Mengandung adegan kekerasan.
Enjoy Reading.
***
Bukhhh!
Aku tersentak kaget saat merasakan perih dan asin di bibirku. Aku mengerang pelan, menyadari seseorang baru saja memukul wajahku, tanganku terasa kebas karena terikat di atas kepala dan tubuhku berada pada posisi menggantung. Aku berusaha membuka mataku tapi semua terasa gelap. Mataku ditutup entah dengan kain apa, karena baunya sangat anyir dan membuatku mual.
"Bagus. Akhirnya kamu bangun juga Pangeran."
Aku mengernyit berusaha mengenali suara itu. Tapi belum sempat aku bicara.
Bukhhh, uhukkk!
Satu pukulan keras mendarat di perut, membuatku memuntahkan semua sarapanku, rasanya sangat sesak dan secara otomatis air mataku membasahi kain penutup itu. Aku menangis, tentu saja, jangankan di pukul, di tampar saja aku tidak pernah.
"Katanya keluarga Cohza itu kuat, tapi ternyata satu pukulan saja bisa membuatmu muntah-muntah, dasar menjijikkan."
Belum cukup keterkejutanku tiba-tiba aku merasa panas di lengan atasku. Aku menjerit saat seputung rokok yang masih menyala dimatikan di atas kulitku yang terbuka.
Aku ingin bicara tapi rasa sakit di perut, pahit di mulut dan panas di lengan, membuatku hanya bisa mengerang lagi. Lalu aku mendengar suara berderit seperti pintu yang terbuka.
"Nona." Suara orang yang memukulku tadi menyapa seseorang.
"Daniel Cohza Cavendish, apa kamu baik- baik saja sayang?" Suara lembut tapi tersirat kekejaman.
Aku mengernyit, aku tahu suara ini, tapi itu tidak mungkin. Atau ... ini memang hanya latihan dan saat ini aku sedang menggantikan Daniel sebagai samsak?
"Bibi?"
Plakkkk!
Aku meringis ketika wajahku di tampar dengan keras.
Lalu tangannya mengelus bekas tamparan di pipiku.
"Aku sebenarnya tidak suka melakukan ini, tapi ini pilihanmu. Coba kamu memilih menjadi pewaris kerajaan Cavendish, aku akan menyayangimu seperti perlakuanku kepada Jack, tapi kamu malah menjadi pewaris Cohza. Asal kamu tahu, itu adalah pilihan yang salah."
Aku masih bingung dengan apa yang diucapkan bibiku kenapa benar itu bibiku, karena suaranya mirip, tapi entah kenapa ada aura kejam dan penuh dendam di setiap kata yang aku dengar.
"Sebenarnya aku bersyukur juga karena Jack yang akan menjadi Raja Cavendish. Dia itu bodoh dan gampang dimanipulasi. Aku akan menjadi orang yang paling dia percaya dan aku akan menjadikannya bonekaku."
Baiklah ini latihan atau bukan tetap saja aku tidak terima ada yang mengataiku bodoh.
"Jaga bicaramu, kamu pikir siapa yang baru saja kamu hina? Pangeran Jhonathan itu cerdas," teriakku tidak terima.
Dukhh, bugkhh, deskkk, hukkkkk!
Aku yakin sekarang yang aku muntahkan bukan makanan, tapi darahku sendiri. Apa ini bukan latihan? Karena sekarang aku merasakan sakit luar biasa di kedua kaki dan tulang rusukku yang dipukul entah dengan apa.
"Lepassss," rintihku. "Lepaskan dia."
Aku bernapas lega saat tali yang megikatku terlepas dan aku langsung ambruk memegangi perut dan kakiku yang sakit.
Duakhhh!
"Siapa yang menyuruhmu membuka itu, Bodoh?"
Aku merasakan tendangan di tubuhku saat akan membuka penutup mataku. Lalu kedua tanganku dicekal dan dipaksa duduk dengan wajah ditengadahkan.
"Ini pasti menarik, saat kamu mendapat injeksi agar tubuhnya kuat, justru kamu akan mati karena racun, ini pasti akan membuat keluarga Cavendish terpuruk.‖ Lalu, bibiku tertawa keras.
"Aku masih baik kepadamu, makanya aku memberi racun ular manga hitam, kamu akan mati dengan cepat, hanya 5 menit dan kamu sudah akan ada di surga." Bibiku tertawa lagi.
Aku merasa rahangku dicengkeram dan mulutku dipaksa membuka, lalu sebuah cairan dimasukkan dan aku dipaksa menelannya.
"Ah aku lupa, aku masih punya beberapa racun lagi, daripada dibuang, lebih baik kamu telan saja.‖ Lalu, aku dipaksa meminum entah apa lagi hingga beberapa kali.
Saat aku merasa tubuhku semakin sakit, saat itulah aku dihempaskan ke lantai dengan kasar. Lalu aku mendengar suara berderit dan langkah kaki menjauh, sepertinya mereka semua keluar.
Aku tahu tubuhku anti racun. Aku tidak akan mati hanya karena racun ular atau ratusan racun lainnya, tapi tubuhku hanya mengobati bukan mencegah. Jadi, rasa sakit akibat racun akan tetap aku alami dan itu tidaklah enak.
Aku membuka penutup mataku dan aku berada di sebuah ruangan kosong seperti penjara, di sini gelap dan dingin. Aku meringkuk menahan sakit yang mulai menyerang tubuhku, aku menangis pelan berharap Daniel dan Daddy akan segera datang menolongku. Karena sekarang aku tahu ini bukan latihan. Aku sedang diculik dan ada orang yang ingin melenyapkan kakakku entah dengan tujuan apa.
Byurrrr!
Aku gelagapan saat air sangat dingin mengguyur tubuhku. Ada dua orang tidak aku kenal langsung menarikku berdiri.
Lalu aku melihat Bibi dan Uncle Pete masuk. Tidak, aku pasti sedang berhalusinasi karena efek racun yang tadi dimasukkan ke dalam tubuhku.
"Sial, dia bukan Daniel, tapi Jhonathan," desis Bibi Pauline.
"Bagaimana bisa kita salah menculik?" Bibi
memandang tajam anak buahnya.
"Kami tidak mungkin salah Nona, dia sendiri yang masuk ke dalam mobil dan mengaku sebagai Daniel."
Bibi Pauline langsung memandangku tajam.
"Bibi, kenapa?" Aku merasa shok mengetahui bibiku dalang dari semua ini.
Bibi Pauline bersedekap, sedang Uncle Pete diam dengan tatapan kosong. "Harusnya kamu tidak bertukar tempat dengan Daniel, dan kamu masih akan menyaksikan matahari besok pagi. Asal kamu tahu saja, sebenarnya aku cukup menyukainmu, karena kamu mudah percaya dan pasti akan jadi peliharaanku yang manis. Tapi sayang, sekarang aku tetap harus membunuhmu karena kamu sudah tahu aku akan menghabisi siapa pun pewaris Cohza."
"Bibi." Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
"Kenapa? Apa karena Bibi ingin menguasai Save Security?"
Bibi Pauline tertawa keras. "Save Security? Well, aku tidak tertarik sama sekali dengan SS, aku menginginkan akses penuh ke laboratorium Cavendish. Jadi, aku memerlukan penerus Raja di Cavendish yang bisa aku kendalikan. Dan berkat dirimu, sekarang aku harus mulai dari awal lagi dan berganti merayu Daniel."
"Kenapa Bibi menginginkan laboratorium Cavendish?" Aku bingung, Bibi bukan dokter, dan tidak mengerti ilmu kedokteran. Untuk apa dia menginginkan laboratorium yang tidak bisa dia jalankan sendiri.
"Sekarang itu bukan lagi urusanmu, karena sekarang itu milik Daniel."
Bibi memandangku dengn sinis. "Pete, cepat habisi anak ini, waktu kita tidak banyak. Petter dan Paul sedang menuju ke sini."
Paman Pete mengngguk dan langsung menghampiriku.
Cringkkk!
Paman mengeluarkan pisau kecil dan tipis tapi aku tau itu pasti sangat tajam.
"Uncle mau apa?" tanyaku ngeri.
Crassss! Awww! Crasss! Crassss!
Aku menjerit dan memohon saat tanpa berkedip pamanku menggores setiap kulit di tubuhku hingga tidak butuh waktu lama tubuhku sudah berlumuran darah karena disayat dengan pisau. Aku tidak bisa melawan atau mengelak karena kedua tanganku dipegangi oleh anak buah bibi Pauline.
"Uncle, aku bukan Daniel. Aku Jojo, ingat? Aku Jojo Uncle, kamu sayang padaku. Aku juga menyayangimu." Aku menjerit sakit dan terus memohon agar Paman menghentikan pisaunya yang seperti merajamku. Aku sudah mengatakan aku bukan Daniel, tapi Paman Pete seolah tuli.
Dia bergerak hanya mengikuti perkataan Bibi Pauline. Dan dia terus mencabik- cabik tubuhku dengan pisau tajamnya. Dia bukan Paman yang aku kenal, dia lebih mirip monster pembunuh. Lebih sakit lagi saat aku samar-samar mendengar bibi dan kedua anak buahnya malah tertawa di setiap jeritanku.
"Pete, cukup main-mainnya, habisi dia SEKARANG."
Aku memandang paman Pete sendu, walau yang di hadapanku adalah wajahnya, tapi aku tahu dia bergerak bukan atas kemauan dirinya. Aku pasrah karena aku tahu ini saatnya, aku tahu aku akan mati di sini. Tapi satu hal yang paling aku syukuri, bukan Daniel yang ada di sini. Firasatku benar, hal buruk akan terjadi padanya, dan aku tidak menyesal sudah menggantikannya.
Lihat Kakak, aku berhasil melindungimu walau hanya satu kali. Setidaknya kamu selamat. Aku hanya berharap pengorbananku tidak membuatmu sedih.
Mommy, Daddy, Daniel, aku menyayangi kalian. Kata terakhir yang ingin aku ucapkan tapi tidak sempat keluar dari mulutku karena saat ini aku merasakan hujaman benda tajam tepat mengenai jantungku.
Aku terbatuk dan melihat darah mengucur deras di dadaku, lalu belati itu di putar dengan sengaja agar menghentikan napasku yang sudah mulai terputus putus.
Aku mengerang untuk terakhir kalinya sebelum napasku terhenti dan aku terhempas ke lantai dengan tubuh tidak bernyawa.
***
TBC
Enjoy Reading.***GELAP.Tempat ini sangat gelap. Aku sudah membuka mataku selebar mungkin, tetapi tetap tidak mampu menemukan setitik cahaya pun di tempat ini. Apa aku buta? Aku berusaha menggerakkan jari tanganku yang terasa kaku. Aku meraba wajah dan menyentuh kedua mataku. Aku tidak buta, aku yakin itu. Aku bernapas dengan pelan dan mempertajam pendengaranku. Tidak salah lagi, itu suara hujan.Aku ada di mana? Apa aku masih di tempat penculikan? Jantungku langsung berdetak lima kali lebih cepat saat berusaha mengingat apa yang baru saja aku alami. Aku takut bukan karena kegelapan ini, aku takut dengan rasa sakit, aku tidak mau di siksa lagi.Tapi siapa? Kenapa aku tidak ingat siapa yang menyiksaku? Aku juga tidak ingat di siksa seperti apa, yang pasti aku masih ingat aku menjerit kesakitan dan para penjahat itu malah tertawa senang. Seolah penderitaanku adalah hiburan bagi mereka.Iya mereka. Walau samar tapi aku yakin mereka lebih dari
Enjoy Reading.***2 BULAN SEBELUMNYA."Aku membunuh Jojo, aku membunuh Jojo, aku membunuhnya." Pete terus meracau memandang tangannya yang berlumuran darah dan memandang Jhonathan yang tergeletak di hadapannya.Pauline memandang Pete dengan wajah malas."Dia sudah meninggal Nona," ucap anak buahnya setelah memeriksa Jhonathan."Bagus, Pete ayo pergi."Pete menggeleng panik. "Tidak, jangan tinggalkan Jojo sendiri, kita harus membawanya ke rumah sakit."Plakkk.Pauline menampar lalu menjambak rambut Pete hingga wajahnya tepat di hadapannya."Adikku sayang, tenangkan dirimu, kamu tidak membunuh Jhonathan, kamu membunuh orang yang menyakiti Jhonathan." Pauline mengelus wajah Pete sayang dan menanamkan sugestinya."Sekarang tidurlah, kamu pasti lelah."Pete mengangguk patuh dan langsung berada di bawah pengaruh hipnotis hingga sepersekian detik setelahnya dia sudah tertidur.Pauline memandang anak
Enjoy Reading.***Aku terbangun saat mendengar suara Pak Ridwan yang akan mulai menerjang ombak bersama kapal demi mencari ikan. Saat ini masih dini hari, dan seperti bisa Emak sudah membantu menyiapkan beberapa keperluan Pak Ridwan.Saat ini aku berada di Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lebih tepatnya di Pantai Ngrenehan dengan penduduk yang 75% berprofesi sebagai nelayan.Mereka akan berangkat melaut sebelum fajar, dan akan kembali saat tengah hari. Lalu hasil tangkapan biasanya akan langsung dibawa ke TPI (Tempat pelelangan ikan). Ada yang langsung dijual ke penadah untuk dibawa ke luar kota,a juga yang dijual eceran atau pengunjung yang berdatangan. Selain itu ada yang dijual matang. seperti Emak Rina.Emak memiliki warung makan di bibir Pantai Ngrengehan, biasanya hasil tangkapan Pak Ridwan, terutama ikan bawal akan dijual di warung Emak. Sedang sisanya dibawa ke TPI. Karena menu andalan di s
Enjoy Reading.***"Marco kamu bantu Emak cari Adek- adekmu ya, ini udah lewat makan siang, tapi adekmu masih main dan belum pulang."Aku mengangguk sambil mengikuti Emak ke arah pantai, tempat 4 M izin bermain tadi.Emak masih sibuk nanya nelayan di sekitar tentang keberadaan Marcell, Micell, Miko dan Millo saat aku merasa melihat mereka sejenak.Aku berjalan, dan memang benar itu 4 M. Tapi mereka tidak sendirian, ada 3 orang lain yang lebih besar. Sepertinya mereka seumuran denganku, dan aku mengenali salah satunya adalah anak dari Bos Kapal. Sedang dua lainnya teman sekelasnya.Kapal di sini memang sebagian besar adalah kapal sewaan, tapi ada juga nelayan yang memiliki kapal sendiri, dan syukurlah Bapak dan Emak salah satu yang memiliki kapal sendiri.Aku sering mendengar para nelayan mengeluh karena berpenghasilan rendah, kadang bahkan merugi karena hasil tangkapan tidak sesuai prediksi. Padahal mereka harus membayar sewa kapal da
Enjoy Reading.***"Marco."Aku mengernyit bingung, ini ngapain cecurut Eko dateng ke rumahku."Apaan?"Aku melihatnya berdiri gelisah dan meremas tangannya gugup. "Em ... bisa bicara berdua?"Aku melihat Marcel yang memandangku was- was.Aku tersenyum menenangkan."Mas keluar bentar ya Dek, jaga yang lain." Aku menepuk pundak Marcell dan keluar dari halaman menuju pohon dekat rumah."Ada apaan?""Em ... aku mau minta maaf."Alisku terangkat sebelah, habis keselek apa ini kodok, tiba- tiba datang minta maaf."Kata orang pinter, aku ada salah sama orang, makanya sudah seminggu ini aku sial terus. Katanya aku dikutuk dan harus minta maaf sama orang yang aku jahatin biar tidak sial lagi."Wowww dukun? Kutukan? Hahhaaa, aku pengen ketawa ngakak. Aku yang ngerjain dia kali. Malah di kira kutukan. Biarlah, aku diam saja, aku memandangnya dengan wajah datar yang s
Enjoy Reading.***Takdir kehidupan. Siapa yang tahu. Semua boleh berharap. Semua boleh bermimpi. Tapi....Jika sang takdir sudah datang. Doa sekhusuk apa pun.Usaha sekeras apa pun.Tidak akan bisa menghalanginya.Takdir sudah berkata, dan aku harus bisa menerimaya.Walau itu pahit.mWalau itu sakit.Tiada pilihan yang diberikan, kami harus rela mengikhlaskannya.***Aku memandang rumah yang biasa ramai kini terlihat legang.10 hari yang lalu aku masih bercengkerama denganBapak, bercanda, belajar dan berebut remote saat menonton tv.Sekarang rumah ini hanya berisi duka. Emak mengurung diri di kamar, Marcell dan Miscell hanya terdiam sedih, sedang Miko dan Millo masih terlalu kecil untuk paham dengan apa yang terjadi.10 har
Enjoy Reading.***3 BULAN KEMUDIAN."Marcel, Misel, Miko, Millo, Bangunnnnnn."Aku melihat Adik- adikku masih menggeliat malas. "Bentar lagi Mas," rengek Marcel."5 menit saja." Misel menguap lebar. Sedang Miko dan Millo tidak berkutik sama sekali.Baiklah. Cara A tidak berhasil, sekarang gunakan cara B. Aku mengambil sandal jepitku yang ber- merk swallow dan memukulnya di atas meja berkali- kali dengan keras.Plakk! Plaakkk!"Bangunnnn woyy bangun, bangunnn. Gempa, gempaaa."Misell, Miko dan Millo langsung gelagapan dan meloncat dari ranjang, sedang Marcell malah mengambil bantal dan menutup telinganya, dasar bocah bandel."Marcel, aku hitung sampai 3, kalau tidak bangun, aku siram nih."Marcel mengintip sebentar lalu bergumam tentang aku yang tidak membawa ember, dan lagi- lagi menyungsupkan wajahnya ke balik bantal."Marcel 1, 2, 3. Oke, itu pilihanmu." Aku menarik bantal yang
Enjoy Reading.***Aku seorang Pangeran Cavendish. Aku seorang Abdul Rachim, dan di sinilah aku, berada di tempat yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.Aku sudah biasa jadi pusat perhatian, aku sudah biasa dipamerkan. Tapi lihatlah sekarang, aku di arak keliling kampung menggunakan Kerbau. Iyups Kerbau, binatang besar, hitam dan bau.Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu. Ini semua perbuatan si kodok ngorek itu. Apanya yang tidak dibayarin? Apanya yang bukan belas kasihan. Ini lebih parah dari itu, ini pembully-an.Kita memang sunat bersama, kita merayakan juga bersama. Tapi dia di sunat dengan laser, aku di sunat manual.Dia di arak dengan kuda dan iringan Reog Ponerogo, aku di arak dengan kerbau dan beberapa kambing yang sudah dihias. Ini penistaan. Dan aku pasti akan membalasnya.Jika mutilasi di khalalkan, aku pasti sudah memutilasinya. Kalau perlu dagingnya aku jadikan tumpeng selamatan khitana
Enjoy Reading.***Aku memandang kamera cctv di depanku dengan jengkel, sudah 3 Tahun berlalu, dan aku belum bisa masuk ke Cavendish. Uncle Paul benar- benar menjaga kerajaan itu dengan ketat.Aku kangen sama Mom dan Daddy, dan aku bahkan belum melihat makam Kakek, orang yang paling menyayangiku selama ini.Aku memandang ke atas, di mana kerajaan Cavendish berada. Ya, secara resmi aku belum bisa memasuki kerajaan itu, tapi secara ilegal aku sudah di sini dari 2 Tahun yang lalu. Tentu saja sebagai Red 01. Aku membangun ruang bawah tanah di mana bekas laboratorium milik Kakek dulu pernah diberikan padaku.Sesuai dugaanku, laboratorium ini terbengkalai tidak di gunakan lagi. Karena memang Mommy-ku tidak mengetahui keberadaannya. Dan Kakek hanya mewariskannya padaku.Aku melihat ruangan yang masih banyak kosong itu, aku sudah 2 Tahun mengotak- atik penelitian dan belajar otodidak tentang dunia farmasi, tapi semua masih gagal. Ada sih yang berhasil, ta
Enjoy Reading.***Aku membuka mataku dan seperti biasa, wajah dingin Daniel sudah menyambutku, bosku itu kenapa jadi macam kulkas begitu, perasaan dulu waktu kecil manis banget deh."Marco!""Hmm." Karena malas melihat Daniel mode introgasi aku memilih memejamkan mataku, jangan sampai kena hipnotisnya, kan bahaya."Jangan pura- pura tidur.""Nggak bos, tapi aku emang masih ngantuk," jawabku masih dengan memejamkan mata.Aku mendengar Daniel menggeser duduknya lebih "Kenapa kamu nyuri data pribadiku dan menyusul ke Bali?""Karena ada yang janggal dengan misimu." "Bagaimana kamu tahu kalau ada yang janggal." "Tahu saja, sudah nggak usah di bahas, yang penting kan bos selamat.""Tapi kamu hampir nggak selamat." Aku membuka mataku dan melihat Daniel memandangku sendu."Bos khawatir padaku?" "Hmm.""Beneran?" Aku langsung duduk tegak dan meringis saat merasakan nyeri di punggungku."Bodoh, kenap
Enjoy Reading.***Aku sedang melakukan pemanasan di ruang latihan khusus yang disediakan di rumah milik Daniel.Sudah seminggu sejak aku melihat Daniel bersama Joe, dan setelahnya aku tidak bisa menemuinya lagi. Padahal aku masih kangen padanya, berharap mengobrol sedikit atau sekadar menyapa saja, tapi saying, sepertinya Daniel sudah dimonopoli oleh Joe, makanya dia tidak pulang. Dia bahkan mengabaikan latihan."Pukul yang benar, seperti ini," ucap si codet dan mempraktikkan pukulan dan tendangannya ke arah samsak, ekspresinya terlihat kesal saat melihatku latihan dengan setengah hati."Kamu harus latihan keras agar tidak mengecewakan Tuan Jack, aku tidak mau dianggap tidak becus melatihmu."Aku mendesah dan mengambil ancang- ancang, tapi baru aku akan mempraktikkan apa yang diajarkan si codet, saat itulah Daniel masuk dan lagi- lagi dengan Joe."Sudah cukup pemanasannya."Si codet mengangguk dan langsung menyingkir dar
Enjoy Reading.***Aku memandang Daniel bingung, kenapa dia menatapku seolah aku ini orang asing?"Kamu ngomong apaan sih?" tanyaku heran saat dia akan beranjak pergi, seolah keberadaanku tidaklah penting sama sekali.Daniel berbalik lagi dan menatapku datar. "Sepertinya lukanya lumayan parah, makanya dia jadi bodoh. Jelaskan padanya siapa aku dan posisinya sekarang, aku harus pergi menjemput Joe."Joe? Aku Jhonathan adikmu. Masa nggak kenal sih?Lagipula sejak kapan Jojo jadi Joe?Aku menoleh pada satu orang lagi yang ada di ruangan ini, dia berwajah seram dengan bekas luka di wajahnya, cocok banget jadi mafia."Daniel tunggu," panggilku kesal, dia benar- benar mengacuhkanku. Heran deh, nggak kangen apa sama aku?Aku melihat tubuhnya menegang sebentar lalu memandangku dengan raut sedikit terkejut."Dari mana kamu tahu namaku? Aku ingat aku tidak menyebut nama Daniel di hadapanmu."Hell, kok dia semakin aneh, ya
Enjoy Reading***Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Tempat ribuan orang menggantungkan nasibnya, tempat orang menggapai cita- citanya sekaligus tempat orang kehilangan harapannya.Jakarta, di sinilah aku tinggal sekarang, bersama dengan ke- empat adikku dan Emak. 6 orang dalam satu kontrakan dengan 3 ruangan, satu ruang untuk tidur, satu ruang untuk dapur dan satu lagi kamar mandi.Sempit, memang sempit, tapi hanya segitu rumah kontrakan yang mampu dibayar Emak. Yaitu 600 ribu sebulan, tidak termasuk listrik dan pam. Jadi, satu bulan Emak bisa mengeluarkan 800-1 juta rupiah setiap bulan untuk tempat tinggal.Emak bekerja sebagi asisten rumah tangga di apartemen- apartemen elite tidak jauh dari lokasi kontrakan kami. Beliau bebersih, tapi kadang nyuci dan nyetrika juga. Tergantung permintaan pemilik apartemen.Saat ini Emak menangani 4 apartemen, jadi Emak biasa berangkat pukul 4 pagi sampai jam 2 sore. Kadang kalau sedang banyak kerjaan, bisa sam
Enjoy Reading.***Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Tempat ribuan orang menggantungkan nasibnya, tempat orang menggapai cita- citanya sekaligus tempat orang kehilangan harapannya.Jakarta, di sinilah aku tinggal sekarang, bersama dengan ke- empat adikku dan Emak. 6 orang dalam satu kontrakan dengan 3 ruangan, satu ruang untuk tidur, satu ruang untuk dapur dan satu lagi kamar mandi.Sempit, memang sempit, tapi hanya segitu rumah kontrakan yang mampu dibayar Emak. Yaitu 600 ribu sebulan, tidak termasuk listrik dan pam. Jadi, satu bulan Emak bisa mengeluarkan 800-1 juta rupiah setiap bulan untuk tempat tinggal.Emak bekerja sebagi asisten rumah tangga di apartemen- apartemen elite tidak jauh dari lokasi kontrakan kami. Beliau bebersih, tapi kadang nyuci dan nyetrika juga. Tergantung permintaan pemilik apartemen.Saat ini Emak menangani 4 apartemen, jadi Emak biasa berangkat pukul 4 pagi sampai jam 2 sore. Kadang kalau sedang banyak kerjaan, bisa sa
Enjoy Reading.***Aku seorang Pangeran Cavendish. Aku seorang Abdul Rachim, dan di sinilah aku, berada di tempat yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.Aku sudah biasa jadi pusat perhatian, aku sudah biasa dipamerkan. Tapi lihatlah sekarang, aku di arak keliling kampung menggunakan Kerbau. Iyups Kerbau, binatang besar, hitam dan bau.Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu. Ini semua perbuatan si kodok ngorek itu. Apanya yang tidak dibayarin? Apanya yang bukan belas kasihan. Ini lebih parah dari itu, ini pembully-an.Kita memang sunat bersama, kita merayakan juga bersama. Tapi dia di sunat dengan laser, aku di sunat manual.Dia di arak dengan kuda dan iringan Reog Ponerogo, aku di arak dengan kerbau dan beberapa kambing yang sudah dihias. Ini penistaan. Dan aku pasti akan membalasnya.Jika mutilasi di khalalkan, aku pasti sudah memutilasinya. Kalau perlu dagingnya aku jadikan tumpeng selamatan khitana
Enjoy Reading.***3 BULAN KEMUDIAN."Marcel, Misel, Miko, Millo, Bangunnnnnn."Aku melihat Adik- adikku masih menggeliat malas. "Bentar lagi Mas," rengek Marcel."5 menit saja." Misel menguap lebar. Sedang Miko dan Millo tidak berkutik sama sekali.Baiklah. Cara A tidak berhasil, sekarang gunakan cara B. Aku mengambil sandal jepitku yang ber- merk swallow dan memukulnya di atas meja berkali- kali dengan keras.Plakk! Plaakkk!"Bangunnnn woyy bangun, bangunnn. Gempa, gempaaa."Misell, Miko dan Millo langsung gelagapan dan meloncat dari ranjang, sedang Marcell malah mengambil bantal dan menutup telinganya, dasar bocah bandel."Marcel, aku hitung sampai 3, kalau tidak bangun, aku siram nih."Marcel mengintip sebentar lalu bergumam tentang aku yang tidak membawa ember, dan lagi- lagi menyungsupkan wajahnya ke balik bantal."Marcel 1, 2, 3. Oke, itu pilihanmu." Aku menarik bantal yang
Enjoy Reading.***Takdir kehidupan. Siapa yang tahu. Semua boleh berharap. Semua boleh bermimpi. Tapi....Jika sang takdir sudah datang. Doa sekhusuk apa pun.Usaha sekeras apa pun.Tidak akan bisa menghalanginya.Takdir sudah berkata, dan aku harus bisa menerimaya.Walau itu pahit.mWalau itu sakit.Tiada pilihan yang diberikan, kami harus rela mengikhlaskannya.***Aku memandang rumah yang biasa ramai kini terlihat legang.10 hari yang lalu aku masih bercengkerama denganBapak, bercanda, belajar dan berebut remote saat menonton tv.Sekarang rumah ini hanya berisi duka. Emak mengurung diri di kamar, Marcell dan Miscell hanya terdiam sedih, sedang Miko dan Millo masih terlalu kecil untuk paham dengan apa yang terjadi.10 har