"Sudah! Sudah! Sekarang semuanya lanjutkan makan saja! Nanti kita lanjutkan sesi foto selanjutnya setelah makan!" ucap Nursyid, berusaha meredakan pertarungan sengit woman vs women yang hampir tak terkendali.
Kamila menghela napas sebelum akhirnya kembali duduk. Emosinya mereda dengan cepat, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tanpa ragu, ia kembali melahap makanannya dengan lahap. Baginya, selama dirinya tidak diganggu, ia tidak akan membuat masalah dengan orang lain.Sementara itu, para kru wanita menatap Kamila dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dari luar, mereka terlihat diam dan seolah sudah menyerah. Namun, di dalam lubuk hati mereka, kemarahan masih membara. Harga diri mereka telah diinjak-injak di depan Nursyid dan Kaelen, dan mereka tak terima begitu saja.Meski tidak menunjukkan ekspresi marah, ada kilatan penuh niat tersembunyi di mata mereka. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk membalas.Setelah beberapa menit, semua orang aAkhirnya, prosesi pemotretan kembali berlanjut. Keputusan dadakan Nursyid untuk menambahkan model wanita ternyata menjadi titik balik tak terduga. Konsep yang semula sederhana kini menjelma menjadi sesuatu yang jauh lebih dramatis, lebih hidup—bahkan lebih memukau dari rencana awal.Di atas punggung kuda putih yang gagah, Kamila duduk anggun. Dress putih panjangnya melayang lembut tertiup angin pantai, menciptakan ilusi seolah dirinya adalah seorang tuan putri yang baru saja turun dari negeri dongeng. Rambut cokelat bergelombangnya berkibar liar, menangkap kilau matahari yang memancar di atas mereka.Di sisinya, Kaelen berdiri tegap, satu tangannya mantap menggenggam kendali kuda, sementara lengan satunya melingkar di pinggang Kamila. Erat. Tegas. Seakan ingin memastikan bahwa gadis itu tidak akan jatuh, tidak akan terlepas darinya. Pada satu titik, ia menoleh, matanya menangkap wajah Kamila dalam diam.Adegan itu nyaris terlalu sempurna untuk disebut hanya sekadar pemotretan produk.
Kaelen menatap hasil fotonya bersama Kamila dengan ekspresi puas. Senyum sombong terukir di wajahnya, memperlihatkan keyakinan diri yang begitu tinggi. Dengan penuh percaya diri, ia mengangkat dagunya sedikit dan berkata,“Oh, tentu saja hasilnya bisa sebagus ini. Siapa dulu modelnya? Aku!”Kamila ikut memperhatikan layar, matanya terpaku pada bayangannya sendiri. Ia tampak sangat cantik—begitu anggun dan alami, seolah seorang model profesional. Padahal, ia hanya mengenakan makeup tipis dan pakaian yang sudah dipakainya sejak awal.“Ternyata aku punya bakat jadi model juga…” gumamnya pelan, masih tak percaya.Tiba-tiba, Kaelen mengulurkan tangan dan mengusap rambut Kamila dengan lembut. Namun, dalam sekejap, belaian itu berubah menjadi gerakan jahil. Dengan gemas, ia mengacak-acak rambut Kamila hingga beberapa helai berantakan.“Kenapa baru sadar sekarang?” tanyanya dengan nada menegur, tapi penuh kehangatan. “Sejak SMK juga kau sudah cantik. Hanya saja kau kurang percaya diri. Kurang
Sehari setelah sesi pemotretan parfum Polo Blue dari LightGlow Cosmetics, para idol kembali berkumpul di ruang latihan. Suasana ruangan penuh dengan energi, setiap sudut dipenuhi suara langkah kaki yang mengikuti irama musik dan suara tawa yang sesekali terdengar di sela-sela latihan. Mereka tengah mempersiapkan diri untuk konser ulang tahun TLM Entertainment, yang sekaligus menjadi perayaan ulang tahun Kaelen.Konser besar ini tinggal seminggu lagi, dan tak ada waktu untuk bersantai.Di sudut ruangan, para manajer idol berkumpul, berdiskusi mengenai jadwal latihan."Semua, jadwal idol kalian kosong selama minggu ini, kan?" tanya Tommy, suaranya tegas dan penuh harap."Tentu," jawab Leonhart, yang merupakan manajer boyband ZZB. "Jadi semua member ZZB bisa mengikuti sesi latihan intensif dengan Kaelen."Sementara para idol sibuk dengan koreografi mereka, di sisi lain ruangan, tim MUA tengah menyiapkan perlengkapan rias. Berbagai palet warn
Bleon melangkah masuk ke dalam gedung TLM Entertainment, auranya dipenuhi rasa percaya diri yang berlebihan. Dia tahu kedatangannya mungkin akan mengundang ketegangan, tapi dia tidak peduli. Baginya, ini adalah langkah pertama untuk menegaskan kendalinya atas Zeyon.Ketika mencapai lobi, tatapan tajam Leonhart langsung menyambutnya. Manajer itu berdiri tegap, kedua lengannya bersedekap di depan dada, seolah menjadi benteng yang tak bisa ditembus."Permisi, boleh saya bertemu dengan Zeyon?" Bleon bertanya dengan suara ramah yang dibuat-buat.Namun, ekspresi Leonhart tetap dingin. Dia sudah cukup banyak mendengar tentang Bleon dari Kaelen, dan tidak ada satu pun kabar baik yang membuatnya tertarik untuk bersikap lebih lunak."Maaf, idol termuda kami sedang sibuk latihan. Harap jangan mengganggu," jawabnya tegas, lalu berbalik, berniat meninggalkan pria itu tanpa basa-basi lebih lanjut.Namun, Bleon bukan tipe yang mudah menyerah. Bibirnya melengkung membentuk senyum licik sebelum dia me
Di lobi yang sepi, hanya ada Bleon dan Zeyon di ruangan itu. Suasana hening terasa mencekam, berbeda dari biasanya. Hari ini, seluruh idol tengah disibukkan dengan latihan intensif untuk persiapan konser besar tahunan TLM Entertainment. Tidak ada staf yang lalu-lalang, tidak ada suara obrolan riuh, hanya dua bersaudara yang saling berhadapan dalam situasi yang terasa lebih seperti medan perang daripada pertemuan keluarga.Bleon tersenyum ramah—atau lebih tepatnya, pura-pura ramah. Senyumannya tidak pernah bisa dipercaya oleh Zeyon. Ada sesuatu yang selalu terasa manipulatif dalam ekspresinya."Halo, Zeyon! Bagaimana kabarmu?" sapanya dengan nada hangat yang terdengar begitu dibuat-buat. Dia mengulurkan tangan dan menepuk bahu Zeyon dengan lembut, seolah benar-benar peduli.Zeyon menundukkan sedikit kepalanya, menatap tangan kakaknya yang bertengger di bahunya. Ada dorongan kuat untuk menepisnya, tapi dia menahan diri. Sebagai gantinya, dia bergumam pelan,
Leonhart menepuk bahu Zeyon dengan lembut, sorot matanya penuh perhatian. "Bagaimana pembicaraanmu dengan kakakmu, Bleon?" tanyanya, nada suaranya terdengar santai, tapi ada sedikit ketajaman di dalamnya.Zeyon mengangkat bahu, berusaha terlihat setenang mungkin. "Kakakku hanya mengatakan bahwa dia merindukanku," jawabnya dengan nada datar. "Kakak datang ke sini untuk memberiku semangat untuk konser besar TLM Entertainment nanti."Kaelen yang sejak tadi mengamati Zeyon tersenyum tipis. "Sepertinya kakakmu memang sangat menyayangimu," komentarnya, tapi ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang menyiratkan bahwa dia tidak sepenuhnya percaya pada apa yang baru saja dikatakan Zeyon.Tommy, yang berdiri di samping mereka, menepuk punggung Zeyon dengan ramah. "Baiklah, sekarang pergilah ke ruang ganti! Pakaianmu sudah basah dengan keringat," katanya. "Kalau kau merasa tidak nyaman dengan pakaianmu sendiri, kau tidak akan bisa nyaman berlatih."Zeyon tersenyum kecil. "Baik, terima kasih, Pak
Kamila berjalan cepat menghampiri Kaelen yang masih menunggu gilirannya berlatih menari. Napasnya sedikit memburu, tapi langkahnya tetap stabil. Matanya menyapu ruangan dengan waspada, memastikan tidak ada yang memperhatikannya sebelum akhirnya berhenti tepat di depan Kaelen.Kaelen, yang sejak tadi bersandar santai di dinding dengan tangan terlipat di dada, menatap Kamila dengan ekspresi penasaran. Namun, begitu melihat sorot mata gadis itu yang serius, Kaelen menyeringai, seolah-olah momen ini masih bisa dinikmati dengan kelakar khasnya."Kak Kaelen!" panggil Kamila dengan nada mendesak.Kaelen menaikkan sebelah alis, tetap mempertahankan senyum sombongnya. "Ada apa, Kamila?" tanyanya, sebelum lekas menambahkan dengan nada menggoda, "Jangan bilang kau sudah sangat merindukanku meskipun kau hanya ke ruang rias sebentar? Yah… Aku mengerti. Aku memang pria tampan yang selalu membuat semua wanita rindu menatap ketampanan wajahku. Sudah seperti tujuh keajaiban dunia, harus dijaga dan dil
Di tengah kesibukan lokasi syuting yang riuh, Bleon duduk dengan santai di kursinya, kakinya terjulur ke depan dengan ekspresi penuh percaya diri. Para kru sibuk berlalu-lalang, mengatur pencahayaan dan kamera untuk adegan berikutnya, sementara Maleta berdiri di sampingnya, tangannya cekatan merapikan riasan di wajah Bleon."Akhirnya aku bisa kembali berakting!" seru Bleon dengan nada puas, sembari menatap pantulan dirinya di cermin. "Drama ini terlalu memfokuskan karakter utama wanita hingga karakter utama pria sering tidak terpakai!"Maleta hanya terkekeh kecil, menyapukan kuas dengan lihai ke pipi Bleon. "Sudahlah, anggap saja itu sebagai waktu liburan untukmu."Tapi Bleon bukan tipe orang yang bisa diam begitu saja. Dia menoleh ke arah Maleta dengan tatapan penuh arti, suaranya sedikit lebih rendah saat bertanya, "Omong-omong, apa kau sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"Maleta tersenyum penuh keyakinan, matanya berkilat puas. "Tentu saja sudah," jawabnya tanpa ragu. "Aku su
Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
"Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.
Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b
Konser besar TLM Entertainment akhirnya digelar. Stadion megah itu bergemuruh oleh suara teriakan dan sorakan ribuan penggemar yang telah menanti momen ini selama berbulan-bulan. Cahaya sorot panggung berputar-putar, menciptakan kilauan yang seakan menari di udara, sementara layar raksasa di belakang panggung menampilkan logo agensi dengan efek visual yang memukau.Di balik panggung, suasana tak kalah sibuk. Para makeup artist dan stylist berlarian ke sana kemari, memastikan setiap idol tampil sempurna di bawah sorotan lampu. Aroma hairspray dan foundation bercampur dengan suara panik para kru yang memberi instruksi melalui headset mereka.Di salah satu sudut ruang rias, Kamila tengah menyempurnakan sentuhan terakhir pada Kaelen. Dengan cekatan, tangannya mengusap foundation di wajah pria itu, memastikan kulitnya tampak sempurna di bawah lampu panggung."Semangat!" ujar Kamila, suaranya lembut namun penuh dorongan.Kaelen menoleh dan tersenyum. Sorot matanya berkilat dengan kepercayaa
Kaelen memasuki kamarnya dalam diam, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu yang dingin. Pintu ditutup perlahan, namun suara klik kunci terasa nyaring di telinganya sendiri, seolah mengunci segala gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya.Tanpa menyalakan lampu, dia berjalan menuju ranjang dan membiarkan tubuhnya jatuh ke atas kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerpa wajahnya, membuat sorot matanya yang biru semakin redup, nyaris seperti samudra yang kehilangan kilauannya."Kamila... Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"Pikiran itu terus berputar di kepalanya, menari-nari dalam bayangannya seperti hantu yang enggan pergi. Bayangan Kamila—dengan sorot mata ketakutan, suara yang bergetar saat memohon kepadanya, tangan yang mencengkeram lengannya dengan erat—semuanya terasa begitu nyata, seakan kejadian tadi masih berlangsung di depan matanya.Kaelen menghela napas berat, mencoba memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tid
Mata Kamila berkaca-kaca, bibirnya bergetar ketika dia berbisik, seolah suaranya sendiri nyaris tak sanggup menahan ketakutan yang menggerogoti hatinya."Kak Kaelen, aku mohon... Aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Tolong hapus rekamannya... Aku mohon..."Suasana di dalam mobil terasa mencekam, seakan udara di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Kaelen menatapnya dengan sorot tajam, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram setir dengan erat. Ada kemarahan yang bergejolak dalam dirinya, bukan hanya karena situasi ini, tetapi karena kebiasaan Kamila yang selalu menelan sendiri semua kepedihannya."Kenapa kau seperti ini, Kamila? Kenapa kau selalu saja menyembunyikan semua rasa sakitmu sendiri?" suaranya berat, penuh emosi yang tertahan, hampir terdengar putus asa. Matanya menatap Kamila dengan tajam, mencoba menembus tembok yang selalu gadis itu bangun. "Aku tidak mau menghapusnya! Aku akan menjadikan ini barang bukti jika kau ingin melaporkannya!