“Kamu jangan naif. Dia itu istriku. Aku sangat mencintai dia. Dan kamu ini siapa?” Sagara menatap Granita dengan murka.
Safira, Sagara, dan Berliana segera masuk lift. Granita masih mencoba mengejar.
“Ara, tunggu...” Granita mau masuk lift, sayangnya pintunya sudah tertutup.
“Kenapa sih dia kok gitu amat ya, Kak?” tanya Berliana pada Sagara.
“Dia emang aneh. Otaknya udah eror kali,” Sagara menjawab sekenanya. Suasana hatinya masih diliputi kekesalan.
“Aneh itu orang. Masa aku dibilang pelakor,” ucap Safira sambil cemberut.
“Udah, Yang. Nggak usah diambil hati. Rugi kita yang normal terpengaruh sama pikiran eror orang nggak normal macam begitu,” kata Sagara sambil tersenyum dan merangkul pundak istrinya.
“Aku heran aja sama dia. Masa orang kamu dan dia nggak nikah ka? Masa aku dibilang pelakor. Okelah kalau kamu dan dia memang punya masa lalu. A
“Lumayan, Pa,” jawab Safira mencoba tenang.“Di sini rasanya pengap. Pengen udara segar. Ini masih lama nggak, kapan nyampenya?” Safira melirik Sagara.“Padahal AC-nya nyala ya,” ujar Safira.“Enggak tau tetep pengap. Tetap beda,” ujar Safira.“Sabar ya, Yang. Bentar lagi.”Safira mengeluarkan aromaterapi citrus dari tasnya dan menghirupnya.Safira mencoba menyandarkan kepalanya ke jok belakang. Dia mencoba tenang dengan kondisi yang dirasakannya.Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Mobil masuk ke area sebuah restoran padang. Sagara segera turun dan membukakan pintu untuk Safira.“Alhamdulillah, nyampe nih,” Sagara memberikan tangannya sebagai pegangan kepada Safira agar ia bisa turun dengan lancar.Safira pun meraih tangan Sagara.“Makasih.”Sagara menuntun istrinya dengan pelan masuk ke dalam restoran.
“Sembarangan,” ucap Safira sambil melepaskan pelukan suami.Sagara menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Pipi Safira kini bersentuhan dengan dada suaminya. Sagara mengelus-ngelus lembut kepada istrinya yang masih mengenakan kerudung.“Kalau aku bantu buka kerudungmu boleh?”Sebenarnya Safira merasakan kehangatan dan kenyamanan saat berada di pelukan Sagara. Namun dia berusaha menghindar.Aku nggak boleh terbuai, kata hati Safira.“Enggak,” jawab Safira ketus.Safira pun segera melangkah masuk ke kamar mandi, namun tangannya langkah tertahan, tangannya ditarik ke pelukan Sagara.“Lepaskan, apa-apaan sih? Aku mau ganti baju dulu,” ungkap Safira, ketus.“Oke, aku lepas,” kata Sagara. “Nanti kita bisa tidur bareng kan?”“Jangan harap!” kata Safira sambil menutup kamar mandi. Setelah kamar mandi terkunci, dia dengan leluasa mengganti pak
“Aku mau keluar dulu. Kayaknya sore-sore begini di luar seger,” ucap Safira.“Kamu biarin aku sendirian ya, Yang?”“Kalau ada aku, kamu nggak bisa istirahat.”“Enggak, aku pengen ditemani kamu, Yang,” ucap Sagara masih belum melepaskan tangan istrinya.“Oke, kalau gitu. Aku temani, kamu.”Safira kembali duduk.“Nah gini, dong. Aku seneng banget, bisa deket-deketan sama istriku tercinta,” ucap Sagara sambil mengelus-ngelus tangan istrinya.Safira pun mendekat ke arah kepala suaminya. Dia mengusap-usap kepala suaminya.“Maafin aku ya, Yang. Aku sudah zalim sama kamu,” ucap Safira dengan tulus. Air matanya berderai. Dia pun mengecup kening suaminya yang masih terasa panas. Air matanya sebagai tumpah ke wajah suaminya.“Nggak usah minta maaf. Justru akulah yang harusnya minta maaf. Dosaku padamu sangat banyak. Mudah-mudaha
Safira meninju tangan Sagara.“Ngomong apaan sih kamu ini?” tanya Safira ketus. “Jangan jadikan fatwa dokter tadi sebagai senjata kamu ya. Enggak… kamu nggak akan menang… Aku belum seratus persen percaya padamu.”Sagara terhenyak mendengar ucapan terakhir istrinya.Pantas saja, dia selama ini dia belum rela menerima dirinya sepenuhnya, padahal dia sudah merasa sepenuhnya melakukan segala upaya agar mendapatkan tempat di hati Safira.“Apa yang menghalangimu untuk percaya seratus persen padaku?”“Udah ah, jangan bahas ayo, jalan!” pinta Safira.“Aku nggak mau jalan kalo kamu belum berikan penjelasan.”“Ayo, ah. Udah ya. Aku cape, Yang! Aku nggak mau membahasnya.”“Aku ingin kita tuntaskan semuanya. Aku nggak mau kamu terus-terusan begini,” kata Sagara sambil menatap Safira dan mendekatkan wajahnya ke arah Safira.
“Ya, resep asli Purwakarta, Mas,” jawab pramusaji.“Berapa seporsinya Kang?”“Lima puluh ribu. Mau berapa porsi, Mas.”Sagara teringat Mama dan Papa dan semua anggota keluarga. Dia pun memesan agak banyak.“Tiga porsi deh.”Setelah menunggu sekian lama, Sagara akhirnya meluncur pulang dengan hati yang riang. Dia membawakan satu porsi untuk istrinya, dua porsinya lagi di taruh di meja makan.Kalau nggak dimakan sekarang, bisa dimakan besok, kata hati Sagara.Sagara segera masuk kamar. Di sana istrinya sudah menunggu. Di hadapannya lengkap ada sepiring nasi.“Ini, Yang. Maaf ya, agak lama tadi motornya mogok,” ujar Sagara.“Alhamdulillah, akhirnya dapat juga.”Safira pun menikmati Sate Maranggi dan nasi dengan lahap.“Kamu makan bareng sama aku ya,” pinta Safira.“Lha kalau gitu aku jadi ngidam
“Apa yang dilakukan Ara itu sebuah kesalahan besar. Shalat Taubat sudah pasti harus dilakukan. Ya kita juga harus lakukan shalat itu, kita juga selama ini ikut andil karena kita mungkin ada yang salah saat mendidiknya. Ada yang harus kita benahi dari parenting kita, Pa.”“Sepakat. Insya Allah, kita akan terus berbenah. Papa akan agendakan ngobrol dengan Ara, terkait shalat Taubat ini.”“Pa, kita ajak mereka nginep di rumah ya?” kata istri Ustaz Reza.“Kita coba ya...”Usai acara wisuda itu, mereka pun pulang. Namun sebelum melajukan kendaraan, Ustaz Reza meminta izin kepada Pak Indra.“Pak, saya bermaksud mau ajak Fira dan Ara nginep di rumah ya?”“Ya, silakan. Alhamdulillah sekarang Fira sudah plong. Dia lebih leluasa.”Seperti hal saat berangkat, Sagara dan Safira masuk ke mobil Ustaz Reza. Sedangkan Berliana masuk ke mobil Pak
Sore itu, dua ruangan di rumah Ustaz Reza dipenuhi jamaah. Ruangan satu dipenuhi oleh kaum ibu majelis taklim. Sedangkan ruangan lainnya dipenuhi kaum bapaknya.Safira dan ibu mertuanya turut berdoa di antara jajaran ibu-ibu. Sedangkan Sagara dan Ustaz Reza duduk di antara kaum Bapak.Ustaz Reza sendiri yang memimpin pengajian. Acara dimulai dengan tausiyah dari Ustaz Reza. Selanjutnya ada pembacaan surah Al-Quran. Dan terakhir ditutup dengan doa.“Terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu semuanya. Silakan hidangannya dinikmati,” ucap Ustaz Reza saat pengajian telah selesai.Para jamaah mencicipi hidangan. Dan ketika mereka pulang, mereka pun diberikan nasi kotak.Safira dan Ibu mertuanya membagikan nasi kota itu di depan pintu kepada jamaah yang pulang. Dia juga dibantu oleh kayak Sagara yang perempuan.Demikian pula dengan Ustaz Reza dan Sagara. Kedua membagikan kepada jamaah laki-laki. Mereka melakukannya hanya
“Aku punya beberapa pilihan nama. Tapi ini untuk nama depannya dulu aja. Nama belakangnya nanti cari ide lagi,” kata Sagara setelah berpikir selama beberapa menit.“Coba sebutin, aku penasaran,” pinta Safira sambil bergelayut di bahu suaminya.“Reina...” kata Sagara.“Hmmm… bagus,” ungkap Safira. “Terus apa lagi?”“Yang kedua, Tiara.”“Oke, noted. Yang lainnya?”“Moana,” ucap Sagara sambil tersenyum.“Kok Moana sih… kayak karakter di film aja.”“Kan yang ketiga ini biar sama maknanya kayak aku, Samudra. Kalau yang pertama, maknanya udah dekat sama namamu, dari nama batu mulia, Tiara itu Mutiara. Reina itu permata, kata itu dari bahasa Jepang.”“Ooh gitu, ya. Kamu suka yang mana?” tanya Safira.“Yang pertama atau yang kedua. Dua-duanya bagus.”“Ak
“Pa, ayo buruan berangkat, nanti Bima kesiangan,” Bimantara tampak sangat bersemangat. Dia menarik lengan ayahnya.Safira, Sagara, dan Bimantara baru saja menuntaskan sarapan pagi. Ada panggilan masuk dari gawai Sagara.“Bentar, sayang. Papa angkat telepon dulu ya…”“Assalamualaikum Pak. Gimana kabarnya Pak?”“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak.”“Wah lama nggak ketemu ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Sagara.“Begini Pak.. hari ini kita bisa ketemu, saya ada produk baru dan sangat prospektif.”“Bisa. Bapak dateng aja ke kan
“Sinii… ini punyaku,” teriak Fayra sambil mempertahankan boneka kucingnya agar tidak jatuh ke tangan Bima. “Aku pinjem,” Bima tetap maksa dan menarik kuat-kuat boneka kucing itu. “Enggak…ini kucingku.” Bima dan Fayra masih tetap tarik menarik. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Karena Bimantara adalah anak laki-laki, tentu tenaganya pun lebih kuat, akhirnya dia berhasil merebut boneka kucing itu dan membawanya lari. “Yee…. aku menang… aku menang!” ucap Bima sambil berjingkrak. Fayra menangis. “Kamu jahat!” Fayra yang merasa bonek kucing itu adalah milik mengejar Bima sambil menangis.
Sesuai rencana, sepulang dari Paris, mereka berempat bersiap untuk berangkat ke Tanah Suci. Sagara mengurus semua biaya akomodasinya. Papa Sagara memang punya sebuah unit bisnis tour and travel haji dan umrah. "Makasih ya, Sayang. Semoga sepulang kita dari Tanah Suci. Allah selalu membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang." Sagara mengaminkan. "Insya Allah, semoga ini jalan salah satu jalan yang bisa menguatkan cinta kita pada Allah dan mengukuhkan cinta di antara kita." Bahkan, ternyata tidak hanya mereka berempat yang berangkat. Begitu keluarga mereka tahu, orang tua Safira, orang tua Sagara dan orang tua Benua memutuskan untuk ikut. Jadinya, ini menjadi umrah sekeluarga. Mereka sekeluarga bergabung bersam rombongan umrah yang dibimbing langsung oleh ayah Sagara, Ustaz Reza. Pesawat pun terbang dari Jakarta menuju Jeddah. Mereka mengikuti rangkaian prosesi ibadah umrah. K
Di kamar hotel, Sagara dan Safira bangun untuk menunaikan salat Subuh. Keduanya menunaikannya dengan berjamaah."Yang, kita bobo lagi yuk," kata Sagara usai berzikir bakda Subuh."Jangan dong, kan nggak boleh tidur lagi habis Subuh. Bisa mewariskan kefakiran. Nanti rezeki kita keburu dipatok ayam," kata Safira."Iya, aku juga tahu kok. Maksud aku bobo lagi ya bukan bobo dalam yang sebenarnya. Kita ngobrol aja gitu pillow talk. Mau kayak malam juga nggak apa-apa," ungkap Sagara sambil membayangkan malam terindahnya yang ia habiskan bersama Safira di kota romantis ini."Idiih, lagi udah mandi juga kali. Kamu kok jadi ketagihan sih," Safira menyikut suaminya, masih menggunakan mukena."Bukannya bagus ya, kalo suami addict sama istrinya. Yang nggak boleh itu kan zina. Harusnya kamu seneng.""Iya juga sih," Safira tersipu. Kali ini dia sudah menanggalkan mukenanya.Sagara masih terbayang malam indah bersama istrinya. Dia bena
“Banyak pilihan, bisa jalan-jalan di dalam negeri keluar negeri,” jawab Benua. Dia sudah mulai mengarahkan rencananya.Ngapain dia ngomong gitu. Jangan-jangana ada udang di balik batu lagi, pikir Sagara.Sagara sejujurnya tidak menghendaki kebersamaan yang mendekatkan Safira dan Benua. Dia bertekad untuk melakukan apapun agar Benua dan Safira tidak terlalu sering ketemu.Tapi bagaimana caranya kalau sebentar lagi mereka akan hidup berdekatan, rumah mereka bersebelahan."Yuk ah jalan yuk," ajak Sagara. Dia sudah merasa bosan dengan keberadaan Benua."Bro, kok buru-buru amat sih, ngobrol-ngobrol dulu aja di sini, Bro," ujar Benua mencoba mengakrabkan diri dengan Sagara. Niat dia sebenarnya baik.Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mengikhlaskan semuanya. Aku harus belajar mencintai Lian sepenuhnya. Tidak baik juga aku menyimpan perasaan kepada kakak iparku sendiri. Aku akan berjuang melawan perasaan ini, pikir Sagara.
“Tahun depan aja… ” Safira gemas. “Ya udah buruan kita berangkat sekarang aja.”“Ya, udah aku siap-siap ya,” kata Sagara. Dia pun mengganti pakaian. Safira juga demikian. Dia mengenakan hijab syar’i terbaiknya.Setelah keduanya siap, mereka masuk mobil. Dan mobil pun melaju menuju kawasan Bintaro Sektor 9. Tangerang.Selama di dalam kendaraan mereka asyik berbincang. Keduanya membicarakan berbagai rencana masa depan rumah tangga.“Yang, kapan rencana kamu kuliah lagi?” tanya Safira.“Dalam waktu dekat. Tapi untuk saat ini aku prioritas ke kamu dulu. Aku ingin kamu bisa bisa hidup bahagia dulu dengan aku. Kalau kamu udah baikan, ya aku bakal segera daftar kuliah S2.”“Lha kenapa kok jadi bergantung ke aku… kok gitu sih?”“Ya kan aku sekarang imam kamu. Aku harus mastiin makmumku aman dulu. Kalau urusan rumah tangga selesai, l
Benua dan Berliana tampak mengobrol sangat akrab.“Kasihan sekali Kak Fira. Semoga Allah segera mengganti segala derita yang dialaminya dengan kebahagiaan,” kata Berliana.“Kurasa dia sangat terpukul,” ucap Benua.“Aku ingin sekali membuat Kak Fira terhibur, tapi gimana caranya ya?”“Mungkin kamu harus sering ajak dia jalan-jalan kali. Oia aku punya ide, tapi nggak tahu juga apakah ini ide yang bagus atau enggak?”“Apa, Kak?”“Mungkin biar Fira nggak terus-terusan bersedih, kita bisa jalan bareng ke mana gitu. Kita bisa liburan bareng. Yang aku tahu, dia itu pengen banget menginjakkan kaki di Menara Eiffel. Kita bisa ajak dia ke sana, kali aja itu bisa membuat dia lebih bahagia.”“Aku sih oke-oke aja. Coba aja nanti kita beli tiketnya. Nanti berangkat ke sananya siapa aja?”“Kita bisa berangkat berempat. Aku, kamu, Safira, da
“Aku hanya ingin tidur sendiri,” jawab Safira datar.“Apa aku mengganggu dan mengancammu?” Sagara benar-benar gemas pada istrinya.“Aku takut kamu menyakitiku lagi,” kata Safira.Sagara tertawa. Sungguh dia sangat menyayangkan, kenapa trend perubahan istrinya bergerak ke arah negatif?“Sayang, kamu lupa ya. Mana mungkin aku melakukannya. Kamu kan lagi nifas. Kalau aku memaksamu di saat seperti itu lagi-lagi aku menambah dosa. Percayalah, aku masih bisa bersabar menunggumu.”Safira kalah strategi. Dia benar-benar lupa. Memang benar dia sedang nifas.Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Entah mengapa dia merasa benar-benar muak dan tidak ingin berada di dekat suaminya.Namun Safira tak mau jujur. Dia tak ingin hati Sagara sakit. Dia tak bisa membayangkan jika malam ini dia harus tidur seranjang bersama suaminya.Malas banget. Tapi kalau aku blak-blakan, hatimu bisa r
“Mohon maaf, kami hanya bisa berikhtiar. Takdir Allah berkata lain,” kata seorang dokter laki-laki memberikan kabar pedih itu di hadapan Safira dan seluruh keluarganya.“Tidak… anakku masih hidup. Kamu bisa bertahan, kamu akan kuat, Nak,” Safira tergugu. Tubuhnya yang lunglai ditopang oleh Sagara.Saat tiba di rumah sakit, nyawa si kecil Tiar tak terselamatkan. Dia sudah tak bernyawa. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakitSafira menatap jasad putrinya dengan berlinang air mata.“Nak, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa,” Safira mengajak jenazah si kecil Tiar.Semua yang menyaksikan pemandangan itu, tentu amat tersayat.Sagara memeluk Safira dengan erat. “Sayang, kamu harus kuat. Benar kata pak dokter, ini sudah takdir Allah. Sekarang kita harus bersiap mengurus pemakaman Tiar,” ucap Sagara.“Tidak. Dia nggak boleh d