"Syuhh..Alin tenang saja. Selama ada ayah di sisi Alin, ayah tidak akan membiarkan pria manapun melukai putri ayah.."
Alina melihat Zayyad yang berjalan kearahnya, kemudian berdiri tepat di belakangnya. Menurunkan tatapannya kebawah, Alina melihat tangan Zayyad yang perlahan memeluk pinggang kecilnya lembut. Kepala Zayyad menunduk tepat di telinga kanannya dan berbicara pelan, "Aku juga pernah dilakukan cukup kasar...Sekeras apapun aku mengelak dari fakta itu, tapi saksi bisu yang tersisa di tubuhku, tidak dapat menyangkalnya" Alina mengedipkan matanya berkali-kali, netra nya terasa pedih dan dadanya terasa sesak. Seiring Zayyad berbicara pelan di telinganya, tatapan Alina menatap ke depan— tampak jauh dan hampa. Secuil kisah silam yang sudah dikubur jauh dalam otaknya, tidak mengerti kenapa itu bangkit. Membuat Alina dengan penuh kebencian mengenangnya— walau sangat tidak ingin. Prang.. Brak.. Bruk.. Suara lemparan barang memecah keheningan ruang tamu yang sempit. Vas bunga berisikan dua tangkai bunga mawar plastik sudah jatuh dan pecah tak b
Beberapa hari setelah penangkapan sang ayah, Alina diberondong dengan ribuan macam pertanyaan dari sang ibu. Menanyakan kenapa punggungnya terluka, kenapa ada bekas merah dikedua pergelangan tangannya dan kenapa ada koyakan samar dibibirnya. Alina kecil hanya diam, menolak untuk mengatakan sepatah katapun sampai sang ibu merasa frustasi dibuatnya.Tidak sampai disitu, Alina dan sang ibu pergi ke kantor polisi. Bertemu dengan beberapa ibu tetangga yang menyumpah serapah pada sang ibu dalam keadaan yang sangat marah. Mereka benci pada ibu karena suaminya sudah melecehkan putri mereka."Syukurlah anakku sejauh ini tidak kenapa-kenapa!""Alhamdulillah, anakku cepat memberitahu ku hal aneh yang dialaminya, jika tidak...aku tidak tau akan seperti apa nantinya""Ya, syukurlah pria bejat itu sudah ditangkap, jika tidak mungkin akan banyak korban yang lainnya...""Pak polisi kalau bisa penjarakan saja sampah itu seumur hidup, masyarakat seperti kita tidak m
"Alina""Alina""Alinaa""Ya?" Panggilan Zayyad yang ketiga kalinya, membuat Alina tersentak dari lamunan masa lalunya yang pahit."Ada apa?" Zayyad memutar tubuh Alina. Membuat Alina berdiri menghadapnya, "Kau sedang memikirkan apa?""Tidak ada" Alina menggeleng, tersenyum pelan. Tidak tau kenapa, setelah melihat wajah Zayyad yang ada di depannya, rasa pedih dan sesak yang tak tertahankan ketika mengenang memori kelam itu...Sirna begitu saja."Lalu kau melamun kan apa tadi?" Sepasang alis Zayyad tertaut, kepalanya membungkuk sedikit menatap Alina yang tingginya tepat sejajar dengan dadanya.Daripada terlihat ingin tau, jelas Zayyad cukup mencemaskan dirinya. Alina mengulum senyum kecil. Lalu mengulurkan kedua tangannya pergi menangkup kedua belah pipi Zayyad.Sekilas Alina dapat merasakan, betapa keras dan kokohnya rahang Zayyad."Dulu ada ibu-ibu yang mengkhawatirkan keadaan ku.." Tukas Alina, mata hitamnya mem
"Naiklah!" Alina terkejut, melihat Zayyad yang sudah membungkuk. Menawarkan punggungnya untuk Alina naik-i. "U-untuk apa?" "Bukankah kita akan menyiapkan sarapan bersama?" "Dan haruskah aku menaiki punggungmu?" "Ya" Zayyad mengangguk dengan polosnya tanpa memberikan alasan apapun, "Kau tidak nyaman dengan itu?" Lanjut Zayyad yang masih membungkukkan punggungnya untuk Alina. "Tentu saja tidak!" Sergah Alina. Bersemangat. Bagaimana mungkin Alina melewatkan kesempatan emas itu? Setidaknya setelah hubungan antara mereka berakhir, Alina memiliki beberapa kesenangan yang menguntungkan dan membahagiakan. Cukup untuk membuatnya tidak menyesal, karena sudah memilih keputusan yang penuh pengorbanan ini— Hubungan pernikahan! "Kalau begitu cepatlah, berapa lama lagi kau akan membuat aku membungkuk?" Zayyad terlihat mengeluh di samping wajahnya yang tersenyum dibuat-buat tak berdaya. "Oh!" Menahan senyum manis di bib
"Baik-baik, tidak tertawa lagi" Zayyad mengulum rapat bibirnya, menyerah.Alina memutar matanya kesal, berhenti mencubit pinggang Zayyad. Beberapa saat, suasana berubah menjadi hening. Dalam situasi itu, Alina merasa nafas Zayyad masih tersisa di mulutnya. Seakan-akan aroma nafas itu masih bertahan.. samar-samar."Jujur, aku sama sekali tidak keberatan untuk yang tadi.." Zayyad memasang tampang wajah serius, tangannya pergi menyampir kan sejumput rambut Alina kebelakang telinga."..." Alina menatap tak mengerti pada Zayyad. Tidak keberatan?"Aku senang.." Tangan Zayyad membelai lembut kepala Alina."..." Alina diam, masih menyimak."Untuk pertama kalinya aku merasa, hubungan kita seperti suami dan istri pada umumnya"Detik itu Alina terhenyak. Rasa tak siap setiap kali mendengar fakta 'suami- istri' membuat Alina mengepalkan tangannya gundah. Ada bagian dalam dirinya yang menentang keras hal itu dan mengingatkannya dengan tegas...
"Ayo kita pergi!" Seru Alina bersemangat pada Zayyad. Alina sudah tampil cantik dalam balutan blus bewarna merah muda selutut berpadu celana putih dan pasmina abu-abu yang membalut rapi wajah tirusnya.Drtt..Ponsel Zayyad yang ada di atas nakas tampak bergetar."Sebentar!" Zayyad mengambil ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar, 'Kenapa kakek menelpon ku?' Perasaan Zayyad tidak baik. Mengangkat kepalanya kearah Alina, Zayyad menatap Alina beberapa saat dan bergeming.Ditatap begitu, Alina menautkan sepasang alisnya dengan tatapan bertanya, 'Ada apa?'Zayyad dapat menangkap tatapan Alina yang seakan mempertanyakannya dirinya. Zayyad hanya diam dan pergi mengangkat panggilan, "Assalamu'alaikum kek...""Wa'alaikumsalam, Zayyad..kau harus bergegas ke perusahaan sekarang" Terdengar suara tua di seberang, tertekan dan risau."Kenapa begitu tiba-tiba? Bukannya kakek menyuruhku untuk tidak perlu ke perusahaan?" Zayyad menautkan sep
"Ah, bu bagaimana mungkin merepotkan, Ini kan pekerjaan saya" Dalam hati Tina bersyukur, ia semakin yakin Alina akan menjadi majikannya yang baik dan pemurah, "Jadi Jika sering pun tidak masalah, saya janji akan membagi waktu saya dengan baik..""Oke!" Alina menganggukkan kepalanya, tersenyum hangat.Alina pun masuk ke dalam mobil sedan yang bewarna putih itu. Ia berpesan pada Tina untuk membawanya pergi ke mall. Sudah ada benda yang cukup berharga di tangannya, sangat sayang jika tidak digunakan.Di pertengahan jalan, ketika Alina memandang kesibukan kota metropolitan yang padat dari jendela mobil, tiba-tiba ia terbayangkan raut wajah Zayyad yang tampak tidak baik-baik saja setelah memutuskan panggilan di telfon.'Seharusnya dia mengatakan alasannya dengan jelas, kenapa tiba-tiba tidak bisa pergi...'Bukannya memberitahukan alasan yang masuk akal, Zayyad hanya mengatakan cukup klise— 'Aku harus segera ke perusahaan'.Jika dipikir-piki
Alina mematung di tempat, tatapannya tak lepas dari punggung Zayyad yang perlahan menjauh dari pandangannya. Tepat ketika Zayyad melangkah masuk kedalam lift, sesaat Zayyad menoleh kearah Alina. Zayyad tersenyum pahit pada Alina dan Alina hanya bergeming. Meskipun jauh, Alina dapat melihat jelas sepasang mata coklat Zayyad yang basah dan sendu. Tidak tau kenapa, Alina merasa sakit untuk itu. Zayyad memencet tombol dan masuk kedalam lift. Alina yang masih belum berpindah dari tempatnya berpijak, terdiam dan momen beberapa saat lalu kembali terputar. "Sebenarnya ini adalah hal yang paling ku nantikan..." Alina yang saat itu masih belum cukup pulih dari keterkejutannya, menatap Zayyad tak berkedip dan menyimak. "Berada di posisi ini bukanlah hal yang kuinginkan. Tapi...kau membuatku ragu" Bibir Alina yang terbungkam, pelan bersuara, "Kenapa?" "Jika aku tidak berada di posisi ini lagi, hal apa yang dapat kau manfaatkan dariku?"