Alina yang menggeliat tak sabaran sejak tadi, terdiam. Mata hitamnya menatap mata coklat Zayyad.
"Jika pun aku mau, aku ingin melakukannya atas persetujuan darimu..."
Menarik kerah baju Zayyad, Alina dengan gigih berkata, "Aku menyetujuinya"
"..." Zayyad menghela nafas panjang.
"Ayo cepat! Kita lakukan sekarang ya, aku sudah tak tahan.." Rengek Alina mendesak Zayyad untuk segera memuaskannya. Tangannya dengan terburu-buru melepaskan kancing baju Zayyad. Rasa panas yang menjalar hingga ke pembuluh otaknya, membuat Alina merasa tak tahan untuk segera mendapatkan apa yang dibutuhkan tubuhnya.
Zayyad tidak punya pilihan lain. Mengangkat tubuh kurus Alina, Zayyad membawanya pergi ke kamar mandi. Lalu ia meletakkan wanita itu kedalam bathtub.
"Zayyad, kenapa kau membawa ku kemari?" Keluh Alina, kesadarannya yang masih separuh linglung itu pergi memukul-mukul kesal lengan Zayyad.
Zayyad tidak menggubris perlakuan Alina, terus menyalakan air
"K-kau tidak ke perusahaan?" Kali ini Alina dengan cepat menarik jari telunjuknya dan Zayyad tidak menahannya lagi. Meremas selimut tebal yang menutupi separuh tubuhnya, Alina berusaha menetralisir rasa gugupnya."Sepertinya tidak.." Zayyad separuh bangun, pergi meletakkan bantal di kepala ranjang. Lalu Zayyad menyandarkan punggungnya.Alina tidak bertanya kenapa. Begitu banyak memar biru yang memenuhi leher Zayyad. Bibirnya pun terkoyak mengenaskan. Dengan penampilan yang menyedihkan seperti itu, bagaimana Zayyad bisa tampil percaya diri di hadapan para karyawan?"Semalam kau minum alkohol?"Zayyad teringat dengan nafas Alina yang bau alkohol dan sikapnya yang kegerahan tak wajar, pasti tidak hanya minuman biasa. Minuman itu pasti sudah dicampuri sesuatu."Tidak!" Alina mengambil guling, meletakkan di atas badannya, ia memeluknya senyaman mungkin."Tapi kenapa sikap mu..."Alina membelalakkan matanya, menyadari sesuatu. Seketika Alin
⚠️ Sensitive Content ⚠️*Bab ini mengandung cuplikan yang tidak pantas, harap membacanya dengan bijak dan melewatkannya jika perlu*Beberapa menit berlalu dengan keheninganBeberapa menit berlalu dengan keheningan. Zayyad masih berada di atas Alina. Mata coklatnya yang tak be-riak, terbuai dengan kecantikan yang berada tepat di bawahnya.Pelan, jantung Alina kembali berdetak tak karuan. Seluruh sel saraf dalam tubuhnya menjadi kaku, tiap kali nafas hangat Zayyad menerpa wajahnya. Matanya melirik ke bawah, mengikuti kemana tangan Zayyad pergi— itu mendarat di tulang selangkanya. Alina yakin, Zayyad pasti dapat melihat gerakan dadanya yang naik turun karena gugup.Alina merasakan, ujung jari-jemari Zayyad yang besar, menari-nari pelan di atas tulang selangkanya. Esensi dari gerakan yang menggelitik itu, membuat Alina refleks menggerakkan kedua kakinya— gugup dan gusar. Itu suatu hal yang asing, yang tidak pernah Alina rasakan sebelumnya.
"Syuhh..Alin tenang saja. Selama ada ayah di sisi Alin, ayah tidak akan membiarkan pria manapun melukai putri ayah..""Ayah janji?""Tapi ada syaratnya""Apa itu ayah?""Apapun yang pernah ayah lakukan pada Alin, itu harus menjadi rahasia di antara kita berdua saja. Alin paham?""Alin paham. Alin janji ini akan menjadi rahasia di antara kita berdua saja""Anak pintar!" Pria dewasa itu menepuk pelan kepala putrinya dan tersenyum puas.Terdengar suara isak tangis Alina yang lirih, Zayyad langsung menghentikan aktivitasnya. Mengangkat tubuhnya, kepalanya mendongak menatap Alina dibawahnya dengan perasaan bersalah, "Maaf.." Lembut jempol Zayyad mengusap pipi Alina yang basah.Alina perlahan membuka matanya. Alina melihat mata coklat Zayyad yang meredup sedih da
Alina melihat Zayyad yang berjalan kearahnya, kemudian berdiri tepat di belakangnya. Menurunkan tatapannya kebawah, Alina melihat tangan Zayyad yang perlahan memeluk pinggang kecilnya lembut. Kepala Zayyad menunduk tepat di telinga kanannya dan berbicara pelan, "Aku juga pernah dilakukan cukup kasar...Sekeras apapun aku mengelak dari fakta itu, tapi saksi bisu yang tersisa di tubuhku, tidak dapat menyangkalnya" Alina mengedipkan matanya berkali-kali, netra nya terasa pedih dan dadanya terasa sesak. Seiring Zayyad berbicara pelan di telinganya, tatapan Alina menatap ke depan— tampak jauh dan hampa. Secuil kisah silam yang sudah dikubur jauh dalam otaknya, tidak mengerti kenapa itu bangkit. Membuat Alina dengan penuh kebencian mengenangnya— walau sangat tidak ingin. Prang.. Brak.. Bruk.. Suara lemparan barang memecah keheningan ruang tamu yang sempit. Vas bunga berisikan dua tangkai bunga mawar plastik sudah jatuh dan pecah tak b
Beberapa hari setelah penangkapan sang ayah, Alina diberondong dengan ribuan macam pertanyaan dari sang ibu. Menanyakan kenapa punggungnya terluka, kenapa ada bekas merah dikedua pergelangan tangannya dan kenapa ada koyakan samar dibibirnya. Alina kecil hanya diam, menolak untuk mengatakan sepatah katapun sampai sang ibu merasa frustasi dibuatnya.Tidak sampai disitu, Alina dan sang ibu pergi ke kantor polisi. Bertemu dengan beberapa ibu tetangga yang menyumpah serapah pada sang ibu dalam keadaan yang sangat marah. Mereka benci pada ibu karena suaminya sudah melecehkan putri mereka."Syukurlah anakku sejauh ini tidak kenapa-kenapa!""Alhamdulillah, anakku cepat memberitahu ku hal aneh yang dialaminya, jika tidak...aku tidak tau akan seperti apa nantinya""Ya, syukurlah pria bejat itu sudah ditangkap, jika tidak mungkin akan banyak korban yang lainnya...""Pak polisi kalau bisa penjarakan saja sampah itu seumur hidup, masyarakat seperti kita tidak m
"Alina""Alina""Alinaa""Ya?" Panggilan Zayyad yang ketiga kalinya, membuat Alina tersentak dari lamunan masa lalunya yang pahit."Ada apa?" Zayyad memutar tubuh Alina. Membuat Alina berdiri menghadapnya, "Kau sedang memikirkan apa?""Tidak ada" Alina menggeleng, tersenyum pelan. Tidak tau kenapa, setelah melihat wajah Zayyad yang ada di depannya, rasa pedih dan sesak yang tak tertahankan ketika mengenang memori kelam itu...Sirna begitu saja."Lalu kau melamun kan apa tadi?" Sepasang alis Zayyad tertaut, kepalanya membungkuk sedikit menatap Alina yang tingginya tepat sejajar dengan dadanya.Daripada terlihat ingin tau, jelas Zayyad cukup mencemaskan dirinya. Alina mengulum senyum kecil. Lalu mengulurkan kedua tangannya pergi menangkup kedua belah pipi Zayyad.Sekilas Alina dapat merasakan, betapa keras dan kokohnya rahang Zayyad."Dulu ada ibu-ibu yang mengkhawatirkan keadaan ku.." Tukas Alina, mata hitamnya mem
"Naiklah!" Alina terkejut, melihat Zayyad yang sudah membungkuk. Menawarkan punggungnya untuk Alina naik-i. "U-untuk apa?" "Bukankah kita akan menyiapkan sarapan bersama?" "Dan haruskah aku menaiki punggungmu?" "Ya" Zayyad mengangguk dengan polosnya tanpa memberikan alasan apapun, "Kau tidak nyaman dengan itu?" Lanjut Zayyad yang masih membungkukkan punggungnya untuk Alina. "Tentu saja tidak!" Sergah Alina. Bersemangat. Bagaimana mungkin Alina melewatkan kesempatan emas itu? Setidaknya setelah hubungan antara mereka berakhir, Alina memiliki beberapa kesenangan yang menguntungkan dan membahagiakan. Cukup untuk membuatnya tidak menyesal, karena sudah memilih keputusan yang penuh pengorbanan ini— Hubungan pernikahan! "Kalau begitu cepatlah, berapa lama lagi kau akan membuat aku membungkuk?" Zayyad terlihat mengeluh di samping wajahnya yang tersenyum dibuat-buat tak berdaya. "Oh!" Menahan senyum manis di bib
"Baik-baik, tidak tertawa lagi" Zayyad mengulum rapat bibirnya, menyerah.Alina memutar matanya kesal, berhenti mencubit pinggang Zayyad. Beberapa saat, suasana berubah menjadi hening. Dalam situasi itu, Alina merasa nafas Zayyad masih tersisa di mulutnya. Seakan-akan aroma nafas itu masih bertahan.. samar-samar."Jujur, aku sama sekali tidak keberatan untuk yang tadi.." Zayyad memasang tampang wajah serius, tangannya pergi menyampir kan sejumput rambut Alina kebelakang telinga."..." Alina menatap tak mengerti pada Zayyad. Tidak keberatan?"Aku senang.." Tangan Zayyad membelai lembut kepala Alina."..." Alina diam, masih menyimak."Untuk pertama kalinya aku merasa, hubungan kita seperti suami dan istri pada umumnya"Detik itu Alina terhenyak. Rasa tak siap setiap kali mendengar fakta 'suami- istri' membuat Alina mengepalkan tangannya gundah. Ada bagian dalam dirinya yang menentang keras hal itu dan mengingatkannya dengan tegas...