Jantung Nur masih berdetak dengan kencang. Hatinya membuncah membawanya terbang kegirangan namun otaknya memaksa untuk mengingkari, memandang semua berdasar logika dan tetap berpijak di bumi. Pikirannya, pada akhirnya, mau tidak mau melayang layang dan berangan-angan. Dengan kedudukannya sekarang ini dia akan mendapat gaji yang lebih besar daripada sebelumnya. Gaji seorang wakil ketua berada pada level dua digit jutaan daripada seorang kepala divisi yang hanya satu digit jutaan saja. Dia tak sabar ingin segera sampai di rumah dan memberi tahu istrinya.
Dengan gaji sebesar itu dan bonus yang juga naik, dia bisa memberikan fasilitas kesehatan yang lebih baik pada anaknya. Akhirnya dia kan bisa mendaftarkan anaknya untuk mendapatkan donor ginjal seperti yang dia dan istrinya inginkan selama ini. Dengan ginjal donor yang sehat, anaknya akan tumbuh sehat seperti anak-anak lainya. Tidak akan ada cuci darah minimal 2 minggu sekali yang menghabiskan sebagian besar gaji dan bonus-bonusnya hingga harus berhutang.
Dia juga bisa membelikan istrinya ponsel baru dan laptop baru. Dia merasa memang sudah waktunya ponsel istrinya ganti. Ponsel itu dibelikannya saat dia mendapat THR 4 tahun yang lalu. Beberapa waktu kemarin istrinya meminta tolong untuk membenarkan ponsel itu. Dia lihat sendiri bahwa penyimpanan internal ponsel itu sudah tidak muat. Ada notifikasi berbentuk disk yang berarti memory internal sudah penuh. Sudah diakalinya dengan menghapus foto dan dokumen tidak penting, tapi hasilnya hanya bertahan beberapa hari dan notifikasi itu muncul. Pada akhirnya, istrinya meminta tolong lagi. Hasil foto dari kamera ponsel itu pun sudah tidak sebagus awal-awal beli dulu. Ponsel itu sekarang hanya bisa digunakan untuk aplikasi chatting saja.
Nur mau memberikan istrinya kejutan saja. Istrinya dibawanya saja ke counter ponsel tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Sesampainya disana dia ingin istrinya memilih ponsel mana yang diinginkan. Suasana sperti itu pasti terasa romantis dan istrinya pasti senang.
Laptop istrinya sudah sangat tua. Dia ingat istrinya beli laptop itu ketika mereka masih berpacaran dulu. Saat itu semester akhir dan istrinya membutuhkan laptop untuk mengerjakan skripsi. Usia laptop itu jauh lebih tua dari anaknya. Sekarang laptop itu sudah sangat kusam, sistem operasinya saja masih menggunakan Windows 7 disaat laptop sekarang sudah mengggunakan Windows 10. Keyboard-nya sudah bukan keyboard aslinya, keyboard portable. Beberapa tahun lalu laptop itu pernah jatuh dan merusak speaker, oleh karena itu, laptop itu harus menggunakan speaker portable atau headset untuk mendengarkan audio dari film atau untuk mendengarkan musik. Istrinya pernah bergurau bahwa laptop itu masih setia dan hidup meski dengan life support yang banyak. Tugas paling berat yang bisa dikerjakan laptop itu sekarang hanyalah memproses dokumen saja.
Isrinya tidak pernah menuntutnya untuk membelikan laptop baru. Tapi Nur merasa kasihan. Istrinya butuh hiburan di rumah setelah seharian penuh merawat anaknya yang sakit. Setahunya, laptop adalah alat hiburannya. Istrinya senang sekali menonton drama dan variety show korea, hobi istrinya dulu sejak kuliah. Pernah istrinya bergurau bahwa istrinya menginginkan laptop merk MSI dengan prosesor intel core i5, RAM minimal 8 GB, dan Nvidia GForce sebagai VGA-nya. Mungkin untuk beli laptop ini harus menunggu dulu. Dia mengharapkan bonus akhir tahun saja yang dia gunakan untuk membeli laptop. Dipikirnya kalau bonus akhir tahun kepala divisi saja bisa menyentuh angka sepuluh jutaan maka bonus akhir tahun wakil ketua bisa saja dua kali lipatnya. Harga laptop MSI yang sekitar sebelas juta bisa langsung terbeli.
Dengan membelikan dua barang itu, Nur pikir istrinya akan sangat bahagia. Jarang dilihatnya sekarang senyum bahagia dari istrinya. Ingin sekali dia lihat senyum bahagia itu tersungging di bibir istrinya yang mungil. Dia rindu perasaan bahwa dia adalah seorang pria yang berguna dan mampu membahagiakan istrinya. Dia ingin sekali dipeluk istrinya dengan erat, dengan begitu dia merasa istrinya sangat mencintainya. Dengan kenaikan jabatan ini, semua impianya, membahagiakan istrinya dan membuat anaknya sehat dan normal akan tercapai.
Otaknya kembali menariknya ke kenyataan. Dia merasa tidak pantas untuk menjadi seorang wakil ketua. Kenapa dia yang mendapat promosi jabatan dan bukan Pak Anwar. Dia merasa bahwa dia tidak enak dengan beliau. Dia takut kalau-kalau Pak Anwar memusuhinya. Diingatnya pandangan melotot dan tajam dari Pak Anwar tadi sore. Hatinya bimbang lagi, di satu sisi dengan promosi ini dia akan bisa membahagiakan keluarga kecilnya. Sedangkan, di sisi lain, dia tidak mau hubungan kerja di satu kantor menjadi rusak, karena Pak Anwar akan memusuhinya. Hal itu akan membuat suasana kerja menjadi canggung dan tidak kondusif.
Dia tidak mengerti kenapa bukan Pak Anwar yang menjadi wakil ketua. Dia merasa tidak enak dengan Pak Anwar karena seharusnya dia yang berhak menjadi wakil ketua dan seolah olah ini promosi aneh.
“Apa yang harus kulakukan?” batinnya, “Apa aku bisa menjadi seorang wakil ketua? Apa aku bisa mengemban tugas sebesar itu? Kalau nanti aku ternyata tidak bisa memimpin dann akhirnya kepemimpinanku jelek, bagaimana? Aku malu kalau harus menghadapai kenyataan seperti itu. Itu lebih baik daripada aku dipecat. Malah hancur hidupku. Apa aku mundur saja? Mundur pilihan terbaik, aku akan berbicara dengn Bu Ceo bahawa aku tidak sanggup. Dengan begitu, hubungan kerja ku dengan Anwar akan tetap baik-baik saja juga aku juga tidak perlu memikul tanggung jawab sebesar itu. “
“Tapi kalau aku mundur dari jabatan itu, mungkin saja Bu Celo tidak mempercayai aku lagi. Mungkin saja di masa depan akan menghambat karirku sendiri. Bisa saja Bu Celo menjauhiku dan jauh dari pemilik perusahaan itu menghambat karir dan menghancurkan apa yang sudah kuperjuangkan selama ini. Aku sudah bekerja keras untuk sampai di titik ini hanya untuk mundur dari jabatan. Apa nanti yang dipikirkan Celo tentang ku? Lelaki pengecut? Tidak, aku tidak mau mundur, aku seorang lelaki ksatria yang tidak akan mundur dari tantangan seperi ini.”
“Tapi apa aku bisa mengendalikan Pak Anwar yang nanti akan jadi bawahanku. Dia bisa membenciku dan membuat suasana kerja di kantor menjadi tidak kondusif. Dia bisa saja menghasut pegawai-pegawai itu untuk tidak mendukungku. Bisa bisa semua keputusanku ditentangnya dan bisa saja dia menyabotaseku. Kemarin saja waktu aku diangkat jadi kepala divisi yang sama levelnya saja, dia sudah jarang berbicara kepadaku, apalagi sekarang?”
Wajahnya terasa terang dan matanya terasa silau. Lampu sorot dari truk box yang berlawanan arah itu menyorot ke wajahnya, memberikan isyarat untuk minggir memberikan jalan. Dia tersadar dari angan-angan panjangnya. Secara intuitif dia turun ke bahu jalan dan merasakan jalanan yang tidak rata tidak beraspal dan bergelombang menganggu keseimbangan sepeda motornya. Dia tarik rem di tangan kanannya dan injak rem di kaki kanannya bersamaan. Motor itu pun berhenti dengan mesin tetap menyala. Dia tepat berhenti di bawah lampu penerangan jalan yang sedang menyala. “Huf” desahnya. Dia memerlukan beberapa saat untuk menguasai dirinya.
Nur tertegun. Dilihatnya disekelilingnya yang gelap gulita, yang hanya ada penerangan dari lampu jalan dan lampu dari kendaraan yang ramai lalu-lalang, dan persawahan di sepanjang jalan.
“Ko bisa sampai disini?” pikirnya, “Masya Allah, kebablasan.”
Dia turunkan gigi perseneling itu ke gigi satu, menyalakan lampu sein kanan, dan melihat kebelakangnya. Saat dia merasa keadaan sudah lumayan sepi, dia tarik gas motor itu dan naik ke jalan aspal. Secara perlahan dia kendarai motornya ke tengah jalan. Saat kendaraan dari arah yang berlawanan sepi, dia putar balik motornya.
Gerbang berwarna ungu di depan merupakan tanda masuk perumahannya. Dia menyalakan lampu sein kanannya dan menuju ke tengah jalan. Dilihatnya dari lawan arah sepi, dia tarik gasnya langsung menyeberang. Jalan masuk perumahan itu cukup lebar, 2 bis pun bisa masuk, saking lebarnya jalan ini dibuat pemisah antar jalur ditengahnya berupa taman. Jalan ini juga sangat terang, selain lampu yang ada di pinggir jalan, pemisah jalan di tengah itu pun dilengkapi dengan lampu.
Rumah di blok depan ini juga megah dan besar. Nur membatin, “Rumah-rumah ini apa ada yang menempati ya? Sejak tinggal di sini, aku tidak pernah menemui penghuninya dan akupun tidak pernah tahu siapa pemiliknya.”
“Pertigaan depan itu belok kiri, masuk gerbang dan nyampe sudah ke rumah.”
Dia melewati masjid besar di kanan jalan, benaknya berkata, “Sudah lama aku tidak berjamaah di sini. Sudah lama juga aku tidak ikut majelis ilmu. Ya Allah ampunilah dosaku.”
Jalan ini lebih sempit dari jalan besar tadi juga lebih gelap. Jalan ini hanya bisa dilalui dua mobil bersimpangan dan hanya ada lampu di sebelah kanan jalan. Tidak ada pemisah jalur disini. Rumah rumah yang ada disini pun terlihat lebih kecil dan tidak semegah rumah di blok depan.
Dilaluinya gerbang bertuliskan “PERUMAHAN KOTA IV”. Dikirinya, dia melihat sekilas dengan sudut matanya baliho berwarna kuning yang sudah lama dipasang disana. Dia sudah hafal apa informasi di baliho itu, tentang informasi kavling-kavling tipe 36 dan 45 siap jual dan perumahan ini adalah perluasan dari perumahan utama yang ada di depan.
“Kompleks ini kok masih sepi ya? Enggak ada yang beli atau bagaimana ya? Masa dari aku tinggal disini enggak ada penambahan rumah atau apa.” batinnya.
Ketika sampai di rumah bercat putih berpagar hitam, dia berhenti. Dia turun dari motornya, membuka gembok pagar sekaligus membukanya, kemudian dia menuntun motornya masuk , lalu menutup dan mengunci pagar. Diambilnya bungkusan tas kresek warna hitam yang berisi makanan dari gantungan motornya. Dia tak sabar ingin segera memberitahukan istrinya tentang kabar ini.
Dilepasnya sepatu di depan pintu dan ditaruh di rak sepatu sebelah pintu. “Assalamualaikum, Sayang?” katanya sambil membuka pintu. Hening, tidak ada jawaban.“Jam segini masa sudah tidur?” pikirnya. Terbersit perasaan kecewa di hatinya. Pelan-pelan dia berjalan menuju kamar depan agar tidak membangunkan istri dan anaknya. Dilihatnya lewat pintu yang terbuka, istrinya dengan mata terbuka baru bangun tidur disamping anaknya yang tetap terlelap.Dilambaikanlah tangan kirinya dan menjunjung tas kresek hitam di tangan kanannya sambil berbicara tanpa suara, “Maaf.” Nur berharap istrinya tidak sebal karena telah membuatnya terbangun. Nur pernah membuat istrinya sebal karena dia secara sengaja membangunkan istrinya yang sedang tidur untuk makan malam. Istrinya bilang saat itu, dengan suasana hati yang buruk dan bersungut-sungut, berbicara pada Nur, dia lebih memilih untuk tidur daripada makan. Istrinya juga bilang bahwa dia sakit kepala kare
Nur memarkir motornya di bawah pohon keres yang berdaun jarang. Lalu dia berjalan ke dalam warung, diliriknya tempat favoritnya, seperti biasa belum ada yang menduduki. Di dalam warung, Nur melihat tidak ada antrian, maka dia langsung menuju ke meja yang terdapat laci kaca dan berisi bermacam-macam lauk pauk. Nur berkata, “Mak, pecel satu kayak biasanya ya.”“Nggeh Mas Nur.” Jawab Mak Nem.Nur menunggu sebentar. Sesaat kemudian Mak Nem memberikan piring yang sudah berisi nasi pecel pesanannya. Dia teringat sesuatu lalu berkata lagi pada Mak Nem, “Sama kopi Mak, nggeh?”Mak Nem mengangguk sambil berteriak pelan ke arah dapur, “Kopi siji.”Nur tidak menunggu kopi tersebut, dia langsung berjalan menuju pintu keluar yang hanya beberapa langkah dari meja. Dia duduk di kursi panjang tanpa sandaran di teras warung tersebut. Piringnya ditaruh di meja panjang di depannya. Dikeluarkannya ponsel, roko
Dia memarkir motornya di tempat parkir yang berada di belakang bengkel. Parkir itu luas dan berkanopi, berkonsep semi-indoor. Biasanya, hanya ada empat mobil yang parkir disana, mobil Aston Martin DB5 biru langit milik Bu Celo, Honda Civic hitam 2018 milik Pak Anwar, dan dua mobil Avanza tipe G putih 2018 yang menjadi mobil operasional bengkel. Hanya ada mobil operasional yang terparkir. Selain itu, semua pegawai menggunakan motor ataupun menggunakan transportasi umum.Lalu dia berjalan beriringan dengan Gun menuju pintu utama bengkel. Bengkel itu berpagar tinggi bercat putih dengan kawat berduri di atasnya. Tepat disamping pagar itu, ada tempat duduk panjang di bawah kanopi seng untuk para pegawai yang istirahat. Para mekanik yang biasanya duduk di sana sambil merokok.“Hari pertama masuk sebagai wakil ketua.” suara hati Nur dengan diselimuti rasa bangga dan senang. Dilihatnya di dalam pagar sebelah pintu masuk bengkel, ada tulisan berwarna putih dengan wa
“Tok.. Tok..”Nur mengetuk pintu ruangan Bu Celo yang sudah terbuka lebar. Dilihatnya dari pintu Bu Celo sedang berdiri tegap di depan jendela belakang membelakangi pintu masuk. Sepertinya, batin Nur, Bu Celo sedang memantau aktivitas para pegawai di bengkel. Tangan Bu Celo mungkin di lipat di depan tubuh. Nur lihat, Bu Celo memakai celana panjang warna biru tua dan kemeja putih lengan panjang dan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Sedangkan, di gantungan bajunya yang berbentuk tongkat di pojok ruangan, tergantung outer Bu Celo dengan warna yang senada dengan celana.Siluet sosok itu, dipikiran Nur, mencerminkan pose wanita yang tangguh dan mandiri. Sikap dan pembawaan seorang wanita karir sukses, tak lain, seorang pemilik bengkel berkelas nasional. Pose menawan yang memancarkan sihir pesona karena kepercayaan diri tinggi dengan sedikit keangkuhan.“Silahkan masuk Pak Nur.”Nur masuk ke ruangan Bu Celo. Dia berhenti di depan sofa. D
Nur mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu Pak Anwar. Pintu itu masih tertutup rapat, tapi dia tahu Pak Anwar sudah ada di dalam ruangan. Dirinya ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Seolah-olah dia mau masuk ke kandang singa. Hatinya berdebar tak karuan.Tok Tok. Suara pintu itu diketuk.“Masuk.” Nur mendengar suara Pak Anwar dari dalam ruangan.Nur membuka pintu itu pelan-pelan. Sambil tersenyum, dia berkata dengan sopan, “Selamat pagi Pak Anwar.” Dianggukannya kepalanya pada si empunya kantor. Dilihatnya Pak Anwar duduk di kursi kerjanya, beliau sedang membaca berkas-berkas yang ada di depannya. Seperti biasa, beliau selalu memakai dasi, pakaian bisnis formal.Nur merasakan pandangan Pak Anwar dari balik kacamata, pandangan yang tajam. Sakit. Pandangan yang tajam itu serasa menusuk hatinya. Dia merasa tertekan, serasa ruangan itu sempit.Nur masuk ruangan Pak Anwar dengan canggung, seolah-olah dia adalah bawahan ya
Nur masuk ke ruangannya dan duduk di kursinya. Hatinya berdebar kencang berkecamuk antara bingung, takut, dan marah. Benar kata Gun, Pak Anwar bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau.“Gun, apa yang kamu lakukan? Kamu bilang kemarin cuma mengambil dua puluh juta, kenapa Si Anwar bilang sampai seratus juta?” desis Nur. Diambilnya rokoknya, dinyalakannya, dan dihisapnya kuat-kuat. Dia menggaruk dahinya.Diambilnya ponselnya, dia mulai mengetik pesan singkat.“Gun, kemarin yang kamu ambil berapa? Dua puluh atau seratus?”Dikirimnya pesan itu. Disingkirkannya ponsel itu, tiba-tiba dia tidak ingin melihat ponselnya. Dijauhkannya ponsel itu dari dirinya, diletakkan di ujung meja. Dia takut dengan apa isi balasan dari Gun.Dihisapnya rokok itu.Hatinya cemas tidak karuan. Pikirannya berkecamuk. Dia berdiri. Dia menuju ke jendela samping, dihisapnya lagi rokoknya dengan kuat. Sesaat kemudian dia merasa tena
Nur baru pulang dari bengkel habis Isya’. Kejadian hari ini terlalu berat baginya. Pikiranya berkecamuk dan bingung. Sepanjang jalan pulang, dia terus memikirkan bagaimana bisa laporan itu sampai di tangan Pak Anwar dan bagaimana ada selisih depan puluh juta. Tadi waktu mengantarkan santunan ke rumah Pak Mis, Bu Celo juga tidak mengatakan apa apa.Nur sebenarnya punya kesempatan besar untuk bertanya pada Bu Celo, karena saat itu hanya dia dan Bu Celo di dalam mobil kantor. Mulutnya sudah gatal ingin bertanya dan menutup rasa penasaran. Namun, pada akhirnya, dia tidak berani bertanya soal laporan itu. Pikirnya, bisa-bisa tambah curiga Bu Celo dan malah bunuh diri dengan pertanyaan itu. Jadi, dia pikir untuk tunggu dan lihat saja bagaimana nantinya.Jam delapan malam dia masuk rumah. Dara sedang duduk santai di kursi tamu dengan memegang ponselnya. Dilihatnya Wahid sudah tidur di kamar depan. Nur langsung mencium istrinya. Dilihatnya dari sudut matanya, Dara menuju
“Mbak Dita, Mas Adim, dan Mas Surya, ini sudah sore dan sepertinya negoisasi ini masih berbelit-belit. Jadi untuk menghemat semuanya, tiket pesawat dan biaya penginapan, biar saya dan Pak Nur saja yang tinggal disini. Kalian bertiga bisa pulang.” kata Bu Celo yang berdiri di depan meja.“Baik Bu.” jawab Dita. Sementara itu, Nur melihat Adim dan Surya mengangguk mengiyakan.“Mbak Dita bawa ATM kan?”“Iya Bu, kenapa?”“Tolong saya dikirimi nomer rekening Mbak Dita, saya mau transfer untuk uang saku kalian bertiga.”Sesaat kemudian mereka berdua sibuk dengan ponsel masing-masing, dimana Nur hanya terdiam. Hatinya bimbang, dia terpikirkan anak dan istrinya. Dia sudah berkata pada istrinya bahwa dia akan pulang sore ini. Bahkan dia lupa tidak menanyakan bagaimana keadaan Wahid. Dia merasa bersalah. Hatinya bergejolak ingin mengetahui keadaan Wahid dan istrinya. Dia rindu anak dan istrinya. Dia
Sekitar tiga setengah tahun kemudian.Nur sedang duduk di food court sebuah mall besar di kota itu. Di hadapannya terhidang makanan mie dan es teh. Makanan itu sama sekali belum dia sentuh, mie itu sudah dingin. Dia hanya dari tadi minum es teh itu terus-menerus, hingga es itu sudah habis, dan hanya tersisa es batu saja di dalamnya. Meski begitu, dia masih menyeruput sisa-sisa teh yang tertinggal.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia pandangi orang-orang yang berlalu lalang hiruk-pikuk disekitarnya. Hampir mereka semua membawa teman, pasangan, dan ada anak-anak. Nur mencelos hatinya. Hatinya berlubang. Rasa kehilangan masih terasa di hatinya.Nur ingat dulu, Dara selalu mengajaknya ke mall ini, dan makan mie ini, es teh ini pula dulu yang menjadi minuman favorit mereka berdua.Hari ini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk pergi ke mall ini dan makan mie, juga minum es teh ini. Kerinduan yang
Nur menutup pintu ruangan Dara. Di luar ruangan itu, dia bersandar pada tembok dan kembali menangis. Air mata deras membasahi pipinya. Penyesalan yang dalam. Dada yang sesak. Hati yang berlubang.Kedua kalinya, dia membuat perempuan yang dia cintai menangis.Dia segera cepat menguasai dirinya. Nur tidak ingin ada orang yang lewat di lorong itu dan melihatnya menangis. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya pintu kamar Celo yang ada di seberang lorong, tepat di sebelah kamarnya.“Aku harus kesana. Aku mau melihat Celo dan aku harus mengakhiri ini dengan baik-baik. Aku mengenal dia dengan baik. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski semalam dia sudah secara aktif mau membunuhku, tapi rasaku tetap sama. Semua kata cinta itu adalah jujur. Aku tidak bohong semalam ketika aku bilang aku mencintainya.” batin Nur.Dengan langkah yang masih pelan-pelan, Nur menyeberangi loro
“Aku sebenarnya menerima pekerjaan lepas waktu sebagai penerjemah sejak setahun yang lalu. Aku enggak pernah bilang soalnya aku takut Mas Nur tersinggung. Aku takut kalau Mas Nur merasa kecil karena berpikir uang yang diberikan Mas Nur kurang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah bilang soal ini. Oleh sebab itu pula, pekerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Aku minta maaf soal itu.”Dara melihat Mas Nur menutupi mukanya denga kedua telapak tangannya. Mas Nur sepertinya menangis. Dara tadi sebenarnya melihat ada bekas-bekas tangisan di wajah Mas Nur, namun Dara diam saja. Dara tidak pernah tahu dan tidak mau tahu alasan Mas Nur menangis.“Aku minta maaf juga Sayang, gara-gara itu, aku menyangka Sayang berselingkuh. Aku berpikiran buruk ketika laptop Sayang itu menyala dan setiap kali laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai.”“Aku minta maaf Mas, aku sudah menyimpan rahasia di hubungan kita.”“Sayang, ak
Dara masih melihat Mas Nur dengan kemarahan yang memuncak. Dia benar-benar ingin meluapkan segala kemarahan kepada Mas Nur saat itu juga. Kalau saja tidak ada Papa dan Wahid di kamar itu. Dia pasti sudah melempar Mas Nur keluar jendela dan membiarkannya terjatuh dari lantai lima dan remuk di bawah sana.“Bagaimana keadaanmu Nur?” tanya Papa kepada Mas Nur yang terlihat masih menahan sakit karena luka di perutnya. Kepalanya juga di perban.Dara mengetahui sebab Mas Nur menderita itu semua. Dokter Mus tadi pagi datang dan menjelaskan semuanya kepada dirinya dan Papa. Ketika dokter Mus menceritakan cerita kepahlawanan Mas Nur yang membantu Bu Celo lepas dari para perampok yang menyatroni rumah Bu Celo, Dara merasakan sebersit kekhawatiran atas keselamatan Mas Nur. Ingin dia segera berlari dan melihat keadaan Mas Nur yang ada di seberang ruangannya.Niat itu diurungkannya.Dara masih marah kepada Mas Nur. Dara merasa jijik dengan Mas Nur. Entah me
Nur benar-benar berusaha untuk bisa bangkit dari posisi rebahannya. Kalau saja dia benar-benar kangen dan ingin bertemu Wahid dan Dara, di pasti mengalah dengan rasa sakit yang mendera itu. Dia mungkin lebih memilih untuk menyerah pada sakit di sisi kiri perutnya daripada harus berusaha agar bangkit.Setelah sekitar tiga puluh menit berusaha, usaha Nur membuahkan hasil. Dia bisa bangkit dari rebahan. Kakinya sekarang sudah menggantung di pinggir ranjang. Kini tinggal berusaha unutuk berjalan ke kamar mandi. Dia juga baru sadar kalau dia tidak dipasang kateter untuk buang air kecil.Tiba-tiba juga dia merasa ingin buang air kecil. Dorongan yang kuat untuk buang air kecil.Dalam waktu satu jam, dia telah berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh dokter Mus. Kini tinggal memanggil meminta tolong perawat untuk mengantarnya ke kamar Wahid. Tapi buat apa Nur meminta bantuan perawat? Dia bisa sendiri. Bukankah tadi dokter Mus bilang bahwa kamar Wahid ada di depan k
Nur membawa Celo ke rumah sakit internasional. Nur tadi dengan sigap memasukkan Celo ke mobil Aston Martin dan membawanya ke rumah sakit. Nur khawatir dengan Celo. Sementara itu, dirinya juga khawatir dengan nasib anak dan istrinya. Dia hanya menuruti instingnya. Dia hanya menyelamatkan Celo dan dirinya yakin Wahid dan Dara tidak ada di rumah yang meledak itu. Nur yakin kalau Celo tidak sejahat itu. Sesampainya di rumah sakit, dirinya dan Celo langsung dibawa ke instalasi gawat darurat. Celo mengalami syok dan luka pukulan dan bantingan. Sedangkan Nur mengalami luka sayatan. Nur mengatakan bahwa Celo dan dirinya adalah korban perampokan. Nur tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau berurusan dengan polisi dan membuat semuanya semakin kacau. Ini hanyalah masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dan dengan cara damai. Luka yang dialami Nur tidak parah. Benar dugaan Nur, luka sayatan yang dangkal dan sama sekali tidak berba
“Kalau aku tidak bisa memilikimu Nur, maka Dara dan Wahid pun tidak.” kata Celo menyeringai.Nur merasakan kengerian. Dengan cepat dia bangkit sambil mengelus pipi kanannya. Sakit.Celo memainkan pisaunya, melemparkannya ke tangan kanan dan kiri bergantian. Seolah-olah Nur adalah binatang buruan yang terperangkap dan pasti mati.“Aku mencintaimu Nur. Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tidak ingin berbagi dengan Dara ataupun Wahid.”“Tunggu dulu, aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kamu membuat gosip di bengkel?”“Toni. Toni adalah anak buahku yang setia. Dia memang aku tugaskan untuk menjadi bawahan Anwar. Dengan bantuan Toni, aku bisa membisikkan apapun ke tua bangka serakah itu, termasuk gosip kita yang selingkuh, kita yang sekamar di Jakarta, dan laporan keuanganmu. Invoice itu gampang didapatkan. Aku yang punya hotel itu dan aku juga sudah mengatur agar kita sekamar. Ban yang meletus dan syok
Nuraga memacu motornya dengan cepat ke rumah Celo. Dia khawatir dengan nasib anak isrinya dan juga penasaran apa yang dimaksud Celo dengan kata-katanya di telefon tadi.“Bagaimana bisa Celo tahu tentang Wahid dan Dara disaat aku saja tidak tahu dimana mereka berdua?”“Apakah mungkin Celo berbuat yang tidak-tidak dan di luar nalar?”“Apa yang telah dilakukan Celo terhadap Wahid dan Dara?”“Tidak, Celo tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak terhadap Wahid dan Dara. Celo bukan orang yang kejam. Celo bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang dia mau.”“Kata Dara, Celo menunjukkan kedekatan yang luar biasa terhadap Wahid selama ini.”“Celo tidak ungkin berbuat kejam pada Wahid dan Dara.”Deggg…Jantung Nur berdegup kencang. Nur menyadari sesuatu.Ingatan Nur melayang pada si kurus yang dihajar Celo sampai babak belur se
Di ulang tahun perempuan remaja itu yang ke lima belas, Dad menghadiahi seorang pengawal. Seorang pengawal laki laki dengan tubuh sebesar dan setinggi Dad. Dad bilang bahwa perempuan remaja itu perlu diawasi agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Pengawal itu harus selalu mengikuti kemanapun si perempuan remaja itu pergi. Dad membayar pengawal itu untuk bekerja selama dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu.Sesaat perempuan remaja itu melihat kepada si pengawal, ini semua hanya akal-akalan Dad. Pengawal ini hanyalah kepanjangan tangan dari Dad. Pengawal ini hanyalah bentuk baru dari penjara yang selama ini mengungkungnya. Dari pengawal ini, semua gerak-geriknya akan semakin terpantau dan Dad akan tahu semua tingkah lakunya.Perempuan remaja itu hanya pasrah menerima hadiah dari Dad. Dengan cepat perempuan remaja itu memeluk Dad dan mengucapkan terima kasih dengan berurai a