“Naomi, ayo sini. Kamu udah sarapan?” tanya Rosa.Naomi menarik kedua ujung bibirnya. Tersenyum basa-basi lalu menghampiri meja makan. Menarik kursi kosong dan menempatinya. Di atas meja tersedia menu sarapan; roti panggang, telur mata sapi, sosis bakar lalu teh hangat. Naomi menarik satu gelas teh ke hadapannya kemudian menatap para Bimantara.“Um, apa Adrian udah berangkat, Tan?”Bersamaan pertanyaan itu di lontar, dari arah berlawanan muncul perempuan mengenakan pakaian sederhana dengan rambut di cepol sambil menggendong seorang bayi gendut menuju dapur. Tujuannya bukan menghampiri meja makan, melainkan seorang pria muda yang telah selesai bicara dengan sang Kepala pelayan. Si gadis kemudian menyerahkan si gembul pada ayahnya, namun baru sebentar di gendong, Bian merengek dan memanggil-manggil Bia seraya memanjangkan tangan. Tidak rela berpisah.“Mam! Mam! Aaa! Mam!”Adnan yang melihat pemandangan tersebut diam-diam menyungging seringai. Apalagi sewaktu si bungsu terpaksa menyerahk
“Ah, oke,” Adrian merespon terkejut. Dia bangkit sembari mengangkat si gembul dari bak yang membuat bayi gendut itu merengek. Tak rela waktu bermainnya berakhir. Bergerak-gerak di tangan sang Ayah yang menyebabkan si Biman muda kesusahan. “Hei, Bian.”“Huwa! Mam! Mam!”Bia segera melilitkan handuk di tubuh si gembul–yang tadi dia sampirkan di pundak–lalu mengelap mukanya yang basah. “Bah!” Dia mengejutkan Bian saat handuk yang menutupi wajah si gembul ia lepaskan. Menyebabkan si bayi tersentak, namun selanjutnya tertawa. Menularkan tawa untuk si gadis dan senyum tipis di bibir si Biman muda.Onyxs kelam milik Adrian akhir-akhir ini sering menangkap raut wajah dari si pengasuh. Mengamati ekspresi yang cepat berubah bila berhadapan dengan si gembul atau bertemu dirinya. Cara si gadis menangani Bian yang dapat membuat si bayi nyaman, anteng, tidak rewel dan tangisnya yang langsung reda. Dia ingin mempelajari itu semua. Bia benar-benar orang yang tepat merawat Bian.Dua pupil berbeda warn
Hati si pengasuh mencelos begitu melihat warna kemerahan di sekitar pinggang Bian. Warna kemerahan yang dia tahu di sebabkan bukan karena terantuk atau luka dalam–tak mungkin–melainkan di sebabkan karena cubitan. Bagaimana biasa kalian mencubit gemas bayi maka akan muncul kemerahan. Tapi, Bia yakin bekas cubitan di pinggang Bian bukan karena gemas. Apalagi si gembul menangis kencang tadi. Bia mengusap warna kemerahan itu lalu menatap si gembul yang sudah berhenti menangis, namun bekas-bekas air mata masih ada.“Maaf ya. Maafin mama ya, sayang.” Tidak kuasa, Bia tak bisa menahan sesak di dada saat menemukan keganjilan di badan putranya. Dia tak pernah mencubit atau menyebabkan warna kulit si gembul berubah sampai menangis, tetapi orang lain malah melakukannya. Bia menjaga Bian dengan baik. Merawat si bayi penuh kasih.Tapi ...!Bulir bening menetes dari sudut mata. “Maaf ya, sayang ....”Bia mencium kening si bayi. Membersihkan bekas air mata di wajah si gembul dan sekali lagi mendarat
“Aha!” Bian menjerit senang. Kepala bersurai halus ini terangkat. Mendongak menatap pria besar di depannya lalu tertawa dan mulai berceloteh, “Mam! Mam! Mmm! Ababa!” Seakan berkata; iya, iya. Ingat! Bian ingat!Adam yang sudah kepalang gemas langsung memeluk tubuh mini dari cicitnya dan menghujani pipi gembil si bayi dengan ciuman. Uh, dia rindu sekali pada Bian. Sejak pertama datang ke rumahnya, tiga hari kemudian Adam rindu berat. Dia ingin datang ke sini! Dia mau bertemu cicitnya! Tapi, pekerjaan tak bisa ditinggal. Ada sedikit masalah sehingga dia mesti menyelesaikan terlebih dahulu. Well, tak perlu dijelaskan apa yang menjadi masalah, kan? Pokoknya pekerjaan sang Petinggi Bimantara bagian gelap-gelapan. Puas mencium si gembul, Adam memangku baby gempal itu. Mengusap kepala dan mencubit pipinya pelan. Akhirnya dia bisa bertemu Biman mini yang sangat dirindukan! Kalau bisa; pengin di bawa pulang saja! Tapi, Adam sadar diri bila dia tidak mungkin membawa kabur si gembul dari keluar
“Iya. Saya baru aja pindah.” Senyum terukir di bibir Kemal. “Oh, maafin saya belum sempat nyapa.” Dia sekali lagi menundukkan kepala.“Nggak, nggak. Aku cuma penasaran siapa yang pindah ke sebelah rumahku. Nggak sangka kalau kamu masih muda banget.” Sang Nenek memamer senyum. “Apa yang buat kamu pindah ke sini?”Duh, Kemal belum membuat alasan. Memang benar dia baru pindah; baru dua hari. Pun dia langsung mengunjungi daerah yang menjadi titik permasalahan kemudian kembali. Belum sempat dia memikirkan alasan yang bagus saat muncul pertanyaan kenapa-pindah-ke sini dan menyiapkan makanan basa-basi–seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang saat menempati rumah baru. Tradisi yang tidak tertulis.Apa ya?Ayo, Kemal, kamu punya otak yang jenius!Kemal menggaruk kepalanya yang tak gatal, menyungging senyum sungkan sembari menjabar satu kebohongan dengan lancar, “Me-melarikan diri dari kota, Nek. He-he. Saya nggak kuat tinggal di kota yang super sibuk sama pekerjaan yang menyita waktu.” ‘N
“Tadi pagi siapa saja yang bareng sama Bian?” Tanya sang Biman senior sembari membenarkan posisi baju si gembul dan membiarkan bayi buntal itu bermain-main sendiri di karpet; berguling ke kiri dan ke kanan, telungkup lalu tertawa sendiri. Melakukan itu berulang-ulang.Sebenarnya enggan mengatakannya, sebab Bia tidak bisa memastikan. Kalau salah tunjuk, bagaimana? Dia yang bakal menanggung. Apalagi sikap menghakimi tanpa bukti kan salah. Tapi, tidak ada orang lain yang bersama Bian waktu itu. Si gadis menghela. Pun karena sudah terjadi dan membuat bayinya terluka, dia tak ingin kejadian serupa terulang.“Saya nggak mau nuduh. Tapi, orang yang terakhir kali sama Bian adalah Nona Naomi.” Katanya serius menatap mata hitam milik sang Bimantara.“Naomi?” Adam mengulang. “Naomi Wibowo?”“Nona Naomi kemari untuk belajar rawat Bian sebagai calon istri Tuan Adrian,” Bia memberitahu. Ini bukan rahasia, kan? Semua penghuni rumah tahu.Sang Biman senior tahu; dia tak bisa ikut campur untuk masalah
“Rabia nggak mungkin kayak gitu.” Adnan memberanikan diri bersuara.Agam menghela di tegangnya suasana. “Iya. Saya juga tahu, Bia nggak akan seperti itu.”Adam menyungging seringai tipis mendengarnya. Sementara Naomi tak percaya jika Bimantara-Bimantara lain tak ada yang membela. Dia melirik ke arah calon ayah mertua, ibu mertua dan kakak ipar yang sama sekali tak melihat ke arahnya. Pun orang yang dia sukai ternyata diam di tempat tanpa mencoba menyelamatkan dirinya. Kenapa mereka semua malah membela perempuan udik itu?“Yeah ..., saya tahu,” imbuh si Tuan Paling Besar. Dia kembali menatap si gadis cantik bersurai lurus. “Kamu tahu kenapa?”Naomi menelan ludah. Dia tidak berdaya.“Bia mempunyai naluri seorang ibu, sedangkan kamu tidak.”Kalimat sang Bimantara senior barusan menohok seorang pemuda di tempatnya bersimpuh. Naluri seorang ibu? Si pengasuh juga pernah membahasnya. Orang yang bisa merawat Bian mesti memiliki naluri seorang ibu.“Saya rasa Bia malah menganggap Bia seperti a
Dua pertanyaan yang diajukan dengan nada santai barusan membuat gadis berpakaian sederhana yang kebingungan jadi kelabakan. Dia buru-buru–tetap merasa ragu–duduk di sebelah si tuan muda di sisi yang kosong. Memberi sedikit jarak agar tidak menempel atau bersentuhan dengan si tuan muda. Bia gugup, tentu saja. Pertama, posisi duduk yang bersebelahan–walau dia memberi celah–tetap terbilang dekat. Kedua, dia tak tahu apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Apa tentang hari ini? Kehebohan yang terjadi? Tentang Bian? Atau malah si gadis yang menjadi calon istri?Suara jangkrik terdengar. Ahem.Si gadis duduk sembari menautkan kedua jemari. Dia sedang bingung dan gugup. Bertanya-tanya dalam hati apa yang ingin dibicarakan oleh si tuan muda. Sedang si Biman muda menarik napas lalu dihembuskan. Sejenak menenangkan diri. Oh, bukan karena dia bakal mengajak bicara si pengasuh, tetapi karena lelah batin yang dirasa karena kejadian yang cukup menguras emosi hari ini.“Aku nggak berharap bany