Share

SAH

Author: Fitriyani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Apa? Kamu sama Emir berencana pindah ke Jakarta Wi? Tapi, kenapa?" tutur Ibu, yang belum apa-apa sudah tak setuju.

Sedang Bapak menatapku sedih. Aku merasa kampung ini sudah tak aman untuk ditinggali, lebih baik pergi saja ke kota.

"Pikirkan lagi, Wi. Kehidupan kota itu lebih keras dibanding di sini," kata Ibu, yang tak ingin aku pergi.

Lagi pula aku berencana mengajak Bapak dan Ibu, karena pasti nantinya mereka akan mengejar orang-orang yang kusayang.

"Jangan mengambil keputusan di saat kalian sedang emosi, baiknya pikirkan lagi." Begitu kata Bapak, yang sedari tadi lebih banyak diam.

"Betul itu, apalagi kamu sama Emir belum menikah." Aku menghela dalam nafas, ini bahkan masih sekadar rencana.

Entah jika nanti kuungkapkan bahwa mereka pun akan kami ajak, demi menghindari kampung yang tak lagi aman.

Aima kemarin juga sudah mengancamku, aku yakin dia tak main-main. Mengingat bagaimana akhir kisah Bu Ratih, bulu kudukku terasa meremang.

"Ibu sama Bapak ikut saja, jual rumah ini."

"Apa
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ide Gila Bapak!   Mimpi

    "Astagfirullah!" Aku menghela dalam nafas, semua tubuhku basah diakibatkan mimpi yang begitu menyeramkan.Bu Ratih, Ibu mertuaku.Beliau ternyata mati karena memang ulah mereka. Mereka yang sungguh bia**ab!Aku tertidur usai akad, sendiri. Karena Emir pamit, dia bilang tidak enak karena masih banyak tamu.Bagaimana mungkin, aku mimpi horor di siang bolong. Sungguh tak lazim, tapi, memang itu kenyataanya.Ternyata selama ini dia datang hanya demi menutupi ketidakbaikannya. Dia pura-pura bersimpati, padahal dia dalang di balik semua penderitaan yang dialami suamiku!Cinta buta, cinta membawa derita. Padahal tak ada yang kurang darinya, kenapa pula harus memaksakan?Cklek.Pintu kamarku terbuka, Emir masuk dengan senyum sarat akan kelelahan. Namun, raut wajahnya berubah khawatir tatkala melihatku yang masih syok."Kamu sudah bangun?" tanyanya, duduk di sisi ranjang. "Kenapa? Mimpi atau?"Kuusap keringat di dahi, rasa lelah akibat diserang mimpi terasa masih membekas. Aku seperti dibawa p

  • Ide Gila Bapak!   Yang Pertama

    Kabar tentang arwah gentayangan yang disebut-sebut Ibu mertuaku, begitu santer menjadi perbincangan hangat di kampung.Aku sudah punya firasat, ternyata memang bukan aku saja yang didatangi. Katanya keluarga Pak Lurah, yang sering dikunjungi arwah tersebut.Aku bergidik ngeri. Itu pasti Jin Qorinnya Ibu, hendak menuntut balas. Biar saja mereka sibuk mencari cara agar menghentikan teror itu, aku ingin tahu bagaimana perkembangan nantinya."Dwi juga udah pernah didatangi, kok, Ibu sama Bapak nggak ya?" Dahiku mengernyit, saat kami tengah menikmati sepotong pisang goreng di teras depan."Memangnya Ibu kepengen banget ya didatangi? Kalau aku sih ogah! Hiiiiiy." Rasa yang pisang yang enak, berubah menjadi hambar.Bapak sudah pergi ke kebun, sedang suamiku sedang berada di rumah Ibu. Katanya ada yang harus ia lakukan, entah apa aku tak banyak bertanya.Dari yang tadinya punya suami tukang selingkuh, sekarang aku justru harus menghadapi misteri tewasnya Ibu mertua.Meskipun buatku udah nggak

  • Ide Gila Bapak!   Jadi Gila!

    "Kejem banget ya, orang yang udah buat Bu Ratih tewas. Nggak berperikemanusiaan," ucap salah seorang Ibu-ibu, yang tengah ikut memilih sayuran.Aku yang mendengar jadi tak enak hati. Pasti ini karena berita arwah yang gentayangan itu, Astagfirullah! Nggak baik juga kalau dibiarkan berlama-lama.Meski aku tahu berita ini cukup menggetarkan bagi keluarga tersangka. Selama beberapa hari ini, aku tak ada melihat arwah di rumah Bapak maupun Emir.Arwah itu seakan pergi, saat tugas menyampaikannya sudah usai. Semoga saja begitu, aku paling nggak mau berurusan dengan yang begitu. Ngeri!"Kamu sendiri gimana Wi, pernah didatangi Almarhum nggak?" senggol seseibu, dengan netra yang ingin tahunya. Aku menggigit bibir. Kupikir mereka ini punya keingintahuan yang begitu tinggi, padahal sedari tadi mereka ngoceh ya aku hanya diam saja. Aku tidak mau punya pikiran yang berat-berat. Cukup yang ada saja, termasuk perihal anak sekalipun."Oooh iya Wi, kamu KB nggak? Kalau bisa sih jangan, biar cepet

  • Ide Gila Bapak!   Aima Gila (2)

    ***"Astagfirullah! Astagfirullah!" teriakku histeris, demi menyaksikan pemandangan di luar jendela sana.Segera kupalingkan wajah pada Emir, "Pasti kamu tadi jelalatan kan lihatin si Aima."Rasa cemburu yang begitu kuat, membuat pikiranku tak tenang. Si Aima itu nggak takut apa diserang para lelaki, dibawa ke semak-semak gitu. Bikin malu!Di jalanan rumahku sudah dipenuhi banyak orang yang ingin menonton, tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Kudengar Pak Lurah dan istrinya tak putus berteriak memanggil Aima, agar tak lagi menjadi gila begitu. Hiiiiiy sereeem!"Nggaklah, Sayang. Aku kan udah ada kamu," ucapnya, sembari menatap lembut.Dasar wanita! Cuma digituin aja udah meleleh. Lagian kalau emang Emir suka sama Aima, kenapa nggak dari dulu aja? Sampai kembang desa itu gila!"Cerita awalnya gimana Nak Emir, kok bisa dia jadi nggak waras begitu?" Keponya Ibu mulai deh."Nggak tahu, Bu. Ada yang bilang kesurupan, ada yang bilang stres karena Emir. Hiiiy, jangan sampailah Bu." Emir tamp

  • Ide Gila Bapak!   Gagal!

    "Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.

  • Ide Gila Bapak!   Ternyata dia ...

    Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya

  • Ide Gila Bapak!   Usaha Suamiku

    Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be

  • Ide Gila Bapak!   Kita Menikah Saja

    "Astagfirullah! Ya Allah! Bapak pastilah sudah gila! Mana mungkin kita bisa menikah?!" jeritku, histeris. Luka di hati belum kering, dan Bapak seakan menambahkannya lagi!"Itu ... hanya semacam saran, Dwi." Kugelengkan kepala sekeras mungkin, "Empat kali kamu gagal dalam mempertahankan rumah tangga, orang tua mana yang tidak resah?""Ughhh, huhuhuu ...." Aku berharap, menemukan ketidakseriusan dalam ungkapan Bapak. Namun, nihil. Pria yang sudah menduda lama itu, begitu nekat ingin menikahi aku sebagai putri kandungnya!Bagaimana pernikahan kami di mata Agama? Masyarakat? Ini jelas terlarang!"Atau paling tidak, kamu anggaplah Bapak sebagai suami, Nak. Biar hidupmu aman, tidak perlu lagi menikah dan dikecewakan seperti sekarang. Bapak, jadi tidak percaya terhadap semua lelaki di luaran sana." Aku menggigit bibir, kembali menggeleng sekeras mungkin. Dengan air mata terus berjatuhan, ini pasti hanya lelucon beliau saja!Almarhumah Ibu di atas sana, pasti ikut murka! Aku tahu, aku ini jand

Latest chapter

  • Ide Gila Bapak!   Usaha Suamiku

    Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be

  • Ide Gila Bapak!   Ternyata dia ...

    Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya

  • Ide Gila Bapak!   Gagal!

    "Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.

  • Ide Gila Bapak!   Aima Gila (2)

    ***"Astagfirullah! Astagfirullah!" teriakku histeris, demi menyaksikan pemandangan di luar jendela sana.Segera kupalingkan wajah pada Emir, "Pasti kamu tadi jelalatan kan lihatin si Aima."Rasa cemburu yang begitu kuat, membuat pikiranku tak tenang. Si Aima itu nggak takut apa diserang para lelaki, dibawa ke semak-semak gitu. Bikin malu!Di jalanan rumahku sudah dipenuhi banyak orang yang ingin menonton, tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Kudengar Pak Lurah dan istrinya tak putus berteriak memanggil Aima, agar tak lagi menjadi gila begitu. Hiiiiiy sereeem!"Nggaklah, Sayang. Aku kan udah ada kamu," ucapnya, sembari menatap lembut.Dasar wanita! Cuma digituin aja udah meleleh. Lagian kalau emang Emir suka sama Aima, kenapa nggak dari dulu aja? Sampai kembang desa itu gila!"Cerita awalnya gimana Nak Emir, kok bisa dia jadi nggak waras begitu?" Keponya Ibu mulai deh."Nggak tahu, Bu. Ada yang bilang kesurupan, ada yang bilang stres karena Emir. Hiiiy, jangan sampailah Bu." Emir tamp

  • Ide Gila Bapak!   Jadi Gila!

    "Kejem banget ya, orang yang udah buat Bu Ratih tewas. Nggak berperikemanusiaan," ucap salah seorang Ibu-ibu, yang tengah ikut memilih sayuran.Aku yang mendengar jadi tak enak hati. Pasti ini karena berita arwah yang gentayangan itu, Astagfirullah! Nggak baik juga kalau dibiarkan berlama-lama.Meski aku tahu berita ini cukup menggetarkan bagi keluarga tersangka. Selama beberapa hari ini, aku tak ada melihat arwah di rumah Bapak maupun Emir.Arwah itu seakan pergi, saat tugas menyampaikannya sudah usai. Semoga saja begitu, aku paling nggak mau berurusan dengan yang begitu. Ngeri!"Kamu sendiri gimana Wi, pernah didatangi Almarhum nggak?" senggol seseibu, dengan netra yang ingin tahunya. Aku menggigit bibir. Kupikir mereka ini punya keingintahuan yang begitu tinggi, padahal sedari tadi mereka ngoceh ya aku hanya diam saja. Aku tidak mau punya pikiran yang berat-berat. Cukup yang ada saja, termasuk perihal anak sekalipun."Oooh iya Wi, kamu KB nggak? Kalau bisa sih jangan, biar cepet

  • Ide Gila Bapak!   Yang Pertama

    Kabar tentang arwah gentayangan yang disebut-sebut Ibu mertuaku, begitu santer menjadi perbincangan hangat di kampung.Aku sudah punya firasat, ternyata memang bukan aku saja yang didatangi. Katanya keluarga Pak Lurah, yang sering dikunjungi arwah tersebut.Aku bergidik ngeri. Itu pasti Jin Qorinnya Ibu, hendak menuntut balas. Biar saja mereka sibuk mencari cara agar menghentikan teror itu, aku ingin tahu bagaimana perkembangan nantinya."Dwi juga udah pernah didatangi, kok, Ibu sama Bapak nggak ya?" Dahiku mengernyit, saat kami tengah menikmati sepotong pisang goreng di teras depan."Memangnya Ibu kepengen banget ya didatangi? Kalau aku sih ogah! Hiiiiiy." Rasa yang pisang yang enak, berubah menjadi hambar.Bapak sudah pergi ke kebun, sedang suamiku sedang berada di rumah Ibu. Katanya ada yang harus ia lakukan, entah apa aku tak banyak bertanya.Dari yang tadinya punya suami tukang selingkuh, sekarang aku justru harus menghadapi misteri tewasnya Ibu mertua.Meskipun buatku udah nggak

  • Ide Gila Bapak!   Mimpi

    "Astagfirullah!" Aku menghela dalam nafas, semua tubuhku basah diakibatkan mimpi yang begitu menyeramkan.Bu Ratih, Ibu mertuaku.Beliau ternyata mati karena memang ulah mereka. Mereka yang sungguh bia**ab!Aku tertidur usai akad, sendiri. Karena Emir pamit, dia bilang tidak enak karena masih banyak tamu.Bagaimana mungkin, aku mimpi horor di siang bolong. Sungguh tak lazim, tapi, memang itu kenyataanya.Ternyata selama ini dia datang hanya demi menutupi ketidakbaikannya. Dia pura-pura bersimpati, padahal dia dalang di balik semua penderitaan yang dialami suamiku!Cinta buta, cinta membawa derita. Padahal tak ada yang kurang darinya, kenapa pula harus memaksakan?Cklek.Pintu kamarku terbuka, Emir masuk dengan senyum sarat akan kelelahan. Namun, raut wajahnya berubah khawatir tatkala melihatku yang masih syok."Kamu sudah bangun?" tanyanya, duduk di sisi ranjang. "Kenapa? Mimpi atau?"Kuusap keringat di dahi, rasa lelah akibat diserang mimpi terasa masih membekas. Aku seperti dibawa p

  • Ide Gila Bapak!   SAH

    "Apa? Kamu sama Emir berencana pindah ke Jakarta Wi? Tapi, kenapa?" tutur Ibu, yang belum apa-apa sudah tak setuju.Sedang Bapak menatapku sedih. Aku merasa kampung ini sudah tak aman untuk ditinggali, lebih baik pergi saja ke kota."Pikirkan lagi, Wi. Kehidupan kota itu lebih keras dibanding di sini," kata Ibu, yang tak ingin aku pergi.Lagi pula aku berencana mengajak Bapak dan Ibu, karena pasti nantinya mereka akan mengejar orang-orang yang kusayang."Jangan mengambil keputusan di saat kalian sedang emosi, baiknya pikirkan lagi." Begitu kata Bapak, yang sedari tadi lebih banyak diam."Betul itu, apalagi kamu sama Emir belum menikah." Aku menghela dalam nafas, ini bahkan masih sekadar rencana.Entah jika nanti kuungkapkan bahwa mereka pun akan kami ajak, demi menghindari kampung yang tak lagi aman.Aima kemarin juga sudah mengancamku, aku yakin dia tak main-main. Mengingat bagaimana akhir kisah Bu Ratih, bulu kudukku terasa meremang."Ibu sama Bapak ikut saja, jual rumah ini.""Apa

  • Ide Gila Bapak!   Dianggap Tak pintas

    "Kamu bahkan nggak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan Emir! Hanya aku yang pantas," ucap Aima, dengan pede setinggi langit."Begitu? Tapi, sayangnya Emir lebih memilih aku." Rasain, kulihat wajahnya berubah merah. Tampak sekali dia marah bukan main.Bisa-bisanya disaat sedang berduka, dia berkata demikian. Sungguh lancang, dan tak pantas diucapkan!"Batalkan pernikahan kalian, jika ingin hidup tenang!" Aku kaget, begitu mudahnya ia mengancamku. "Apa yang akan kamu lakukan, jika aku tetap menikah dengannya?" Netraku tak henti menatap Aima, kembang desa yang tak punya adab.Dari kemarin aku memang sudah yakin, bahwa dialah dengan keluarganya yang punya andil besar atas penyiksaan Bu Ratih.Andai Bu Ratih mau buka mulut, hingga ajal menjemputpun beliau tetap konsisten tak mau bicara.Sungguh aku sangat menyayangkan, karena selain pelaku masih berkeliaran dia bisa saja mencari mangsa baru.Bisa jadi Emir, atau aku sekalipun. Yang dianggap sebagai penghalang, jangan sampai Ibu

DMCA.com Protection Status