Pada malam harinya Alina dan Zayyad sudah berada di vila dan kembali menikmati makan malam yang hangat bersama nenek dan kakeknya Zayyad. Makanan yang terhidang di atas meja cukup banyak dan bervariasi. Di antaranya ada berbagai macam olahan sayuran hijau, telur sambal yang dari sekali pandang Alina tau itu buatan neneknya dan ikan bakar yang sepertinya hasil pesanan.
"Wah, ada ikan bakar.." Alina mengangkat tangan, bersiap menarik sepiring ikan bakar mendekat. Tapi tidak menduga sebuah tangan tua yang keriput datang menahan."Alin..selama beberapa bulan ke depan tidak boleh mengkonsumsi ikan sembarangan. Jadi Alin makan telur saja ya.." Erina langsung menarik sepiring ikan bakar itu dan menyerahkannya kepada Irsyad.Alina melongo, "Kenapa begitu nek?"Zayyad yang mendengar hal itu ter-ikut bingung, tangannya yang baru saja hendak mengambil sepiring ikan bakar langsung juga di cegah oleh Erina, "Itu juga berlaku untuk Zayyad..."Segera Alina dan ZaAlina meremas kepalanya dengan perasaan tertekan. Bagaimana bisa ia melupakan hal sepenting itu. Zayyad yang melihat ekspresi meresahkan di wajah Alina tau jelas kalau wanita itu khawatir, "Kita hanya melakukannya sekali. Memangnya apa bakal langsung bekerja?""Bukannya tidak mungkin kan?" Jawab Alina, terlihat frustasi."Tapi jika mengkonsumsinya sekarang bukankah sudah sangat terlambat?""Tidak ada salahnya untuk jaga-jaga" Alina meloncat turun ke lantai, " Cepat cuci piringnya ya! Aku siap-siap sekarang..."Alina dengan langkah cepat berlari pergi meninggalkan dapur. Erina yang diam-diam menguping percakapan keduanya, cukup terkejut, segera bersandar jauh ke dinding. Erina menghela nafas lega karena Alina tidak memergokinya."Ternyata rencana itu berhasil.." Mata Erina terus berkaca-kaca, tidak akan mengira rencananya dan Irsyad berhasil. Hotel'Pulau Cinta' itu sungguh suatu keberuntungan besar.Alina yang sudah berada di kamar, den
Keesokan harinya, Alina sudah tampil rapi dalam balutan blus bewarna peach yang dipadukan dengan kulot putih. Perpaduan dua warna itu memberi sentuhan muda dan segar. Ketika Alina melilitkan kepalanya dengan pasmina bewarna abu rokok, itu membuatnya terlihat manis. Alina menuntaskan penampilan sempurnanya pagi itu dengan polesan lipstik orange peach, "Perfect!" Alina tersenyum bangga, memperhatikan pantulan wajah cantiknya di cermin.Meraih tas tangan warna putih, Alina langsung menyampirkannya di bahu. Berjalan turun ke bawah, ruang tamu terlihat lengang. Terdengar derap langkah sibuk dari ruang makan yang tak lain adalah Zayyad yang tengah menata makanan di atas meja."Di mana nenekku dan kakek mu?" Alina pergi berdiri bersandar di sudut meja. Memperhatikan kedua tangan Zayyad yang sibuk menata tata letak piring dan gelas di meja."Mereka berdua lari pagi" Zayyad selesai menata makanan di meja. Semangkuk bubur untuk Erina dan sepiring roti bakar keju unt
Sebulan berlalu sudah dan Alina mendapatkan gaji pertamanya. Itu gaji yang dua kali lipat lebih besar dari tempat mengajarnya dulu di kota Z. Walau begitu, Alina masih merasa tidak nyaman dengan sekolah tempat mengajarnya yang sekarang. Itu karena ia harus berhadapan dengan murid berjenis kelamin laki-laki.Alina sudah berusaha keras untuk mengendalikan rasa benci dan menahan diri untuk tidak mendiskriminasi. Hanya saja, Alina seringkali gagal melakukannya.Tepat pukul dua siang, Tina sudah datang menjemputnya pulang. Alina masuk kedalam mobil, duduk bersandar dan menghela nafas penat. Matanya melihat ke depan, memperhatikan Tina yang mulai menyalakan mesin mobil, "Kita tidak pulang dulu ke vila...""Lalu kita akan kemana Bu?""Ke suatu tempat.."Ya, ke sesuatu tempat yang sudah lama Alina tidak datangi.Tina melirik sekilas ke spion depan, menangkap Alina yang duduk termenung di belakang seperti memikirkan sesuatu, "Baik Bu, silahkan berita
Raut wajah kebingungan Zayyad masih terngiang jelas di otaknya. Itu membuat Alina terdiam, memutar otaknya dan berpikir...Alina berpikir keras apa masalahnya? karena ia sangat jarang masuk angin. Setiap hari ia selalu memiliki jadwal makan yang teratur dan pastinya sehat karena Zayyad benar-benar mengaturnya dengan baik. Hingga terbersit kemungkinan terakhir yang mendadak membuat dunia Alina seakan berhenti berputar."Tidak mungkin" Memikirkan itu, Alina nyaris saja jatuh seakan kehilangan tempatnya berpijak. Pergi keluar kamar mandi, Alina berjalan lemah mendatangi ibunya. Pelan Alina mendekat, mendaratkan sebuah kecupan lembut di kening ibunya, "Bu, Alin pulang dulu ya"Alina pun bergegas pergi meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Berjalan kaki di sepanjang jalan yang sepi, Alina terus memperhatikan kalender di layar ponsel. Berkali-kali Alina menggelengkan kepalanya mendapati fakta bahwa ia sudah terlambat sepuluh hari, "Ini tidak
Zayyad membantu Alina berbaring. Mengambil bantal dan meletakkannya di kepala ranjang, Zayyad perlahan membuat Alina bersandar. Zayyad dapat melihat Alina yang terduduk lemas dengan wajah pucat pasi. Mengambil cangkir yang ada di atas meja, Zayyad menyodorkannya pada Alina, "Minumlah, ini air madu hangat"Alina menerima cangkir itu dan menyesapnya sedikit. Rasanya sudah tidak begitu hangat. Lalu ia menyerahkan cangkir itu ke Zayyad untuk di letakkan kembali keatas meja, "Aku mau minum air putih""Aku pergi ambil!" Zayyad bergegas bangun dari ranjang."Satu botol besar ya" Pinta Alina.Zayyad menautkan sepasang alisnya, merasa heran karena Alina tidak pernah minum sebanyak itu, "Em"Melihat Zayyad yang sudah keluar dari kamar, Alina menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Ragu ia meraba permukaan perut datarnya. Ada rasa takut dan hatinya bertanya— 'Apakah sungguh ada kehidupan di sana?'"Tidak ada, ini kosong" Alina meng
"Berkomunikasi dengan perut mu" Ujar Zayyad dengan santainya. Ia lalu berhenti mengusap perut Alina, menyadari kalau wanita itu tidak nyaman dengan perlakuannya, "M-maaf"Alina tidak berkata apa-apa. Ia terus melahap habis satu-persatu roti bakar yang ada di piring. Setelah semua itu ludes habis masuk memenuhi perutnya, Alina merasa sangat kenyang. Di samping itu Zayyad sudah pergi duduk di sofa, membaca buku. Alina yang belum mengantuk, memilih untuk bermain ponsel. Kali ini ia ingin melupakan sesaat mengenai dua garis merah dan segala keganjilan yang ia rasakan seharian ini.Hingga beberapa menit berlalu, sepasang kelopak mata Alina terasa berat. Tak butuh berapa lama hingga kepalanya terkulai jatuh menepuk bantal. Zayyad baru saja menutup buku bacaannya dan tanpa sengaja menoleh kearah ranjang. Zayyad melihat Alina sudah tertidur pulas. Zayyad beranjak dari duduknya dan meletakkan buku yang baru saja dibacanya di rak.Berjalan mendatangi ranjang, Zayyad mengu
Menjelang senja, Zayyad baru kembali ke vila. Itu karena ia menghabiskan cukup banyak waktu di perusahaan, mengajarkan Faqih mengenai beberapa proposal yang akan pria itu tangani kedepannya sebagai CEO perusahaan. Setiba di ruang tamu, Zayyad tidak menemukan batang hidung Alina. Ia pun berlari cepat menaiki anak tangga mengira Alina masih terbaring lemah di atas ranjang.Membuka pintu kamar, yang Zayyad temukan hanya ranjang yang masih memperlihatkan bekas baru saja ditiduri dan itu sedikit berantakan, "Di mana Alina?" Sepasang alis Zayyad tertaut, mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya yang cukup luas.Suara air dari kamar mandi menjadi jawaban. Zayyad pun pergi ke kamar mandi dan mengetuk pelan pintu, "Alina.."Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya pancuran air deras dan samar-samar..."Alina kau di dalam?" Zayyad mendengar suara tangis.Masih tidak ada respon apapun dari seseorang yang berada di dalam sana. Itu membuat Zayy
Alina menarik diri dari dekapan Zayyad yang hangat dan candu. Wajahnya yang basah dan sembab itu mengarah tepat ke wajah Zayyad yang menatapnya serius dan dalam."Jangan berpikir untuk mengakhiri apapun.." Jari-jemari Zayyad pergi menyisir lembut anak rambut di pinggiran dahi Alina, "Ada aku bersamamu..""..." Alina hanya diam dengan sepasang bibir bawah dan atas bergetar."Kita akan menghadapinya bersama"Bola mata hitam Alina lagi-lagi bergetar. Rasa panas di kedua matanya mulai merambat jauh hingga ke pangkal hidung yang mulai terasa asam dan pekat."Jadi jangan takut—" Jempol Zayyad pergi mengusap pelan belahan pipi Alina, "Dan jangan berpikir untuk kabur.."Derai air mata Alina kembali berjatuhan. Hanya saja kali ini ia menangis dengan bibir bergetar tanpa Isak tangis yang keras seperti sebelumnya. Tangan kanannya tanpa sadar sudah mengusap lembut perutnya yang masih rata. Bersamaan dengan itu tangan Zayyad terulur ke depan,
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya
"Nenek, engga lama lagi cicit mu akan segera lahir" Alina tersenyum dan berbicara seorang diri. Alina mengelus perut besarnya dan wajahnya terus menoleh ke samping. Seakan-akan ada neneknya yang duduk tepat disebelah nya.Pemandangan dari ruang tamu itu, diam-diam di intip oleh Maya dan Zayyad. Maya menghela nafas berat dan menoleh pada Zayyad, "Kau lihat sendiri kan!" Maya bersuara pelan tapi tak mengurangi emosi marah dan kesal yang terukir jelas di raut wajahnya, "Sebulan sudah berlalu lagi dan Alina masih saja begitu. Zayyad, apa kau akan terus membiarkannya seperti ini?"Zayyad diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Bukan hanya Maya yang mengkhawatirkan keadaan psikis Alina tapi dirinya pun juga. Hanya ia memutuskan untuk yakin, percaya dan sabar menanti. Kalau Alina akan segera menjadi Alina yang dulu— istrinya yang arogan, keras kepala dan tangguh."Kalau bukan karena aku menghargai keputusanmu sebagai suami dari Alina. Aku pasti akan memb
Delapan bulan akhirnya berlalu sudah. Aura ibu hamil dari seorang Alina kian sempurna. Emosinya pun tampak jauh lebih stabil dari trimester pertama dan kedua. Perut Alina membesar dan itu cukup besar nyaris membuat Maya curiga kalau dugaannya itu benar. Bayi yang dikandung sahabatnya itu adalah kembar.Banyak baju yang Alina tidak muat memakainya dan nyaris sobek. Alhasil Zayyad membeli banyak baju khusus untuk ibu hamil buat Alina yang masih tinggal di rumah almarhum neneknya itu.Zayyad mengira kondisi Alina akan segera membaik, tapi ternyata sebaliknya. Istrinya itu mulai berhalusinasi kalau Erina masih hidup dan masih bersama dengan mereka di rumah kecil itu."Kamu udah siap buat buburnya?" Alina datang ke meja makan dan melihat Zayyad yang baru saja menghidangkan semangkuk bubur hangat."Sudah" Zayyad tersenyum. Ada setitik kesedihan jauh di dasar mata coklat bening itu."Kalau begitu aku bawa ke kamar nenek ya" Alina mengambil mangkuk bubur d
Tiga hari setelah kabar duka itu. Para kerabat dari pihak Irsyad dan rekan Erina berdatangan ke vila Zayyad setiap malamnya untuk membaca Yasin. Termasuk dengan Maya dan keluarganya yang sudah hadir sejak hari pemakaman. Mereka menginap di vila Zayyad membantu Zayyad mengurus segala keperluan.Zayyad benar-benar lemah tak bertenaga dengan keadaan ini. Sepasang matanya terlihat kuyu dan tubuhnya mengurus. Ia sedih dengan kepergian Erina yang begitu mendadak. Salah seorang wanita di samping Alina yang baru-baru ini menjadi pengecualian dari rasa takutnya.Zayyad pun tak berdaya menghadapi dua orang yang di sayangi nya yang jelas begitu drop dengan kenyataan pahit ini. Kakeknya terus jatuh bangun tak sadarkan diri dan Alina yang sampai hari ini menolak kenyataan kalau Erina sudah meninggal.Tepat di hari pemakaman, kakeknya tersungkur jatuh mencium tanah dan Alina mengurung diri seharian di kamar neneknya dengan sepiring nasi goreng yang sudah basi. Nasi goreng yan