Bab 159: Mencari Arah
**
Pukul sebelas malam, aku berdiam diri pada balkon kamarku di lantai delapan. Sebuah kursi menyangga tubuhku yang setengah terlentang, dengan kedua kaki yang terangkat dan tertumpu pada tepian balkon.
Kelap-kelip lampu di permukaan tanah Jakarta di bawah sana, dan yang tingginya sejajar dengan hotel tempatku berada, menyemarakkan malam dengan intensitas cahaya yang beraneka. Meriah, seperti sedang ada pesta.
Sementara di atas, sang gulita bersimaharaja. Langit menghitam diselimuti kegelapan yang begitu berkuasa. Kelam tanpa kemunculan bulan yang mungkin sedang bersembunyi di balik mendung.
Bintang-bintang juga tak ada satu pun yang hadir untuk menemani aku yang sedang murung. Kecuali satu di sana, di cakrawala yang paling ujung.
Aku melipat kedua tanganku di belakang kepala, lalu menggoyang-goyangkan kakiku satu dua. Bersantai, berleha-leha seperti borjuis Eropa yang sedang menggelapkan kulit di geladak y
Bab 160: Enteng Jodoh**Aku telah memancangkan tekad akan pergi ke mana pun tujuan yang disebut si wanita pramusaji.Akan tetapi, masa lalu?Baiklah, untuk merampungkan urusan yang belum selesai, aku akan pergi ke sana, ke masa lalu. Aku akan mencari dan menemui orang-orang yang mungkin masih ada, masih ingat, atau masih mengenali aku.Lewat layanan jasa yang juga disediakan pihak hotel tempatku menginap, aku memesan tiket pesawat.“Tujuannya ke mana, Pak?” si petugas bertanya.“Ke masa lalu.”“Masa lalu?”“Eh, maaf, maksud saya, ke Surabaya.”“Mau pesawat apa?”“Garuda.”Apakah ada di sini, pada rancangan skenario dari Tuhan bahwa aku nanti akan bertemu dengan Anggun? Sang Bidadari Ketujuh itu?Entahlah, aku tidak ingin mengintip ke masa depan, seperti yang pernah aku lakukan ketika menemui peramal Gipsi. “Sebentar ya, Pak.”Aku mengangguk. Hingga tak lama kemudian, aku sudah mendapat satu tiket pesawat untuk penerbangan pukul sebelas, dengan estimasi kedatangan di Surabaya pukul
Bab 161: Mimpi di Dalam Mimpi**Dia menatapku dengan ekspresi yang cemas. Ada kepanikan di setiap inci wajahnya dan itu bisa terbaca olehku dengan jelas. Meski pandanganku sendiri masih serba samar dan kabur akibat baru bangun dari tidur.Maka apa pun yang berada dan bergerak di depanku, tampak olehku serupa efek slow motion dari sebuah film.Atau mungkin, memang sang waktu yang berjalan dengan begitu lambatnya sehingga gerakan orang-orang di depanku hanya serupa lakon pantomin?“Pak? Bapak sudah bangun?”Wanita berseragam pramugari di depanku ini.., aku mengenalnya!Pesawat masih berada pada tiga puluh ribu kaki di angkasa. Masih setengah jam lagi baru akan mendarat di Surabaya.Sebuah kepanikan kecil telah terjadi. Membuat sebagian penumpang yang duduk di bagian depan menoleh ke belakang, lalu yang duduk di bagian belakang berdiri untuk melihat ke depan.Sementara penumpang yang duduk tepat di sebelahku, juga pramugari yang barusan membangunkan dengan cara menepuk-nepuk wajahku, me
Bab 162: Tangan-tangan Takdir**Anggun berjalan dengan langkah yang tangkas. Tangan kirinya menarik koper dan tangan kanannya sedikit sibuk dengan beberapa pesan yang sedang dan harus ia balas, sebelum nanti ia akan menonaktifkan ponselnya saat sudah berada di atas pesawat.Herna dan Christin ada di sisi kanannya, dalam iringan langkah yang juga tangkas seakan berada dalam satu komando.Rok yang dikenakan ketiganya mengeluarkan suara kelebat kecil, saling berbalas dengan tiga pasang hak sepatu yang menjejak lantai keramik di Bandara Internasional Juanda, Surabaya.Jadwal tugas mereka sebagai flight attendant sudah menanti pada beberapa saat di depan sana. Melayani penumpang dalam penerbangan ke Jakarta, lalu akan kembali terbang menuju bandara Sepinggan di kota Balikpapan, Kalimantan Timur.Obrolan kecil sedang terjadi antara mereka bertiga. Meneruskan perbincangan dari hotel yang belum tuntas. Christin yang selalu gagal membuat kue bolu menyimak penjelasan Herna.Tentang takaran tep
Bab 163: Bibit Cabe**Maka di sinilah aku, berdiri di salah satu sudut kota kelahiranku, Surabaya. Cahaya matahari menyorotku dari arah tenggara dan menjatuhkan bayanganku di tanah kosong entah milik siapa.Di belakangku, kebisingan tercipta dari riuh ramainya jalan raya. Aneka macam kendaraan hilir mudik dengan beragam suara mesin, klakson dan gilasan roda-rodanya di atas aspal.Sudah pergi, namun di langit tadi ada mendung yang lumayan tebal.Aku menatap ke kejauhan, pada gunung Penanggungan yang samar dalam warna biru tua dengan kabut putih yang menutupi puncaknya.Gunung terdekat dari kota Surabaya yang sering ditakluki para pendaki yang ingin menikmati keindahan semesta namun hanya mempunyai waktu yang tanggung.Ini adalah hari kedua aku berada di kota yang berjuluk Kota Pahlawan ini. Hari kedua yang aku habiskan dengan berkeliling, berjalan ke sana ke mari di daerah atau wilayah di mana dulu rumah ibuku berada.Rumah kecil di pinggiran kota tempat segala sesuatu dari kehidupank
Bab 164: Tempat Untuk Kembali**Selama beberapa hari kemudian, menggunakan sepeda motornya Suryo menemani aku pergi berkeliling kota Surabaya.Ia sengaja mengambil cuti dari workshop tempat dia bekerja, yang prosedurnya harus ia kangkangi sedikit dan ia manipulasi dengan bumbu kebohongan.“Aku bilang pada kepala teknisi dan mandor di workshop, aku punya urusan genting yang mendadak.” Terang Suryo.“Lalu, kepala teknisi kamu tidak tanya, urusan apa?”“Untuk apa tanya, lha wong kepala teknisinya aku sendiri.”“Lho, piye toh—gimana sih?” Tanyaku pula.“Tidak usah bingung begitu kamu, Fat.”“Terus kalau mandor kamu nanti tanya-tanya bagaimana?”“Untuk apa tanya-tanya, wong mandornya aku sendiri.”“Edan kamu, Yo! Perusahaan macam apa tempat kamu bekerja itu. Kalau kamu dimarah sama boss kamu bagaimana?”“Mana mungkin dia marah. Wong anaknya sudah aku nikahi.”“Boss kamu itu mertua kamu??”“Hiyaa!”Aku tersenyum sembari geleng-geleng kepala.“Memang mujur nasib kamu, ya? Hidup lempang, had
Bab 165: Peziarah**“Ee.., ini, jujur saja, Fat. Abang khawatir kejadian yang sama terulang lagi. Idah diculik Josep, dan.., dan..”Aku menghela nafas lagi.“Iya, Bang. Aku juga sering berpikir begitu.”“Kemarin, Abang ada bercakap-cakap dengan Pak Latif.”“Nah, tentang apa itu?”“Mmm, begini. Apa yang Abang bilang tentang kekhawatiran tadi, itu juga dirasakan oleh Pak Latif. Bahkan dia yang pertama mengungkapkan hal ini pada Abang. Jadi, sekarang dia sedang memikirkan rencana untuk hijrah ke Bukit Tinggi. Dengan kata lain, pulang ke kampung halamannya.”Aku bangkit dari kursi yang sedari tadi kududuki. Tujuh langkah berjalan aku sampai di jendela kamar hotelku dan lantas membukanya. Berjalan keluar, menyambut cercah-cercah cahaya dari lampu kendaraan di jalan raya yang beberapa saat menampar-nampar wajahku. Keterangan dari Bang Idris itu membuatku merasa sedang berada di dalam proses penelantaran oleh masa lalu.Idah yang wajahnya mirip almarhumah Ainun, yang menjadi jembatan masa
Bab 166: Pak Bambang**Jihan berlari keluar dari sebuah ruangan yang ada di kawasan Fakultas Sastra, meninggalkan para dosen penguji dan orang-orang yang duduk memenuhi ruangan itu.Langkah kakinya tampak sedikit repot dengan buku-buku dan tas yang ia bawa. Sebentar menyusuri koridor, ia sudah sampai di luar dan berhenti di depan sebuah taman.Nafas Jihan memburu, dadanya kembang kempis. Ia menolehkan kepalanya kanan dan kiri, mencari-cari.Matanya berlinang dengan air mata kebahagiaan yang segera saja meluncur jatuh saat mendapati sahabatnya, Ika Damayanti tengah duduk di sebuah bangku di taman itu.Jihan teruskan lagi larinya, menyusuri jalan setapak yang diapit rangkaian bunga asoka. Jejak sepatunya menimbulkan suara tepak-tepok yang nyaring, diimbuhi suara kelebatan ujung rok dan juga jilbabnya.“Ika..!” Pekik Jihan pada sahabatnya itu.Ika yang tengah menunduk, serentak mengangkat wajah, dan berdiri pula untuk
Bab 167: Masih Tentang Pak Bambang**“Kamu bilang begitu?” Tanya Ika pada Jihan.“Iya, kenapa?” Jihan balas tanya.“Kamu sebutkan langsung nama Bang Ifat itu pada Pak Bambang itu?”“Iya. Aku sebutkan dengan lugas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling.”Ika tersenyum tipis. Ia segera membayangkan bagaimana raut wajah Pak Bambang ketika bereaksi dengan jawaban Jihan yang terakhir seperti baru saja diceritakan.Jihan melanjutkan kata-katanya.“Walaupun sekuat tenaga aku menyembunyikannya, tapi tidak bisa dipungkiri, aku kesal sekali dengan pertanyaan Pak Bambang tentang menikah itu.”Ika tertawa kecil. “Yah, menurut aku sih, sah-sah saja dosen penguji bertanya seperti itu? Apa lagi dia memintamu menjelaskan sosok Bang Ifat itu menggunakan bahasa Inggris.”“Sah? Sah bagaimana? Ini sidang skripsi lho, Ika! Jurusan sastra Inggris, dan bahasan