Nur merasakan kakinya lemas, seolah-olah kaki itu tidak sanggup lagi untuk menahan berat tubuhnya. Namun dia tetap berusaha untuk berdiri, paling tidak selama Pak Anwar masih di depannya. Dilihatnya Pak Anwar tersenyum.
“Tidak, apakah aku terlihat terkejut?” batin Nur.
“Kenapa terkejut? Kamu pikir saya tidak bisa tahu apa yang kamu sembunyikan? Ternyata apa yang saya curigai selama ini benar. Kamu menjadi wakil ketua karena kamu adalah gundik Bu Bos. Apa yang terjadi jika istrimu mengetahui hubunganmu dengan bu bos?”
Nur hanya terdiam. Dia tidak sanggup berkata-kata. Otaknya sudah tak mampu diajak berpikir, lidahnya serasa kelu dan kaku.
“Saya juga sudah selesai mengaudit laporanmu, ternyata kamu menggelapkan dana bengkel sebesar dua ratus juta. Segera saja mengundurkan diri. Atau istrimu dan bawahan-bawahan tahu tentang aibmu.” kata Pak Anwar pelan-pelan menegaskan ancamannya.
Nur melihat Pak Anwar berbali
Nur melemparkan tubuhnya ke kursi kerjanya. Dia merasa capek hari itu. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh menit.“Wah, hari ini sepertinya bisa pulang cepat.” batinnya.Selama dua hari, Nur pulang malam. Dia lembur. Dia hampir tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya yang dia lakukan yang mengharuskannya pulang malam. Sebenarnya, yang dia lakukan adalah pekerjaan remeh-temeh, membereskan ini-itu.“Ku pikir menjadi wakil ketua hanya duduk-duduk santai dan tinggal terima laporan. Ternyata sebaliknya, pekerjaan yang menumpuk dan tidak ada habisnya.” desahnya pelan. Selama dua hari itu pula, Nur tidak bertemu dengan Bu Celo. Bu Celo tidak ke kantor. Nur tidak tahu kemana Bu Celo. Bu Celo juga tidak memberitahunya. Dia tidak menanyakan pada Bu Celo lewat pesan atau lewat telefon. Dia merasa canggung kalau harus bertanya melalui pesan pribadi ke Bu Celo. Lagipula, dia berpikir, apa hak dia menanyakan hal i
Jam tujuh lebih empat puluh malam, Nur dan Bu Celo baru keluar dari restoran masakan Jawa. Nur membukakan pintu depan kiri mobil untuk Bu Celo, menunggu Bu Celo masuk, dan menutup pintu itu untuk beliau. Baru dia sendiri masuk ke mobil.Bu Celo kalau bersama dia memang tidak ingin duduk di belakang. Bu Celo beralasan bahwa tidak ingin membuat kesan bahwa Nur adalah seorang supir. Memang, sepengetahuan Nur, kalaupun Bu Celo memakai supir, Bu Celo selalu duduk di depan. Dan sepanjang Nur di bengkel, Bu Celo selalu menyetir sendiri. Supir kantor biasanya diminta untuk menyetir untuk Pak Nas dan Pak Anwar.Seperti biasa, Nur mengemudikan mobil itu pelan-pelan. Dipikirannya, ini adalah saat yang tepat untuk berbicara pada Bu Celo tentang masalah-masalah yang dihadapinya. Ini adalah saat yang tepat karena tidak ada orang lain selain dirinya dan Bu Celo di mobil ini.“Terima kasih Bu Celo, sudah membiarkan saya untuk membungkus makanan pulang. Dara pasti belum ma
Nur pulang setelah mengantarkan Bu Celo ke rumah beliau. Dia masuk rumah jam delapan tiga puluh malam. Dia pulang dengan perasaan gembira. Beban yang dia tanggung selama dua hari telah sirna dari bahunya. Namun, perasaan lega itu berubah ketika dia masuk rumah.Rumahnya seperti kapal pecah, berantakan. Mainan Wahid berceceran disana-sini. Tumpukan piring kotor bekas makan masih ada di wastafel, bahkan bekas piring sarapan Dara masih belum dicuci. Pakaian kotor yang menumpuk sejak dua hari lalu masih belum dicuci.Laptop Dara menyala, namun dalam keadaan power safe.Keadaan yang sama seperti dua hari yang lalu, Nur juga pulang malam dan mendapati laptop istrinya menyala. Seperti biasa, kalau laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai. Bahkan untuk memasak pun, Dara tidak sempat.Nur menghela nafas. Dia tiba-tiba merasa capek. Dilihatnya, Dara sudah tidur bersama Wahid di kamar depan. Tiba-tiba dia merasa kasihan dengan Dara. Dia mengum
Nur melemparkan tubuhnya ke kasur di kamar tengah. Dia terlentang. Pandangannya menatap atap ruangan. Badannya terasa pegal dan capek setelah semua yang aktivitasnya hari ini. Ditambah pula hatinya mendongkol karena Dara. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan lebih empat menit.Dia mencoba menutup matanya. Lampu kamar sudah padam, seharusnya tidak sulit bagi Nur untuk segera tidur. Namun, matanya tidak bisa dipejamkan sama sekali. Dia tidak merasa mengantuk.Nur memegang batangnya itu. Batang itu mengeras di balik celana pendek. Dipijitnya pelan-pelan benda keras itu. Dirasakannya sensasi menyenangkan di bawah sana.“Ah…” desahnya gusar.Nur melepas pegangannya dari benda keras tersebut. Dia tidak mau melakukan hal itu lagi. Dia tidak ingin berbuat dosa lagi. Keinginan ini harus dihapus, harus segera pergi. Diambilnya ponselnya untuk mengalihkan pikirannya. Dia ingin membuka media sosial dan melihat video lucu untuk men
Pagi itu setelah Nur mencuci pakaian, dia segera mandi. Sudah sekitar satu minggu lebih Nur mempunyai aktivitas baru sebelum mandi dan berangkat ke bengkel, yaitu mencuci baju. Nur yang hampir tiap hari pulang malam dan mendapati tumpukan cucian kotor, akhirnya memutuskan untuk mengambil alih tugas mencuci sekaligus meringankan beban Dara.Kadang pula, ditemuinya rumah dalam keadaan berantakan, belum disapu, mainan Wahid yang berceceran, dan piring-piring kotor tak tersentuh. Tak jarang pula dia pulang tanpa menemukan makanan yang tersedia. Lagi-lagi, Nur harus pesan makan untuk dirinya dan Dara lewat ojek online.“Kalau saja Dara mau memasak, mungkin pengeluaran tidak akan sebesar ini.” batin Nur berkata.Anehnya, Dara mengeluarkan uang dari dompetnya. Dara tidak minta uang darinya untuk membayar makanan itu. Sudah beberapa kali Nur mendapati kejadian seperti ini. Ada niatan dari Nur untuk bertanya, namun dia takut Dara tersinggung dan malah mengaki
Nur berdiri untuk beberapa saat di depan gerbang besar itu. Gerbang itu terdiri dari dua bagian, pintu gerbang yang terbuat dari kayu dan pagar yang terbuat dari bata dan semen. Pagar dan pintu gerbang itu tingginya lebih dari dua meter.“Percuma kalau aku teriak-teriak. Bu Celo tidak akan mendengar. Lagipula malu kalau teriak-teriak di lingkungan ini. Wong katrok.” pikirnya.Dia celingak-celinguk mencari bel pintu. Akhirnya dia menemukan bel pintu yang terletak di pagar tersebut. Dipencetnya bel pintu itu sekali. Dia ragu apakah bel pintu itu berfungsi atau tidak, soalnya dia tidak mendapati tanda bahwa bel itu berfungsi, tidak menyala, berbunyi, atau apapun. Agaknya bel pintu tersebut nirkabel.Sesaat kemudian pintu pagar itu bergeser ke samping. Pintu itu bergerak sendiri! Nur keheranan untuk beberapa saat. Dia terbengong-bengong melihat keajaiban itu. Beberapa saat kemudian dia lihat ada CCTV di atas pagar.“Aku benar-benar
Mengendarai mobil ke kantor setiap hari menimbulkan masalah yang sepele namun signifikan bagi Nur. Dia kesulitan untuk sarapan pagi di tempat Mak Nem. Gang kecil samping bengkel itu tidak muat dilewati mobil. Dia harus parkir mobil dulu di bengkel lalu jalan kaki ke tempat Mak Nem.“Pas balik ke bengkel, sarapan itu sudah habis.” desar Nur sambil menyetir mobilnya.Tiba-tiba suasana hati Nur berubah menjadi buruk. Diingatnya lagi Dara jarang membuatkannya sarapan. Kalau saja Dara bangun lebih pagi, Dara pasti bisa membuatkannya sarapan yang sekedarnya. Dia bukanlah orang yang susah, dia mau makan apa saja kecuali sayuran. Bahkan tempe dan nasi saja, dia sudah mau. Itu lebih baik daripada berangkat ke bengkel dengan perut keroncongan.Nur ingat lagi saat dia ke rumah Bu Celo beberapa hari lalu. Bu Celo bisa melakukan semuanya pagi itu, mulai dari olahraga, memasak, dan bersih-bersih rumah. Meski Bu Celo mengaku ada pembantu yang membersihkan rumah sem
Jam enam, sehabis Maghrib, Nur berpamitan pada ibunya. Dia tidak enak dengan Celo. Ibunya memberikan pandangan tidak enak pada Celo. Seolah-olah Celo tidak diterima di rumah ibunya. Padahal, jauh dalam lubuk hati Nur, dia ingin mengenalkan Celo sebagai orang yang spesial bagi Nur. Tapi sepertinya tidak mungkin. Apa mau disembelih ibunya sendiri kalau sampai Nur berani bicara seperti itu?Di dalam mobil yang remang-remang itu, Nur melihat Celo masih segar. Tidak ada guratan capek atau lelah di wajah tersebut. Nur bertanya-tanya, “Apakah hasil dari berolahraga setiap hari membuat Celo segar dan fit sepanjang hari?”“Saya kira, Pasuruan hanya tempat lahir saja, ternyata kamu masih punya keluarga disana.”“Born and raised Mam.”“Terus Dara berasal dari mana?”“Dara dari Surabaya.”“Hm… Ketemu saat kuliah?”“Ya. Ketemu pas kuliah.”
Sekitar tiga setengah tahun kemudian.Nur sedang duduk di food court sebuah mall besar di kota itu. Di hadapannya terhidang makanan mie dan es teh. Makanan itu sama sekali belum dia sentuh, mie itu sudah dingin. Dia hanya dari tadi minum es teh itu terus-menerus, hingga es itu sudah habis, dan hanya tersisa es batu saja di dalamnya. Meski begitu, dia masih menyeruput sisa-sisa teh yang tertinggal.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia pandangi orang-orang yang berlalu lalang hiruk-pikuk disekitarnya. Hampir mereka semua membawa teman, pasangan, dan ada anak-anak. Nur mencelos hatinya. Hatinya berlubang. Rasa kehilangan masih terasa di hatinya.Nur ingat dulu, Dara selalu mengajaknya ke mall ini, dan makan mie ini, es teh ini pula dulu yang menjadi minuman favorit mereka berdua.Hari ini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk pergi ke mall ini dan makan mie, juga minum es teh ini. Kerinduan yang
Nur menutup pintu ruangan Dara. Di luar ruangan itu, dia bersandar pada tembok dan kembali menangis. Air mata deras membasahi pipinya. Penyesalan yang dalam. Dada yang sesak. Hati yang berlubang.Kedua kalinya, dia membuat perempuan yang dia cintai menangis.Dia segera cepat menguasai dirinya. Nur tidak ingin ada orang yang lewat di lorong itu dan melihatnya menangis. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya pintu kamar Celo yang ada di seberang lorong, tepat di sebelah kamarnya.“Aku harus kesana. Aku mau melihat Celo dan aku harus mengakhiri ini dengan baik-baik. Aku mengenal dia dengan baik. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski semalam dia sudah secara aktif mau membunuhku, tapi rasaku tetap sama. Semua kata cinta itu adalah jujur. Aku tidak bohong semalam ketika aku bilang aku mencintainya.” batin Nur.Dengan langkah yang masih pelan-pelan, Nur menyeberangi loro
“Aku sebenarnya menerima pekerjaan lepas waktu sebagai penerjemah sejak setahun yang lalu. Aku enggak pernah bilang soalnya aku takut Mas Nur tersinggung. Aku takut kalau Mas Nur merasa kecil karena berpikir uang yang diberikan Mas Nur kurang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah bilang soal ini. Oleh sebab itu pula, pekerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Aku minta maaf soal itu.”Dara melihat Mas Nur menutupi mukanya denga kedua telapak tangannya. Mas Nur sepertinya menangis. Dara tadi sebenarnya melihat ada bekas-bekas tangisan di wajah Mas Nur, namun Dara diam saja. Dara tidak pernah tahu dan tidak mau tahu alasan Mas Nur menangis.“Aku minta maaf juga Sayang, gara-gara itu, aku menyangka Sayang berselingkuh. Aku berpikiran buruk ketika laptop Sayang itu menyala dan setiap kali laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai.”“Aku minta maaf Mas, aku sudah menyimpan rahasia di hubungan kita.”“Sayang, ak
Dara masih melihat Mas Nur dengan kemarahan yang memuncak. Dia benar-benar ingin meluapkan segala kemarahan kepada Mas Nur saat itu juga. Kalau saja tidak ada Papa dan Wahid di kamar itu. Dia pasti sudah melempar Mas Nur keluar jendela dan membiarkannya terjatuh dari lantai lima dan remuk di bawah sana.“Bagaimana keadaanmu Nur?” tanya Papa kepada Mas Nur yang terlihat masih menahan sakit karena luka di perutnya. Kepalanya juga di perban.Dara mengetahui sebab Mas Nur menderita itu semua. Dokter Mus tadi pagi datang dan menjelaskan semuanya kepada dirinya dan Papa. Ketika dokter Mus menceritakan cerita kepahlawanan Mas Nur yang membantu Bu Celo lepas dari para perampok yang menyatroni rumah Bu Celo, Dara merasakan sebersit kekhawatiran atas keselamatan Mas Nur. Ingin dia segera berlari dan melihat keadaan Mas Nur yang ada di seberang ruangannya.Niat itu diurungkannya.Dara masih marah kepada Mas Nur. Dara merasa jijik dengan Mas Nur. Entah me
Nur benar-benar berusaha untuk bisa bangkit dari posisi rebahannya. Kalau saja dia benar-benar kangen dan ingin bertemu Wahid dan Dara, di pasti mengalah dengan rasa sakit yang mendera itu. Dia mungkin lebih memilih untuk menyerah pada sakit di sisi kiri perutnya daripada harus berusaha agar bangkit.Setelah sekitar tiga puluh menit berusaha, usaha Nur membuahkan hasil. Dia bisa bangkit dari rebahan. Kakinya sekarang sudah menggantung di pinggir ranjang. Kini tinggal berusaha unutuk berjalan ke kamar mandi. Dia juga baru sadar kalau dia tidak dipasang kateter untuk buang air kecil.Tiba-tiba juga dia merasa ingin buang air kecil. Dorongan yang kuat untuk buang air kecil.Dalam waktu satu jam, dia telah berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh dokter Mus. Kini tinggal memanggil meminta tolong perawat untuk mengantarnya ke kamar Wahid. Tapi buat apa Nur meminta bantuan perawat? Dia bisa sendiri. Bukankah tadi dokter Mus bilang bahwa kamar Wahid ada di depan k
Nur membawa Celo ke rumah sakit internasional. Nur tadi dengan sigap memasukkan Celo ke mobil Aston Martin dan membawanya ke rumah sakit. Nur khawatir dengan Celo. Sementara itu, dirinya juga khawatir dengan nasib anak dan istrinya. Dia hanya menuruti instingnya. Dia hanya menyelamatkan Celo dan dirinya yakin Wahid dan Dara tidak ada di rumah yang meledak itu. Nur yakin kalau Celo tidak sejahat itu. Sesampainya di rumah sakit, dirinya dan Celo langsung dibawa ke instalasi gawat darurat. Celo mengalami syok dan luka pukulan dan bantingan. Sedangkan Nur mengalami luka sayatan. Nur mengatakan bahwa Celo dan dirinya adalah korban perampokan. Nur tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau berurusan dengan polisi dan membuat semuanya semakin kacau. Ini hanyalah masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dan dengan cara damai. Luka yang dialami Nur tidak parah. Benar dugaan Nur, luka sayatan yang dangkal dan sama sekali tidak berba
“Kalau aku tidak bisa memilikimu Nur, maka Dara dan Wahid pun tidak.” kata Celo menyeringai.Nur merasakan kengerian. Dengan cepat dia bangkit sambil mengelus pipi kanannya. Sakit.Celo memainkan pisaunya, melemparkannya ke tangan kanan dan kiri bergantian. Seolah-olah Nur adalah binatang buruan yang terperangkap dan pasti mati.“Aku mencintaimu Nur. Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tidak ingin berbagi dengan Dara ataupun Wahid.”“Tunggu dulu, aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kamu membuat gosip di bengkel?”“Toni. Toni adalah anak buahku yang setia. Dia memang aku tugaskan untuk menjadi bawahan Anwar. Dengan bantuan Toni, aku bisa membisikkan apapun ke tua bangka serakah itu, termasuk gosip kita yang selingkuh, kita yang sekamar di Jakarta, dan laporan keuanganmu. Invoice itu gampang didapatkan. Aku yang punya hotel itu dan aku juga sudah mengatur agar kita sekamar. Ban yang meletus dan syok
Nuraga memacu motornya dengan cepat ke rumah Celo. Dia khawatir dengan nasib anak isrinya dan juga penasaran apa yang dimaksud Celo dengan kata-katanya di telefon tadi.“Bagaimana bisa Celo tahu tentang Wahid dan Dara disaat aku saja tidak tahu dimana mereka berdua?”“Apakah mungkin Celo berbuat yang tidak-tidak dan di luar nalar?”“Apa yang telah dilakukan Celo terhadap Wahid dan Dara?”“Tidak, Celo tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak terhadap Wahid dan Dara. Celo bukan orang yang kejam. Celo bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang dia mau.”“Kata Dara, Celo menunjukkan kedekatan yang luar biasa terhadap Wahid selama ini.”“Celo tidak ungkin berbuat kejam pada Wahid dan Dara.”Deggg…Jantung Nur berdegup kencang. Nur menyadari sesuatu.Ingatan Nur melayang pada si kurus yang dihajar Celo sampai babak belur se
Di ulang tahun perempuan remaja itu yang ke lima belas, Dad menghadiahi seorang pengawal. Seorang pengawal laki laki dengan tubuh sebesar dan setinggi Dad. Dad bilang bahwa perempuan remaja itu perlu diawasi agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Pengawal itu harus selalu mengikuti kemanapun si perempuan remaja itu pergi. Dad membayar pengawal itu untuk bekerja selama dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu.Sesaat perempuan remaja itu melihat kepada si pengawal, ini semua hanya akal-akalan Dad. Pengawal ini hanyalah kepanjangan tangan dari Dad. Pengawal ini hanyalah bentuk baru dari penjara yang selama ini mengungkungnya. Dari pengawal ini, semua gerak-geriknya akan semakin terpantau dan Dad akan tahu semua tingkah lakunya.Perempuan remaja itu hanya pasrah menerima hadiah dari Dad. Dengan cepat perempuan remaja itu memeluk Dad dan mengucapkan terima kasih dengan berurai a