Bab 86: Hadiah Dari Malaikat
**
Keesokan paginya..,
Aku bangun pukul tujuh. Sedikit menyelesaikan urusan di kamar mandi, kemudian aku berjalan menuju ruang fitness untuk melakukan jogging.
Aku memakai celana training selutut dan kaos tak berlengan berwarna hitam. Tidak lupa, aku juga memakai sepatu khusus lari untuk meminimalisir resiko cedera.
Reynold, Bondan, Wisnu dan dua orang tim pendukungku pasti bangun siang. Tadi malam mereka mabuk di aula gedung arena bersama geng dan konco-konconya.
Mereka merayakan kemenanganku atas Konichi, juga kemenangan taruhan mereka atas lawan yang entah siapa-siapa saja, baik lokal maupun manca negara.
Ada pun Josep, kulihat tadi malam ia bersama Robert Tidar dalam satu mobil, menuju rumah utama Big Boss yang juga merupakan kantor pusat, yang sampai sekarang pun aku tidak tahu di mana tepatnya.
Hadi Wijaya, alias Big Boss itu, meraih untung besar dalam kapasitasnya sebagai
Bab 87: Cindy**Sekuat tenaga dan sekuat pikiranku, aku berusaha menghibur Idah. Aku mengajaknya bermain di taman belakang rumah Menteng.Aku mendorongkan ayunan untuknya. Aku juga mengajari dia merangkai karet gelang, sambung menyambung tak terputus hingga panjangnya mencapai sekitar lima meter.Ujung yang satu aku tambat pada sebuah pohon dan ujung lainnya aku pegang. Aku memutar-mutar tali karet, dan mengajak Idah bermain lompat tali, memutar dan melompat bergantian.Dia tertawa, dan aku bahagia. Setidaknya untuk saat ini saja, dia bisa menikmati masa kecilnya, dan setidaknya untuk saat ini saja aku bisa menikmati kenangan masa kecilku bersama Ainun.Lelah bermain lompat tali, kami masuk ke dalam dan menonton film kartun di televisi. Sambil mengudap kuaci, kami bertukar cerita tentang itu dan ini.Sebagian ceritaku pada Idah adalah bohong, tentu saja. Sebaliknya, semua cerita Idah padaku adalah benar dan jujur adanya.Terma
Bab 88: Menara Berkubah Cinta**Lima menit, kurang lebih, untuk waktu yang sangat sebentar itu. Hanya seratus meter, untuk jarak yang tidak jauh itu. Jihan merasakan sesuatu yang membuatnya merasa sangat nyaman.Ia merasa dilindungi dan terlindungi, merasa diayomi dan terayomi. Apa lagi? Dihormati dan terhormati!Jihan merasa mendapat perlakuan terlayak dan sebenar-benarnya sebagai perempuan, serupa putri kerajaan ketika Ifat membimbingnya berjalan sepanjang pelataran mall SKA dan terus mengawal dan menjaganya dari kemungkinan bahaya dari sekitarnya.Jihan merasakan ketentraman dari tangan Ifat yang menempel di pundaknya sembari terus berpindah posisi kanan dan kiri, seakan-akan Ifat sedang membangun tameng untuk semua anak panah yang sedang membidiknya.Bahkan, ketika Jihan sudah duduk di dalam taksi, Ifat masih berdiri beberapa saat untuk memastikan tidak ada marabahaya, apa pun itu yang mengejarnya.Benar, Ifat memberikan da
Bab 89: Utang Moral**Di sepanjang permainanku bersama Idah tadi siang, aku juga mencari-cari peluang, atau celah untuk bisa membawa Idah kabur. Tidak bisa hari ini, mungkin besok, atau lusa. Demikian pikirku.Tapi aku tidak menemukan celah itu. Penjagaan di rumah Menteng jauh lebih ketat dari yang aku bayangkan sebelumnya.Berbeda dengan rumah Pluit yang setiap hari hanya dijaga seorang sekuriti—Bondan, Wisnu, dan Reynold tidak masuk hitungan.Rumah Menteng dijaga khusus oleh empat anak buah Big Boss, yang dalam sehari-hari mereka berpenampilan seperti tukang kebun, tukang taman, atau sopir, kecuali siapa pun dia yang berpangkat Danru—komandan regu, semacam itu.Dalam perjalanan pulang ke Pluit, aku terus melamun. Aku mereka-reka ulang apa yang aku lakukan sepanjang hari tadi di rumah Menteng.Bondan yang mengemudi hanya berdiam diri di belakang lingkar setir. Aku pun tak ingin ngobrol dengannya. Sepanjang kisahku dari B
Bab 90: Kurap**Sungguh, aku ingin berterima kasih kepada Kassandra. Akan tetapi, tiba-tiba sekarang semuanya menjadi aneh.Aku tinggal di rumah yang sama dengan Kassandra, namun aku sulit menemukannya.“Ya sudahlah..,” pikirku.“Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan dia.”Selanjutnya, aku sibuk berlatih. Pagi, siang, sore, malam. Tiada hari tanpa latihan. Pada sasana mini yang terletak di bagian belakang rumah Pluit ini, ada banyak sarana yang bisa aku manfaatkan.Samsak, punchbag, alat-alat kebugaran, boneka lenting, termasuk tiang besar dengan batang-batang kayu di sekelilingnya seperti yang biasa kulihat di film Mandarin.Termasuk juga para lawan latih tanding yang secara pura-pura tak sengaja sering aku pukul, tendang, atau membanting mereka dengan sungguh-sungguh.Bondan, iya, Bondan, hidungnya pernah aku pukul sampai mimisan.“Hihihi..,&rd
Bab 91: Endless Love**Nah, ini dia! Inilah yang dimaksud Idah tempo hari di rumah Menteng, ketika dia memekik-mekik ke arah televisi yang sedang menayangkan iklan sebuah film Mandarin.Aku sudah mencatat baik-baik jadwal penayangan film dengan judul The Myth itu di sebuah stasiun televisi swasta.Untuk menonton film inilah aku mematikan komputer dan menyimpan kembali CD rekaman pertandingan Elyaz Sharavan.Aku bangkit untuk berpindah duduk ke sofa di dekat ranjangku. Sedikit mencondongkan tubuh aku menggapai remote dan menyalakan televisi layar datar yang menempel di dinding.Televisi menyala, aku merebahkan diri di sandaran sofa.Aku menonton dan mengikuti cerita. Banyak iklan, tidak masalah. Sebab untuk membeli kaset DVD pun aku tidak tahu tempatnya di mana.Aku memang tidak terlalu hafal kawasan di seputar Pluit ini. Meskipun aku bisa bebas keluar ke mana saja tapi aku malas melakukannya. Di dalam keseharian aku memang san
Bab 92: Ante Tantik**Pukul delapan malam. Mobil berkelir merah marun itu berhenti di depan sebuah rumah besar di kawasan timur Bandar Baru.Dari sisi pengemudi keluar seorang wanita berbusana terusan panjang dipadu dengan jilbab warna hijau muda.Dia mengucapkan kalimat syukur setibanya jejak kaki pertama di halaman rumah. Sedikit tergesa-gesa ia berjalan mengitari mobil ke arah depan lalu membuka pintu di sisi kiri.Di jok kiri depan itu ada seorang wanita lain, berusia empat puluhan, sedang menggendong anak kecil berusia satu tahun yang sedang tidur.“Zidan, kita sudah sampai, Nak,” kata si wanita jilbab hijau seraya mengambil anak lelaki dari gendongan wanita itu.“Bik, tolong bawakan tas dan koper kita ke dalam ya?”“Iya, Bu.”Wanita jilbab hijau berjalan tergesa-gesa menuju ke rumah yang daun pintunya segera terbuka. Sepasang suami istri yang telah berumur cukup tua menyambut de
Bab 93: Rusuk Kiri**Aku mau dibawa ke rumah sakit??“Cepat, siapkan mobil!” Perintah Josep pada Wisnu.“Jangan! Jangan ke rumah sakit!” Reynold menahan.“What a hell!” Josep mengumpat keras. Matanya melotot seperti mau melompat keluar.“Kenapa jangan?? Kamu sendiri tidak sanggup menangani dia!”Masih di ruang ofisial, masih di atas bangku panjang beralas busa, masih dalam posisi berbaring miring, aku meraba bagian pundak dan apa yang bisa kujangkau pada bahu kananku.Aku bisa merasakannya. Ada bagian tulang yang menonjol di pundak dan bagian belakang bahu kananku.“Aku sudah melihatnya, Jos!” kata Reynold dengan wajah khawatir dan nafas yang masih terengah-engah.“Dia.., dia mengalami cedera di dua titik sekaligus. Pertama, dislokasi bahu, tulang lengannya terlepas dari sendi bahu.""Kedua, dan ini yang sering orang salah kapr
Bab 94: Tangan Dominan**Ambidextrous? Suatu kelebihan unik di mana manusia mampu menggunakan kedua tangannya dengan sama baik antara kanan dengan yang kiri?Tidak, Riska Hudayanti tidak memiliki kelebihan seperti itu. Untuk pekerjaan kecil, atau aktifitas ringan dengan tuntutan adab dan etika seperti makan, minum, memberi atau menerima sesuatu, dia akan melakukannya dengan tangan kanan.Namun untuk pekerjaan yang besar, berat dan membutuhkan banyak tenaga dia akan melakukan dengan tangannya yang dominan, yaitu tangan kiri.Karena sesungguhnya.., dia kidal!Riska sedang menyiapkan bumbu dan sayur mayur yang akan ia masak esok paginya. Hal ini selalu ia lakukan untuk menyiasati jam masuk sekolah yang dimulai sejak pukul 7:30 pagi.Hari-hari di minggu ini adalah saat-saat terakhir sebelum memasuki musim libur sekolah. Sembari memotong dan mengiris-iris sayur, demikian asyiknya ia memikirkan rencana-rencana yang akan ia lakukan di hari