Zayyad mengawali hari baru, tanpa menemukan sosok tubuh yang berbaring di sampingnya. Matanya tersenyum pahit, melihat sisi sebelah ranjangnya yang terlihat lapang dan sepi. Ada rasa hampa dihatinya, kala tidak menemukan wajah cantik dan rambut acak-acakan Alina, yang biasa menyambutnya ketika ia membuka mata di awal pagi.
Menjalani rutinitas paginya seperti biasa, Zayyad tak lupa menyiapkan sarapan semangkuk bubur untuk Erina dan sepiring roti bakar untuk Alina. Irsyad baru saja melangkah ke dapur, meminum segelas air. Melihat Zayyad meletakkan sepiring roti bakar keju di atas meja, ia langsung bertanya, "Sejak kapan kau sarapan dengan roti keju?"
Selama yang Irsyad tau, cucunya yang monoton itu selalu memiliki sarapan yang sama di setiap paginya— sepiring roti selai kacang. Zayyad tidak pernah mengubah menu sarapannya itu, seakan ia tidak akan pernah bosan.
"Ini untuk Alina" Zayyad menatap sepiring roti bakar keju yang sudah ada di atas meja, dengan p
Maya sudah mengganti pakaiannya dengan baju rumahan milik Alina. Pergi ke dapur, ia mencuci sayur dan siap memasak. Alina juga datang ikut membantu. Mengambil wortel, meletakkannya di atas telenan, ia memotongnya bulat-bulat, "May..kau serius tidak ingin menemani ku satu hari lagi?" Alina sungguh sangat bersyukur, karena masih ada Maya yang bersedia mengurusinya yang pengangguran ini. Jika tidak, mungkin ia sudah kelaparan dari semalam sampai sekarang. "Hari ini saja! Besok kau kembali ke kota Y" Maya mengecilkan nyala api kompor dan mulai mengaduk sayur bayam yang sedang direbus didalam panci. Alina berhenti memotong wortel, terus pergi memeluk Maya dari belakang, ia dengan manjanya menyandarkan dagunya di atas pundak sahabatnya itu, "May.. ayolah besok juga ya?" "No!" Maya menggelengkan kepalanya. "May..aku masih butuh waktu untuk sendiri. Besok..sehari saja lagi, ya??" "Engga!" Maya dengan tegas menolak. "May.. ayolah, kalau
"Aku gak tau!" Zayyad mengedikkan bahu. Ia sungguh tidak tau kapan ia memiliki perasaan yang seperti itu terhadap Alina, "Yang jelas.. setelah aku menikahi Alina, sedikit demi sedikit, ada rasa egois yang muncul dalam diriku. Rasa memiliki yang membuat ku tidak ingin melepasnya..." Rasa egois, yang membuatnya menerima sebuah tamparan keras dari Alina. Mengenang momen itu, Zayyad tersenyum samar. "Baguslah! Jadi, kakek tidak perlu menyesal. Karena sudah sepakat dengan Erina, menjodohkan kalian berdua" Irsyad yang tidak punya hal apa-apa lagi yang harus dikerjakan di dapur, bersiap untuk pergi. Tapi sebuah pertanyaan dari Zayyad, menahan langkahnya. "Apa menurut kakek pernikahan kami dapat bertahan lama?" Irsyad berbalik. Melihat cucunya yang tertunduk lesu. Sorot matanya sendu dan wajahnya seperti seseorang yang tidak memiliki semangat hidup. Penampilan Zayyad yang begitu, berhasil membuat Irsyad mengenang dirinya dulu. Yang pernah pupus
Hari sudah menjelang sore, tapi Maya masih juga belum kembali. Tadi siang Maya mengirimkan sekotak makanan melalui kurir, katanya ia tidak sempat pulang untuk memasak, jadi hanya bisa memesan dari restoran. Alina merasa sangat bosan duduk di rumah, berniat untuk mengajak Maya jalan-jalan keluar. Mengeluarkan ponselnya, ia menghubungi sahabatnya itu. "Assalamu'alaikum may..kau sibuk apa sampai sore seperti ini tidak pulang-pulang?" Tanya Alina, ketika panggilan tersambung. "Wa'alaikumsalam..aku masih diruang nih, membereskan rapor anak-anak, hari ini sudah harus selesai" Maya tidak berbohong. Posisinya saat ini memang sedang dalam kantor guru, menyelesaikan urusannya. Di samping rencana yang sudah dirancangnya untuk Alina, kesibukannya itu ternyata cukup membantu. "Aku tidak menyangka, akhirnya kau bisa menjadi guru wali kelas" Dulu, ia dan Maya hanyalah pengajar kontrak biasa. Yang hanya mengajar materi yang mereka pegang. Tapi tidak pernah mengira, M
Alina mengangkat kakinya, mengambil beberapa langkah mendatangi kasurnya dimana Zayyad sedang berbaring di sana. Tepat ketika ia hendak duduk di tepi kasur, sebuah lengan kokoh terjulur ke depan, dengan cepat menarik pinggangnya hingga ia terjatuh— Bruk! Tubuhnya jatuh menimpa tubuh Zayyad. Alina tersentak kaget, bersiap untuk bangun hanya untuk ditahan oleh tangan Zayyad yang menekan punggungnya lembut, "Nanti saja marahnya ya..." Alina tertegun. Posisinya yang menekan tubuh Zayyad seperti ini, membuatnya dapat merasakan detak jantung pria itu dengan jelas, dadanya yang naik turun menarik nafas dan suhu tubuhnya yang ikut mendominasi tubuhnya. Alina dapat merasakan semua itu. "Zayyad kau ini sebenarnya sakit tidak sih?" Alina berusaha melepaskan diri dari kukungan Zayyad. Posisi seperti itu sama sekali tidak nyaman untuknya. "Shh..." Terdengar Zayyad mendesis kesakitan, tangannya pun melonggar sehingga Alina akhirnya dapat pergi denga
Alina menggertak kan giginya, merasa kesal. Ia sudah sangat baik malam ini, tapi pria ini masih mencurigainya? Merebut sendok itu dari tangan Zayyad, ia langsung menyuapkan sesendok bubur itu kedalam mulutnya Alina mengecap bubur itu berkali-kali dan rasanya cukup pas, "Masih tidak percaya?" Zayyad tersenyum, mengambil sendok itu dari tangan Alina. Lalu ia mulai memakan bubur itu dengan sendok yang sama tanpa ragu. Alina yang melihat itu, merasa agak terkejut, "Itu kan bekas.." "Rasanya enak.." Zayyad tersenyum. Suapan demi suapan terus dilayangkan ke mulutnya. Membuat Alina merasa tak percaya, bukannya dia mengatakan tidak nafsu makan? "Kata mu..kau tidak nafsu makan. Tapi kenapa—" Alina melihat bubur yang sudah tersisa sedikit di mangkuk. "Karena ada penambah rasa khusus.." "Penambah rasa khusus?" Sepasang Alis Alina bertaut, tidak mengerti. Ia ingat, hanya menambahkan garam di dalam bubur, selebihnya ia tidak menaburkan apap
"Apa kau masih perlu bertanya kenapa?" Alina menganggukkan kepalanya, mengiyakan. Zayyad sudah berhasil membersihkan rumornya— yang seorang 'gay' dan bos besar perusahaan yang mengidap 'gynophobia'. Setelah dansa singkat mereka di pesta malam itu, semua orang pasti sudah beranggapan rumor-rumor itu tidak benar adanya dan hanya kabar burung yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bukankah sejak awal, Zayyad menikahinya untuk itu? Semuanya sudah berjalan seperti apa yang ia harapkan, lalu untuk apa masih membutuhkannya? "Karena kau adalah istri ku. Bagaimana mungkin aku tidak membutuhkan mu?" Alina terkesiap. Jawaban itu sungguh diluar dugaannya. Menarik tubuhnya dan melepas tangan Zayyad yang melilit perutnya, ia mengubah arah posisi berbaringnya pergi menghadap pria itu. "Zayyad jangan bercanda, sejak awal kita menikah untuk memenuhi tujuan kita masing-masing. Kau untuk membersihkan rumor tentangmu dan aku untuk membahagiakan nenekku.
Alina akhirnya setuju untuk pulang bersama Zayyad. Ia sadar diri, sebagai seorang pengangguran yang tidak punya sepeser uang pun di tangan, bagaimana dapat melanjutkan hidup? Sedangkan untuk makan dan biaya sehari-hari saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia juga tidak mungkin terus-menerus merepotkan Maya. Di samping itu ia merasa, Zayyad sepertinya sudah jatuh hati padanya. Kenapa tidak ia manfaatkan saja perasaan pria itu untuk kesenangannya? "Tiket pesawatnya sudah ku pesan, kita akan berangkat sekitar pukul sepuluh pagi..." Alina hanya menganggukkan kepalanya. Dalam hati, ia merasa sangat iri dengan cara hidup Zayyad. Ia untuk pulang pergi dari kota Z ke Y saja hanya dapat mengandalkan tranportasi darat yang terbilang cukup ekonomis, meskipun memakan waktu yang lama. Tapi Zayyad dengan mudahnya menggunakan transportasi udara seakan-akan itu hanyalah angkutan umum biasa. Tok..tok... Terdengar suara ketukan di pintu depan. "Se
Drtt... Dering ponsel yang ada dalam saku Zayyad, berhasil membuat pria itu tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Zayyad segera melepaskan pinggang Alina dan mengambil beberapa langkah menjauh. Mengeluarkan ponselnya, ia pergi keluar kamar untuk menjawab panggilan. Alina yang beberapa waktu lalu menahan nafas, akhirnya dapat mendesah lega. Tangannya mengibas-ngibas wajahnya yang tidak tau kenapa terasa panas. "Iyaa, kami akan segera kembali ke kota Y hari ini..." Ucap Zayyad pada seseorang yang berada dalam panggilan, yang tidak lain adalah Irsyad. "Alhamdulillah, akhirnya aku berhasil membujuknya" "Katakan pada nenek untuk tidak perlu khawatir, Alina cukup patuh kok.." Kata Zayyad, sembari menyunggingkan senyum diwajahnya. "Sudah dulu ya kek, kami harus bersiap-siap.." "Assalamu'alaikum.." Panggilan berakhir. Zayyad kembali masuk kedalam kamar, merasa agak gugup dan canggung bertemu Alina mengingat per
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya
"Nenek, engga lama lagi cicit mu akan segera lahir" Alina tersenyum dan berbicara seorang diri. Alina mengelus perut besarnya dan wajahnya terus menoleh ke samping. Seakan-akan ada neneknya yang duduk tepat disebelah nya.Pemandangan dari ruang tamu itu, diam-diam di intip oleh Maya dan Zayyad. Maya menghela nafas berat dan menoleh pada Zayyad, "Kau lihat sendiri kan!" Maya bersuara pelan tapi tak mengurangi emosi marah dan kesal yang terukir jelas di raut wajahnya, "Sebulan sudah berlalu lagi dan Alina masih saja begitu. Zayyad, apa kau akan terus membiarkannya seperti ini?"Zayyad diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Bukan hanya Maya yang mengkhawatirkan keadaan psikis Alina tapi dirinya pun juga. Hanya ia memutuskan untuk yakin, percaya dan sabar menanti. Kalau Alina akan segera menjadi Alina yang dulu— istrinya yang arogan, keras kepala dan tangguh."Kalau bukan karena aku menghargai keputusanmu sebagai suami dari Alina. Aku pasti akan memb
Delapan bulan akhirnya berlalu sudah. Aura ibu hamil dari seorang Alina kian sempurna. Emosinya pun tampak jauh lebih stabil dari trimester pertama dan kedua. Perut Alina membesar dan itu cukup besar nyaris membuat Maya curiga kalau dugaannya itu benar. Bayi yang dikandung sahabatnya itu adalah kembar.Banyak baju yang Alina tidak muat memakainya dan nyaris sobek. Alhasil Zayyad membeli banyak baju khusus untuk ibu hamil buat Alina yang masih tinggal di rumah almarhum neneknya itu.Zayyad mengira kondisi Alina akan segera membaik, tapi ternyata sebaliknya. Istrinya itu mulai berhalusinasi kalau Erina masih hidup dan masih bersama dengan mereka di rumah kecil itu."Kamu udah siap buat buburnya?" Alina datang ke meja makan dan melihat Zayyad yang baru saja menghidangkan semangkuk bubur hangat."Sudah" Zayyad tersenyum. Ada setitik kesedihan jauh di dasar mata coklat bening itu."Kalau begitu aku bawa ke kamar nenek ya" Alina mengambil mangkuk bubur d
Tiga hari setelah kabar duka itu. Para kerabat dari pihak Irsyad dan rekan Erina berdatangan ke vila Zayyad setiap malamnya untuk membaca Yasin. Termasuk dengan Maya dan keluarganya yang sudah hadir sejak hari pemakaman. Mereka menginap di vila Zayyad membantu Zayyad mengurus segala keperluan.Zayyad benar-benar lemah tak bertenaga dengan keadaan ini. Sepasang matanya terlihat kuyu dan tubuhnya mengurus. Ia sedih dengan kepergian Erina yang begitu mendadak. Salah seorang wanita di samping Alina yang baru-baru ini menjadi pengecualian dari rasa takutnya.Zayyad pun tak berdaya menghadapi dua orang yang di sayangi nya yang jelas begitu drop dengan kenyataan pahit ini. Kakeknya terus jatuh bangun tak sadarkan diri dan Alina yang sampai hari ini menolak kenyataan kalau Erina sudah meninggal.Tepat di hari pemakaman, kakeknya tersungkur jatuh mencium tanah dan Alina mengurung diri seharian di kamar neneknya dengan sepiring nasi goreng yang sudah basi. Nasi goreng yan