahkan justru terkesan seperti orang asing saat berpapasan. Tak dapat dimungkiri, sebenarnya Aqlan begitu merindukan perempuan itu. Tak jarang ia menangis setiap malam di bawah sinar rembulan dan di atas sajadah karena saking rindunya ia pada Tanisha. Ia hanya dapat melihat perempuan yang masih dic
Embusan angin lembut di sore hari memberikan kesan sejuk pada Tanisha yang sedang duduk lesehan di teras rumah. Warna hingga yang perlahan mulai terlihat membuat kedua mata perempuan itu berbinar-binar penuh kekaguman. Berkali-kali ia memotret sunset itu dengan ponselnya. Tak ada yang dapat menandingi kedamaian bersantai ria setelah seharian bekerja. Semua lelah yang dirasakan oleh Tanisha seolah hilang begitu saja ketika ia menikmati secangkir cokelat panas dan ditemani brownies sambil menyaksikan keriuhan anak-anak yang sedang bermain-main. Kebiasaan ini mulai Tanisha lakukan semenjak tak lagi bersama dengan Aqlan. Ia kembali ke rutinitas awalnya seperti saat sebelum menikah. Bangun pagi, bersiap untuk pergi bekerja, istirahat di teras sambil membaca buku, menulis, lalu istirahat di malam hari. Keesokan harinya kegiatan seperti semula kembali dilakukan tanpa rasa bosan. Tanisha sangat menikmati kehidupannya sekarang. Walaupun terkadang rasa jenuh kerap menghampirinya, tetapi hal
"Inna ladziina aamanuu wal ladziina haadu wan nasharaa was shaabi'iina man aamana bil laahi wa bil yaumil aakhiri wa 'amila shoolihan falahum ajruhum 'inda robbihim wa laa khoufun 'alaihim wa lum yahzanuu."Suara merdu dari seorang laki-laki yang tengah mengaji itu begitu bergema di seisi ruangan. Lantunan ayat suci Al-Quran yang ia baca terdengar begitu fasih. Entah sejak kapan laki-laki itu duduk di atas sajadah untuk ber-murajaah. Yang pasti, sudah sejak lama. Kalandra yang baru pulang dari luar merasa kagum kala melihat pemandangan pertama yang ia lihat adalah sahabatnya yang masih asyik bercengkerama dengan Al-Quran. Laki-laki itu bahkan sampai tak menyadari kehadirannya. Ia pun memilih untuk duduk menunggu sambil mendengar lantunan ayat suci yang merdu itu. "Shadaqallahu 'adzim." Laki-laki itu mengecup Al-Quran terlebih dahulu, lalu ia simpan di meja mengajinya. Ia tampak terkejut saat menyadari kehadiran Kalandra yang entah dari kapan. "Andra? Sejak kapan di situ? Kok, gak n
"Gimana ceritanya? Kok, bisa?" Rezvan sangat tak percaya mendengar berita semacam itu dari Kalandra. Bola matanya bahkan sampai terbuka lebar hingga seolah-olah matanya hendak keluar. Ia pun tak dapat membayangkan bagaimana nasib Tanisha sekarang. "Ceritanya panjang. Layaknya gak mungkin kalo gue ceritain semua. Gue pun baru tau pas ketemu sama Acha," jawab Kalandra begitu santainya. Ia tak tahu saja bagaimana perasaan Rezvan saat ini. "Ya, tapi lo bisa, kan, jelasin kenapa mereka bisa pisah? Bukan karena gue, kan?" tanya laki-laki itu tampak begitu panik. Ia benar-benar takut alasan Tanisha dan Aqlan berpisah adalah dirinya. Secara ia pernah melabrak keduanya saat di kafe beberapa waktu lalu. Dengan sebelah alis yang terangkat, Kalandra menjawab, "Kenapa harus lo yang harus jadi alasan mereka pisah? Emangnya lo ngapain?" Kemudian, laki-laki itu tertawa hingga membuat Rezvan mendengkus kesal. "Dulu, kan, gue pernah labrak mereka karena gue kira si Aqlan itu bukan suami Acha. Kal
Beberapa bulan kemudian semenjak kejadian Tanisha keguguran, semua kembali berjalan dengan normal. Hubungannya dengan Rezvan kembali membaik. Tak ada lagi saling diam mendiami satu sama lain. Semua benar-benar kembali ke keadaan di mana mereka baru memulai yang namanya bahtera rumah tangga. Persoalan Theano, laki-laki itu sudah ditangkap dan dipenjara atas kasus yang ia lakukan. Meneror, menyerang, dan membuat kandungan Tanisha keguguran. Meski begitu, tak ada rasa dendam atau benci di hati Tanisha dan Rezvan. Mereka senang karena telah mendapat keadilan. Namun, mereka juga tetap memaafkan perbuatan Theano. Hari-hari berjalan dengan penuh kebahagiaan dan canda tawa. Tak ada kekhawatiran akan keturunan yang belum juga diamanahkan. Tanisha dan Rezvan menjalani semuanya dengan penuh kesabaran. Diiringi doa dan ikhtiar, mereka tak berhenti berharap agar Tuhan kembali mempercayakan seorang anak pada mereka. "Sayang, aku berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah," ucap Rezvan
Afzar tampak keheranan saat mendapati Tanisha yang sudah kembali dari taman, tetapi dengan wajah yang tampak murung. Perempuan itu melewatinya begitu saja. Bahkan tak membalas sapaannya saat ia menyapa. Afzar yang semula duduk di luar ruangan inap pun lekas mengekori Tanisha hingga ke dalam. Ia masih menatap dalam diam memandangi sang adik yang duduk di atas ranjang sambil tertunduk lesu. "Cha, tadi Rezvan dateng ngejenguk. Udah ketemu belum?" tanyanya sambil menarik kursi mendekati ranjang. Tanisha mengangguk mengiyakan. "Ketemu. Tadi di taman." "Terus, sekarang dia di mana? Kok, gak bareng kamu?" tanya Afzar lagi seraya celingak-celinguk mencari keberadaan suami adiknya. "Aku belum mau ketemu sama dia dulu, Bang. Dan tolong, jangan bicarain dia juga di depan aku." Setelah mengatakan itu, perempuan dengan piyama warna biru tosca itu meluruskan kedua kakinya, lalu ditutupi dengan kain selimut yang tebal. Afzar memandangi wajah adiknya tersebut lekat-lekat. Dapat ia lihat jejak k
BRUK!Untuk ke sekian kalinya Rezvan melempar tubuh Theano ke lantai hingga tersungkur. Memar dan darah menyebar di beberapa bagian anggota tubuh laki-laki itu. Keadaannya sangat memprihatinkan, seolah sedang berada di antara hidup dan mati. Laki-laki dengan wajah penuh amarah itu berjalan mendekati Theano yang masih berusaha untuk bangkit dengan sisa tenaga yang ada. Dinding di belakangnya ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang serasa sudah begitu remuk. Rezvan, dengan napasnya yang memburu, dengan kasar menarik kerah baju Theano hingga laki-laki yang sudah sangat lemah itu berdiri lunglai. Tatapan yang ia layangkan begitu tajam setajam mata elang. Tatapan itu seolah mengartikan berapa marahnya atas apa yang dilakukan oleh lawannya tersebut. "Dengerin gue, Theano. Kalo lo masih berani nyentuh istri gue dikit aja, gue gak akan pernah biarin lo hidup lagi. Sekarang lo beruntung masih gue kasih kesempatan buat hidup. Inget, perbuatan lo gak akan semudah itu gue maafin," tegas Rezvan
Semua anggota Garparez langsung menuju lokasi saat mendapat kabar bahwa Tanisha terluka akibat didorong oleh Theano hingga terjatuh. Wajah-wajah panik yang tertutup helm memenuhi jalanan. Kendaraan yang mereka kendalikan pun dilajukan begitu cepat. Sementara itu, Rezvan yang ditemani Kalandra bergegas mengambil langkah cepat dengan mengantarkan Tanisha ke rumah sakit. Raut wajah Rezvan tampak sangat khawatir. Keselamatan istri dan calon anaknya benar-benar membuatnya tak dapat duduk tenang barang sekejap saja. Bahkan, ketika Tanisha sudah dimasukkan ke ruang IGD, Rezvan masih saja tak henti-hentinya bersikap sangat panik. Ia tak mau menunggu sambil duduk. Terus saja dirinya mondar-mandir di depan pintu sambil menyatukan kedua tangan, berharap tak ada kabar menyakitkan nantinya. Kalandra yang paham apa yang tengah dirasakan oleh calon ayah itu tak mampu berbuat apa pun. Sejujurnya ia juga merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Tanisha. Betapa menyesalnya karena sebagai seorang l
Suara pintu yang diketuk beradu dengan suara bel hingga terdengar seluruh penjuru rumah. Tanisha yang saat itu sedang bekerja di depan laptopnya lantas bergegas turun ke bawah menuju pintu utama. Suara bel yang dipencet beberapa kali membuat Tanisha makin mempercepat langkahnya. Suara yang sangat keras itu seolah membuat gendang telinganya hampir pecah. Diiringi perasaan kesal ia pun lekas membuka pintu dan matanya pun menangkap sosok lelaki yang tak ia kenal. "Mau ketemu siapa, ya?" tanya Tanisha dengan wajah masam. Penampilan laki-laki yang seperti anak geng motor itu membuatnya seakan kembali diingatkan pada kebohongan suaminya. "Kamu. Tanisha Azzahra Khalisah," jawab laki-laki itu disertai senyuman yang tak dapat perempuan itu tebak senyuman apakah itu. "Aku? Kamu siapa? Ada urusan apa kamu sama aku?" Nada bicara Tanisha terdengar agak ketus. Matanya terus mengamati penampilan laki-laki di hadapannya dari atas sampai bawah. "Saya cuma mau menyampaikan satu hal dari atasan sam
Keesokan paginya, Rezvan sudah siap dengan setelan pakaiannya. Namun, yang ia pakai bukan baju untuk bekerja seperti biasanya. Kali ini ia mengenakan kaos berwarna biru tua yang dibalut dengan jaket berbahan levi's. Dilihat dari penampilannya, sudah dapat ditebak kalau ia hendak pergi ke markas Garparez. Tanissha yang menyadari hal tersebut lantas menggerutu terus-menerus. Lidahnya tak berhenti mengumpati suaminya bahkan di saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Kecewa yang belum juga mereda pun membuatnya tak sudi menanyakan apa pun pada laki-laki itu. Rezvan menatap istrinya dari kejauhan—tepatnya di balik pintu dapur. Ada rasa khawatir bercampur cemas saat melihat istrinya yang kini masih terlihat sibuk itu. Bayang-bayang Theano yang mungkin saja akan mendatangi Tanisha kapan pun dia mau. Apalagi membayangkan sesuatu yang tak diinginkan terjadi pada perempuan itu rasanya ia tak sanggup. Rezvan tahu Tanisha masih marah padanya. Memang bukan hal yang mudah untuk mengemb
Pagi kembali menyapa. Mentari pun ikut menyambut dengan masuk ke celah-celah jendela dan memberikan kehangatan bagi setiap penghuni rumahnya. Aroma-aroma masakan dari setiap rumah menguar dari balik jendela dapur hingga mengundang rasa lapar yang telah tertahan semalaman. Akan tetapi, kehangatan itu tak dapat dirasakan oleh pasangan suami istri yang baru pulang dini hari tadi. Tak ada percakapan ringan yang menyertai kegiatan mereka di awal hari. Tak ada pelukan mesra yang biasanya selalu datang memberikan senyum manis yang menawan hati. Hanya ada keheningan tanpa ada keributan yang biasanya ada setiap hari. Di antara Tanisha maupun Rezvan, tak ada yang berani menyapa lebih dahulu. Masing-masing dari mereka fokus dengan urusannya tanpa memedulikan hubungan mereka yang terancam renggang. Kejadian semalam seolah mengubah 180 derajat kebiasaan mereka sehari-hari. Walaupun dengan rasa terpaksa, Tanisha menyiapkan sarapan pagi begitu cepat. Tak ada nyala kompor yang mengeluarkan api, d
Di malam yang gelap gulita itu Tanisha keluar dari area rumah sakit menuju taman tempat para pasien jalan-jalan untuk menenangkan diri. Di sana perempuan itu bersimpuh di atas rumput dengan kepala mendongak menatap langit. Sesakit inikah dibohongi? Kecewa yang mendalam seolah tak ada lagi celah untuk dapat memercayai sesuatu yang sudah disadari bahwa itu adalah kebohongan. Tanisha tahu, banyak kebaikan yang telah dilakukan Rezvan untuknya. Namun, entah mengapa satu kebohongan itu telah meruntuhkan seluruh kepercayaan yang pernah ia berikan pada laki-laki itu. Entah mungkin karena faktor kehamilan atau apa pun itu, yang jelas kini ia benar-benar kecewa. Dengan langkah yang terseok-seok Rezvan datang menyusul istrinya. Wajahnya tampak khawatir. Matanya bergerak luar mencari keberadaan Tanisha. Saat matanya menangkap sosok yang dicarinya, ia pun langsung berlari dan memeluk perempuan itu. "Acha! Lo ngapain di sini? Ayo, duduk di kursi. Kita bicarain ini baik-baik, ya?" Rezvan memegan
Semua orang di lapangan tersebut terkejut dengan teriakan Rezvan. Mereka yang semula sedang bertarung memperebutkan kemenangan lantas menghentikan pertarungan mereka dan berlari menghampiri suara teriakan itu. Lawan mereka, yaitu anak buah Theano tertawa penuh kemenangan saat menyadari ketua dari lawan mereka sudah hampir tumbang. Wajah-wajah penuh kekhawatiran tampak jelas mengelilingi Rezvan yang terkulai lemas dengan Kalandra di sebelahnya. Laki-laki itu segera menyuruh seseorang untuk memanggil ambulan agar sahabatnya dapat segera ditangani. Tanpa akhir yang diharapkan, pertarungan ini selesai dengan kekecewaan. Perdamaian yang menjadi tujuan kini hirap tak berbekas. Theano dan antek-anteknya tertawa lepas melihat kekalahan dari rivalnya, Rezvan. Lagi, tentang Tanisha yang sudah mengetahui yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi dengan hak itu. Tak lama setelah dipanggil, ambulan pun datang dan segera mengeluarkan tandu untuk membantu mengangkat Rezvan masuk ke dalam mobil