Enjoy Reading.
***
2 BULAN SEBELUMNYA.
"Aku membunuh Jojo, aku membunuh Jojo, aku membunuhnya." Pete terus meracau memandang tangannya yang berlumuran darah dan memandang Jhonathan yang tergeletak di hadapannya.
Pauline memandang Pete dengan wajah malas.
"Dia sudah meninggal Nona," ucap anak buahnya setelah memeriksa Jhonathan.
"Bagus, Pete ayo pergi."
Pete menggeleng panik. "Tidak, jangan tinggalkan Jojo sendiri, kita harus membawanya ke rumah sakit."
Plakkk.
Pauline menampar lalu menjambak rambut Pete hingga wajahnya tepat di hadapannya.
"Adikku sayang, tenangkan dirimu, kamu tidak membunuh Jhonathan, kamu membunuh orang yang menyakiti Jhonathan." Pauline mengelus wajah Pete sayang dan menanamkan sugestinya.
"Sekarang tidurlah, kamu pasti lelah."
Pete mengangguk patuh dan langsung berada di bawah pengaruh hipnotis hingga sepersekian detik setelahnya dia sudah tertidur.
Pauline memandang anak buahnya dan memberi kode agar mereka membawa Pete bersamanya.
"Hapus semua sidik jari, dan pastikan Pete tidak kembali pada keluarga Cavendish. Jadikan dia Mafia, gelandangan, terserah. yang penting aku ingin Pete jadi boneka yang berguna untukku kelak."
"Baik nona"
Pauline tersenyum puas dan meninggalkan TKP begitu saja.
"Ini baru pembalasan pertama, aku pastikan keluarga Cavendish akan berada di telapak kakiku," batin Pauline sambil tertawa senang.
BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
"Yang mulia, Pangeran Jhonathan berhasil ditemukan."
Petter langsung menghampiri anak buahnya. "Di mana dia?"
Anak buah Petter menyingkir dan mempersilakan rekannya yang membawa jasad Jhonathan untuk mendekat.
Petter, Paul memandang ngeri tubuh Jhonathan yang berlumuran darah segar. Stevanie langsung jatuh pingsan.
Daniel yang mendengar suara ribut langsung keluar dari ruang belajarnya, saat menuruni tangga di istana Cavendish, dia melihat orang- orang dengan pandangan aneh.
"Ada apa? kenapa kalian memandangku seperti itu?" tanya Daniel bingung. Lalu matanya melihat tubuh kecil yang tergeletak di lantai dengan penuh darah.
Saat itulah Daniel merasa dunianya runtuh.
***
Stevanie tidak memperdulikan perkataan Petter yang sudah menyerah dengan kematian Jhonathan. dengan tekad bulat dan air mata yang tidak berhenti berlinang, dia membawa tubuh Jhonathan kepada ayahnya.
"Ayah, aku mohon selamatkan Jhonathan." Stevanie bersimpuh di kaki sang Ayah, tidak mau beranjak sedikit pun sebelum Raja Cavendish itu mengabulkan permohonannya.
"Ayah juga ingin Jojo kembali, tapi itu mustahil sayang, ayah bukan Dewa yang bisa menghidupkan manusia."
"Setidaknya cobalah Ayah, aku mohon."
Raja sudah cukup hancur dengan kehilangan Jhonathan, cucu kesayangannya. Dan dia lebih hancur lagi saat melihat putri semata wayangnya meratap sedih.
"Baiklah, ayah akan mencoba, tapi ... jangan berharap."
Stevanie mengangguk dan langsung memeluk ayahnya erat.
Tapi sayang seribu sayang, berapa obat pun, berapa injeksi pun dan berapa pun usaha yang dilakukan Raja Cavendish dan Stevanie, tidak ada yang berhasil menghidupkan Jhonathan.
Semua percuma dan hanya menambah kesedihan belaka.
Hingga satu minggu setelah kematian Jhonathan,
akhirnya keluarga kerajaan menyerah dan mengikhlaskannya.
***
"Jangan menguburkan Jhonathan di Cavendish." Petter dan Stevanie memandang sang Raja bingung.
"Baru seminggu yang lalu kita mengadakan perayaan ulang tahun untuknya, jangan buat rakyat ikut berduka, kalau perlu jangan sampai ada yang tahu bahwa Pangeran Cavendish meninggal dunia. Itu bisa menimbulkan kepanikan massal dan keresahan."
"Tapi Ayah."
"Kita belum menemukan tersangka utamanya, dan Pete juga menghilang. Kita tidak membutuhkan huru hara yang menyita perhatian, sebaiknya fokus mencari Pete saja."
Akhirnya semua sepakat tidak mengumumkan kematian sang Pangeran dan menguburkan jenazah Jhonathan di luar Cavendish, yaitu di Negara Indonesia. Kenapa di sana? Selain karena mereka memiliki cabang Save security di sana. Di Negara itu juga masih memiliki wilayah yang belum terjamah, sehingga mereka yakin tidak ada yang mengusik makam sang Pangeran.
Di lain pihak, mereka juga mengirim Daniel ke negara yang sama. Selain agar Daniel merasa dekat dengan adiknya, mereka juga mengkhawatirkan kejiwaan Daniel yang selalu menyalahkan diri sendiri jika terus mengingat Jhonathan. Dan kerajaan Cavendish bukanlah tempat yang tepat untuk Daniel saat ini, karena di sana terlalu memiliki banyak kenangan yang akan menyiksanya.
Sejak saat itu. Hari ulang tahun Jhonathan dan Daniel tidak pernah dirayakan lagi, dan menjadi hari berkabung untuk keluarga Cavendish dan Cohza. Rakyat hanya tahu kedua Pangeran Cavendish sedang belajar ke luar Negeri untuk waktu yang tidak di tentukan.
Bahkan karena Stevanie yang suka bersedih saat mengingat Jhonathan. Akhirnya foto Pangeran Daniel dan Jhonathan dilepas dari seluruh dinding Istana. Dan tidak ada satu pun anggota Kerajaan yang di perbolehkan menyebut nama sang Pangeran.
Hingga akhirnya nama Jhonathan Cohza Cavendish seperti terhapus dari peradapan.
***
Di sebuah wilayah di Indonesia.
Aku mendengar suara berisik yang mengganggu tidur lelapku. Saat mataku terbuka, aku melihat seorang wanita muda yang mungkin berusia sekitar 25 tahun sedang memandangku khawatir, di belakangnya ada pria yang mungkin memiliki usia lebih tua 2- 3 tahun saja.
"Al khamdulillah Pak, bocahe wes sadar."
Aku mengernyit bingung? Mereka ngomong apaan sih?
"Jenengmu sopo le? (Namamu siapa nak?)."
Hening.
"Pak anak ini bisu apa ya? Dari tadi aku ngomong kok diem saja?"
"Raine wae londo Buk, ora mudeng mesti. (Wajahnya saja bule, pasti tidak paham)."
Aku merasa ada yang menarik kausku. Tunggu dulu? Kaos? Aku memandang tubuhku yang sudah bersih dan sudah berganti pakaian, aku juga menyadari aku berada di sebuah kamar.
Aku melihat 4 orang anak kecil memandangiku penasaran.
"Kakak ganteng."
"Kakak bule."
"Namanya siapa?"
Oke, mereka juga berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Apa aku sekarang ini sedang di buang di Negara antah berantah dan tidak akan ditemukan? Jika benar, berarti ini buruk, sangat buruk.
Kaosku ditarik- tarik lagi oleh anak kecil yang paling besar, sedang wanita dan laki- laki yang aku yakin adalah suami istri itu sedang berdebat entah apa.
Aku memandangi bocah-bocah yang masih melihatku penasaran. Baiklah, aku bukan tontonan. Maka dengan meniru Daniel, aku memandang mereka tajam tanpa berkedip. Sontak ke- 4 bocah itu langsung menunduk tidak berani melihat wajahku lagi. Bagus, walau sedikit setidaknya aku juga mewarisi bakat intimidasi Daddy-ku.
"Toleee." Aku memandang wanita yang sepertinya ingin berbicara denganku.
"Aku Mak Rina, ini Pak Ridwan, ini Marcell, ini Micell, ini Miko, dan ini Milo."
Wanita itu menunjuk satu persatu orang yang ada di hadapanku, sepertinya dia sedang memperkenalkan diri.
"Bocah iki bisu tenan Pak, wes kono ndang nang kantor polisi, sopo ngerti wong tuane nggoleki (Anak ini bisu beneran Pak, sana pergi ke kantor polisi, siapa tahu orangtuanya mencari)."
Lalu tidak berapa lama banyak orang masuk. Fix, aku menjadi tontonan sekarang, dan aku tidak suka itu. Bahkan ada yang terang- terangan memfotoku, seolah aku ini makhluk langka.
Aku melirik ke samping dan mendapati ada kamar mandi di sebelah sana, dengan santai aku turun dari ranjang dan melewati orang-orang yang penasaran, tanpa memperdulikan sopan santun aku menutup pintu kamar mandi dengan sangat keras. Lalu tidak berapa lama kemudian kamar yang aku tiduri tadi terdengar hening. Bagus, mereka mengerti kode dariku.
Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati wanita yang mengaku bernama mak Rina sedang tersenyum ke arahku, aku melihat ke sekeliling dan memang sudah tidak ada siapa pun.
"Maem dulu le. (Makan dulu, Nak)."
Mak Rina menaruh sepiring nasi dan beberapa sayuran yang aku tidak tahu namanya. Aku tidak merasa lapar tapi aku menghargai usaha Tuan rumah yang ingin melayani aku, walau aku tidak tahu jenis makanan apa ini.
Aku duduk dan mulai menyuap, seketika wajahku memerah. Ini sangat pedassssssss.
Aku menyambar minuman di samping piring dan menenggaknya habis. Aku lihat Mak Rina malah tertawa melihat tingkahku.
"Maeme dicampur le, ojo sambel tok. (Makannya dicampur nak, jangan sambel doang)." Lalu, aku melihat dia menuang sayur ke dalam nasi dan memperagakan cara makannya. Aku mengikuti caranya. Rasa makanan itu asing, tapi harus aku akui, aku lumayan menyukainya.
Mak Rina terus bicara sambil menungguiku makan, dan entah kenapa aku merasa langsung tenang.
***
SETAHUN.
Setahun adalah waktu yang bisa dikatakan sangat cepat bagi sebagian orang, tapi setahun juga bisa menjadi waktu yang sangat lambat bagi sebagian yang lain.
Dan setahun bagiku seperti sangat lambat saat aku mengingat Daniel dan mengharapkan keluarga Cohza dan Cavendish menemukan diriku. Tapi, setahun ini juga terasa sangat cepat saat aku menghabiskan waktuku dengan keluarga Pak Ridwan dan Mak Rina.
Aku masih membisu, belum membuka suaraku sama sekali. Itu terjadi karena awalnya aku tidak mengerti bahasa mereka, tapi otakku ini cerdas, tidak butuh waktu lama sampai aku tahu apa saja yang mereka bicarakan. Tapi, aku terlanjur nyaman dengan kediamanku, aku terlanjur senang mengamati orang tanpa harus capek- capek menyapa mereka satu persatu.
Aku tahu sekarang aku tinggal di Jogja, salah satu Kota Wisata di bagian Negara Indonesia. Mommy dulu pernah menceritakan tentang Bali yang indah tapi semua bagian negara ini memang terasa indah buatku. di sini adalah tempatnya kampung para nelayan, setiap hari para pria yang sudah dewasa menerjang ombak untuk menangkap ikan. sedang para wanita membersihkan dan menjualnya, ada yang mengeringkannya juga.
Aku sempat bingung karena di hari kebangkitanku saat aku mencapai kampung ini tidak ada seorang pun yang terjaga, padahal sekarang aku bisa melihat dini hari pun kampung ini sangat ramai, apalagi di bagian pantai. Tapi aku teringat di hari aku sampai di sini, saat itu hujan deras dan ombak sedang tinggi serta rawan badai, sehingga nelayan di sini memilih tidak melaut.
Aku masih menunggu, menunggu dan berharap ada yang menemukanku, tapi walau Pak Ridwan sudah melaporkan keberadaanku ke kantor polisi, tapi anehnya tidak ada satu pun yang menemuiku sampai sekarang. Akhirnya saat dirasa tidak ada keluarga yang mengambilku, dengan senang hati Mak Rina mengangkatku jadi anaknya dan diberi nama Marco.
Ini baru pukul 3 pagi saat aku mendengar suara berisik dari meja makan. Aku menghampiri Mak Rina yang sibuk mengatur makanan sendirian, sedang 4 M—Marcell, Miscell, Miko dan Millo)—terlihat duduk dengan wajah mengantuk.
'"Eh, kamu kebangun ya le?"
Aku memandang Mak Rina bingung, karena sepagian ini seluruh keluarga sudah akan sarapan.
"Kamu mau ikutan sahur?"
Aku mengernyit bingung. Sahur?
"Sahur itu makan pagi sebelum seharian nanti kita semua puasa."
Puasa?
"Kami umat Islam setiap Ramadhan selalu menjalankan ibadah yang namanya puasa, tidak boleh makan dan minum seharian selama sebulan penuh."
Aku melihat 4 M ragu.
"Mereka juga akan ikut puasa, tapi masih setengah hari."
Aku mengangguk dan ikut sarapan atau sahur kata si emak.
Awalnya hanya iseng karena tidak ada yang aku kerjakan, makanya aku ikut puasa, toh aku tidak lapar ini. Lagi pula aku tidak tega melihat Emak Rina tetap menyediakan makan untukku, sedang dia sendiri tidak makan.
Lama kelamaan aku suka mengikuti Marcell ke surau atau langgar atau istilah umumnya adalah Masjid saat ada anak- anak lain yang bermain dan berkumpul sambil antri takjil. Mak Rina semula melarang karena tahu aku bukan seorang muslim, tapi melihat keingintahuanku, akhirnya dia pasrah dan membiarkan aku mengikuti semua kegiatan Marcell dan adik- adikku. Terasa aneh awalnya menyebut itu, karena memiliki adik adalah hal yang tidak pernah aku bayangkan seumur hidupku.
Aku sekarang juga sudah mulai berbaur dengan penduduk sekitar, ikut berbelanja ke pasar, ikut ke TPA dan ikut ke sekolah. Tapi, aku masih betah diam dan tidak ada niat membuka mulut dalam waktu dekat. Bagi masyarakat sekitar aku adalah anak blasteran nyasar yang tunawicara.
Cukup itu saja yang harus mereka tahu.
***
TBC
Enjoy Reading.***Aku terbangun saat mendengar suara Pak Ridwan yang akan mulai menerjang ombak bersama kapal demi mencari ikan. Saat ini masih dini hari, dan seperti bisa Emak sudah membantu menyiapkan beberapa keperluan Pak Ridwan.Saat ini aku berada di Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lebih tepatnya di Pantai Ngrenehan dengan penduduk yang 75% berprofesi sebagai nelayan.Mereka akan berangkat melaut sebelum fajar, dan akan kembali saat tengah hari. Lalu hasil tangkapan biasanya akan langsung dibawa ke TPI (Tempat pelelangan ikan). Ada yang langsung dijual ke penadah untuk dibawa ke luar kota,a juga yang dijual eceran atau pengunjung yang berdatangan. Selain itu ada yang dijual matang. seperti Emak Rina.Emak memiliki warung makan di bibir Pantai Ngrengehan, biasanya hasil tangkapan Pak Ridwan, terutama ikan bawal akan dijual di warung Emak. Sedang sisanya dibawa ke TPI. Karena menu andalan di s
Enjoy Reading.***"Marco kamu bantu Emak cari Adek- adekmu ya, ini udah lewat makan siang, tapi adekmu masih main dan belum pulang."Aku mengangguk sambil mengikuti Emak ke arah pantai, tempat 4 M izin bermain tadi.Emak masih sibuk nanya nelayan di sekitar tentang keberadaan Marcell, Micell, Miko dan Millo saat aku merasa melihat mereka sejenak.Aku berjalan, dan memang benar itu 4 M. Tapi mereka tidak sendirian, ada 3 orang lain yang lebih besar. Sepertinya mereka seumuran denganku, dan aku mengenali salah satunya adalah anak dari Bos Kapal. Sedang dua lainnya teman sekelasnya.Kapal di sini memang sebagian besar adalah kapal sewaan, tapi ada juga nelayan yang memiliki kapal sendiri, dan syukurlah Bapak dan Emak salah satu yang memiliki kapal sendiri.Aku sering mendengar para nelayan mengeluh karena berpenghasilan rendah, kadang bahkan merugi karena hasil tangkapan tidak sesuai prediksi. Padahal mereka harus membayar sewa kapal da
Enjoy Reading.***"Marco."Aku mengernyit bingung, ini ngapain cecurut Eko dateng ke rumahku."Apaan?"Aku melihatnya berdiri gelisah dan meremas tangannya gugup. "Em ... bisa bicara berdua?"Aku melihat Marcel yang memandangku was- was.Aku tersenyum menenangkan."Mas keluar bentar ya Dek, jaga yang lain." Aku menepuk pundak Marcell dan keluar dari halaman menuju pohon dekat rumah."Ada apaan?""Em ... aku mau minta maaf."Alisku terangkat sebelah, habis keselek apa ini kodok, tiba- tiba datang minta maaf."Kata orang pinter, aku ada salah sama orang, makanya sudah seminggu ini aku sial terus. Katanya aku dikutuk dan harus minta maaf sama orang yang aku jahatin biar tidak sial lagi."Wowww dukun? Kutukan? Hahhaaa, aku pengen ketawa ngakak. Aku yang ngerjain dia kali. Malah di kira kutukan. Biarlah, aku diam saja, aku memandangnya dengan wajah datar yang s
Enjoy Reading.***Takdir kehidupan. Siapa yang tahu. Semua boleh berharap. Semua boleh bermimpi. Tapi....Jika sang takdir sudah datang. Doa sekhusuk apa pun.Usaha sekeras apa pun.Tidak akan bisa menghalanginya.Takdir sudah berkata, dan aku harus bisa menerimaya.Walau itu pahit.mWalau itu sakit.Tiada pilihan yang diberikan, kami harus rela mengikhlaskannya.***Aku memandang rumah yang biasa ramai kini terlihat legang.10 hari yang lalu aku masih bercengkerama denganBapak, bercanda, belajar dan berebut remote saat menonton tv.Sekarang rumah ini hanya berisi duka. Emak mengurung diri di kamar, Marcell dan Miscell hanya terdiam sedih, sedang Miko dan Millo masih terlalu kecil untuk paham dengan apa yang terjadi.10 har
Enjoy Reading.***3 BULAN KEMUDIAN."Marcel, Misel, Miko, Millo, Bangunnnnnn."Aku melihat Adik- adikku masih menggeliat malas. "Bentar lagi Mas," rengek Marcel."5 menit saja." Misel menguap lebar. Sedang Miko dan Millo tidak berkutik sama sekali.Baiklah. Cara A tidak berhasil, sekarang gunakan cara B. Aku mengambil sandal jepitku yang ber- merk swallow dan memukulnya di atas meja berkali- kali dengan keras.Plakk! Plaakkk!"Bangunnnn woyy bangun, bangunnn. Gempa, gempaaa."Misell, Miko dan Millo langsung gelagapan dan meloncat dari ranjang, sedang Marcell malah mengambil bantal dan menutup telinganya, dasar bocah bandel."Marcel, aku hitung sampai 3, kalau tidak bangun, aku siram nih."Marcel mengintip sebentar lalu bergumam tentang aku yang tidak membawa ember, dan lagi- lagi menyungsupkan wajahnya ke balik bantal."Marcel 1, 2, 3. Oke, itu pilihanmu." Aku menarik bantal yang
Enjoy Reading.***Aku seorang Pangeran Cavendish. Aku seorang Abdul Rachim, dan di sinilah aku, berada di tempat yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.Aku sudah biasa jadi pusat perhatian, aku sudah biasa dipamerkan. Tapi lihatlah sekarang, aku di arak keliling kampung menggunakan Kerbau. Iyups Kerbau, binatang besar, hitam dan bau.Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu. Ini semua perbuatan si kodok ngorek itu. Apanya yang tidak dibayarin? Apanya yang bukan belas kasihan. Ini lebih parah dari itu, ini pembully-an.Kita memang sunat bersama, kita merayakan juga bersama. Tapi dia di sunat dengan laser, aku di sunat manual.Dia di arak dengan kuda dan iringan Reog Ponerogo, aku di arak dengan kerbau dan beberapa kambing yang sudah dihias. Ini penistaan. Dan aku pasti akan membalasnya.Jika mutilasi di khalalkan, aku pasti sudah memutilasinya. Kalau perlu dagingnya aku jadikan tumpeng selamatan khitana
Enjoy Reading.***Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Tempat ribuan orang menggantungkan nasibnya, tempat orang menggapai cita- citanya sekaligus tempat orang kehilangan harapannya.Jakarta, di sinilah aku tinggal sekarang, bersama dengan ke- empat adikku dan Emak. 6 orang dalam satu kontrakan dengan 3 ruangan, satu ruang untuk tidur, satu ruang untuk dapur dan satu lagi kamar mandi.Sempit, memang sempit, tapi hanya segitu rumah kontrakan yang mampu dibayar Emak. Yaitu 600 ribu sebulan, tidak termasuk listrik dan pam. Jadi, satu bulan Emak bisa mengeluarkan 800-1 juta rupiah setiap bulan untuk tempat tinggal.Emak bekerja sebagi asisten rumah tangga di apartemen- apartemen elite tidak jauh dari lokasi kontrakan kami. Beliau bebersih, tapi kadang nyuci dan nyetrika juga. Tergantung permintaan pemilik apartemen.Saat ini Emak menangani 4 apartemen, jadi Emak biasa berangkat pukul 4 pagi sampai jam 2 sore. Kadang kalau sedang banyak kerjaan, bisa sa
Enjoy Reading***Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Tempat ribuan orang menggantungkan nasibnya, tempat orang menggapai cita- citanya sekaligus tempat orang kehilangan harapannya.Jakarta, di sinilah aku tinggal sekarang, bersama dengan ke- empat adikku dan Emak. 6 orang dalam satu kontrakan dengan 3 ruangan, satu ruang untuk tidur, satu ruang untuk dapur dan satu lagi kamar mandi.Sempit, memang sempit, tapi hanya segitu rumah kontrakan yang mampu dibayar Emak. Yaitu 600 ribu sebulan, tidak termasuk listrik dan pam. Jadi, satu bulan Emak bisa mengeluarkan 800-1 juta rupiah setiap bulan untuk tempat tinggal.Emak bekerja sebagi asisten rumah tangga di apartemen- apartemen elite tidak jauh dari lokasi kontrakan kami. Beliau bebersih, tapi kadang nyuci dan nyetrika juga. Tergantung permintaan pemilik apartemen.Saat ini Emak menangani 4 apartemen, jadi Emak biasa berangkat pukul 4 pagi sampai jam 2 sore. Kadang kalau sedang banyak kerjaan, bisa sam
Enjoy Reading.***Aku memandang kamera cctv di depanku dengan jengkel, sudah 3 Tahun berlalu, dan aku belum bisa masuk ke Cavendish. Uncle Paul benar- benar menjaga kerajaan itu dengan ketat.Aku kangen sama Mom dan Daddy, dan aku bahkan belum melihat makam Kakek, orang yang paling menyayangiku selama ini.Aku memandang ke atas, di mana kerajaan Cavendish berada. Ya, secara resmi aku belum bisa memasuki kerajaan itu, tapi secara ilegal aku sudah di sini dari 2 Tahun yang lalu. Tentu saja sebagai Red 01. Aku membangun ruang bawah tanah di mana bekas laboratorium milik Kakek dulu pernah diberikan padaku.Sesuai dugaanku, laboratorium ini terbengkalai tidak di gunakan lagi. Karena memang Mommy-ku tidak mengetahui keberadaannya. Dan Kakek hanya mewariskannya padaku.Aku melihat ruangan yang masih banyak kosong itu, aku sudah 2 Tahun mengotak- atik penelitian dan belajar otodidak tentang dunia farmasi, tapi semua masih gagal. Ada sih yang berhasil, ta
Enjoy Reading.***Aku membuka mataku dan seperti biasa, wajah dingin Daniel sudah menyambutku, bosku itu kenapa jadi macam kulkas begitu, perasaan dulu waktu kecil manis banget deh."Marco!""Hmm." Karena malas melihat Daniel mode introgasi aku memilih memejamkan mataku, jangan sampai kena hipnotisnya, kan bahaya."Jangan pura- pura tidur.""Nggak bos, tapi aku emang masih ngantuk," jawabku masih dengan memejamkan mata.Aku mendengar Daniel menggeser duduknya lebih "Kenapa kamu nyuri data pribadiku dan menyusul ke Bali?""Karena ada yang janggal dengan misimu." "Bagaimana kamu tahu kalau ada yang janggal." "Tahu saja, sudah nggak usah di bahas, yang penting kan bos selamat.""Tapi kamu hampir nggak selamat." Aku membuka mataku dan melihat Daniel memandangku sendu."Bos khawatir padaku?" "Hmm.""Beneran?" Aku langsung duduk tegak dan meringis saat merasakan nyeri di punggungku."Bodoh, kenap
Enjoy Reading.***Aku sedang melakukan pemanasan di ruang latihan khusus yang disediakan di rumah milik Daniel.Sudah seminggu sejak aku melihat Daniel bersama Joe, dan setelahnya aku tidak bisa menemuinya lagi. Padahal aku masih kangen padanya, berharap mengobrol sedikit atau sekadar menyapa saja, tapi saying, sepertinya Daniel sudah dimonopoli oleh Joe, makanya dia tidak pulang. Dia bahkan mengabaikan latihan."Pukul yang benar, seperti ini," ucap si codet dan mempraktikkan pukulan dan tendangannya ke arah samsak, ekspresinya terlihat kesal saat melihatku latihan dengan setengah hati."Kamu harus latihan keras agar tidak mengecewakan Tuan Jack, aku tidak mau dianggap tidak becus melatihmu."Aku mendesah dan mengambil ancang- ancang, tapi baru aku akan mempraktikkan apa yang diajarkan si codet, saat itulah Daniel masuk dan lagi- lagi dengan Joe."Sudah cukup pemanasannya."Si codet mengangguk dan langsung menyingkir dar
Enjoy Reading.***Aku memandang Daniel bingung, kenapa dia menatapku seolah aku ini orang asing?"Kamu ngomong apaan sih?" tanyaku heran saat dia akan beranjak pergi, seolah keberadaanku tidaklah penting sama sekali.Daniel berbalik lagi dan menatapku datar. "Sepertinya lukanya lumayan parah, makanya dia jadi bodoh. Jelaskan padanya siapa aku dan posisinya sekarang, aku harus pergi menjemput Joe."Joe? Aku Jhonathan adikmu. Masa nggak kenal sih?Lagipula sejak kapan Jojo jadi Joe?Aku menoleh pada satu orang lagi yang ada di ruangan ini, dia berwajah seram dengan bekas luka di wajahnya, cocok banget jadi mafia."Daniel tunggu," panggilku kesal, dia benar- benar mengacuhkanku. Heran deh, nggak kangen apa sama aku?Aku melihat tubuhnya menegang sebentar lalu memandangku dengan raut sedikit terkejut."Dari mana kamu tahu namaku? Aku ingat aku tidak menyebut nama Daniel di hadapanmu."Hell, kok dia semakin aneh, ya
Enjoy Reading***Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Tempat ribuan orang menggantungkan nasibnya, tempat orang menggapai cita- citanya sekaligus tempat orang kehilangan harapannya.Jakarta, di sinilah aku tinggal sekarang, bersama dengan ke- empat adikku dan Emak. 6 orang dalam satu kontrakan dengan 3 ruangan, satu ruang untuk tidur, satu ruang untuk dapur dan satu lagi kamar mandi.Sempit, memang sempit, tapi hanya segitu rumah kontrakan yang mampu dibayar Emak. Yaitu 600 ribu sebulan, tidak termasuk listrik dan pam. Jadi, satu bulan Emak bisa mengeluarkan 800-1 juta rupiah setiap bulan untuk tempat tinggal.Emak bekerja sebagi asisten rumah tangga di apartemen- apartemen elite tidak jauh dari lokasi kontrakan kami. Beliau bebersih, tapi kadang nyuci dan nyetrika juga. Tergantung permintaan pemilik apartemen.Saat ini Emak menangani 4 apartemen, jadi Emak biasa berangkat pukul 4 pagi sampai jam 2 sore. Kadang kalau sedang banyak kerjaan, bisa sam
Enjoy Reading.***Jakarta, Ibu Kota Indonesia. Tempat ribuan orang menggantungkan nasibnya, tempat orang menggapai cita- citanya sekaligus tempat orang kehilangan harapannya.Jakarta, di sinilah aku tinggal sekarang, bersama dengan ke- empat adikku dan Emak. 6 orang dalam satu kontrakan dengan 3 ruangan, satu ruang untuk tidur, satu ruang untuk dapur dan satu lagi kamar mandi.Sempit, memang sempit, tapi hanya segitu rumah kontrakan yang mampu dibayar Emak. Yaitu 600 ribu sebulan, tidak termasuk listrik dan pam. Jadi, satu bulan Emak bisa mengeluarkan 800-1 juta rupiah setiap bulan untuk tempat tinggal.Emak bekerja sebagi asisten rumah tangga di apartemen- apartemen elite tidak jauh dari lokasi kontrakan kami. Beliau bebersih, tapi kadang nyuci dan nyetrika juga. Tergantung permintaan pemilik apartemen.Saat ini Emak menangani 4 apartemen, jadi Emak biasa berangkat pukul 4 pagi sampai jam 2 sore. Kadang kalau sedang banyak kerjaan, bisa sa
Enjoy Reading.***Aku seorang Pangeran Cavendish. Aku seorang Abdul Rachim, dan di sinilah aku, berada di tempat yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.Aku sudah biasa jadi pusat perhatian, aku sudah biasa dipamerkan. Tapi lihatlah sekarang, aku di arak keliling kampung menggunakan Kerbau. Iyups Kerbau, binatang besar, hitam dan bau.Aku menunduk menyembunyikan wajahku yang memerah karena malu. Ini semua perbuatan si kodok ngorek itu. Apanya yang tidak dibayarin? Apanya yang bukan belas kasihan. Ini lebih parah dari itu, ini pembully-an.Kita memang sunat bersama, kita merayakan juga bersama. Tapi dia di sunat dengan laser, aku di sunat manual.Dia di arak dengan kuda dan iringan Reog Ponerogo, aku di arak dengan kerbau dan beberapa kambing yang sudah dihias. Ini penistaan. Dan aku pasti akan membalasnya.Jika mutilasi di khalalkan, aku pasti sudah memutilasinya. Kalau perlu dagingnya aku jadikan tumpeng selamatan khitana
Enjoy Reading.***3 BULAN KEMUDIAN."Marcel, Misel, Miko, Millo, Bangunnnnnn."Aku melihat Adik- adikku masih menggeliat malas. "Bentar lagi Mas," rengek Marcel."5 menit saja." Misel menguap lebar. Sedang Miko dan Millo tidak berkutik sama sekali.Baiklah. Cara A tidak berhasil, sekarang gunakan cara B. Aku mengambil sandal jepitku yang ber- merk swallow dan memukulnya di atas meja berkali- kali dengan keras.Plakk! Plaakkk!"Bangunnnn woyy bangun, bangunnn. Gempa, gempaaa."Misell, Miko dan Millo langsung gelagapan dan meloncat dari ranjang, sedang Marcell malah mengambil bantal dan menutup telinganya, dasar bocah bandel."Marcel, aku hitung sampai 3, kalau tidak bangun, aku siram nih."Marcel mengintip sebentar lalu bergumam tentang aku yang tidak membawa ember, dan lagi- lagi menyungsupkan wajahnya ke balik bantal."Marcel 1, 2, 3. Oke, itu pilihanmu." Aku menarik bantal yang
Enjoy Reading.***Takdir kehidupan. Siapa yang tahu. Semua boleh berharap. Semua boleh bermimpi. Tapi....Jika sang takdir sudah datang. Doa sekhusuk apa pun.Usaha sekeras apa pun.Tidak akan bisa menghalanginya.Takdir sudah berkata, dan aku harus bisa menerimaya.Walau itu pahit.mWalau itu sakit.Tiada pilihan yang diberikan, kami harus rela mengikhlaskannya.***Aku memandang rumah yang biasa ramai kini terlihat legang.10 hari yang lalu aku masih bercengkerama denganBapak, bercanda, belajar dan berebut remote saat menonton tv.Sekarang rumah ini hanya berisi duka. Emak mengurung diri di kamar, Marcell dan Miscell hanya terdiam sedih, sedang Miko dan Millo masih terlalu kecil untuk paham dengan apa yang terjadi.10 har