Safira menghirup napas panjang usai meminumnya.
“NIkmat, seger banget. Makasih banyak ya, Pa,” kata Safira melirik ayahnya.
“Yang lagi hamil itu nutrisi harus terpenuhi dengan cukup. Kalau kamu butuh apa-apa dan pengen makan apa, tinggal bilang sama Papa, Mama dan adikmu. Kita harus perlakukan kamu harus bener-benar spesial di sini hehe,” ucap aya Safira.
“Pokoknya Kakak sekarang jadi Inces ya...”
“Kamu sekarang adalah Queen di rumah ini,” kata ibu Safira.
Apakah ini sebuah kebetulan? Panggilan itu mengingatkannya pada Benua. Lelaki itu memang spesial memang memanggilnya seperti itu.
Seingatku, hanya aku dan Benua yang tahu panggilan itu. Dari mana mama tahu panggilanku. Ah, tidak, kayaknya Mama ucapan mama itu hanya kebetulan saja, pikir Safira.
Dan tiba-tiba pikiran Safira jadi membanding-bandingkan dirinya dengan Berliana. Apakah nanti Benua akan memang
“Mama dan papa dulu sering bilang sama kamu bahwa mama dan papamu menikah awalnya tidak didasari dengan rasa cinta. Kami dijodohkan, masing-masing dari kami dulu sudah punya pilihan. Namun karena kami mengikuti keinginan orang tua kami bersedia menikah,” jelas Ibu Benua.Entah untuk yang keberapa kali dia mendengar cerita itu dari ibunya. Sejak kecil dia memang mendengarkan ayah dan ibunya mengenai kisah rumah tangga keduanya.“Alhamdulillah sampai sekarang pernikahan kami langgeng dan bahagia bisa mendidik dan membesarkan kamu. Kami berusaha berdamai dengan realitas dan belajar untuk saling mencintai,” tambah ayah Benua.Entah yang ke berapa kalinya kalimat itu pun ia dengar dari ayahnya. Dulu sebelum merasakan posisi sulit seperti saat ini, dia senang-senang saja, berusaha menjadi pendengar yang baik dan tak pernah memotong ucapan ayah dan ibunya.“Ma, Pa… buat Mama dan Papa saat itu mungkin mudah. Perj
“Dia tidak tahu. Saya mencintainya diam-diam...” ucap Sagara.“Mencintai diam-diam yang salah. Jauh berbeda dengan mencintai diam-diamnya Ali kepada Fatimah. Mencintai diam-diam kamu berujung petaka,” Ustaz Reza tampak murka.Dikata-katai seperti itu, Sagara diam. Dia tak mampu membela diri.“Kenapa kamu tak jujur kepadanya?” tanya ayah Safira.“Aku tak jujur karena sudah jelas dari awal Safira sangat mencintai Benua.”“Padahal kalau kamu jujur, mungkin akan lain ceritanya. Coba kalau kamu bilang sama Papa. Papa tidak akan sungkan membantumu dari dulu. Papa akan melamarkan Safira untukmu lebih cepat sebelum dia dilamar oleh Benua dan keluarganya,” jelas Ustaz Reza.“Iya, Maafkan aku, Pa...”“Berjanjilah kamu tidak akan menyakiti Fira!” pinta ayah Sagara.“Aku berjanji, Pak. Aku akan mencurahkan segenap hidupku untuk membahagi
"Kamu tidur di bawah sana!" kata Safira ketus.Wanita berbadan dua itu melempar selimut dan bantal ke arah Sagara. Bantal pun jatuh tepat di kepalanya. Wajah lelaki itu tertutup oleh selimut.Sagara menyingkap selimut yang menutupi wajahnya. Dia pun mengambil bantal yang terjatuh ke lantai yang beralas karpet permadani."Bukannya kita sudah sah jadi suami istri?" kata Sagara. "Kenapa aku nggak boleh tidur seranjang dengan istriku sendiri?"Mendengar kata 'istriku sendiri', Safira merasa sangat asing. Benar-benar dia merasa tak siap sekaligus tak menginginkannya.Sagara celingak-celinguk mengitari kamar istrinya. Ini pertama kalinya dia berada di kamar ini."Jadi aku harus tidur di sini?" tanya Sagara sambil menunjuk lantai beralas karpet yang tengah dipijaknya. Letaknya tak jauh dari ranjang tempat tidur di kamarnya."Ya, malam ini dan seterusnya kamu tidur di situ saja," balas Safira tanpa menatap Saga
Sebelum azan Subuh berkumandang, Sagara sudah bangung terlebih dahulu.Pagi itu dia sengaja mandi dan keramas supaya tidak menimbulkan kecurigaan di keluarga Safira.Dia menyalakan lampu kamar dan mematut diri di depan cermin untuk mengenakan sarung, baju koko dan peci putih rajut khas Turki.Tak lama kemudian azan Subuh berkumandang. Sagara berniat ke masjid. Meskipun dia belum tahu lokasi masjid dari rumah Safira, dia akan mencoba berjalan mengikuti arah salah suara azan yang terdengar paling dekat dari rumah keluarga istrinya.Sebelum keluar kamar, dia menatap Safira yang masih tertidur pulas.“Fira… sudah azan Subuh,” ujar Sagara agak canggung sambil duduk di tepi ranjang samping istrinya.Safira menggeliat. Saat membuka matanya, dia benar-benar kaget.“Nga… ngapain kamu?” tanya Safira, suaranya bergetar karena gugup sekaligus cemas. Entah kenapa, masih ada rasa ketak
Tidak ada jawaban. Kelopak mata Safira masih mengatup. Tubuhnya sangat dingin. Perasaan Sagara benar-benar campur aduk. Firasatnya tak enak. Jantungnya terasa mau copot.Jangan-jangan dia sudah pingsan dari tadi lagi, pikir Sagara.Sagara segera mengangkat Safira. Dia membawa Safira ke atas kasur. Lantas, setelah menutup tubuh Safira dengan selimut, Sagara berlari keluar kamar.“Ma, Pa… tolongin Safira!” teriak Sagara.Orang tua Safira segera berlari dan masuk ke dalam kamar Safira. Langkah keduanya diikuti oleh Berliana dan Sagara.“Kamu kenapa, Nak?” Ibu Safira mengusap kepala Safira. Putrinya sampai saat ini belum siuman.“Kakak… ” Berliana ikut panik.“Gimana kejadiannya ini?” tanya Pak Yahya kepada Sagara.“Kemungkinan dia jatuh dan pingsan di kamar mandi, Pa. Tadi aku temukan dia tergeletak di kamar mandi,” jelas Sagara.Setelah
“Alhamdulillah… akhirnya kamu kembali,” kata ayah Safira.“Mama senang, kamu sudah bisa membuka mata,” ujar ibu Safira.Ustaz Reza dan istrinya pun ikut lega.“Alhamdulillah ya Allah, terima kasih sudah mengabulkan doa-doa kami,” ujar Ustaz Reza.“Mama senang. Nak, akhirnya kamu siuman. Sudah tiga hari kami cemas menunggu kamu membuka mata,” ujar istri Ustaz Reza.“Jadi… aku...”“Sudahlah, kamu jangan banyak mikir dulu. Alhamdulillah, yang penting sekarang kamu sudah kembali,” Sagara meremas jemari istrinya.Safira merasa asing dengan kondisi seperti itu. Namun dia juga tak kuasa menolak. Lagi pula pula, orang yang menggenggamnya saat ini adalah suaminya sendiri.Entah kenapa, hari ini, Safira merasa sangat istimewa. Mendapatkan banyak perhatian, mulai dari kedua orang tuanya, kedua mertuanya, dan juga dari suaminya.
“Jangan kuatir, Sayang. Jika kamu merasa belum siap. Aku tidak akan melakukannya. Aku ingin membuatmu tetap nyaman dan merasa tidak tersiksa dengan perlakuanku,” bisik Sagara ke telinga istrinya.Safira membayangkan apa yang terjadi antara dirinya dan Sagara beberapa hari ini. Meskipun kebencian Safira pada Sagara belum hilang sepenuhnya, namun Safira merasa ada sesuatu yang beda.Dia merasa sangat spesial. Sepulang dari rumah sakit, Sagara sangat perhatian. Dia selalu memperhatikan segala kebutuhannya.Kamu tidak sepenuhnya jahat seperti yang selama ini aku pikirkan. Aku dapat menemukan dan merasakan sisi baik dari dirimu, ucap Safira dalam hati.Safira menarik kedua tangan suaminya yang tengah menempel di bahunya. Safira memberanikan diri menggenggam tangan Sagara. Dia dapat merasakan kehangatan jemari suaminya.“Aku menghargai segala usahamu. Aku hanya bilang, terima kasih kamu sudah memperhatikanku be
Sagara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Hatinya bertabur bunga-bunga.“Ya, aku sangat mencintaimu. Aku ingin belajar mencintaimu karena Allah.”“Tapi kenapa kamu dulu menyakitiku?” Safira bertanya kembali, dia teringat lagi masa-masa kelam itu.“Dulu mungkin cintaku padamu salah. Cintaku padamu hanya karena nafsu dan menjadi dosa besar. Sekarang aku ingin menebusnya dengan cinta suci. Dan aku harap kamu bisa memberiku kesempatan membuktikannya.”“Maukah kamu memaafkanku?””Aku tidak janji. Tapi… aku akan terus belajar memaafkanmu,” balas Safira.“Sekarang aku yang balik bertanya. Maukah kamu menerima cintaku?”“Aku tidak janji. Tapi… aku juga akan belajar untuk mencobanya.”“Makasih banyak, Sayang. Kamu sudah berikan aku kesempatan. Aku akan terus berdoa agar Allah menggerakkan hati dan perasaanmu, agar aku b
“Pa, ayo buruan berangkat, nanti Bima kesiangan,” Bimantara tampak sangat bersemangat. Dia menarik lengan ayahnya.Safira, Sagara, dan Bimantara baru saja menuntaskan sarapan pagi. Ada panggilan masuk dari gawai Sagara.“Bentar, sayang. Papa angkat telepon dulu ya…”“Assalamualaikum Pak. Gimana kabarnya Pak?”“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak.”“Wah lama nggak ketemu ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” ucap Sagara.“Begini Pak.. hari ini kita bisa ketemu, saya ada produk baru dan sangat prospektif.”“Bisa. Bapak dateng aja ke kan
“Sinii… ini punyaku,” teriak Fayra sambil mempertahankan boneka kucingnya agar tidak jatuh ke tangan Bima. “Aku pinjem,” Bima tetap maksa dan menarik kuat-kuat boneka kucing itu. “Enggak…ini kucingku.” Bima dan Fayra masih tetap tarik menarik. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Karena Bimantara adalah anak laki-laki, tentu tenaganya pun lebih kuat, akhirnya dia berhasil merebut boneka kucing itu dan membawanya lari. “Yee…. aku menang… aku menang!” ucap Bima sambil berjingkrak. Fayra menangis. “Kamu jahat!” Fayra yang merasa bonek kucing itu adalah milik mengejar Bima sambil menangis.
Sesuai rencana, sepulang dari Paris, mereka berempat bersiap untuk berangkat ke Tanah Suci. Sagara mengurus semua biaya akomodasinya. Papa Sagara memang punya sebuah unit bisnis tour and travel haji dan umrah. "Makasih ya, Sayang. Semoga sepulang kita dari Tanah Suci. Allah selalu membimbing kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang." Sagara mengaminkan. "Insya Allah, semoga ini jalan salah satu jalan yang bisa menguatkan cinta kita pada Allah dan mengukuhkan cinta di antara kita." Bahkan, ternyata tidak hanya mereka berempat yang berangkat. Begitu keluarga mereka tahu, orang tua Safira, orang tua Sagara dan orang tua Benua memutuskan untuk ikut. Jadinya, ini menjadi umrah sekeluarga. Mereka sekeluarga bergabung bersam rombongan umrah yang dibimbing langsung oleh ayah Sagara, Ustaz Reza. Pesawat pun terbang dari Jakarta menuju Jeddah. Mereka mengikuti rangkaian prosesi ibadah umrah. K
Di kamar hotel, Sagara dan Safira bangun untuk menunaikan salat Subuh. Keduanya menunaikannya dengan berjamaah."Yang, kita bobo lagi yuk," kata Sagara usai berzikir bakda Subuh."Jangan dong, kan nggak boleh tidur lagi habis Subuh. Bisa mewariskan kefakiran. Nanti rezeki kita keburu dipatok ayam," kata Safira."Iya, aku juga tahu kok. Maksud aku bobo lagi ya bukan bobo dalam yang sebenarnya. Kita ngobrol aja gitu pillow talk. Mau kayak malam juga nggak apa-apa," ungkap Sagara sambil membayangkan malam terindahnya yang ia habiskan bersama Safira di kota romantis ini."Idiih, lagi udah mandi juga kali. Kamu kok jadi ketagihan sih," Safira menyikut suaminya, masih menggunakan mukena."Bukannya bagus ya, kalo suami addict sama istrinya. Yang nggak boleh itu kan zina. Harusnya kamu seneng.""Iya juga sih," Safira tersipu. Kali ini dia sudah menanggalkan mukenanya.Sagara masih terbayang malam indah bersama istrinya. Dia bena
“Banyak pilihan, bisa jalan-jalan di dalam negeri keluar negeri,” jawab Benua. Dia sudah mulai mengarahkan rencananya.Ngapain dia ngomong gitu. Jangan-jangana ada udang di balik batu lagi, pikir Sagara.Sagara sejujurnya tidak menghendaki kebersamaan yang mendekatkan Safira dan Benua. Dia bertekad untuk melakukan apapun agar Benua dan Safira tidak terlalu sering ketemu.Tapi bagaimana caranya kalau sebentar lagi mereka akan hidup berdekatan, rumah mereka bersebelahan."Yuk ah jalan yuk," ajak Sagara. Dia sudah merasa bosan dengan keberadaan Benua."Bro, kok buru-buru amat sih, ngobrol-ngobrol dulu aja di sini, Bro," ujar Benua mencoba mengakrabkan diri dengan Sagara. Niat dia sebenarnya baik.Mungkin sudah saatnya bagiku untuk mengikhlaskan semuanya. Aku harus belajar mencintai Lian sepenuhnya. Tidak baik juga aku menyimpan perasaan kepada kakak iparku sendiri. Aku akan berjuang melawan perasaan ini, pikir Sagara.
“Tahun depan aja… ” Safira gemas. “Ya udah buruan kita berangkat sekarang aja.”“Ya, udah aku siap-siap ya,” kata Sagara. Dia pun mengganti pakaian. Safira juga demikian. Dia mengenakan hijab syar’i terbaiknya.Setelah keduanya siap, mereka masuk mobil. Dan mobil pun melaju menuju kawasan Bintaro Sektor 9. Tangerang.Selama di dalam kendaraan mereka asyik berbincang. Keduanya membicarakan berbagai rencana masa depan rumah tangga.“Yang, kapan rencana kamu kuliah lagi?” tanya Safira.“Dalam waktu dekat. Tapi untuk saat ini aku prioritas ke kamu dulu. Aku ingin kamu bisa bisa hidup bahagia dulu dengan aku. Kalau kamu udah baikan, ya aku bakal segera daftar kuliah S2.”“Lha kenapa kok jadi bergantung ke aku… kok gitu sih?”“Ya kan aku sekarang imam kamu. Aku harus mastiin makmumku aman dulu. Kalau urusan rumah tangga selesai, l
Benua dan Berliana tampak mengobrol sangat akrab.“Kasihan sekali Kak Fira. Semoga Allah segera mengganti segala derita yang dialaminya dengan kebahagiaan,” kata Berliana.“Kurasa dia sangat terpukul,” ucap Benua.“Aku ingin sekali membuat Kak Fira terhibur, tapi gimana caranya ya?”“Mungkin kamu harus sering ajak dia jalan-jalan kali. Oia aku punya ide, tapi nggak tahu juga apakah ini ide yang bagus atau enggak?”“Apa, Kak?”“Mungkin biar Fira nggak terus-terusan bersedih, kita bisa jalan bareng ke mana gitu. Kita bisa liburan bareng. Yang aku tahu, dia itu pengen banget menginjakkan kaki di Menara Eiffel. Kita bisa ajak dia ke sana, kali aja itu bisa membuat dia lebih bahagia.”“Aku sih oke-oke aja. Coba aja nanti kita beli tiketnya. Nanti berangkat ke sananya siapa aja?”“Kita bisa berangkat berempat. Aku, kamu, Safira, da
“Aku hanya ingin tidur sendiri,” jawab Safira datar.“Apa aku mengganggu dan mengancammu?” Sagara benar-benar gemas pada istrinya.“Aku takut kamu menyakitiku lagi,” kata Safira.Sagara tertawa. Sungguh dia sangat menyayangkan, kenapa trend perubahan istrinya bergerak ke arah negatif?“Sayang, kamu lupa ya. Mana mungkin aku melakukannya. Kamu kan lagi nifas. Kalau aku memaksamu di saat seperti itu lagi-lagi aku menambah dosa. Percayalah, aku masih bisa bersabar menunggumu.”Safira kalah strategi. Dia benar-benar lupa. Memang benar dia sedang nifas.Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Entah mengapa dia merasa benar-benar muak dan tidak ingin berada di dekat suaminya.Namun Safira tak mau jujur. Dia tak ingin hati Sagara sakit. Dia tak bisa membayangkan jika malam ini dia harus tidur seranjang bersama suaminya.Malas banget. Tapi kalau aku blak-blakan, hatimu bisa r
“Mohon maaf, kami hanya bisa berikhtiar. Takdir Allah berkata lain,” kata seorang dokter laki-laki memberikan kabar pedih itu di hadapan Safira dan seluruh keluarganya.“Tidak… anakku masih hidup. Kamu bisa bertahan, kamu akan kuat, Nak,” Safira tergugu. Tubuhnya yang lunglai ditopang oleh Sagara.Saat tiba di rumah sakit, nyawa si kecil Tiar tak terselamatkan. Dia sudah tak bernyawa. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakitSafira menatap jasad putrinya dengan berlinang air mata.“Nak, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa,” Safira mengajak jenazah si kecil Tiar.Semua yang menyaksikan pemandangan itu, tentu amat tersayat.Sagara memeluk Safira dengan erat. “Sayang, kamu harus kuat. Benar kata pak dokter, ini sudah takdir Allah. Sekarang kita harus bersiap mengurus pemakaman Tiar,” ucap Sagara.“Tidak. Dia nggak boleh d