Dia memarkir motornya di tempat parkir yang berada di belakang bengkel. Parkir itu luas dan berkanopi, berkonsep semi-indoor. Biasanya, hanya ada empat mobil yang parkir disana, mobil Aston Martin DB5 biru langit milik Bu Celo, Honda Civic hitam 2018 milik Pak Anwar, dan dua mobil Avanza tipe G putih 2018 yang menjadi mobil operasional bengkel. Hanya ada mobil operasional yang terparkir. Selain itu, semua pegawai menggunakan motor ataupun menggunakan transportasi umum.
Lalu dia berjalan beriringan dengan Gun menuju pintu utama bengkel. Bengkel itu berpagar tinggi bercat putih dengan kawat berduri di atasnya. Tepat disamping pagar itu, ada tempat duduk panjang di bawah kanopi seng untuk para pegawai yang istirahat. Para mekanik yang biasanya duduk di sana sambil merokok.
“Hari pertama masuk sebagai wakil ketua.” suara hati Nur dengan diselimuti rasa bangga dan senang. Dilihatnya di dalam pagar sebelah pintu masuk bengkel, ada tulisan berwarna putih dengan warna dasar hitam di box neon besar bertuliskan “THE AUTOMOBILES”.
Beberapa pegawai bengkel yang sudah datang menyapa mereka berdua dengan mengangguk dan memberikan senyum. Tepat di pintu utama yang besar, mereka berpisah, Gun terus berjalan menuju ke bagian belakang bengkel dimana dia bekerja sebagai kepala gudang.
Sedangkan Nur, dia berhenti sesaat di pintu besar itu. Dilihatnya bengkel itu, bau bahan bakar dan kerosin tercium dihidungnya bercampur dengan bau karbol pembersih lantai. Dilihatnya, ruangan ini mirip gudang, besar dan lebar. Dindingnya terbuat dari beton tebal bercat putih, sedangkan atapnya menggunakan genteng tanah liat. Sedangkan lantainya menggunakan keramik kasar warna putih.
“Siapa desainer bengkel ini ya? Bangunan yang aneh.” pikirnya. Bangunan yang luas dan lebar tersebut di sepertiga sisi bagian kiri bertingkat dua, sisanya tidak bertingkat. Di sebelah kiri lantai satu, dilihatnya di bagian depan ada ruang tunggu sekaligus ruang resepsionis. Tersedia juga di ruang tunggu tersebut toilet bagi para pengunjung. Di ruang tunggu tersebut terdapat dua lemari pendingin berisi berbagai macam minuman ringan. Di sebelah lemari pendingin, terdapat lemari kayu setinggi satu meter setengah berwarna coklat berpintu kaca yang berisi kue-kue kering. Para pengunjung bisa mengambil minuman ringan dan kue-kue tersebut tanpa dipungut biaya.
Setelah ruangan tunggu itu ada kantor administrasi dan keuangan. Dua kantor tersebut sama luasnya. Di bagian belakang lantai satu sebelah kiri terletak gudang dimana suku cadang dan semua kebutuhan servis mobil tersimpan rapi. Di setiap kantor tersebut sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan dan toilet.
Di sisi kanan bagian depan terdapat beberapa station untuk memperbaiki mobil, tepatnya ada sepuluh stasiun servis. Di setiap stasiun servis, ada gawang bercat putih yang digunakan untuk mengangkat mobil. Di dekat tembok bagian kanan tersebut juga ada berbagai macam obeng, tang, kunci pas, kunci inggris, berbagai macam alat test mobil yang tertata rapi di setiap stasiun servis. Jadi, apapun pengerjaan mobil, baik mesin, body, kelistrikan, ataupun ban bisa dilangsungkan di setiap stasiun servis. Bagian belakang bagian kanan ada semacam alat untuk mengetes laju mobil, alat alat berat servis, dan ruangan tertutup untuk pengecatan mobil.
Dia langsung menuju tangga yang terletak tepat di sebelah pintu masuk bagian kiri. Nur menaiki tangga itu untuk ke lantai dua, dimana kantornya dan kantor para pimpinan berada. Kantor bengkel masih sepi dan lengang semua pintu masih tertutup. Nur pun berasumsi bahwa dia yang pertama datang. Dia tertegun untuk beberapa saat ketika berada di ujung atas tangga. Langkahnya terhenti di lorong, hatinya bimbang.
Hati kecilnya bertanya, “Aku harus masuk ruangan yang mana ya? Ruanganku yang lama atau ruangan wakil ketua yang sebelumnya ditempati Pak Nas? Semua barangku masih ada di ruanganku, dan aku tidak tahu apa ruangan Pak Nas sudah dibereskan apa belum. Iya kalau sudah dibereskan, kalau belum, aku lancang sekali masuk ruangan itu. Tapi aku kan sudah diangkat menjadi wakil ketua, seharusnya itu hak ku. Kemarin pas aku naik jabatan itu, ruangan yang sekarang kutempati memang kosong, jadi aku bisa langsung menempati. Kalau aku langsung menempati sekarang, nanti para pegawai mengira aku sok dan sombong. Aku ke ruanganku dulu saja. Nanti saja kutanyakan pada teman-teman cleaning service soal ruangan Pak Nas.”
Kakinya dilangkahkan dengan mantap menuju ruangannya. Ruangannya berada di pojok belakang. Dilewatinya kantor Bu Celo sebagai ketua yang berada tepat di ujung tangga. Disebelahnya, terletak kantor administrasi, kantornya almarhum Pak Mis. Di tengah-tengah, mantan kantornya Pak Nas, kantornya wakil ketua. Diantara kantornya dan kantor wakil ketua, terdapat kantornya Pak Anwar. Semua kantor itu berdinding tembok dan berpintu kayu tebal berwarna coklat.
Ruangan pimpinan memang hampir sama penataan ruangannya. Setiap ruangan mempunyai meja besar kayu coklat sebagai meja kerja yang tepat terletak di depan jendela belakang yang menghadap ke arah lantai 1. Di pinggir kiri meja tersebut, ada komputer AIO merk Lennovo berwarna putih. Disebelah komputer tersebut ada pesawat telefon. Di sebelah kiri ruangan, di bawah pendingin ruangan, terletak sofa dan kursi berwarna putih tulang. Sedangkan di sebelah kanan terdapat bifet kayu tinggi berwarna senada dengan meja. Tepat di sebelah bifet tersebut terdapat pintu kecil yang menuju ke toilet pribadi.
Dibukanya pintu kaca ruangannya, dilihatnya ruangan itu sudah dibersihkan oleh cleaning service. Dia menuju ke jendela samping ruangannya, dibukanya jendela itu lebar-lebar. Jendela yang terbuka ke samping itu membuat udara pagi yang segar. Dia berpikir, kalau boleh memilih, dia ingin tetap menempati ruangan ini saja. Dia merasa nyaman di ruangan ini. Meskipun ini ruangan pojok, namun menurutnya mempunyai keuuntungan tersendiri. Ruangan ini mempunyai dua jendela, jendela belakang dan jendela samping yang menghadap ke luar bengkel. Meskipun tidak ada pemandangan yang indah untuk dilihat, yang hanya ada atap rumah-rumah yang terletak di belakang bengkel dan warung Mak Nem, setidaknya dia bisa menghirup udara bebas.
Ponselnya berdering.
Nur ambil ponselnya dari saku celananya, sebuah pesan singkat dari Bu Celo, gumamnya. Sesaat hatinya berdesir. Dibukanya pesan itu dan dibacanya.
“Mohon Pak Nur untuk ke ruangan saya sekarang.”
Dia tertegun sebentar. Hatinya bergetar. Dia membatin, “Kapan Bu Celo datang? Perasaan tadi pintu ruangannnya masih tertutup dan enggak ada mobilnya di parkiran. Ko ya tahu aku sudah datang?”
Bergegas, dia lepas jaketnya, ditaruhnya di sandaran kursi kerjanya. Dia masuk ke toiletnya. Dia berdiri di depan kaca toilet yang lumayan besar. Dia mencuci mukanya dengan sabun muka yang memang dia simpan di laci toilet. Dia mengambil jel rambut dan di ratakan diseluruh rambutnya kemudian dia sisir hingga rapi. Di ciumnya lengan atas kanan dan kirinya, dia mencium bau parfumnya masih ada. Dia menyimpulkan dia tidak perlu lagi menambah parfum ke badannya. Sesaar dia pandangi pantulan dirinya di cermin itu, dia mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya. Akhirnya dia menggumam lirih, “Aku siap.”
“Tok.. Tok..”Nur mengetuk pintu ruangan Bu Celo yang sudah terbuka lebar. Dilihatnya dari pintu Bu Celo sedang berdiri tegap di depan jendela belakang membelakangi pintu masuk. Sepertinya, batin Nur, Bu Celo sedang memantau aktivitas para pegawai di bengkel. Tangan Bu Celo mungkin di lipat di depan tubuh. Nur lihat, Bu Celo memakai celana panjang warna biru tua dan kemeja putih lengan panjang dan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Sedangkan, di gantungan bajunya yang berbentuk tongkat di pojok ruangan, tergantung outer Bu Celo dengan warna yang senada dengan celana.Siluet sosok itu, dipikiran Nur, mencerminkan pose wanita yang tangguh dan mandiri. Sikap dan pembawaan seorang wanita karir sukses, tak lain, seorang pemilik bengkel berkelas nasional. Pose menawan yang memancarkan sihir pesona karena kepercayaan diri tinggi dengan sedikit keangkuhan.“Silahkan masuk Pak Nur.”Nur masuk ke ruangan Bu Celo. Dia berhenti di depan sofa. D
Nur mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu Pak Anwar. Pintu itu masih tertutup rapat, tapi dia tahu Pak Anwar sudah ada di dalam ruangan. Dirinya ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Seolah-olah dia mau masuk ke kandang singa. Hatinya berdebar tak karuan.Tok Tok. Suara pintu itu diketuk.“Masuk.” Nur mendengar suara Pak Anwar dari dalam ruangan.Nur membuka pintu itu pelan-pelan. Sambil tersenyum, dia berkata dengan sopan, “Selamat pagi Pak Anwar.” Dianggukannya kepalanya pada si empunya kantor. Dilihatnya Pak Anwar duduk di kursi kerjanya, beliau sedang membaca berkas-berkas yang ada di depannya. Seperti biasa, beliau selalu memakai dasi, pakaian bisnis formal.Nur merasakan pandangan Pak Anwar dari balik kacamata, pandangan yang tajam. Sakit. Pandangan yang tajam itu serasa menusuk hatinya. Dia merasa tertekan, serasa ruangan itu sempit.Nur masuk ruangan Pak Anwar dengan canggung, seolah-olah dia adalah bawahan ya
Nur masuk ke ruangannya dan duduk di kursinya. Hatinya berdebar kencang berkecamuk antara bingung, takut, dan marah. Benar kata Gun, Pak Anwar bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau.“Gun, apa yang kamu lakukan? Kamu bilang kemarin cuma mengambil dua puluh juta, kenapa Si Anwar bilang sampai seratus juta?” desis Nur. Diambilnya rokoknya, dinyalakannya, dan dihisapnya kuat-kuat. Dia menggaruk dahinya.Diambilnya ponselnya, dia mulai mengetik pesan singkat.“Gun, kemarin yang kamu ambil berapa? Dua puluh atau seratus?”Dikirimnya pesan itu. Disingkirkannya ponsel itu, tiba-tiba dia tidak ingin melihat ponselnya. Dijauhkannya ponsel itu dari dirinya, diletakkan di ujung meja. Dia takut dengan apa isi balasan dari Gun.Dihisapnya rokok itu.Hatinya cemas tidak karuan. Pikirannya berkecamuk. Dia berdiri. Dia menuju ke jendela samping, dihisapnya lagi rokoknya dengan kuat. Sesaat kemudian dia merasa tena
Nur baru pulang dari bengkel habis Isya’. Kejadian hari ini terlalu berat baginya. Pikiranya berkecamuk dan bingung. Sepanjang jalan pulang, dia terus memikirkan bagaimana bisa laporan itu sampai di tangan Pak Anwar dan bagaimana ada selisih depan puluh juta. Tadi waktu mengantarkan santunan ke rumah Pak Mis, Bu Celo juga tidak mengatakan apa apa.Nur sebenarnya punya kesempatan besar untuk bertanya pada Bu Celo, karena saat itu hanya dia dan Bu Celo di dalam mobil kantor. Mulutnya sudah gatal ingin bertanya dan menutup rasa penasaran. Namun, pada akhirnya, dia tidak berani bertanya soal laporan itu. Pikirnya, bisa-bisa tambah curiga Bu Celo dan malah bunuh diri dengan pertanyaan itu. Jadi, dia pikir untuk tunggu dan lihat saja bagaimana nantinya.Jam delapan malam dia masuk rumah. Dara sedang duduk santai di kursi tamu dengan memegang ponselnya. Dilihatnya Wahid sudah tidur di kamar depan. Nur langsung mencium istrinya. Dilihatnya dari sudut matanya, Dara menuju
“Mbak Dita, Mas Adim, dan Mas Surya, ini sudah sore dan sepertinya negoisasi ini masih berbelit-belit. Jadi untuk menghemat semuanya, tiket pesawat dan biaya penginapan, biar saya dan Pak Nur saja yang tinggal disini. Kalian bertiga bisa pulang.” kata Bu Celo yang berdiri di depan meja.“Baik Bu.” jawab Dita. Sementara itu, Nur melihat Adim dan Surya mengangguk mengiyakan.“Mbak Dita bawa ATM kan?”“Iya Bu, kenapa?”“Tolong saya dikirimi nomer rekening Mbak Dita, saya mau transfer untuk uang saku kalian bertiga.”Sesaat kemudian mereka berdua sibuk dengan ponsel masing-masing, dimana Nur hanya terdiam. Hatinya bimbang, dia terpikirkan anak dan istrinya. Dia sudah berkata pada istrinya bahwa dia akan pulang sore ini. Bahkan dia lupa tidak menanyakan bagaimana keadaan Wahid. Dia merasa bersalah. Hatinya bergejolak ingin mengetahui keadaan Wahid dan istrinya. Dia rindu anak dan istrinya. Dia
Nur berdiri dari kursinya. Diambilnya coat warna putih yang tergantung di kursi tempat Bu Celo duduk. Ketika Bu Celo berdiri, dia pakaikan coat itu menyelimuti tubuh beliau. Setelah itu Nur berjalan mendahului Bu Celo ke tempat Pak Asan berada untuk membayar makanan, namun dia tertegun lagi ketika Pak Asan tidak mau menerima uangnya.“Uang temannya Bu Celo tidak laku disini.” kata Pak Asan.Sambil memasukkan lagi uangnya ke sakunya, Nur lihat Bu Celo dan Pak Asan saling berpamitan. Mereka tampak akrab sekali. Bu Celo pun berpamitan pada Pak Asan dan berjalan ke luar warung. Nur pun mengikutinya.Jalanan itu lumayan ramai meskipun sudah malam. Banyak kendaraan yang masih lalu-lalang. Ketika sampai di pinggir jalan, Nur berkata sambil menghadap Bu Celo, “Saya biasanya kalau nyebrang jalan dengan perempuan seperti ini Bu, ada dua syarat. Perempuannya harus milih, digandeng apa digendong?”Di dalam hati, Nur berharap Bu Celo t
Nur pun melihat kiri dan kanannya. Dia Dilihatnya, orang-orang disekitarnya juga sedang berjongkok, bahkan ada yang tiarap. Kendaraan yang ada di jalan raya berhenti semua. Dengan penerangan lampu jalan yang masih menyala itu, dia mencari sumber suara meledak barusan. Ditolehnya ke belakang, dilihatnya truk merah yang over dimension over loading tadi. Nur melihat suasana di sekelilingnya berwarna putih seolah olah berkabut.“Masa kabut? Bukan, ini bukan kabut, tapi debu.” batin Nur. Nur tidak lagi mendengar orang-orang berteriak-teriak. Lolongan orang-orang juga sudah berhenti. Disekitarnya, orang orang sudah bangun dari rundukannya atau tiarapnya. Dia semakin penasaran, akhirnya dilepaskannya pelukannya terhadap Bu Celo. Dia berdiri. Dibiarkannya Bu Celo masih berdiri dengan lututnya. Dia menoleh ke belakangnya. Debu-debu yang menyelimuti udara terlihat semakin tebal. Disiapkannya hatinya untuk melihat pemandangan horor yang mungkin ada. Un
Hati Nur berdebar-debar. Pikirannya kalut. Dia bingung. Dia berdiri sambil terus menggaruk-garuk dahinya. Ingin sekali dirinya merokok, diambilnya rokok dari saku celananya. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Dimasukannya kembali rokok itu kembali.“Apa langkah yang kulakukan ini benar?” batin Nur, “Semoga saja ini baik-baik saja. Semoga yang kulakukan ini benar.”Akhirnya Nur duduk di sofa single warna putih. Dikeluarkannya semua isi kantong celananya, ponsel, rokok, pemantik api, dan uang-uang pecahan dua ribuan di meja yang ada di sebelahnya. Hatinya berdebar-debar dan jantungnya berdetak lebih kencang daripada yang seharusnya. Keringat masih keluar dari punggung dan kepalanya. Diambilnya ponselnya dan dimain-mainkannya ponsel itu ditangannya, diputar-putar dan ditepuk-tepukkan ke telapak tangannya.Di depannya, di atas ranjang ukuran queen, tergeletak tubuh Bu Celo. Tadi dia baringkan tubuh Bu Celo telentang di atas ranjang
Sekitar tiga setengah tahun kemudian.Nur sedang duduk di food court sebuah mall besar di kota itu. Di hadapannya terhidang makanan mie dan es teh. Makanan itu sama sekali belum dia sentuh, mie itu sudah dingin. Dia hanya dari tadi minum es teh itu terus-menerus, hingga es itu sudah habis, dan hanya tersisa es batu saja di dalamnya. Meski begitu, dia masih menyeruput sisa-sisa teh yang tertinggal.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia pandangi orang-orang yang berlalu lalang hiruk-pikuk disekitarnya. Hampir mereka semua membawa teman, pasangan, dan ada anak-anak. Nur mencelos hatinya. Hatinya berlubang. Rasa kehilangan masih terasa di hatinya.Nur ingat dulu, Dara selalu mengajaknya ke mall ini, dan makan mie ini, es teh ini pula dulu yang menjadi minuman favorit mereka berdua.Hari ini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk pergi ke mall ini dan makan mie, juga minum es teh ini. Kerinduan yang
Nur menutup pintu ruangan Dara. Di luar ruangan itu, dia bersandar pada tembok dan kembali menangis. Air mata deras membasahi pipinya. Penyesalan yang dalam. Dada yang sesak. Hati yang berlubang.Kedua kalinya, dia membuat perempuan yang dia cintai menangis.Dia segera cepat menguasai dirinya. Nur tidak ingin ada orang yang lewat di lorong itu dan melihatnya menangis. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya pintu kamar Celo yang ada di seberang lorong, tepat di sebelah kamarnya.“Aku harus kesana. Aku mau melihat Celo dan aku harus mengakhiri ini dengan baik-baik. Aku mengenal dia dengan baik. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski semalam dia sudah secara aktif mau membunuhku, tapi rasaku tetap sama. Semua kata cinta itu adalah jujur. Aku tidak bohong semalam ketika aku bilang aku mencintainya.” batin Nur.Dengan langkah yang masih pelan-pelan, Nur menyeberangi loro
“Aku sebenarnya menerima pekerjaan lepas waktu sebagai penerjemah sejak setahun yang lalu. Aku enggak pernah bilang soalnya aku takut Mas Nur tersinggung. Aku takut kalau Mas Nur merasa kecil karena berpikir uang yang diberikan Mas Nur kurang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah bilang soal ini. Oleh sebab itu pula, pekerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Aku minta maaf soal itu.”Dara melihat Mas Nur menutupi mukanya denga kedua telapak tangannya. Mas Nur sepertinya menangis. Dara tadi sebenarnya melihat ada bekas-bekas tangisan di wajah Mas Nur, namun Dara diam saja. Dara tidak pernah tahu dan tidak mau tahu alasan Mas Nur menangis.“Aku minta maaf juga Sayang, gara-gara itu, aku menyangka Sayang berselingkuh. Aku berpikiran buruk ketika laptop Sayang itu menyala dan setiap kali laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai.”“Aku minta maaf Mas, aku sudah menyimpan rahasia di hubungan kita.”“Sayang, ak
Dara masih melihat Mas Nur dengan kemarahan yang memuncak. Dia benar-benar ingin meluapkan segala kemarahan kepada Mas Nur saat itu juga. Kalau saja tidak ada Papa dan Wahid di kamar itu. Dia pasti sudah melempar Mas Nur keluar jendela dan membiarkannya terjatuh dari lantai lima dan remuk di bawah sana.“Bagaimana keadaanmu Nur?” tanya Papa kepada Mas Nur yang terlihat masih menahan sakit karena luka di perutnya. Kepalanya juga di perban.Dara mengetahui sebab Mas Nur menderita itu semua. Dokter Mus tadi pagi datang dan menjelaskan semuanya kepada dirinya dan Papa. Ketika dokter Mus menceritakan cerita kepahlawanan Mas Nur yang membantu Bu Celo lepas dari para perampok yang menyatroni rumah Bu Celo, Dara merasakan sebersit kekhawatiran atas keselamatan Mas Nur. Ingin dia segera berlari dan melihat keadaan Mas Nur yang ada di seberang ruangannya.Niat itu diurungkannya.Dara masih marah kepada Mas Nur. Dara merasa jijik dengan Mas Nur. Entah me
Nur benar-benar berusaha untuk bisa bangkit dari posisi rebahannya. Kalau saja dia benar-benar kangen dan ingin bertemu Wahid dan Dara, di pasti mengalah dengan rasa sakit yang mendera itu. Dia mungkin lebih memilih untuk menyerah pada sakit di sisi kiri perutnya daripada harus berusaha agar bangkit.Setelah sekitar tiga puluh menit berusaha, usaha Nur membuahkan hasil. Dia bisa bangkit dari rebahan. Kakinya sekarang sudah menggantung di pinggir ranjang. Kini tinggal berusaha unutuk berjalan ke kamar mandi. Dia juga baru sadar kalau dia tidak dipasang kateter untuk buang air kecil.Tiba-tiba juga dia merasa ingin buang air kecil. Dorongan yang kuat untuk buang air kecil.Dalam waktu satu jam, dia telah berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh dokter Mus. Kini tinggal memanggil meminta tolong perawat untuk mengantarnya ke kamar Wahid. Tapi buat apa Nur meminta bantuan perawat? Dia bisa sendiri. Bukankah tadi dokter Mus bilang bahwa kamar Wahid ada di depan k
Nur membawa Celo ke rumah sakit internasional. Nur tadi dengan sigap memasukkan Celo ke mobil Aston Martin dan membawanya ke rumah sakit. Nur khawatir dengan Celo. Sementara itu, dirinya juga khawatir dengan nasib anak dan istrinya. Dia hanya menuruti instingnya. Dia hanya menyelamatkan Celo dan dirinya yakin Wahid dan Dara tidak ada di rumah yang meledak itu. Nur yakin kalau Celo tidak sejahat itu. Sesampainya di rumah sakit, dirinya dan Celo langsung dibawa ke instalasi gawat darurat. Celo mengalami syok dan luka pukulan dan bantingan. Sedangkan Nur mengalami luka sayatan. Nur mengatakan bahwa Celo dan dirinya adalah korban perampokan. Nur tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau berurusan dengan polisi dan membuat semuanya semakin kacau. Ini hanyalah masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dan dengan cara damai. Luka yang dialami Nur tidak parah. Benar dugaan Nur, luka sayatan yang dangkal dan sama sekali tidak berba
“Kalau aku tidak bisa memilikimu Nur, maka Dara dan Wahid pun tidak.” kata Celo menyeringai.Nur merasakan kengerian. Dengan cepat dia bangkit sambil mengelus pipi kanannya. Sakit.Celo memainkan pisaunya, melemparkannya ke tangan kanan dan kiri bergantian. Seolah-olah Nur adalah binatang buruan yang terperangkap dan pasti mati.“Aku mencintaimu Nur. Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tidak ingin berbagi dengan Dara ataupun Wahid.”“Tunggu dulu, aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kamu membuat gosip di bengkel?”“Toni. Toni adalah anak buahku yang setia. Dia memang aku tugaskan untuk menjadi bawahan Anwar. Dengan bantuan Toni, aku bisa membisikkan apapun ke tua bangka serakah itu, termasuk gosip kita yang selingkuh, kita yang sekamar di Jakarta, dan laporan keuanganmu. Invoice itu gampang didapatkan. Aku yang punya hotel itu dan aku juga sudah mengatur agar kita sekamar. Ban yang meletus dan syok
Nuraga memacu motornya dengan cepat ke rumah Celo. Dia khawatir dengan nasib anak isrinya dan juga penasaran apa yang dimaksud Celo dengan kata-katanya di telefon tadi.“Bagaimana bisa Celo tahu tentang Wahid dan Dara disaat aku saja tidak tahu dimana mereka berdua?”“Apakah mungkin Celo berbuat yang tidak-tidak dan di luar nalar?”“Apa yang telah dilakukan Celo terhadap Wahid dan Dara?”“Tidak, Celo tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak terhadap Wahid dan Dara. Celo bukan orang yang kejam. Celo bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang dia mau.”“Kata Dara, Celo menunjukkan kedekatan yang luar biasa terhadap Wahid selama ini.”“Celo tidak ungkin berbuat kejam pada Wahid dan Dara.”Deggg…Jantung Nur berdegup kencang. Nur menyadari sesuatu.Ingatan Nur melayang pada si kurus yang dihajar Celo sampai babak belur se
Di ulang tahun perempuan remaja itu yang ke lima belas, Dad menghadiahi seorang pengawal. Seorang pengawal laki laki dengan tubuh sebesar dan setinggi Dad. Dad bilang bahwa perempuan remaja itu perlu diawasi agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Pengawal itu harus selalu mengikuti kemanapun si perempuan remaja itu pergi. Dad membayar pengawal itu untuk bekerja selama dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu.Sesaat perempuan remaja itu melihat kepada si pengawal, ini semua hanya akal-akalan Dad. Pengawal ini hanyalah kepanjangan tangan dari Dad. Pengawal ini hanyalah bentuk baru dari penjara yang selama ini mengungkungnya. Dari pengawal ini, semua gerak-geriknya akan semakin terpantau dan Dad akan tahu semua tingkah lakunya.Perempuan remaja itu hanya pasrah menerima hadiah dari Dad. Dengan cepat perempuan remaja itu memeluk Dad dan mengucapkan terima kasih dengan berurai a