Setelah kekacauan itu, kamar terasa hening dengan detak jam dinding memecah kesunyian. Alina yang sejak awal belum tidur, membuka matanya. Ia perlahan bersandar di kepala ranjang.
Mengambil ponselnya, ia melihat bahwa sudah pukul satu pagi. Sebenarnya ia sudah sangat ingin tidur. Sudah beberapa jam ia menutup rapat matanya, tenggelam dalam selimut dan membayangkan banyak hal yang menyenangkan sampai lelah. Tapi nihil. Matanya masih saja enggan mengantuk.
Insomnia yang dimilikinya ini terkadang seringkali membuat nya frustasi. Terkadang jika hari-hari mengajar, ia sengaja mengkonsumsi obat tidur di malam harinya. Agar ia punya waktu tidur yang cukup untuk tidak menganggu aktivitas nya besok. Jika tidak, mungkin ia akan mengantuk dan lesu seharian, karena kekurangan waktu tidur.
Tapi karena besok ia masih cuti. Ia memilih untuk tidak mengkonsumsi nya. Karena bagaimanapun juga tidak baik jika ia selalu bergantung pada obat itu.
Menoleh kearah sofa, ia melihat sosok pria yang tidur dengan tenang. Meluruskan kaki panjangnya cukup baik di ujung lengan sofa. Salah satu tangan nya berada di atas perut, sedang yang satunya lagi menyangga kepalanya. Ruangan ini sebenarnya cukup dingin, tapi ia sama sekali tidak mengenakan selimut.
Tidur nya terlihat pulas. Deru nafasnya terdengar cukup teratur. Di balik sinar lampu tidur yang menerpa wajahnya, Alina dapat melihat sebuah pemandangan yang cukup menarik.
Pemandangan pria tampan, dengan kontur wajah yang terpahat sempurna. Jembatan hidung yang menawan, sepasang alis tebal yang memikat, serta bibir tipis merah keunguan nya yang menggoda.
Persis seperti melihat seorang pangeran yang sedang menikmati tidurnya. Jika Alina tidak membenci pria, akankah ia jatuh hati pada pria itu?
"Aku pikir, malam ini kau cukup murah hati untuk mengalah"
Mengalah untuk tidur di sofa..
Mengalah untuk perbuatan ku yang membuat kamarnya berantakan...
Mengalah untuk ku yang sudah menghancurkan tatanan rak bukunya...
Dan bahkan mengalah ketika aku tidak memberinya bantal...
"Aku kira setelah semua itu, paling tidak kau akan marah!" Tapi yang terjadi, pria itu mengontrol emosi nya cukup baik.
"Mungkin jika seandainya kau wanita, aku tidak ragu untuk berteman baik dengan mu" Tapi sayangnya kau adalah pria...
"Aku tau kau melakukan ini bukan karena sengaja" Alina menyentuh benjolan di kepalanya. "Aku menyadari ketakutan mu saat itu, hanya saja aku menolak menoleransi luka fisik yang ku terima ini"
Karenanya ia melempar barang-barang hingga membuat kamar ini hancur berantakan. Walau tak ada satupun yang mendarat mengenai pria itu, entah kenapa ia merasa jauh lebih baik setelah melakukan nya.
"Sebenarnya aku ingin sekali menjahili mu malam ini, tapi sepertinya aku tidak bisa melakukan nya begitu cepat"
Karena takut nya kau akan melarikan diri!
Perlahan Alina mengulurkan tangannya untuk mematikan lampu tidur. Setelahnya ia memainkan ponselnya sampai matanya terasa lelah.
Tepat pada pukul dua pagi, ponsel di tangan nya jatuh. Alina tertidur begitu saja dan terbuai oleh mimpi.
Pada pukul lima pagi. Zayyad sudah bangun. Ia memiliki pola tidur yang baik dan teratur. Tidur cepat dan bangun awal.
Ia merasakan punggungnya sangat tidak enak setelah tidur semalaman di sofa. Mungkin kedepannya tidak akan seburuk ini jika sudah terbiasa.
Setelah menekan saklar lampu, hal pertama yang menyambut matanya. Adalah pemandangan yang mengejutkan di atas ranjang.
Seorang wanita, masih dengan kerudungnya, tidur dengan kaki di atas kepala ranjang, bukan lagi kepalanya. Selimut dan guling tergeletak di lantai, sedang dua bantal sudah tidak pada tempat semestinya.
"Aku tidak menyangka tidurnya seburuk itu!"
Syukurlah yang tidur di atas sofa adalah dirinya. Mungkin jika wanita itu yang tidur di sofa semalam, tubuh kecil nya itu akan tergeletak di lantai. Paling buruk seluruh badannya sakit dan yang terburuk salah satu tulang nya patah.
Jika itu terjadi, ia tidak tau harus mengatakan apa pada kakeknya.
"Sepertinya untuk seterusnya aku akan tidur di sofa"
___Di pagi harinya Alina sudah bangun hanya untuk menemukan beberapa roti bakar dan semangkuk bubur hangat yang sudah ada di meja makan lengkap dengan se-teko susu hangat.
Tadi malam Zayyad memesan koki untuk memasak. Tapi hari ini apakah ia mendatang kan mereka lagi?
Mencium aroma keju dari roti bakar tersebut, Alina tak dapat menahan godaan.
Tadi malam ia makan makanan kesukaannya dan pagi ini ia dapat menikmati sarapan favorit nya.
Pernikahan ini setidaknya banyak menguntungkan nya.
Alina mengambil nampan di dapur dan meletakkan semangkuk bubur serta segelas susu di atas nampan untuk di bawa pergi ke kamar neneknya.
"Pagi nenek!"
Sapa Alina ceria sambil meletakkan nampan tersebut di atas meja di dekat ranjang.
"Dimana Zayyad?"
Alina baru saja membuka gorden kamar dengan suasana hati yang baik. Tapi segera moodnya berubah ketika nenek mempertanyakan soal pria itu.
"Pastinya sudah pergi!"
Alina mendekati ranjang untuk membantu neneknya duduk.
"Um!"
"Nenek makan sendiri atau aku suapi?"
"Nenek makan sendiri saja"
Alina pun mengambil mangkuk bubur tersebut, memberikan pada neneknya.
"Kalau begitu aku pergi sarapan dulu"
"Jidat Alin kenapa?"
Tapi pertanyaan itu menghentikan langkah Alina. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya, kalau itu karena ulah dari menantu pilihannya. Tapi jika ia mengatakannya nya yang sebenarnya. bagaimana jika wanita tua itu merasa bersalah atau kecewa? Bukankah sejauh ini ia sangat membanggakan Zayyad dalam berbagai aspek.
"Ini... kepala Alin tidak sengaja kebentur kepala ranjang" Akhirnya ia memilih untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.
Erina yang mendengar jawaban itu, tau cucunya berbohong. Semalam ia dan Irsyad pergi ke lantai dua tempat kamar Zayyad berada. Mereka diam-diam menguping apa yang terjadi dalam kamar pengantin baru itu.
Dan jelas saja, itu adalah kekacauan!
"Lain kali lebih berhati-hati! Nenek tau kebiasaan tidur Alin buruk, jadi Alin sudah bisa untuk merubah nya dari sekarang" Meski tau yang sebenarnya, Erina memilih untuk mengikuti alur kebohongan cucunya itu. Disamping ia merasa bersalah karena sudah mencuri privasi cucunya dan suaminya semalam. Tapi ia juga menghargai kematangan Alina yang tidak sembarang mengadu tentang konflik rumah tangganya.
"Ah, kalau itu sepertinya sulit!" Baginya tidur adalah kebebasan. Ia tidak ingin membatasi ruang geraknya ketika tidur. Apalagi penderita insomnia seperti nya, yang harus berputar berapa kali di ranjang sampai bisa terlelap.
"Kalau begitu, semoga saja Zayyad tidak mempermasalahkan kondisi tidur mu yang buruk itu!"
"Ah, kalau itu tidak sama sekali!"
Selama ia yang menguasai ranjang dan pria itu yang memutuskan untuk tidur di sofa. Pria itu tidak akan mempermasalahkan tidurnya yang buruk.
"Kenapa Alin yakin sekali?"
"Karena semalam semua baik-baik saja"
Yah, semua baik-baik saja. Kecuali keadaan kamar yang seperti kapal pecah.
"Ah, syukurlah kalau begitu!"
"Kalau begitu nenek, Alin pergi sarapan dulu" Membayangkan roti bakar keju tadi, ia sudah tidak sabar untuk segera melahap nya.
"Alin"
Baru saja selangkah maju, Alina harus berbalik lagi. "Ia, ada apa lagi nek?"
"Kamu sudah tau kondisi Zayyad yang sebenarnya kan?"
"Ya!" Ternyata, neneknya juga tau hal itu.
"Kalian memiliki luka yang tak jauh berbeda perihal lawan jenis. Nenek harap pernikahan ini adalah obat untuk luka kalian"
Alina terdiam beberapa saat. Obat?
"Dan nenek harap, kamu mau mengerti kondisi Zayyad yang seperti itu! Mulailah secara perlahan dalam membangun hubungan dengannya, tapi jangan terlalu mengejutkan nya. Itu mungkin akan melukai psikis dan membangkitkan sisi traumatis nya. Bersikap lah sewajarnya untuk saat ini dan jangan terlalu jauh. Alin dapat melakukan hal-hal sederhana yang dapat menyakinkan nya, membuat nya sadar dan percaya bahwa Alin adalah pengecualian dari semua mimpi buruk masa lalunya"
Alina tercenung, mendengar penjabaran neneknya yang sejauh itu mengenai caranya untuk berhadapan dengan situasi dan kondisi Zayyad. Sebegitu pedulinya nenek pada pria itu?
"Lalu bagaimana dengan Alin?" Tidak tau kenapa, Alina merasa kecewa pada neneknya. Jika memang neneknya begitu peduli pada pria itu, lalu bagaimana dengan nya? bagaimana dengan mimpi-mimpi buruk masa lalunya? luka fisik bahkan psikisnya yang masih membekas hingga saat ini? Apakah semua itu bukanlah apa-apa untuk neneknya?
"Disini Alin lah yang terkuat di bandingkan Zayyad. Alin punya kebencian , dimana sebuah kekuatan yang mampu mendorong Alin untuk sanggup melawan mimpi-mimpi buruk itu. Tapi tidak dengan Zayyad yang hanya punya rasa takut. Jadi Alin lah yang harus maju untuk membantu Zayyad keluar dari mimpi-mimpi buruk itu!"
Bola mata hitam Alina bergetar. Ia merasa asam pada pangkal hidung nya. Kedua tangannya mengepal. Menekan gejolak dadanya yang terasa sesak. "Nek..Alin memang punya kebencian! Tapi jika nenek beranggapan itu adalah sebuah kekuatan untuk melawan mimpi-mimpi buruk yang Alin alami-" Alina menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghelanya perlahan.
"Nenek salah!" Alina tersenyum getir.
___
"Karena pada nyatanya, sampai saat ini Alin masih terjerat dengan mimpi-mimpi buruk itu. Itulah kenapa sampai saat ini Alin-" Alina tak kuasa menyelesaikan kata-katanya lagi. Ia mulai merasa matanya memanas, rongga pernafasannya sesak, rasanya ia ingin menangis. "Kebencian yang Alin miliki hanya membuat Alin berjalan di tempat, enggan maju mengahadapi realita dan hanya meyakini bahwa semua pria itu sama. Terkadang kebencian itu mendorong Alin untuk balas dendam, hanya saja nurani yang ada dalam diri alin menekannya cukup baik sejauh ini. Alin tidak mampu balas dendam dan tidak tau cara melampiaskannya harus bagaimana. karenanya kebencian itu rasanya semakin menyakitkan nek!" Itulah kenapa ia memutuskan untuk menjauhi bahkan menghindari interaksi apapun dengan pria. Karena dengan melihat mereka sekali saja, kebencian itu bangkit. Dan itu membuatnya terluka setiap kali ia gagal melampiaskannya. "Sebenarnya Alin tau!" Alina memandang ke langit-langit beberapa sa
Alina akhirnya dengan terpaksa pergi keluar vila hanya untuk mengantarkan makan siang untuk Zayyad. Bahkan neneknya juga berpesan padanya untuk menunjukkan bukti bahwa ia sudah mengantarkan makanan itu kepada Zayyad. Alina sungguh ingin menghantuk kan kepalanya ke dinding. 'Sebenarnya yang menjadi cucunya itu aku atau Zayyad?' "Bu, apakah anda ingin keluar?" Alina melihat seorang pria mendekatinya, moodnya yang buruk semakin menjadi-jadi. "Ada apa?" Tanya Alina ketus. Pria tersebut menjadi gugup, menemukan sikap tidak bersahabat Alina. Ferdi yang sedang menyapu halaman, sekilas melihat pemandangan itu. Ia terus menggeleng kan kepalanya tak mengerti. 'Padahal Bu Alina terlihat sangat lembut dari luar, tapi kenapa kenyataannya tidak?' "Saya supir yang di utus pak Zayyad untuk ibu. Kemanapun ibu pergi, saya dapat mengantar" Jadi Zayyad sungguh memperkerjakan supir pribadi untuk membawanya pergi kemanapun? S
Tanpa merasa bersalah sama sekali, Alina membereskan kotak makan. Dan menyuruh Bakri yang masih menunggu di luar untuk mengambil segelas air."Ini Bu!"Bakri menyerahkan segelas air putih padanya."Em!"Alina mengambil gelas tersebut dan sama sekali tidak mengatakan terimakasih atas Bakri yang sudah membawakan nya air.Bakri tidak terlalu mempedulikan nya. Ia segera keluar lagi, menutup pintu dan memberi privasi sepenuhnya untuk dua orang itu. Tepat ketika ponselnya berdering, ia mengambil beberapa langkah menjauh untuk menjawab panggilan."Iya?""Baik, kalau begitu saya akan segera ke sana"Karena ada keperluan, Bakri pun pergi meninggalkan tempat itu.Alina yang melihat Zayyad sudah keluar dari kamar kecil masih tak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.Zayyad terus memalingkan muka darinya. Wajahnya sama sekali tidak terlihat baik."Ini minumlah!"Alina dengan murah hati meletakkan gelas air
Zayyad meraba saku jasnya mencari ponsel, detik itu ia teringat ponselnya sudah rusak. Ruangan sempit ini tampak semakin menyesakkan dalam keadaan gelap. Setidaknya sedikit cahaya, mungkin dapat menenangkan Alina yang nyaris hampir mati ketakutan. Jadi Zayyad berpikir untuk mendapatkan sedikit sumber cahaya. Meraba-raba sekitar lantai, Zayyad menemukan tas tangan Alina. Zayyad membukanya dan mengambil ponsel Alina. Zayyad segera menyalakan senter dari ponsel milik Alina. Cahayanya lebih dari cukup untuk menerangi ruangan kecil ini. Saat itulah Zayyad dapat melihat jelas wanita yang jatuh pingsan di lengannya perlahan membuka mata. Detik itu...Zayyad kehilangan kontrol akan— "Ugh!" Seteguk cairan asam tumpah mengotori pundak Alina. Zayyad terkesiap, langsung meletakkan pelan Alina ke lantai. Menutup mulutnya, Zayyad berusaha keras menekan gejolak asam dari perutnya agar tidak melakukan kesalahan kedua kalinya. "Maaf!" Zayyad memasang tampang menyesal.
"Hah...hah.." Alina menepuk dadanya yang terasa sesak tidak tertahankan. Keringat dingin sudah memenuhi pelipis hingga punggungnya. Bayang-bayang ia terkurung dalam lemari kecil, pengap, gelap serta celah udara yang kecil. Menghantuinya lagi, membuat ia kembali larut dalam perasaan sesak karena kehabisan oksigen. "H-ha...h-haaa..h" "Alina bertahan-" Bruk! Ujung dasi yang di pegang wanita itu itu jatuh mencium lantai. Zayyad tercenung. Tangannya yang perlahan bergetar juga telah menjatuhkan ujung dasi yang di pegangnya. 'Dia tidak akan mati kan?' batin Zayyad sembari memandang Alina yang sudah jatuh tak sadarkan diri lagi. Keadaannya pun jauh lebih buruk dari sebelumnya. Zayyad perlahan membungkuk, mengulurkan tangannya kebawah. Meletakkan dua jarinya tepat di depan hidung Alina, "Masih bernafas..." Tapi itu sangat pelan. Sangat halus. Dan samar-samar. Zayyad mulai panik. Bagaimana jika terlambat sedikit saja itu
Dokter pribadi Zayyad sudah tiba di perusahaan dan sedang memeriksa keadaan Alina. Zayyad pergi duduk di sofa, menunggu dan termenung. 'Aku sungguh baru saja menggendong seorang wanita?' Zayyad tak dapat mempercayai fakta itu. Merenungi kedua tangan yang baru saja mengangkat Alina, itu masih bergetar. 'Apakah ada kemajuan dari pemulihan ku?' Sudah bertahun-tahun Zayyad berusaha keras untuk menghilangkan phobia nya terhadap wanita. Bagaimana pun, ia tidak akan pernah bisa hidup sebagai pria normal pada umumnya selama memiliki ketakutan itu. "Pak Zayyad, keadaan istri anda baik-baik saja! Tidak lama lagi ia akan segera siuman" Zayyad tersentak dari lamunannya. Mendengar apa yang di katakan dokter, Zayyad mengangguk pelan. "Kalau begitu saya permisi" "Baik dok, terimakasih" Setelah mengantarkan dokter itu keluar. Zayyad kembali ke bilik kecil pribadinya. Zayyad melihat keadaan Alina yang jauh lebih baik. Wa
Alina perlahan membuka matanya. Kejadian tadi masih membuatnya mati lemas. Padahal sebenarnya ia sudah memperoleh kesadaran nya beberapa jam yang lalu. Karena masih tak sanggup mengontrol syok beratnya, ia memutuskan untuk menenangkan diri dengan tidur lebih lama. Sesaat pikirannya masih terkenang dengan kejadian di lift tadi siang.Terjebak dalam ruang persegi yang gelap. Rasanya seperti ia baru saja bangun dari mimpi buruk yang panjang.Ia mengelus dadanya pelan, mencoba mengontrol tekanan dalam dirinya. Rasa sesak dan tercekik dalam ruang sempit itu, masih membekas sampai sekarang. Dan yang paling ia benci, kenangan buruk masa lalunya kembali menghantui nya karena kejadian sialan itu!"Aku harus mandi untuk membuang semua kesialan ini!" Alina perlahan bangun, menggeser selimut kesamping dan menurunkan kakinya ke lantai. Ia melihat ada paper bag di atas nakas serta ada note kecil yang tertempel di depannya.*Maafkan aku!*Ia mengambil paper bag itu
"Hah!" Alina tersentak dari mimpi buruk yang hampir mencekiknya mati. Masa kelam itu menghantuinya kembali. Insiden lift itu pasti pemicunya. Sepertinya berendam bukan pilihan yang tepat. Mungkin mandi dibawah pancuran air shower baru dapat membuang semua hal-hal buruk itu. Alina menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Nafasnya perlahan stabil begitu pula dengan detak jantungnya. Jika terus seperti ini, ia bahkan bisa mati hanya karena mimpi buruk. "Ah, sepertinya aku tidak bisa tidur malam ini!" Gumam Alina sambil menghela nafas berat. Tepat ketika Alina ingin bangun, ia merasa seperti ada beban berat yang menindihnya. Menurunkan pandangannya kebawah, mata Alina nyaris hampir melompat keluar. "Aaaa..." Jerit Alina. 'Kenapa pria itu bisa ada disini?' Tunggu! Ia sekarang dalam keadaan tanpa sehelai benang apapun ditubuhnya dan kepala pria ini jatuh tepat— "Dasar mesum! Cepat minggir.." Alina terus mendorong kepala Zayyad men
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya
"Nenek, engga lama lagi cicit mu akan segera lahir" Alina tersenyum dan berbicara seorang diri. Alina mengelus perut besarnya dan wajahnya terus menoleh ke samping. Seakan-akan ada neneknya yang duduk tepat disebelah nya.Pemandangan dari ruang tamu itu, diam-diam di intip oleh Maya dan Zayyad. Maya menghela nafas berat dan menoleh pada Zayyad, "Kau lihat sendiri kan!" Maya bersuara pelan tapi tak mengurangi emosi marah dan kesal yang terukir jelas di raut wajahnya, "Sebulan sudah berlalu lagi dan Alina masih saja begitu. Zayyad, apa kau akan terus membiarkannya seperti ini?"Zayyad diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Bukan hanya Maya yang mengkhawatirkan keadaan psikis Alina tapi dirinya pun juga. Hanya ia memutuskan untuk yakin, percaya dan sabar menanti. Kalau Alina akan segera menjadi Alina yang dulu— istrinya yang arogan, keras kepala dan tangguh."Kalau bukan karena aku menghargai keputusanmu sebagai suami dari Alina. Aku pasti akan memb
Delapan bulan akhirnya berlalu sudah. Aura ibu hamil dari seorang Alina kian sempurna. Emosinya pun tampak jauh lebih stabil dari trimester pertama dan kedua. Perut Alina membesar dan itu cukup besar nyaris membuat Maya curiga kalau dugaannya itu benar. Bayi yang dikandung sahabatnya itu adalah kembar.Banyak baju yang Alina tidak muat memakainya dan nyaris sobek. Alhasil Zayyad membeli banyak baju khusus untuk ibu hamil buat Alina yang masih tinggal di rumah almarhum neneknya itu.Zayyad mengira kondisi Alina akan segera membaik, tapi ternyata sebaliknya. Istrinya itu mulai berhalusinasi kalau Erina masih hidup dan masih bersama dengan mereka di rumah kecil itu."Kamu udah siap buat buburnya?" Alina datang ke meja makan dan melihat Zayyad yang baru saja menghidangkan semangkuk bubur hangat."Sudah" Zayyad tersenyum. Ada setitik kesedihan jauh di dasar mata coklat bening itu."Kalau begitu aku bawa ke kamar nenek ya" Alina mengambil mangkuk bubur d
Tiga hari setelah kabar duka itu. Para kerabat dari pihak Irsyad dan rekan Erina berdatangan ke vila Zayyad setiap malamnya untuk membaca Yasin. Termasuk dengan Maya dan keluarganya yang sudah hadir sejak hari pemakaman. Mereka menginap di vila Zayyad membantu Zayyad mengurus segala keperluan.Zayyad benar-benar lemah tak bertenaga dengan keadaan ini. Sepasang matanya terlihat kuyu dan tubuhnya mengurus. Ia sedih dengan kepergian Erina yang begitu mendadak. Salah seorang wanita di samping Alina yang baru-baru ini menjadi pengecualian dari rasa takutnya.Zayyad pun tak berdaya menghadapi dua orang yang di sayangi nya yang jelas begitu drop dengan kenyataan pahit ini. Kakeknya terus jatuh bangun tak sadarkan diri dan Alina yang sampai hari ini menolak kenyataan kalau Erina sudah meninggal.Tepat di hari pemakaman, kakeknya tersungkur jatuh mencium tanah dan Alina mengurung diri seharian di kamar neneknya dengan sepiring nasi goreng yang sudah basi. Nasi goreng yan