Home / Lain / Ide Gila Bapak! / Patah hati

Share

Patah hati

Author: Fitriyani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Masuk, Dwi!" teriak Bapak panjang lagi menyakitkan. Kukira di kebun tadi, beliau akan dengan mudah memberi restu untuk jalanku dengan Emir. Nyatanya ....

Bapak serius dengan ucapannya, trauma menikahkanku kembali. Jika pada ujungnya semua berakhir dengan sia-sia, Ya Allah apa mungkin takdirku harus seperti ini? Sendiri tanpa pasangan.

Aku menghela napas panjang. Teringat akan penolakan Bapak di depan Emir langsung, padahal aku ini janda. Harusnya bersyukur masih ada yang mau, bujang pula!

Bapak begitu sombong!

Sepanjang jalan tadi aku terus diseret menjauh dari Emir, di bawah tatapan banyak orang. Entah bagaimana penilaian mereka, apa Bapak nggak malu?

Apa kuterima saja tawaran Mas Rifal kemarin? Kembali padanya dengan status poligami, memang apa enaknya punya banyak uang, tapi, kalau harus membagi suami mana sudi!

Kututup kedua mata. Menangis sesenggukan, kudengar Bapak masih mengomel panjang. Bilang aku ini janda yang tak bisa menjaga marwah, wanita yang terus gagal. Dan dengan tak
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ide Gila Bapak!   Datang Melamar

    "Aku ini janda, bukan anak gadis, Pak!" teriakku, nyalang. Dengan debaran tak menentu, satu-satunya sahabat telah diusir Bapak. Karena dianggap menjadi perantara hubunganku dengan Emir!"Dwi itu benar, Syul. Biarlah dia menikah lagi, siapa tahu si Emir memang jodoh terakhirnya." Aku mengangguk keras, berlindung di balik tubuh Bibi."Kamu nggak perlu membela dia, Ir! Untung saja aku tidak gila, dengan menyaksikan kegagalan pernikahannya yang terus berulang." Tapi, tapi, itu bukan inginku!Keempat mantan suamiku berselingkuh. Memang seharusnya aku tak lagi mudah menjatuhkan hati pada lelaki manapun, hanya saja ini Emir. Dia teman sewaktu SD, aku jelas mengenalnya."Terlalu cepat untuk dia menikah. Terlalu beresiko," sembur Bapak, yang masih menatapku penuh angkara murka.Benarkah begitu?"Pikirkanlah Dwi masak-masak, kamu menikah bukan hanya sekali dua kali. Bapak tahu usiamu terus bertambah, tapi, tolong bersabarlah sampai Bapak merasa kalau Emir bisa menjagamu dalam segala hal." Aku

  • Ide Gila Bapak!   Hilangnya Ibu Emir!

    "Cuih! Pemuda sampah! Bisa-bisanya anakku menyukai lelaki macam begini, sudah miskin belagu pula!" Nanar mataku melihat lelaki yang baru saja menetap di hati, wajahnya penuh luka. Bahkan barusan ia diludahi di depan banyak orang, sungguh kejam Pak Lurah kali ini!Bergetar bibirku, memanggil namanya. Aima sudah dibawa pulang digeret paksa, karena wanita itu kekeuh tetap ingin menikah dengan Emir. Wanita tukang paksa, egois!"Ya Allah ... Emir," lirih suara Ibunya memanggil, dengan uraian air mata. Bapak dan warga yang lain bahu-membahu membawa tubuh Emir masuk ke dalam rumah, biar segera diobati.Jadi, Emir tak ada takut-takutnya dengan Pak Lurah? Dia bahkan menolak Aima demi aku? Benarkah itu?"Aw, aw, sakiiiit Bu!" Aku tersentak, mendengar teriakan Emir yang sedang diobati Ibunya."Heleeeh, gitu aja sakit. Tadi waktu kamu digebukin Pak Lurah sama anak buahnya biasa aja tuh," timpal Ibu, yang membuatku tersenyum. "Biar sama Dwi aja Bu, apa boleh?" Kuberanikan diri, aku tak ingin mel

  • Ide Gila Bapak!   Masih Buntu

    Kami pulang dengan wajah lesu, tak satu pun tempat kami temui di mana Ibunya Emir. Betul-betul raib!Tapi, kami sudah melaporkan kasus yang meresahkan ini pada pihak yang berwajib. Biar makin banyak yang ikut mencari, sekaligus memberi efek jera kalau saja benar Ibu diculik orang!"Makan dulu, Mir." Kulempar senyum yang terasa getir, melihatnya hempas begini aku merasa sebagian dari dirinya ikut terbawa pergi oleh Ibu yang kini menghilang."Kamu saja sama Risma, Wi. Aku belum laper," begitu jawabannya. Padahal, ia butuh tenaga untuk melanjutkan pencarian juga pikiran yang jernih. Meski aku tahu itu pasti sulit, yang ada tambah semrawut saja."Nggak usah bebal kamu tuh! Tinggal makan saja susah!" sentak Risma, yang membuatku repleks menatap tajam padanya."Ya maaf, aku nggak ada maksud. Hanya saja kamu itu butuh makan, Emir. Ibu kamu pasti sedang menunggu bantuan."Menunggu bantuan? Benarkah itu?"Tahu dari mana kamu?" sinis, Emir bertanya sambil menatapi Risma dengan serius."Ya kita

  • Ide Gila Bapak!   Tawaran Menikah

    "Hahahhaaaaa. Bede**h kalian! Sungguh berani kalian menuduhku tanpa bukti!" Sorot tajam kedua netra Pak Lurah, tak sedikit pun membuat kami gentar. Seminggu berlalu, Ibunya Emir belum jua ditemukan. Bahkan pihak kepolisian pun nihil saat kami tanyai, tak ada jalan lain selain kami berdiri di depan rumah Pak Lurah!"Tolong kembalikan Ibuku, Pak Lurah!" lirih Emir berucap, tampilannya makin lusuh.Namun, bukannya iba Pak Lurah makin tertawa terpingkal-pingkal. Apanya yang lucu? Pantaskah dia kusebut sebagai pimpinan?"Abang!" Wanita itu menghampiri 'Emirku' dengan dandanan aneh. Terlalu rame!"Bapakku pasti mau bantu menemukan Ibu, asal Abang mau menikah denganku."Degh!Rupanya dia belum kapok!Memang, Pak Lurah itu siapa? Polisi saja sulit menemukan Ibu, bagaimana dengannya?"Betul begitu Pak Lurah yang terhormat?" Aku menengadah, apa maksudnya Emir bertanya begitu."Ya, apapun yang anakku katakan maka benarlah adanya." Aku hempas. Rupanya Emir sudah putus asa, dia ingin mengambil j

  • Ide Gila Bapak!   Pasrah

    Hari itu kuhabiskan waktu seharian di rumah. Kumatikan ponsel, tak ingin mendengar kabar apapun baik dari Emir juga Risma.Mungkin Emir bukanlah jodohku. Sudahlah, lebih baik aku sendiri. Benar kata Bapak, aku ini terlalu mudah menjatuhkan hati.Toh aku ini siapa? Ibu Emir jelas lebih utama dibanding aku, jadi wajar jika ia ingin melakukan apa saja agar Ibunya lekas ditemukan.Aku menghela nafas, sungguh perjalanan cintaku begitu terjal juga curam. "Dwiii ...." Bibi mengetuk pintu kamar, "Makan dulu, nanti sakit loh.""Masuk saja, Bi."Kutatap Bibi, yang memang sekilas mirip dengan Almarhumah Ibu. Sepertinya rencanaku untuk menikahkan Bibi dengan Bapak, masih sangat jauh."Bibi buatkan kamu nasi goreng spesial," ucapnya, yang membuatku sedikit bersemangat."Kamu percaya jodoh, Dwi?" Bibi bertanya, aku memakan nasgor sesuap demi sesuap rasanya tak jauh beda dengan masakan Ibuku dulu.Lagi, aku menghela nafas dalam. Tak pernah kupikirkan jika Emir selama itu menaruh rasa, kenapa begitu

  • Ide Gila Bapak!   Restu Bapak

    Dua minggu berlalu. Aku saja yang bukan anaknya, begitu kaget hampir pingsan melihat kondisi Ibunya Emir.Rencana kami yang ingin memeriksa gudang Pak Lurah, batal dilakukan. Sebab, beliau entah siapa yang mengantar. Tiba-tiba sudah ada di depan rumah Emir, dengan keadaan tanpa busana. Astagfirullah!Sungguh kejam! Sungguh bi**ab orang-orang yang sudah melakukan hal tersebut!Entah di mana hati nuraninya, semoga hukum Allah segera menimpa mereka siapa saja!"Kamu sudah lapor polisi, Emir?" Bapak bertanya, saat kami menunggui pemeriksaan Dokter.Emir yang tengah frustasi, menggeleng lemah. Semoga saja kabar dari Dokter, membuat hati Emir jauh lebih baik.Banyak luka lebam pada tubuh Ibunya Emir, yang lebih parah di bagian kewanitaan. Nampak terkoyak, Astagfirullah!Tak kubanyangkan bagaimana sakitnya, pasti trauma ini akan terbawa hingga kapanpun!"Biar diurus nanti saja, Pak. Emir mau fokus dulu di sini," ucapnya, yang masih tak mau mengalihkan netra pada kamar di mana Ibu berada."Y

  • Ide Gila Bapak!   Kabar Baik

    "Memang betul-betul nggak karuanlah hukum di Indonesia ini," komentar Bapak, yang rupanya laporan mereka terkait pelecehan yang terjadi pada Ibu hanya ditanggapi biasa saja. Terkesan abai, apalagi saat mereka menyebutkan ada curiga pada Pak Lurah. Sudah kuduga. Para lelaki berseragam itu minta disuap dulu sebanyak mungkin, barulah mau bergerak!Walaupun memang tak semua demikian, tapi, masyarakat sendiri jarang bahkan tidak pernah dipertemukan dengan yang betul-betul menjalankan tugasnya."Rupanya selain menjabat jadi Lurah, tuh orang punya kuasa lain. Melihat begitu banyak yang takut dengannya," sambung, Bapak. Ya, bisa jadi mereka punya kuasa yang lebih meyakinkan dari seorang Lurah. Kita mana tahu, dilihat dari rumahnya yang paling besar se-kampung. Bodyguard yang banyak, istri jangan ditanya!"Yo berarti kita harus hati-hati, jangan sampai salah melangkah." Bibi ikut menimpali, jujur saja aku juga sebetulnya malas jika terus berhubungan dengan Lurah tersebut.Nggak kayak Lurah

  • Ide Gila Bapak!   Akhirnya

    Nyatanya itu hanya reaksi sebentar saja, tapi, apapun itu tak mengurangi rasa haru. Sebab, kata Dokter ini sudah menjadi satu pertanda yang baik. In Syaa Allah, Ibu akan segera sadar dari tidur panjangnya. "Tapi, kenapa Ibu sampai memberikan reaksi ya, Dok? Tadi itu ... kami ada ribut-ribut sedikit." Kujelaskan saja pada Dokter, siapa tahu kehadiran Aima memicu ketenangan beliau."Bisa jadi dia bermimpi sesuatu, atau ada hal yang membuatnya merasa terancam. Macam-macam alasan, semoga ini memang pertanda baik." Aku mengangguk paham, tak sabar dengan kesadaran Ibu. Setidaknya si pelaku akan segera terungkap, tak perlu lagi menunggu pihak yang berwajib."Kenapa kamu tanya begitu, Wi?" Risma bertanya usai Dokter dan Perawat pergi."Tadi itu kita udah bikin ribut, bisa jadi Ibu terganggu. Mungkin memang bagus, Ibu jadi sadar. Tapi, sebisa mungkin jangan begitulah. Takutnya membahayakan," ucapku, yang berharap semua baik-baik saja.Entah kenapa aku jadi makin curiga pada semua keluarga Pak

Latest chapter

  • Ide Gila Bapak!   Usaha Suamiku

    Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be

  • Ide Gila Bapak!   Ternyata dia ...

    Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya

  • Ide Gila Bapak!   Gagal!

    "Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.

  • Ide Gila Bapak!   Aima Gila (2)

    ***"Astagfirullah! Astagfirullah!" teriakku histeris, demi menyaksikan pemandangan di luar jendela sana.Segera kupalingkan wajah pada Emir, "Pasti kamu tadi jelalatan kan lihatin si Aima."Rasa cemburu yang begitu kuat, membuat pikiranku tak tenang. Si Aima itu nggak takut apa diserang para lelaki, dibawa ke semak-semak gitu. Bikin malu!Di jalanan rumahku sudah dipenuhi banyak orang yang ingin menonton, tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Kudengar Pak Lurah dan istrinya tak putus berteriak memanggil Aima, agar tak lagi menjadi gila begitu. Hiiiiiy sereeem!"Nggaklah, Sayang. Aku kan udah ada kamu," ucapnya, sembari menatap lembut.Dasar wanita! Cuma digituin aja udah meleleh. Lagian kalau emang Emir suka sama Aima, kenapa nggak dari dulu aja? Sampai kembang desa itu gila!"Cerita awalnya gimana Nak Emir, kok bisa dia jadi nggak waras begitu?" Keponya Ibu mulai deh."Nggak tahu, Bu. Ada yang bilang kesurupan, ada yang bilang stres karena Emir. Hiiiy, jangan sampailah Bu." Emir tamp

  • Ide Gila Bapak!   Jadi Gila!

    "Kejem banget ya, orang yang udah buat Bu Ratih tewas. Nggak berperikemanusiaan," ucap salah seorang Ibu-ibu, yang tengah ikut memilih sayuran.Aku yang mendengar jadi tak enak hati. Pasti ini karena berita arwah yang gentayangan itu, Astagfirullah! Nggak baik juga kalau dibiarkan berlama-lama.Meski aku tahu berita ini cukup menggetarkan bagi keluarga tersangka. Selama beberapa hari ini, aku tak ada melihat arwah di rumah Bapak maupun Emir.Arwah itu seakan pergi, saat tugas menyampaikannya sudah usai. Semoga saja begitu, aku paling nggak mau berurusan dengan yang begitu. Ngeri!"Kamu sendiri gimana Wi, pernah didatangi Almarhum nggak?" senggol seseibu, dengan netra yang ingin tahunya. Aku menggigit bibir. Kupikir mereka ini punya keingintahuan yang begitu tinggi, padahal sedari tadi mereka ngoceh ya aku hanya diam saja. Aku tidak mau punya pikiran yang berat-berat. Cukup yang ada saja, termasuk perihal anak sekalipun."Oooh iya Wi, kamu KB nggak? Kalau bisa sih jangan, biar cepet

  • Ide Gila Bapak!   Yang Pertama

    Kabar tentang arwah gentayangan yang disebut-sebut Ibu mertuaku, begitu santer menjadi perbincangan hangat di kampung.Aku sudah punya firasat, ternyata memang bukan aku saja yang didatangi. Katanya keluarga Pak Lurah, yang sering dikunjungi arwah tersebut.Aku bergidik ngeri. Itu pasti Jin Qorinnya Ibu, hendak menuntut balas. Biar saja mereka sibuk mencari cara agar menghentikan teror itu, aku ingin tahu bagaimana perkembangan nantinya."Dwi juga udah pernah didatangi, kok, Ibu sama Bapak nggak ya?" Dahiku mengernyit, saat kami tengah menikmati sepotong pisang goreng di teras depan."Memangnya Ibu kepengen banget ya didatangi? Kalau aku sih ogah! Hiiiiiy." Rasa yang pisang yang enak, berubah menjadi hambar.Bapak sudah pergi ke kebun, sedang suamiku sedang berada di rumah Ibu. Katanya ada yang harus ia lakukan, entah apa aku tak banyak bertanya.Dari yang tadinya punya suami tukang selingkuh, sekarang aku justru harus menghadapi misteri tewasnya Ibu mertua.Meskipun buatku udah nggak

  • Ide Gila Bapak!   Mimpi

    "Astagfirullah!" Aku menghela dalam nafas, semua tubuhku basah diakibatkan mimpi yang begitu menyeramkan.Bu Ratih, Ibu mertuaku.Beliau ternyata mati karena memang ulah mereka. Mereka yang sungguh bia**ab!Aku tertidur usai akad, sendiri. Karena Emir pamit, dia bilang tidak enak karena masih banyak tamu.Bagaimana mungkin, aku mimpi horor di siang bolong. Sungguh tak lazim, tapi, memang itu kenyataanya.Ternyata selama ini dia datang hanya demi menutupi ketidakbaikannya. Dia pura-pura bersimpati, padahal dia dalang di balik semua penderitaan yang dialami suamiku!Cinta buta, cinta membawa derita. Padahal tak ada yang kurang darinya, kenapa pula harus memaksakan?Cklek.Pintu kamarku terbuka, Emir masuk dengan senyum sarat akan kelelahan. Namun, raut wajahnya berubah khawatir tatkala melihatku yang masih syok."Kamu sudah bangun?" tanyanya, duduk di sisi ranjang. "Kenapa? Mimpi atau?"Kuusap keringat di dahi, rasa lelah akibat diserang mimpi terasa masih membekas. Aku seperti dibawa p

  • Ide Gila Bapak!   SAH

    "Apa? Kamu sama Emir berencana pindah ke Jakarta Wi? Tapi, kenapa?" tutur Ibu, yang belum apa-apa sudah tak setuju.Sedang Bapak menatapku sedih. Aku merasa kampung ini sudah tak aman untuk ditinggali, lebih baik pergi saja ke kota."Pikirkan lagi, Wi. Kehidupan kota itu lebih keras dibanding di sini," kata Ibu, yang tak ingin aku pergi.Lagi pula aku berencana mengajak Bapak dan Ibu, karena pasti nantinya mereka akan mengejar orang-orang yang kusayang."Jangan mengambil keputusan di saat kalian sedang emosi, baiknya pikirkan lagi." Begitu kata Bapak, yang sedari tadi lebih banyak diam."Betul itu, apalagi kamu sama Emir belum menikah." Aku menghela dalam nafas, ini bahkan masih sekadar rencana.Entah jika nanti kuungkapkan bahwa mereka pun akan kami ajak, demi menghindari kampung yang tak lagi aman.Aima kemarin juga sudah mengancamku, aku yakin dia tak main-main. Mengingat bagaimana akhir kisah Bu Ratih, bulu kudukku terasa meremang."Ibu sama Bapak ikut saja, jual rumah ini.""Apa

  • Ide Gila Bapak!   Dianggap Tak pintas

    "Kamu bahkan nggak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan Emir! Hanya aku yang pantas," ucap Aima, dengan pede setinggi langit."Begitu? Tapi, sayangnya Emir lebih memilih aku." Rasain, kulihat wajahnya berubah merah. Tampak sekali dia marah bukan main.Bisa-bisanya disaat sedang berduka, dia berkata demikian. Sungguh lancang, dan tak pantas diucapkan!"Batalkan pernikahan kalian, jika ingin hidup tenang!" Aku kaget, begitu mudahnya ia mengancamku. "Apa yang akan kamu lakukan, jika aku tetap menikah dengannya?" Netraku tak henti menatap Aima, kembang desa yang tak punya adab.Dari kemarin aku memang sudah yakin, bahwa dialah dengan keluarganya yang punya andil besar atas penyiksaan Bu Ratih.Andai Bu Ratih mau buka mulut, hingga ajal menjemputpun beliau tetap konsisten tak mau bicara.Sungguh aku sangat menyayangkan, karena selain pelaku masih berkeliaran dia bisa saja mencari mangsa baru.Bisa jadi Emir, atau aku sekalipun. Yang dianggap sebagai penghalang, jangan sampai Ibu

DMCA.com Protection Status