"Kau serius, Zayyad sampai melakukan hal menggemaskan itu untuk si kembar?"
Maya dan Alina sudah berada di warung langganan mereka. Alina sengaja membawa Maya ke sana untuk berbincang banyak hal sebelum kembali ke vila.
"Em, menurutku dia benar-benar menyukai anak kecil" Alina mengaduk sedotan di gelas jus jeruknya dan menyedotnya sedikit. Rasa asam jeruk dan dinginnya es langsung menyegarkan tenggorokannya.
"Jika begitu, apa yang membuat mu ragu untuk memberitahu Zayyad mengenai kehamilan mu?" Maya mengaduk mie goreng miliknya. Ia sengaja memesan seporsi makanan karbohidrat itu karena ia belum makan siang.
"Aku ragu may.."
"Kenapa?"
"Jika seandainya yang ku kandung ini adalah bayi perempuan, aku terlalu takut mempercayakan Zayyad sebagai ayah dari putriku kelak. Sekalipun itu adalah darah dagingnya sendiri, tapi tetap saja—" Sesaat Alina menghela nafas berat, "Aku tidak dapat mempercayakannya"
Tidak perlu bertanya lebih jauh, M
"Lain kali jangan merepotkan Zayyad dalam hal seperti ini. Karena dia itu sudah cukup repot mengurus ku.." Alina melipat kedua tangannya di depan dada, menatap punggung Faqih yang baru saja menutup pelan pintu mobil."Kalau begitu apa harus aku merepotkan kakak ipar, hem?" Faqih memutar badannya kearah Alina."Aku tidak pernah mengakui mu sebagai adik ipar" Alina berdecih."Kalau begitu aku juga tidak akan menganggap mu kakak ipar ku""Ya, lakukan saja begitu" Alina menganggukkan kepalanya mantap."Kak Zayyad, lain kali aku akan merepotkan mu lagi dengan menitipkan si kembar kemari.." Seru Faqih, sengaja mengeraskan suaranya untuk membuat Alina kesal."Kau ini, bukannya sudah ku katakan Jang—""Kau bukan kakak ipar ku, kenapa harus aku mendengarkan mu?"Alina menggeram kesal. Bocah sialan satu itu, benar-benar menguras emosinya.Zayyad yang melihat perdebatan keduanya, menggeleng-gelengkan kepalanya sudah terbiasa.
Pagi harinya, tepat setelah sarapan. Alina dengan sangat terpaksa mengikuti Zayyad ke rumah sakit. Tapi sebelum itu, Alina duduk malas di atas kursi, memperhatikan Maya yang sibuk membereskan meja makan. Tidak pernah terpikirkan oleh Maya, sarapan hari pertamanya di vila itu akan disiapkan oleh Zayyad. "Zayyad benar-benar memanjakan mu yaa.." Tutur Maya, sekilas melirik kearah Alina yang tampak bersandar lemas di kepala kursi. Alina tidak berkata apa-apa, hanya mengulas senyum kecil. Saat itu pikirannya benar kacau. Memikirkan bagaimana cara agar Zayyad tidak jadi membawanya pergi ke rumah sakit. Maya menyusun piring-piring kotor itu dan membawanya ke tempat cucian piring. Lalu ia kembali dan mengambil beberapa gelas. Maya melihat Alina yang semakin tak karuan saja itu tampak menggigit jari telunjuk dengan perasaan cemas. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Maya merasa tak tahan untuk tidak bertanya. "May!" Alina melipat kedua tangannya di
Dan disinilah mereka berada sekarang. Di ruang dokter spesialis kandungan. Dokter yang berjaga di ruang itu sama dengan dokter yang Alina jumpai tempo hari.Melihat kedatangan Alina, dokter berhijab itu mengulas senyum hangat menyambut kedatangannya, "Loh, bu Alina?" Sekilas wanita paruh baya itu melirik kearah Zayyad yang berdiri bersampingan dengan Alina, "Kali ini anda datang dengan suami Anda Bu?"Melihat itu terang saja Zayyad terkejut. Zayyad menoleh kearah Alina dengan tatapan penuh penekanan menyiratkan, 'Jadi kau sudah pernah kemari sebelumnya?'Alina membalas tatapan Zayyad itu dengan senyum tertekan. Lalu ia menoleh pada dokter kandungan itu yang masih tersenyum lembut kearahnya, "Y-ya"Mau Alina mengakuinya atau tidak. Itu tidak akan mengubah fakta kalau Zayyad saat ini berstatus sebagai suaminya."Silahkan duduk" Tawar dokter berhijab itu ramah, mempersilakan Alina dan Zayyad duduk.Tapi Zayyad yang tampak tak sabaran itu langsu
"Tapi Maa, sekarang aku masih di perusahaan" Bakri mengambil cangkir dan menuangkan beberapa sendok bubuk kopi ke dalamnya, "Kita undur saja jadi akhir pekan, gimana? "Gak bisa sayang..." Terdengar suara wanita paruh baya yang penuh kasih dari seberang, "Mama juga udah atur tempat buat pertemuan kalian berdua. Emang kamu gak bisa ya izin barang setengah hari aja dari kantor?" Bakri meletakkan ponselnya dibawah telinga dan menjepitnya dengan pundak kanannya. Tangannya terus mengangkat cangkir dan mengisinya dengan air hangat, "Bukannya gitu Ma, kemarin aku baru aja ambil cuti. Jadi, aku gak enak aja Ma, kalau harus izin cuti lagi" "Apa perlu mama datang ke perusahaan dan meminta izin langsung ke atasan mu?" "Mama, bercanda?" Seru Bakri setengah terkejut. Tangannya pergi mengambil sendok dan mulai mengaduk cangkir kopi, tak lupa ia menambah beberapa sendok gula ke dalamnya. "Sekarang juga mama siap-siap dan segera datang ke perusahaan kamu"
"Pokoknya titik. aku gak setuju kamu sama si bajingan kaku itu!" Kekeuh Alina, yang entah sudah berapa kali mengulang ucapan penuh ketidaksetujuan itu sepanjang perjalanan mereka pulang ke vila.Jika tau tadi itu Maya pergi menemui Bakri untuk suatu hal seserius pernikahan, Alina pasti akan menolak keras untuk pergi. Di matanya, Maya yang cantik nan anggun itu terlampau murni dan kerapkali naif. Alina sungguh tidak sanggup membayangkan teman tersayangnya itu kelak hancur lebur hanya karena ulah bajingan tak tau diri diluar sana."Tadi itu kami cuma ta'aruf doang. Itu kenapa aku ajak kamu ikut itu buat nemenin aku" Terang Maya. Ia jelas tau Alina sangat kesal padanya saat ini.Maya sadar, Alina selalu bersikap overprotektif mengenai pria-pria yang mencoba singgah dalam hidupnya.Yang salah satunya adalah Faqih.Juniornya yang satu itu berkali-kali mencoba mendekatinya semasa di kampus dulu, tapi Alina selalu menjadi tembok besar sebagai penghalang.
Sore harinya, Alina pergi ke dapur untuk menyeduh secangkir kopi. Ia berniat untuk membuka obrolan dengan Maya yang sekarang sedang duduk di taman belakang vila. Maya bukan tipikal orang yang betah berlama-lama dalam situasi tegang dan marah. Jadi Alina sungguh berharap pendekatannya di sore ini membuat Maya mau memaafkannya."Bubuk kopinya di mana?" Alina sudah membongkar di beberapa tempat bahkan hingga rak atas. Tapi sama sekali tidak menemukan di mana bubuk kopi mawar nya."Engga mungkin habis kan? Aku ingat masih ada beberapa kotak lagi semalam" Alina kembali membongkar tempat-tempat penyimpanan tapi hanya menemukan bubuk teh."Kau cari apa?" Zayyad berjalan ke dapur, membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin."Bubuk kopi" Jawab Alina yang masih sibuk mencari, "Perasaan semalam aku simpan disini kok gak ada ya?"Sesaat Zayyad terkesiap. Jelas ia adalah dalang dibalik hilangnya bubuk kopi Alina."Jangan bilang—" Alina terus m
"Maya, ku mohon maafkan akuu" Alina mengatupkan kedua tangannya didepan dada. Matanya yang berkaca-kaca itu memohon dengan sangat pada Maya agar mau memaafkannya.Alina sungguh tidak tahan terjerat dalam perang dingin dengan Maya. Padahal baru saja beberapa jam, tapi—Alina merasa seperti separuh hidupnya telah hilang.Maya menghela nafas berat. Sebenarnya ia sangat kecewa karena selama ini Alina sudah membohonginya. Tapi mengingat Alina melakukannya dengan terpaksa karena takut hubungan di antara mereka renggang. Maya mau tak mau, mencoba untuk mengerti."Ini yang terakhir kali ya!""Jadi, ini maksudnya kamu mau maafin aku kan?""Em""Aaa..makasih sayang" Alina memeluk Maya erat dan menjerit kegirangan. Ia tau kalau temannya yang lembut pengertian itu pasti juga tidak tahan marah terlalu lama dengannya."Janji ya ini yang terakhir?" Tegas Maya. Jujur saja, salah satu hal yang paling menyakitkan, itu adalah ketika kau di
"Kenapa? Kau ingin menyangkal kalau dia itu bukan mantan mu?" Ketus Alina. Membuat Zayyad berkali-kali menghela nafas tak percaya. Zayyad sungguh tidak tau kenapa Alina bisa berpikir begitu tentangnya."Aku normal Alina" Bantah Zayyad penuh penekanan. Ia hanya takut pada wanita, tapi bukan berarti itu membuatnya beralih orientasi terhadap pria."Kau mungkin bisa menipu publik, tapi kau tidak bisa menipu ku" Alina melipat kedua tangannya didepan dada, mengangkat kepalanya dengan pongah pada Zayyad."Aku sungguh tidak tau kenapa kau bisa berpikir begitu. Tapi jika karena rumor, itu jelas salah. Aku tidak pernah mengencani pria manapun dan hubunganku dengan Bakri hanya sebatas profesional antara bawahan dan atasan— tidak lebih" Terang Zayyad. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman Alina mengenai orientasi seksualnya yang dari dulu hingga sekarang itu tidak pernah berubah.Ia hanya pria normal yang menyukai kecantikan sebagaimana pria pada umumnya. Jelas bu