Beranda / Lain / Ide Gila Bapak! / Aku Saja Yang Melamarmu

Share

Aku Saja Yang Melamarmu

Penulis: Fitriyani
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

***

"Astagfirullahaladzim ... ba-bangkai tikus, Pak. Hiiiiy." Aku bergidik ngeri, memeluk Bapak seerat mungkin. Melupakan rencana gila beliau, bagiku pemandangan di depan sana jauh lebih mengerikan.

Satu kotak berisi bangkai tikus, seakan mengocok seluruh isi perutku. Aku mual, kepala terasa pusing.

"Tenang, tenanglah, Nduk!" Dilepasnya pelukanku, dengan penuh keberanian Bapak mendekat menatap kado berisi bangkai yang entah kiriman siapa.

Harusnya aku sudah merasa tenang, tinggal di kampung. Kenapa harus ada yang begini? Isengkah dia? Tapi, untuk apa?

Bapak, membawa kado itu menjauh. Membuat napasku kembali normal, aku terduduk dengan rasa yang lemah.

Ini semua salahmu, Mas Rifal! Kamu terlalu mudah tergoda dengan janda kembang, yang kupikir tak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan aku!

Kamu bahkan, harus membiayai anaknya! Yang bukan darah dagingmu, rela melepas aku yang sudah sedari nol mendampingi.

Andai kita masih bersama, tak perlu aku pulang kampung. Mematahkan hati Bapak, membuatnya stres. Dan sekarang bangkai ini, aku merasa seperti sedang diteror.

Mas Rifal itu mantan suamiku yang terakhir, kupikir hubungan kami akan lama berujung bahagia. Nyatanya sama saja, semua lelaki sama!

"Hm." Aku terperanjat, mendengar suara seorang lelaki tinggi besar yang tengah berdiri di depan pintu. "Baru permulaan, Pak Lurah bilang semua akan dihentikan jika Nona mau menikah dengannya. Hehehe."

Aku mendengkus kasar, oi jadi ini rupanya ulah Pak Lurah? Sependek itu akalnya, mengapa dia menginginkan aku dan bukan yang lain!

"Bilang sama Bossmu, aku tak akan gentar. Aku ini sudah janda empat kali, tak mungkin aku sembarangan dalam memilih pendamping. Kecuali ...."

"Kecuali apa, Nona? Katakan!"

"Kecuali Pak Lurah mau menceraikan semua istrinya." Aku tersenyum menang, Pak Lurah tak mungkin bisa melakukannya!

Seringai menyeramkan, tampak dari lelaki tinggi penuh tato. "Baiklah, akan saya sampaikan."

Dia pergi, membawa kesalku yang tak akan pernah berujung. Ke mana Bapak? Kenapa lama sekali?

Rupanya Pak Lurah, memang tidak main-main dengan ucapannya kemarin.

"Assalammualaikum ... Dwi." Suara itu, membuat langkahku terhenti.

"Wa-waalaikumsalam, E-mir." Ya Allah kenapa aku gugup seperti ini?

"Ada apa, Mir? Bapak, sedang tidak di rumah."

"Ya, nggak apa. Aku hanya mengantarkan ini." Disodorkannya satu bungkus plastik hitam.

"Mie ayam? Kamu beli? Masih ingat juga ya sama makanan kesukaan aku, hehhe." Aku tertawa, demi mencairkan suasana. Namun, kehadiran Bapak justru membuat keadaan begitu canggung.

Raut mukanya juga tak ada ramah-ramahnya, terkesan ditekuk. Aku jadi nggak enak sama Emir, "Kamu sengaja ya menemui Dwi, saat Bapak tidak di rumah?"

Aku menepuk dahi, menatap Emir yang tampak tenang saja. "Nggak, Pak. Emir malah nggak tahu kalau Bapak nggak di rumah."

Namun, bukan jawaban. Melainkan dengkusan yang Bapak berikan, betul-betul tak sopan. Macam seorang suami yang sedang cemburu! Ya Allah, tidak jangan sampai!

"Si Emir nganterin apa, Wi?"

"Mie ayam, Bapak mau?"

"Nggaklah, Bapak sudah kenyang. Jaga hatimu, Nduk!" Aku menelan ludah, saat Bapak melewatiku begitu saja.

Seharusnya, terhadap Emir Bapak nggak perlu sedingin ini. Aku jadi nggak enak, dan serba salah.

"Maaf ya, Mir. Semenjak perceraian aku yang ke empat, beliau ... berubah." Kutundukan pandangan, bersiap mendengar apa pun jawabannya.

"Ya, aku paham. Itu jelas nggak mudah, apalagi dengan lamaran Pak Lurah kemarin. Pasti Bapak makin ketat sama kamu, Wi." Terperangah saat mendengarnya, kupikir dia tak tahu.

"Berita penolakanmu sudah tersebar di seantero kampung, semua orang sibuk membicarakannya." Benarkah? Aku jadi macam artis terkenal saja!

"Misal, ada lagi lelaki lain yang melamarmu gimana, Wi? Apa kamu akan menerimanya?"

Degh!

Ya, siapa dulu yang datang? Aku mengulum senyum, membayangkan dirinyalah yang datang dan bukan orang lain!

Dalam hati aku mengutuk diri, merasa sudah jatuh pada pesona Emir. Dulu, mana pernah aku kepikiran dia. Bukan karena dia hitam, aku merasa hubungan kami hanya sebatas teman tiada lebih.

"Dwi ...." Aku memejam, demi mendengar dia memanggil namaku begitu lembut. Sangat lembut.

"Entahlah, Mir. Aku hanya ingin sendiri dulu, lagi pula Bapak nggak akan ngasih izin buat aku nikah lagi." Tersenyum getir, bila mengingat semua ucapan beliau.

Aku menghela napas panjang, "Kenapa? Jangan jadikan kegagalan sebagai patokan. In Syaa Allah, yang terakhir ini akan jauh lebih baik, Wi."

Dahiku mengernyit, lalu, apa maksudnya?

"Pikirkanlah," lanjutnya lagi, dengan senyum menawan.

"Apa kamu belum membaca semua buku pemberianku? Di sana, ada banyak tentang pernikahan."

"Belum selesai, Mir. Nanti aku coba sambung lagi," kataku, mengangguk. Menyembunyikan senyum dengan debaran tak menentu.

"Yasudah, aku pamit. Lain kapan, mampirlah ke rumah. Ibu nanyain, kangen katanya." Aku mengangguk sekeras mungkin.

"Assalammualaikum, Wi."

"Waalaikumsalam."

Sungguh beruntung bagi wanita yang mendapatkan dirimu, Emir.

Bukan aku tentunya.

Siapalah aku? Hanya janda, yang tak jelas runtutan kehidupannya.

"Minder 'kan jadinya? Bapak sudah bilang, jaga hatimu seapik mungkin! Kasihan Emir, jika harus beristrikan kamu." Aku manyun, merasa Bapak menusuk-nusuk kalau sudah bicara.

"Apa yo nggak bisa, Wi? Kamu hidup berdua sama Bapak. Nggak papa, kita nggak perlu menikah atau kamu anggap Bapak sebagai suami. Toh itu memang gila!"

Ya, itu memang sangat menjijikan bagiku!

"Bapak ini, nggak bisa asal ngasih kamu ke lelaki mana pun seperti dulu. Bahkan Emir, meski tahu dari kecilnya gimana. Nggak bisa jamin dia setia, dan bertanggung jawab apa tidaknya."

Aku mengelus dada. Sudah, sudah matikan semua ketertarikanmu itu, Dwi!

"Yasudahlah, Pak. Nggak perlu lagi kita bahas Emir, atau lelaki mana pun. Biar Dwi begini saja, jadi janda seumur hidup. Itu 'kan yang Bapak mau?!" tanyaku, sengit.

Aku mendadak kangen Ibu, andai beliau masih hidup tentu ada yang lebih bisa kuandalkan. Dan menghadapi Bapak, dengan segala pemikiran yang kebanyakan miring itu!

"Dwi ...."

"Sudahlah, Dwi capek!" Kubanting pintu sekeras mungkin, tenggelam dalam kesedihan mendalam.

Kalau aku tak boleh menikah, minimal izinkan aku bergaul dengan Emir. Kehadiran lelaki itu membuatku tenang, bisa melupakan masalah yang terus menghantui.

Satu-satunya teman curhatku ya Risma. Tapi, hari ini dia absen. Pergi ke rumah mertua katanya, nasibmu Ris memang paling bagus dibanding aku!

Tok tok tok ....

Aku tersentak, apakah ... apakah itu Emir?

Aku berjalan menuju jendela, sosok teman SDku itu muncul dengan senyum manisnya. Yang entah sejak kapan, membuatku selalu berdebar.

"Dwi, aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Karena aku kamu jadi dimarahi Bapak."

"Ya."

"Dwi, bagaimana kalau aku saja yang melamarmu?"

"Hah?! Apa?!"

"Ssssst, pelankan suaramu!"

"Kamu melamar, atau ngasih tawaran, Mir?"

"Aku melamar."

Aku mendengkus, melamar kagak ada romantis-romantisnya. Jauh sama mantan-mantanku, ya meski pun ujungnya bikin sakit juga!

"Kamu temuilah Bapak, tapi, sendiri dulu. Bapak tuh lagi sentimen sama yang namanya cowok, hehhee." Aku terkikik, padahal beliau juga spesies yang sama. Bedanya dia merasa hanya dirinyalah yang paling baik!

"Siap, nanti malam aku kembali. Percayalah."

Percayalah? Haruskah aku percaya, Mir? Sedang aku sudah berputus asa, tak lagi percaya dengan yang namanya jodoh!

Bab terkait

  • Ide Gila Bapak!   Cinta Pertama Emir

    "Masuklah, Dwi! Lelaki pecundang itu tak akan pernah datang. Barangkali, dia sadar. Kamu hanyalah janda hina!" Napasku tercekat, demi mendengar ucapan Bapak. Yang terasa menusuk kalbu, benarkah Emir menilaiku sedemikian rupa?Hal itukah yang membuatnya urung datang? Emir, aku bahkan sudah masak banyak. Demi menyambut kedatanganmu, kenapa, kenapa kamu menorehkan luka sebelum rasa itu berkembang lebih lama juga dalam?"Kenapa Bapak menyebutku janda hina? Gerangan apa yang kulakukan? Hingga Bapak tega," tanyaku, menatap kedua manik matanya. Kutatap rumah Emir di seberang sana, gelap. Seperti tak ada kehidupan, kau ke mana, Emir? Aku serius menganggap lamaranmu tadi siang, tapi, kenapa kau tega dengan tak datang tanpa memberi kabar?"Bapak rasa, yang namanya janda memang hina. Sebab, mereka tak bisa mempertahankan rumah tangganya." Pedas, ucapan Bapak terasa menohok. Aku berdiri, tak lagi mengenali sosok Bapak yang lembut."Begitu, aku hanya tak ingin dimadu. Aku tak sanggup berbagi! Apa

  • Ide Gila Bapak!   Ide Gila Risma

    "Kamu bilang cinta, tapi, tak menepati janji! Kita bukan lagi abg, Emir ...." Sesak napasku, bila mengingat janjinya tempo lalu.Di sinilah kami, di antara Risma. Dengan napas tersengal, amarah sekaligus rindu bercampur menjadi satu. Aku heran, kenapa hati ini begitu mudah terjatuh pada makhluk ciptaan-Mu Ya Rabb?Salahku, yang terlalu berharap. Mana mungkin Emir mencintai janda sepertiku? Terlebih dengan aturan yang ketat dari Bapak, itu jelas akan menambah segala ketidakmungkinan antara aku dengannya!"Maaf." Aku mendengkus kasar, menatap lelaki manis yang tengah mengatupkan kedua tangan di dada. "Apa dengan kata maaf, semua akan selesai? Aku ini janda, Emir ...." Setitik air mata jatuh, aku hanya tak menyangka kenapa diri ini begitu mudah rapuh."Aku tak datang, bukan berarti sengaja tak menepati janji, Dwi. Ada satu hal dan yang lainnya, percayalah ... aku akan berjuang. Kita berjuang bersama," ucapnya, yang membuat dadaku semakin nyeri.Bila tak ingat iman, ingin aku berlari mem

  • Ide Gila Bapak!   Kedatangan Mantan

    “Maa Syaa Allah, Bibi ….” Kupeluk erat adik kandung Almarhumah Ibu, sudah lama kami tak berjumpa. Tangisku pecah, berada dalam pelukannya mengingatkanku pada mendiang Ibu. Andai beliau ada di sini, tak meski Bapak seakan menjadi musuhku sendiri di rumah. Bukan nyaman yang kurasa, melainkan ketakutan yang tak pernah berujung.“Kamu ini, Dwi! Pamanmu meninggal, sampai hati kamu tidak datang. Ugh … huhuhu.”Degh!Apa paman meninggal? Tapi … kapan? Aku sama sekali tak diberi tahu.“Inalilahi wainalilahi rojiun, Paman meninggal, Bi? Kapan? Dwi, sama sekali nggak diberi tahu.” Aku menghela napas panjang, mempersilakan Bibi untuk masuk. Bapak sedang ke kebun, itu merupakan kegiatannya sehari-hari.Tega betul, Bapak. Hanya demi menjaga aku, sampai hati tak memberi tahu tentang kepergian Paman. Pastilah aku tak dianggap lagi peduli, padahal Bibi jelas keluarga satu-satunya yang dimiliki. “Kenapa, Dwi? Kenapa kamu nggak datang?” Lagi, Bibi menanyakan hal yang sama.“Demi Allah, Bi. Dwi nggak t

  • Ide Gila Bapak!   Kemarahan Bapak

    ***"Rifal! Kaukah itu?!" Jantungku seakan berlompatan tak menentu, demi melihat gelagat Bapak. Yang seakan ingin menerkam Mas Rifal, beliau dari dulu ... memang ingin melampiaskan segala amarah pada semua mantanku tapi, tak pernah kesampaian.Bugh!Bugh!Bugh!Aku menjerit, demi melihat aksi Bapak. Kalap, beliau membabi buta. Bahkan Bibi, sempat terpental karena ingin menghalangi."Bibi, sebaiknya menjauh." Emir, menolong Bibi dengan sigap. "Iya, Nak. Tolong ya, Syamsul itu ... tidak pernah tenang jiwanya." Aku masih bisa mendengar ucapan Bibi, memang jiwa Bapak kenapa?"In Syaa Allah, Bi. Bibi, mundurlah." Perintah Emir, dituruti oleh Bibi yang kini mendekat ke arahku. Aku mengumpat pada Mas Rifal, yang tampak bodoh. Seakan menyerahkan diri, dengan datang ke mari!"Ini untuk Dwi! Kamu laki-laki biadab!" Gerakan Bapak, tertahan karena Emir melerai."Lepaskan, Emir! Dia itu lelaki yang sudah membuang anakku Dwi!" teriak, Bapak. Mencoba melepaskan diri, dari cengkeraman Emir yang jela

  • Ide Gila Bapak!   Restu Ibu Emir

    "Hiiiiiy ...." Bibi bergidik ngeri, usai mendengar semua tentang keanehan Bapak. "Kamu serius, Dwi? Nggak sedang bercanda, masa sih Syamsul segitunya bangeeeet."Aku mengangguk keras, biar Bibi tambah yakin. Hal ini baru kuceritakan pada beliau dan Risma saja, bahkan Emir belum tahu. Tapi, entahlah kalau si Risma nggak ember.Bisa-bisa ilfeel kalau Emir tahu. Huh, aku susah membayangkannya."Barangkali karena sakit hati melihatmu terus-terusan gagal, Dwi. Orang tua mana yang nggak risau," ucap Bibi, yang mungkin mencoba untuk berpikir positif."Entahlah, Bi. Itu alasannya aku kepengen nikah aja sama Emir," kataku, mengulum senyum. Meraba dada, merasakan rindu yang kian menghujam."Halah, itu sih emang kamunya aja yang kebelet nikah. Heran, bener kata Bapakmu Dwi. Kamu itu mesti hati-hati, jangan asal nikah." Aku manyun, mendengar Bibi yang dirasa tak lagi mendukung.Aku kalau udah nikah, kepengen buru-buru keluar dari rumah ini. Bukan ingin menjauh, tapi, dirasa aku Bapak kok, emang

  • Ide Gila Bapak!   Jiwa Yang Sakit

    "Sungguh ... Bibi, mau menikah dengan Bapak? Nggak akan menyesal dikemudian hari?" Netraku berbinar, jujur aku telah memupuk harapan yang begitu banyak padanya.Mungkin saja dengan menikah lagi, pikiran Bapak kembali fresh. Mau melepas aku dengan Emir, "In Syaa Allah, Dwi. Anggaplah Bibi, berkorban demi kamu."Kupeluk wanita yang sudah membuat perasaanku lega, curhat padanya selalu mendapat petuah-petuah yang berarti.Sekarang, aku tinggal mengatur strategi bagaimana supaya Bapak jatuh hati pada Bibi.Semoga bukan hal yang sulit, toh mendiang Ibu tak jauh berbeda dengan adiknya."Kalau begitu fix ya? Bibi, mau ikut caraku." Aku terkikik, membayangkan hari-hari yang mungkin saja akan lebih berat. Bapak, tipe lelaki yang tidak mudah jatuh cinta. Berbanding terbalik denganku, hihi.Bibi, nampak kaget. "Jangan aneh-aneh kamu, Dwi. Ingat kami ini para orangtua, Bibi, juga nggak mau melanggar norma-norma.""Ya ampun, Bibi, ini mikir apa sih? Demi deh aku nggak bakal aneh-aneh." Aku mengulum

  • Ide Gila Bapak!   Larangan Menikah

    "Sedang apa janda itu di sini, Bu?" tunjuk seorang gadis, yang tengah berdiri pongah! Fotocopyan Pak Lurah banget.Sengaja pasti dia itu, dengan menyematkan status jandaku! Malesin deh."Eh Nak Aima, mari duduk." Ibu Emir, masih saja ramah. Memang begitu sih sifatnya, tapi, takutnya malah bikin kepala gadis itu makin gede!"Nak Aima kenalan dulu sama Dwi, biar panggil nama kalau ketemu." Aku mengulum senyum, sebelas dua belas ini Ibu Emir sama anaknya bisa memainkan kata."Nggak usahlah, Bu!" tolaknya, duduk dengan menaikan kedua kaki. Menampakan kulit halus, pakaiannya yang minim membuatku terus meneguk ludah. Apa Emir nggak akan kegoda, jika setiap hari disodorkan pemandangan yang membagongkan begini? Astagfirullah!Kami duduk di ruang tamu, menunggui Emir yang tengah berganti baju. Rencana hari ini aku, Risma, dan dia mau ke kebun Bapak. Mengenang masa lalu, sudah lama semenjak menginjakan kaki di sini aku belum jalan ke mana-mana. Paling makan bakso yang deket aja, kangen suasana

  • Ide Gila Bapak!   Patah hati

    "Masuk, Dwi!" teriak Bapak panjang lagi menyakitkan. Kukira di kebun tadi, beliau akan dengan mudah memberi restu untuk jalanku dengan Emir. Nyatanya ....Bapak serius dengan ucapannya, trauma menikahkanku kembali. Jika pada ujungnya semua berakhir dengan sia-sia, Ya Allah apa mungkin takdirku harus seperti ini? Sendiri tanpa pasangan.Aku menghela napas panjang. Teringat akan penolakan Bapak di depan Emir langsung, padahal aku ini janda. Harusnya bersyukur masih ada yang mau, bujang pula!Bapak begitu sombong!Sepanjang jalan tadi aku terus diseret menjauh dari Emir, di bawah tatapan banyak orang. Entah bagaimana penilaian mereka, apa Bapak nggak malu?Apa kuterima saja tawaran Mas Rifal kemarin? Kembali padanya dengan status poligami, memang apa enaknya punya banyak uang, tapi, kalau harus membagi suami mana sudi!Kututup kedua mata. Menangis sesenggukan, kudengar Bapak masih mengomel panjang. Bilang aku ini janda yang tak bisa menjaga marwah, wanita yang terus gagal. Dan dengan tak

Bab terbaru

  • Ide Gila Bapak!   Usaha Suamiku

    Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be

  • Ide Gila Bapak!   Ternyata dia ...

    Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya

  • Ide Gila Bapak!   Gagal!

    "Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.

  • Ide Gila Bapak!   Aima Gila (2)

    ***"Astagfirullah! Astagfirullah!" teriakku histeris, demi menyaksikan pemandangan di luar jendela sana.Segera kupalingkan wajah pada Emir, "Pasti kamu tadi jelalatan kan lihatin si Aima."Rasa cemburu yang begitu kuat, membuat pikiranku tak tenang. Si Aima itu nggak takut apa diserang para lelaki, dibawa ke semak-semak gitu. Bikin malu!Di jalanan rumahku sudah dipenuhi banyak orang yang ingin menonton, tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Kudengar Pak Lurah dan istrinya tak putus berteriak memanggil Aima, agar tak lagi menjadi gila begitu. Hiiiiiy sereeem!"Nggaklah, Sayang. Aku kan udah ada kamu," ucapnya, sembari menatap lembut.Dasar wanita! Cuma digituin aja udah meleleh. Lagian kalau emang Emir suka sama Aima, kenapa nggak dari dulu aja? Sampai kembang desa itu gila!"Cerita awalnya gimana Nak Emir, kok bisa dia jadi nggak waras begitu?" Keponya Ibu mulai deh."Nggak tahu, Bu. Ada yang bilang kesurupan, ada yang bilang stres karena Emir. Hiiiy, jangan sampailah Bu." Emir tamp

  • Ide Gila Bapak!   Jadi Gila!

    "Kejem banget ya, orang yang udah buat Bu Ratih tewas. Nggak berperikemanusiaan," ucap salah seorang Ibu-ibu, yang tengah ikut memilih sayuran.Aku yang mendengar jadi tak enak hati. Pasti ini karena berita arwah yang gentayangan itu, Astagfirullah! Nggak baik juga kalau dibiarkan berlama-lama.Meski aku tahu berita ini cukup menggetarkan bagi keluarga tersangka. Selama beberapa hari ini, aku tak ada melihat arwah di rumah Bapak maupun Emir.Arwah itu seakan pergi, saat tugas menyampaikannya sudah usai. Semoga saja begitu, aku paling nggak mau berurusan dengan yang begitu. Ngeri!"Kamu sendiri gimana Wi, pernah didatangi Almarhum nggak?" senggol seseibu, dengan netra yang ingin tahunya. Aku menggigit bibir. Kupikir mereka ini punya keingintahuan yang begitu tinggi, padahal sedari tadi mereka ngoceh ya aku hanya diam saja. Aku tidak mau punya pikiran yang berat-berat. Cukup yang ada saja, termasuk perihal anak sekalipun."Oooh iya Wi, kamu KB nggak? Kalau bisa sih jangan, biar cepet

  • Ide Gila Bapak!   Yang Pertama

    Kabar tentang arwah gentayangan yang disebut-sebut Ibu mertuaku, begitu santer menjadi perbincangan hangat di kampung.Aku sudah punya firasat, ternyata memang bukan aku saja yang didatangi. Katanya keluarga Pak Lurah, yang sering dikunjungi arwah tersebut.Aku bergidik ngeri. Itu pasti Jin Qorinnya Ibu, hendak menuntut balas. Biar saja mereka sibuk mencari cara agar menghentikan teror itu, aku ingin tahu bagaimana perkembangan nantinya."Dwi juga udah pernah didatangi, kok, Ibu sama Bapak nggak ya?" Dahiku mengernyit, saat kami tengah menikmati sepotong pisang goreng di teras depan."Memangnya Ibu kepengen banget ya didatangi? Kalau aku sih ogah! Hiiiiiy." Rasa yang pisang yang enak, berubah menjadi hambar.Bapak sudah pergi ke kebun, sedang suamiku sedang berada di rumah Ibu. Katanya ada yang harus ia lakukan, entah apa aku tak banyak bertanya.Dari yang tadinya punya suami tukang selingkuh, sekarang aku justru harus menghadapi misteri tewasnya Ibu mertua.Meskipun buatku udah nggak

  • Ide Gila Bapak!   Mimpi

    "Astagfirullah!" Aku menghela dalam nafas, semua tubuhku basah diakibatkan mimpi yang begitu menyeramkan.Bu Ratih, Ibu mertuaku.Beliau ternyata mati karena memang ulah mereka. Mereka yang sungguh bia**ab!Aku tertidur usai akad, sendiri. Karena Emir pamit, dia bilang tidak enak karena masih banyak tamu.Bagaimana mungkin, aku mimpi horor di siang bolong. Sungguh tak lazim, tapi, memang itu kenyataanya.Ternyata selama ini dia datang hanya demi menutupi ketidakbaikannya. Dia pura-pura bersimpati, padahal dia dalang di balik semua penderitaan yang dialami suamiku!Cinta buta, cinta membawa derita. Padahal tak ada yang kurang darinya, kenapa pula harus memaksakan?Cklek.Pintu kamarku terbuka, Emir masuk dengan senyum sarat akan kelelahan. Namun, raut wajahnya berubah khawatir tatkala melihatku yang masih syok."Kamu sudah bangun?" tanyanya, duduk di sisi ranjang. "Kenapa? Mimpi atau?"Kuusap keringat di dahi, rasa lelah akibat diserang mimpi terasa masih membekas. Aku seperti dibawa p

  • Ide Gila Bapak!   SAH

    "Apa? Kamu sama Emir berencana pindah ke Jakarta Wi? Tapi, kenapa?" tutur Ibu, yang belum apa-apa sudah tak setuju.Sedang Bapak menatapku sedih. Aku merasa kampung ini sudah tak aman untuk ditinggali, lebih baik pergi saja ke kota."Pikirkan lagi, Wi. Kehidupan kota itu lebih keras dibanding di sini," kata Ibu, yang tak ingin aku pergi.Lagi pula aku berencana mengajak Bapak dan Ibu, karena pasti nantinya mereka akan mengejar orang-orang yang kusayang."Jangan mengambil keputusan di saat kalian sedang emosi, baiknya pikirkan lagi." Begitu kata Bapak, yang sedari tadi lebih banyak diam."Betul itu, apalagi kamu sama Emir belum menikah." Aku menghela dalam nafas, ini bahkan masih sekadar rencana.Entah jika nanti kuungkapkan bahwa mereka pun akan kami ajak, demi menghindari kampung yang tak lagi aman.Aima kemarin juga sudah mengancamku, aku yakin dia tak main-main. Mengingat bagaimana akhir kisah Bu Ratih, bulu kudukku terasa meremang."Ibu sama Bapak ikut saja, jual rumah ini.""Apa

  • Ide Gila Bapak!   Dianggap Tak pintas

    "Kamu bahkan nggak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan Emir! Hanya aku yang pantas," ucap Aima, dengan pede setinggi langit."Begitu? Tapi, sayangnya Emir lebih memilih aku." Rasain, kulihat wajahnya berubah merah. Tampak sekali dia marah bukan main.Bisa-bisanya disaat sedang berduka, dia berkata demikian. Sungguh lancang, dan tak pantas diucapkan!"Batalkan pernikahan kalian, jika ingin hidup tenang!" Aku kaget, begitu mudahnya ia mengancamku. "Apa yang akan kamu lakukan, jika aku tetap menikah dengannya?" Netraku tak henti menatap Aima, kembang desa yang tak punya adab.Dari kemarin aku memang sudah yakin, bahwa dialah dengan keluarganya yang punya andil besar atas penyiksaan Bu Ratih.Andai Bu Ratih mau buka mulut, hingga ajal menjemputpun beliau tetap konsisten tak mau bicara.Sungguh aku sangat menyayangkan, karena selain pelaku masih berkeliaran dia bisa saja mencari mangsa baru.Bisa jadi Emir, atau aku sekalipun. Yang dianggap sebagai penghalang, jangan sampai Ibu

DMCA.com Protection Status