Nur pun melihat kiri dan kanannya. Dia Dilihatnya, orang-orang disekitarnya juga sedang berjongkok, bahkan ada yang tiarap. Kendaraan yang ada di jalan raya berhenti semua. Dengan penerangan lampu jalan yang masih menyala itu, dia mencari sumber suara meledak barusan. Ditolehnya ke belakang, dilihatnya truk merah yang over dimension over loading tadi. Nur melihat suasana di sekelilingnya berwarna putih seolah olah berkabut.
“Masa kabut? Bukan, ini bukan kabut, tapi debu.” batin Nur.
Nur tidak lagi mendengar orang-orang berteriak-teriak. Lolongan orang-orang juga sudah berhenti. Disekitarnya, orang orang sudah bangun dari rundukannya atau tiarapnya. Dia semakin penasaran, akhirnya dilepaskannya pelukannya terhadap Bu Celo. Dia berdiri. Dibiarkannya Bu Celo masih berdiri dengan lututnya. Dia menoleh ke belakangnya. Debu-debu yang menyelimuti udara terlihat semakin tebal. Disiapkannya hatinya untuk melihat pemandangan horor yang mungkin ada. Un
Hati Nur berdebar-debar. Pikirannya kalut. Dia bingung. Dia berdiri sambil terus menggaruk-garuk dahinya. Ingin sekali dirinya merokok, diambilnya rokok dari saku celananya. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Dimasukannya kembali rokok itu kembali.“Apa langkah yang kulakukan ini benar?” batin Nur, “Semoga saja ini baik-baik saja. Semoga yang kulakukan ini benar.”Akhirnya Nur duduk di sofa single warna putih. Dikeluarkannya semua isi kantong celananya, ponsel, rokok, pemantik api, dan uang-uang pecahan dua ribuan di meja yang ada di sebelahnya. Hatinya berdebar-debar dan jantungnya berdetak lebih kencang daripada yang seharusnya. Keringat masih keluar dari punggung dan kepalanya. Diambilnya ponselnya dan dimain-mainkannya ponsel itu ditangannya, diputar-putar dan ditepuk-tepukkan ke telapak tangannya.Di depannya, di atas ranjang ukuran queen, tergeletak tubuh Bu Celo. Tadi dia baringkan tubuh Bu Celo telentang di atas ranjang
Nur masih terus berpikir tentang semalam. Pertanyaan yang sama terus menerus berputar di kepalanya. “Apakah yang kulakukan semalam benar?” Benaknya memproyeksikan bayangan Dara dan Wahid. “Apa yang terjadi jika Dara mengetahui ini semua?” Tak sanggup Nur membayangkan efek dari perbuatannya semalam. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya untuk mengusir perasaan bersalah. Ingin sekali dia marah, marah pada dirinya sendiri. Rasa yang kuat muncul di dadanya untuk memukul kepalanya sendiri atas kebodohannya. Nur menggaruk dahinya. Pandangan Nur terus melihat keluar jendela. Mentari sudah setinggi galah, sinarnya sedang kuat-kuatnya. Nur tepat memandang ke mentari, namun sinar mentari itu tak mampu membuat Nur silau. Keadaan jalan yang padat dan ramai itu juga tak bisa membuyarkan lamunan Nur, pun dengan suara klakson-klakson kendaraan yang bersahutan saat taksi yang membawanya ke bandara berhenti di lampu merah. “Pak Nur,” kata Bu Celo yang d
Hari itu minggu pagi pukul lima tiga puluh. Matahari masih baru sedikit menyembul dari ufuk timur. Awan yang bergerombol di ufuk timur membuat sinar mentari tidak sempurna menyiram bumi. Udara khas minggu pagi di daerah pegunungan, sejuk sekaligus dingin, membuat orang malas untuk beranjak dari peraduan mereka. Kelihatannya minggu pagi yang cocok untuk bermalas-malasan. Apalagi ada embun yang turun, membuat suasana pagi itu semakin cocok untuk tidur-tiduran saja.Namun tidak dengan Pak Mis. Beliau sudah dari subuh tadi bersiap-siap untuk bersepeda. Sekarang, beliau sedang berdiri dengan berkacak pinggang mengamati sepedanya. Beliau sudah mengelap sepeda tipe lightweight itu. Body sepeda yang ramping dengan stang model drop bar sudah tampak kinclong. Ban bertapak kecil itu juga sudah beliau tambahi tekanan anginnya. Beliau juga sudah mengecek rem dan gir sepedanya. Yakin sudah, sepeda ini dalam kondisi prima dan siap diajak untuk berpetualang.
Selama bersepeda hari itu, pikiran Pak Mis melayang-layang. Memang di masa lalu, ketika Pak Mis belum mempunyai apa-apa, beliau selalu di rumah setiap hari minggu. Seluruh waktunya di hari minggu hanya buat istri dan kedua anaknya. Apalagi di saat di masih menganggur gegara perusahaan beliau dulu melakukan perampingan. Beliau totalitas menjadi bapak rumah tangga.Pak Mis, sebagai lelaki, tidak tahan dan malu jika bergantung pada istrinya. Harga diri seorang lelaki adalah dengan bekerja. Akhirnya, beliau melamar pada sebuah bengkel yang baru buka dua belas tahun lalu. Beliau diterima oleh pemilik bengkel itu, seorang perempuan muda, di bagian administrasi karena beliau ahli dalam bidang administrasi. Beliau benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Beliau sadar bahwa bengkel ini memberikan kesempatan baginya, tidak ada yang mau menerima seorang dengan usia tiga puluh tujuh tahun untuk bekerja. Sejak awal itu, beliau dikenal sebagai orang yang rendah hati dan pekerja keras.
Anwar membuka pintu rumahnya dengan kasar. Pintu itu terbuka dengan terbanting ke tembok hingga menimbulkan suara berdebum yang keras. Dia tidak percaya dengan keputusan Celo. Dia sakit hati dan merasa dipermalukan di depan semua bawahannya. Dia menuju ke lemari pendingin. Dia mengambil gelas lalu menuang air putih ke dalam gelas tersebut. Setelah air itu habis diteguk, Dia membanting gelas itu sampai pecah berkeping-keping. Dia lalu berjalan ke meja makannya. Dia berdiri di samping meja makannya, kedua tangannya ada di pinggiran meja. Dia bersandar ke meja makan tersebut dengan tangannya.Dadanya serasa mau pecah menahan amarah dan malu. Tak pernah sekalipun sepanjang hidupnya dipermalukan dan direndahkan seperti ini. Dia adalah seorang yang berkedudukan tinggi, seorang bangsawan, seseorang yang harus selalu dihormati dan disegani. Seperti bapaknya dulu yang selalu disegani dan ditakuti bawahannya, dia ingin seperti itu.Semua bawahan-bawahan itu sudah mendengun
Keesokan paginya, pikirannya masih berpacu, bagaimana caranya si penjilat itu bisa disingkirkan. Kalau memakai cara yang sama seperti cara menyingkirkan si tua Mis, bisa-bisa ada yang curiga. Tidak, cara yang tepat adalah dengan meneror keluarga si tukang jilat itu. Sebarkan saja berita di kantor dulu bahwa si tukang jilat dan tukang pelet ada hubungan. Suatu saat pasti sampai ke telinga istrinya.Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Pada saat dia masuk ruangannya pagi itu, si Toni sudah menunggunya dengan membawa kabar yang menyejukkan hatinya. Toni menyambut dirinya di ruangannya dengan membawa sebuah berkas. Seperti biasa, Toni berdiri ketika dia datang, menuju ke arahnya dan mencium tangannya. Suatu perlakuan yang sangat menyenangkan dirinya. Memuaskan dahaganya atas rasa hormat yang tidak didapatkannya kemarin sore. Mengobati rasa sakit hatinya meskipun sedikit.“Ada apa Ton?” kata Anwar sambil duduk di kursi kerjanya.“Mohon maaf Bapak, saya mem
Nur merasakan kakinya lemas, seolah-olah kaki itu tidak sanggup lagi untuk menahan berat tubuhnya. Namun dia tetap berusaha untuk berdiri, paling tidak selama Pak Anwar masih di depannya. Dilihatnya Pak Anwar tersenyum.“Tidak, apakah aku terlihat terkejut?” batin Nur.“Kenapa terkejut? Kamu pikir saya tidak bisa tahu apa yang kamu sembunyikan? Ternyata apa yang saya curigai selama ini benar. Kamu menjadi wakil ketua karena kamu adalah gundik Bu Bos. Apa yang terjadi jika istrimu mengetahui hubunganmu dengan bu bos?”Nur hanya terdiam. Dia tidak sanggup berkata-kata. Otaknya sudah tak mampu diajak berpikir, lidahnya serasa kelu dan kaku.“Saya juga sudah selesai mengaudit laporanmu, ternyata kamu menggelapkan dana bengkel sebesar dua ratus juta. Segera saja mengundurkan diri. Atau istrimu dan bawahan-bawahan tahu tentang aibmu.” kata Pak Anwar pelan-pelan menegaskan ancamannya.Nur melihat Pak Anwar berbali
Nur melemparkan tubuhnya ke kursi kerjanya. Dia merasa capek hari itu. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh menit.“Wah, hari ini sepertinya bisa pulang cepat.” batinnya.Selama dua hari, Nur pulang malam. Dia lembur. Dia hampir tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya yang dia lakukan yang mengharuskannya pulang malam. Sebenarnya, yang dia lakukan adalah pekerjaan remeh-temeh, membereskan ini-itu.“Ku pikir menjadi wakil ketua hanya duduk-duduk santai dan tinggal terima laporan. Ternyata sebaliknya, pekerjaan yang menumpuk dan tidak ada habisnya.” desahnya pelan. Selama dua hari itu pula, Nur tidak bertemu dengan Bu Celo. Bu Celo tidak ke kantor. Nur tidak tahu kemana Bu Celo. Bu Celo juga tidak memberitahunya. Dia tidak menanyakan pada Bu Celo lewat pesan atau lewat telefon. Dia merasa canggung kalau harus bertanya melalui pesan pribadi ke Bu Celo. Lagipula, dia berpikir, apa hak dia menanyakan hal i
Sekitar tiga setengah tahun kemudian.Nur sedang duduk di food court sebuah mall besar di kota itu. Di hadapannya terhidang makanan mie dan es teh. Makanan itu sama sekali belum dia sentuh, mie itu sudah dingin. Dia hanya dari tadi minum es teh itu terus-menerus, hingga es itu sudah habis, dan hanya tersisa es batu saja di dalamnya. Meski begitu, dia masih menyeruput sisa-sisa teh yang tertinggal.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia pandangi orang-orang yang berlalu lalang hiruk-pikuk disekitarnya. Hampir mereka semua membawa teman, pasangan, dan ada anak-anak. Nur mencelos hatinya. Hatinya berlubang. Rasa kehilangan masih terasa di hatinya.Nur ingat dulu, Dara selalu mengajaknya ke mall ini, dan makan mie ini, es teh ini pula dulu yang menjadi minuman favorit mereka berdua.Hari ini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk pergi ke mall ini dan makan mie, juga minum es teh ini. Kerinduan yang
Nur menutup pintu ruangan Dara. Di luar ruangan itu, dia bersandar pada tembok dan kembali menangis. Air mata deras membasahi pipinya. Penyesalan yang dalam. Dada yang sesak. Hati yang berlubang.Kedua kalinya, dia membuat perempuan yang dia cintai menangis.Dia segera cepat menguasai dirinya. Nur tidak ingin ada orang yang lewat di lorong itu dan melihatnya menangis. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya pintu kamar Celo yang ada di seberang lorong, tepat di sebelah kamarnya.“Aku harus kesana. Aku mau melihat Celo dan aku harus mengakhiri ini dengan baik-baik. Aku mengenal dia dengan baik. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski semalam dia sudah secara aktif mau membunuhku, tapi rasaku tetap sama. Semua kata cinta itu adalah jujur. Aku tidak bohong semalam ketika aku bilang aku mencintainya.” batin Nur.Dengan langkah yang masih pelan-pelan, Nur menyeberangi loro
“Aku sebenarnya menerima pekerjaan lepas waktu sebagai penerjemah sejak setahun yang lalu. Aku enggak pernah bilang soalnya aku takut Mas Nur tersinggung. Aku takut kalau Mas Nur merasa kecil karena berpikir uang yang diberikan Mas Nur kurang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah bilang soal ini. Oleh sebab itu pula, pekerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Aku minta maaf soal itu.”Dara melihat Mas Nur menutupi mukanya denga kedua telapak tangannya. Mas Nur sepertinya menangis. Dara tadi sebenarnya melihat ada bekas-bekas tangisan di wajah Mas Nur, namun Dara diam saja. Dara tidak pernah tahu dan tidak mau tahu alasan Mas Nur menangis.“Aku minta maaf juga Sayang, gara-gara itu, aku menyangka Sayang berselingkuh. Aku berpikiran buruk ketika laptop Sayang itu menyala dan setiap kali laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai.”“Aku minta maaf Mas, aku sudah menyimpan rahasia di hubungan kita.”“Sayang, ak
Dara masih melihat Mas Nur dengan kemarahan yang memuncak. Dia benar-benar ingin meluapkan segala kemarahan kepada Mas Nur saat itu juga. Kalau saja tidak ada Papa dan Wahid di kamar itu. Dia pasti sudah melempar Mas Nur keluar jendela dan membiarkannya terjatuh dari lantai lima dan remuk di bawah sana.“Bagaimana keadaanmu Nur?” tanya Papa kepada Mas Nur yang terlihat masih menahan sakit karena luka di perutnya. Kepalanya juga di perban.Dara mengetahui sebab Mas Nur menderita itu semua. Dokter Mus tadi pagi datang dan menjelaskan semuanya kepada dirinya dan Papa. Ketika dokter Mus menceritakan cerita kepahlawanan Mas Nur yang membantu Bu Celo lepas dari para perampok yang menyatroni rumah Bu Celo, Dara merasakan sebersit kekhawatiran atas keselamatan Mas Nur. Ingin dia segera berlari dan melihat keadaan Mas Nur yang ada di seberang ruangannya.Niat itu diurungkannya.Dara masih marah kepada Mas Nur. Dara merasa jijik dengan Mas Nur. Entah me
Nur benar-benar berusaha untuk bisa bangkit dari posisi rebahannya. Kalau saja dia benar-benar kangen dan ingin bertemu Wahid dan Dara, di pasti mengalah dengan rasa sakit yang mendera itu. Dia mungkin lebih memilih untuk menyerah pada sakit di sisi kiri perutnya daripada harus berusaha agar bangkit.Setelah sekitar tiga puluh menit berusaha, usaha Nur membuahkan hasil. Dia bisa bangkit dari rebahan. Kakinya sekarang sudah menggantung di pinggir ranjang. Kini tinggal berusaha unutuk berjalan ke kamar mandi. Dia juga baru sadar kalau dia tidak dipasang kateter untuk buang air kecil.Tiba-tiba juga dia merasa ingin buang air kecil. Dorongan yang kuat untuk buang air kecil.Dalam waktu satu jam, dia telah berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh dokter Mus. Kini tinggal memanggil meminta tolong perawat untuk mengantarnya ke kamar Wahid. Tapi buat apa Nur meminta bantuan perawat? Dia bisa sendiri. Bukankah tadi dokter Mus bilang bahwa kamar Wahid ada di depan k
Nur membawa Celo ke rumah sakit internasional. Nur tadi dengan sigap memasukkan Celo ke mobil Aston Martin dan membawanya ke rumah sakit. Nur khawatir dengan Celo. Sementara itu, dirinya juga khawatir dengan nasib anak dan istrinya. Dia hanya menuruti instingnya. Dia hanya menyelamatkan Celo dan dirinya yakin Wahid dan Dara tidak ada di rumah yang meledak itu. Nur yakin kalau Celo tidak sejahat itu. Sesampainya di rumah sakit, dirinya dan Celo langsung dibawa ke instalasi gawat darurat. Celo mengalami syok dan luka pukulan dan bantingan. Sedangkan Nur mengalami luka sayatan. Nur mengatakan bahwa Celo dan dirinya adalah korban perampokan. Nur tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau berurusan dengan polisi dan membuat semuanya semakin kacau. Ini hanyalah masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dan dengan cara damai. Luka yang dialami Nur tidak parah. Benar dugaan Nur, luka sayatan yang dangkal dan sama sekali tidak berba
“Kalau aku tidak bisa memilikimu Nur, maka Dara dan Wahid pun tidak.” kata Celo menyeringai.Nur merasakan kengerian. Dengan cepat dia bangkit sambil mengelus pipi kanannya. Sakit.Celo memainkan pisaunya, melemparkannya ke tangan kanan dan kiri bergantian. Seolah-olah Nur adalah binatang buruan yang terperangkap dan pasti mati.“Aku mencintaimu Nur. Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tidak ingin berbagi dengan Dara ataupun Wahid.”“Tunggu dulu, aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kamu membuat gosip di bengkel?”“Toni. Toni adalah anak buahku yang setia. Dia memang aku tugaskan untuk menjadi bawahan Anwar. Dengan bantuan Toni, aku bisa membisikkan apapun ke tua bangka serakah itu, termasuk gosip kita yang selingkuh, kita yang sekamar di Jakarta, dan laporan keuanganmu. Invoice itu gampang didapatkan. Aku yang punya hotel itu dan aku juga sudah mengatur agar kita sekamar. Ban yang meletus dan syok
Nuraga memacu motornya dengan cepat ke rumah Celo. Dia khawatir dengan nasib anak isrinya dan juga penasaran apa yang dimaksud Celo dengan kata-katanya di telefon tadi.“Bagaimana bisa Celo tahu tentang Wahid dan Dara disaat aku saja tidak tahu dimana mereka berdua?”“Apakah mungkin Celo berbuat yang tidak-tidak dan di luar nalar?”“Apa yang telah dilakukan Celo terhadap Wahid dan Dara?”“Tidak, Celo tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak terhadap Wahid dan Dara. Celo bukan orang yang kejam. Celo bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang dia mau.”“Kata Dara, Celo menunjukkan kedekatan yang luar biasa terhadap Wahid selama ini.”“Celo tidak ungkin berbuat kejam pada Wahid dan Dara.”Deggg…Jantung Nur berdegup kencang. Nur menyadari sesuatu.Ingatan Nur melayang pada si kurus yang dihajar Celo sampai babak belur se
Di ulang tahun perempuan remaja itu yang ke lima belas, Dad menghadiahi seorang pengawal. Seorang pengawal laki laki dengan tubuh sebesar dan setinggi Dad. Dad bilang bahwa perempuan remaja itu perlu diawasi agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Pengawal itu harus selalu mengikuti kemanapun si perempuan remaja itu pergi. Dad membayar pengawal itu untuk bekerja selama dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu.Sesaat perempuan remaja itu melihat kepada si pengawal, ini semua hanya akal-akalan Dad. Pengawal ini hanyalah kepanjangan tangan dari Dad. Pengawal ini hanyalah bentuk baru dari penjara yang selama ini mengungkungnya. Dari pengawal ini, semua gerak-geriknya akan semakin terpantau dan Dad akan tahu semua tingkah lakunya.Perempuan remaja itu hanya pasrah menerima hadiah dari Dad. Dengan cepat perempuan remaja itu memeluk Dad dan mengucapkan terima kasih dengan berurai a