Bab 90: Kurap
**
Sungguh, aku ingin berterima kasih kepada Kassandra. Akan tetapi, tiba-tiba sekarang semuanya menjadi aneh.
Aku tinggal di rumah yang sama dengan Kassandra, namun aku sulit menemukannya.
“Ya sudahlah..,” pikirku.
“Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan dia.”
Selanjutnya, aku sibuk berlatih. Pagi, siang, sore, malam. Tiada hari tanpa latihan. Pada sasana mini yang terletak di bagian belakang rumah Pluit ini, ada banyak sarana yang bisa aku manfaatkan.
Samsak, punchbag, alat-alat kebugaran, boneka lenting, termasuk tiang besar dengan batang-batang kayu di sekelilingnya seperti yang biasa kulihat di film Mandarin.
Termasuk juga para lawan latih tanding yang secara pura-pura tak sengaja sering aku pukul, tendang, atau membanting mereka dengan sungguh-sungguh.
Bondan, iya, Bondan, hidungnya pernah aku pukul sampai mimisan.
“Hihihi..,&rd
Bab 91: Endless Love**Nah, ini dia! Inilah yang dimaksud Idah tempo hari di rumah Menteng, ketika dia memekik-mekik ke arah televisi yang sedang menayangkan iklan sebuah film Mandarin.Aku sudah mencatat baik-baik jadwal penayangan film dengan judul The Myth itu di sebuah stasiun televisi swasta.Untuk menonton film inilah aku mematikan komputer dan menyimpan kembali CD rekaman pertandingan Elyaz Sharavan.Aku bangkit untuk berpindah duduk ke sofa di dekat ranjangku. Sedikit mencondongkan tubuh aku menggapai remote dan menyalakan televisi layar datar yang menempel di dinding.Televisi menyala, aku merebahkan diri di sandaran sofa.Aku menonton dan mengikuti cerita. Banyak iklan, tidak masalah. Sebab untuk membeli kaset DVD pun aku tidak tahu tempatnya di mana.Aku memang tidak terlalu hafal kawasan di seputar Pluit ini. Meskipun aku bisa bebas keluar ke mana saja tapi aku malas melakukannya. Di dalam keseharian aku memang san
Bab 92: Ante Tantik**Pukul delapan malam. Mobil berkelir merah marun itu berhenti di depan sebuah rumah besar di kawasan timur Bandar Baru.Dari sisi pengemudi keluar seorang wanita berbusana terusan panjang dipadu dengan jilbab warna hijau muda.Dia mengucapkan kalimat syukur setibanya jejak kaki pertama di halaman rumah. Sedikit tergesa-gesa ia berjalan mengitari mobil ke arah depan lalu membuka pintu di sisi kiri.Di jok kiri depan itu ada seorang wanita lain, berusia empat puluhan, sedang menggendong anak kecil berusia satu tahun yang sedang tidur.“Zidan, kita sudah sampai, Nak,” kata si wanita jilbab hijau seraya mengambil anak lelaki dari gendongan wanita itu.“Bik, tolong bawakan tas dan koper kita ke dalam ya?”“Iya, Bu.”Wanita jilbab hijau berjalan tergesa-gesa menuju ke rumah yang daun pintunya segera terbuka. Sepasang suami istri yang telah berumur cukup tua menyambut de
Bab 93: Rusuk Kiri**Aku mau dibawa ke rumah sakit??“Cepat, siapkan mobil!” Perintah Josep pada Wisnu.“Jangan! Jangan ke rumah sakit!” Reynold menahan.“What a hell!” Josep mengumpat keras. Matanya melotot seperti mau melompat keluar.“Kenapa jangan?? Kamu sendiri tidak sanggup menangani dia!”Masih di ruang ofisial, masih di atas bangku panjang beralas busa, masih dalam posisi berbaring miring, aku meraba bagian pundak dan apa yang bisa kujangkau pada bahu kananku.Aku bisa merasakannya. Ada bagian tulang yang menonjol di pundak dan bagian belakang bahu kananku.“Aku sudah melihatnya, Jos!” kata Reynold dengan wajah khawatir dan nafas yang masih terengah-engah.“Dia.., dia mengalami cedera di dua titik sekaligus. Pertama, dislokasi bahu, tulang lengannya terlepas dari sendi bahu.""Kedua, dan ini yang sering orang salah kapr
Bab 94: Tangan Dominan**Ambidextrous? Suatu kelebihan unik di mana manusia mampu menggunakan kedua tangannya dengan sama baik antara kanan dengan yang kiri?Tidak, Riska Hudayanti tidak memiliki kelebihan seperti itu. Untuk pekerjaan kecil, atau aktifitas ringan dengan tuntutan adab dan etika seperti makan, minum, memberi atau menerima sesuatu, dia akan melakukannya dengan tangan kanan.Namun untuk pekerjaan yang besar, berat dan membutuhkan banyak tenaga dia akan melakukan dengan tangannya yang dominan, yaitu tangan kiri.Karena sesungguhnya.., dia kidal!Riska sedang menyiapkan bumbu dan sayur mayur yang akan ia masak esok paginya. Hal ini selalu ia lakukan untuk menyiasati jam masuk sekolah yang dimulai sejak pukul 7:30 pagi.Hari-hari di minggu ini adalah saat-saat terakhir sebelum memasuki musim libur sekolah. Sembari memotong dan mengiris-iris sayur, demikian asyiknya ia memikirkan rencana-rencana yang akan ia lakukan di hari
Bab 95: Semalam di Cianjur**“Maksud kamu?”“Begini, aku mengenal Fathan sudah lama. Aku tahu di mana rumahnya, aku juga tahu orang tua dan keluarganya. Sementara Fatih, dalam kacamataku sekarang ini, dia kan laki-laki yang tidak jelas.”“Tidak jelas?”“Iya, maksudku aku tidak tahu alamat rumahnya. Aku tidak tahu keluarganya, orang tua atau pun saudaranya. Aku tidak mengenal Fatih dengan baik berikut latar belakangnya.""Namun Fathan, aku mengenal betul dari latar belakang yang bagaimana dia berasal. Walaupun jodoh di tangan Tuhan, tapi aku tetap mendahulukan Fathan dari semua laki-laki kalau nanti dia datang melamar.”Riska mengangguk-angguk. Pekerjaan, seperti yang ia canangkan sedari awal, itu bukan poin utama di dalam syaratnya mencari suami. Namun latar belakang keluarga, itu yang ia luput dari seorang Muhammad Fatih.Perbincangan antara kakak beradik itu terus saja berlanju
Bab 96: Jangan Menyerah**Tubuh bagian atasku dibebat kain panjang, yang dililitkan sedemikian rupa melingkari bahu, dada dan pundak kananku.Sementara tangan kananku sendiri dikunci, digantung dan tersangga dengan kain serupa gendongan bayi.Dari balik lilitan kain ini, aku mencium aroma rempah-rempah yang jika hidungku tak salah membaui terbuat dari kencur, jahe, dan mungkin sedikit cengkeh.Rasanya nyaman, tapi panas, bercampur aduk dengan denyutan di seluruh bagian tubuhku yang cedera.Aku tetap saja menahan rasa sakit di sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Aku merasa tidak sanggup berlama-lama duduk, namun sekuat tenaga aku mencoba bertahan.Aku tidak ingin menyiksa Kassandra lagi dengan meminjam ‘bantal’nya.Teringat aku, sebelum berangkat pulang tadi dia kepayahan berdiri. Sampai ia juga harus dipijit oleh istri Bapak Tukang Urut itu.Aku melihat kakinya yang membiru sebab lama tertekuk dan menaha
Bab 97: Anjing di Tepi Sumur**Catatan:Saya memohon maaf kepada pembaca yang budiman jika saya terpaksa menggunakan kata “pxlacur” di dalam kisah ini, yang mungkin saja itu tabu bagi sebagian orang. Sebab, itu satu-satunya kata yang paling bisa menggambarkan isi hati dan pikiran Ifat sang tokoh utama.Terima kasih, dan selamat membaca—Author, Ayusqie.********“Tuhan-lah yang menciptakan kehidupan,” kata Ucon dulu, di salah satu perbincangan kami.“Kehidupan adalah tanda atau bukti dari firman-Nya. Sehingga Dia menetapkan dosa yang sangat besar bagi mereka yang melakukan pembunuhan, dengan kata lain mengakhiri hidup orang lain. Apa lagi, bagi mereka yang mengakhiri hidupnya sendiri, atau bunuh diri.”“Mensyukuri hidup berarti berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, menolong orang atau pun makhluk hidup yang lain guna menyelamatkan nyawa a
Bab 98: Kehangatan dari Sang Putri**Kassandra membaringkan aku lagi di ranjangku. Pelan dan sangat berhati-hati ia menata lagi posisi tangan kananku yang terikat kain gendongan.Ia juga menyusun bantalku, menambah tinggi posisinya menjadi sebuah tumpukan untuk membuatku nyaman.“Uh!” Aku merintih pelan saat dia menyentuh bahuku.“Maaf,” kata Kassandra juga lirih.Setelah aku benar-benar terbaring, ia menjangkau selimut di ujung ranjang dan menutupkannya ke tubuhku.Ia melanjutkan dengan memeriksa tiap ujung selimut seperti tidak yakin selimut ini bisa membuatku hangat.Terakhir, ia menatap wajahku. Dalam temaram lampu tidur, dia seakan mencari-cari bola mataku yang tersembunyi di antara kelopak yang membengkak. Ia menemukannya, dan untuk itu ia ingin membuatku tenang melalui pandangan dan juga ucapan.“Kalau butuh apa-apa, panggil saja aku.”Kassandra berisyarat pada sofa di d
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.