Pukul 01.15, Riana kembali menyelinap ke luar. Wanita itu memastikan sang suami tertidur pulas, dan tidak akan terbangun untuk mencarinya sebelum menyambar semua perlengkapannya.Berjalan-jalan mengendap-endap agar tidak menimbulkan suara, wanita itu memasukkan kantung plastik berisi keset ke dalam tas. Riana bahkan tidak sadar bahwa putranya sudah kembali ke rumah. Fokus utamanya adalah menangkap si pencuri. Entah ini ada kaitannya dengan Lost atau tidak, dia harus tetap menemukan bedebah itu. Riana memacu motornya dengan kecepatan penuh, jalanan lengang memudahkannya untuk lebih cepat sampai tanpa harus menyalip sana-sini. Dia mencoba menghubungi Paul, selama beberapa detik wanita itu menunggu, hingga suara parau Paul terdengar di sebrang sana. "Ya, Nona?" "Aku butuh bantuan." "Apa yang bisa kubantu?" Riana diam sejenak, "Aku akan sampai dalam lima menit." Dia memutus telponnya. Riana semakin mempercepat lajunya. Lima menit kemudian dia sampai di tempat persembunyian orang-
Gean terkejut melihat putranya sudah duduk manis di kursi meja makan dengan seragam lengkap. Tas sekolahnya dia sampirkan pada punggung kursi, duduk dengan tenang seraya menggulir layar ponsel. "Kapan kamu pulang?" Sapa Gean begitu menjatuhkan bokongnya pada kursi. Randu menoleh sekilas, lalu fokus kembali pada ponselnya, "Tadi malam." Gean hanya mengangguk, lalu hening.... Sampai Riana menyajikan berbagai macam masakan di atas meja, keluarga kecil itu tetap tidak ada yang membuka suara. Mereka makan dalam diam, padahal isi kepala mereka begitu riuh menyuarakan banyak hal. Riana menatap keduanya dengan pandangan tak terbaca. Keheningan itu membuatnya merasa tidak nyaman. Riana menyodorkan segelas susu pada putranya, yang hanya dilirik sekilas oleh pemuda itu. Beberapa menit kemudian, dia menyimpan alat makannya, tanpa menyentuh susu yang sudah dibuatkan. Ekspresi wajahnya datar, dia mengambil tas ransel, dan beranjak dari sana tanpa sepatah kata, tanpa salam, tanpa pamit. Ked
Semenjak kedatangan siswa baru, Randu semakin diam, moodnya semakin hancur. Dia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari sakunya, menuliskan kejadian hari ini. Tentang siswa baru yang tiba-tiba mendekatinya. Selesai menulis, Randu kembali membuka catatan sebelumnya. Tentang serangkaian kejadian yang membuat hidupnya jungkir balik dalam sekejap. Pemuda itu berharap, dengan membuat catatan seperti ini dia akan menemukan kebenaran tanpa harus bergabung dengan mereka. Seorang teman Randu memasuki kelas, satu tangannya membawa sebuah mangkuk berisi bakso, tangan satunya dia gunakan untuk melahap bakso itu seraya mendekat pada Randu. Duduk di atas meja seraya melahap makanannya, matanya memicing melihat sebaris kata dari catatan milik Randu. "Lost?" Sebutnya rendah. Randu menoleh, pemuda itu sigap menutup bukunya begitu melihat Aska memandangi catatannya dengan pandangan tajam. "Apa hubunganmu dengan Lost?" Aska menyimpan mangkuk bakso, beralih menatap Randu dengan sorot amarah.
Riana tercekat, tubuhnya kaku, tidak bergerak. Bahkan hanya untuk sekedar menggulir bola mata dia tidak bisa.Pandanganya terkunci pada Randu yang tengah terisak. Lidah Riana kelu untuk berucap, dia menyadari setelah ini ada percaya yang sudah hilang. Randu tahu segalanya, dan itu meruntuhkan dunianya. Riana hanya bisa menatap sang putra dengan pilu. Masa lalu memang salah dirinya, tapi Riana menyesal, semua itu berimbas pada Randu.Putranya terluka, dan itu ulah dirinya. "Aku tahu segalanya, bu. Aku tahu sekarang siapa sebenarnya ibu." Riana membisu, kelu. Tidak ada kata yang terlintas untuk menjawab pertanyaan Randu. Wanita itu ingin menjelaskan semuanya, meminta maaf yang sedalam-dalamnya, namun yang dia lakukan sekarang hanya diam. Randu, ini sama menyesakkan seperti kamu mengetahui kebenarannya. Riana hanya bisa membatin. Randu masih menutupi wajahnya, menangis dengan suara isak tertahan. Riana meraih kedua tangan Randu, menariknya perlahan, menurunkannya dari wajah sang p
Paul bergerak menemui Ethan, memberikan laki-laki itu secarik kertas berisi nomor Randu."Kau ingin aku mencari siapa?" Ethan bertanya"Randu.""Randu siapa?""Pemuda yang membawa kabur berkas Lost." Paul menjawab tenang. Jari-jari Ethan yang semula lincah menekan tombol keyboard, kini terhenti. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali. Seketika otaknya blank. "Kenapa?" "Dia pemuda yang kau bicarakan waktu itu? Putra Nona?" Paul mengangguk. Ethan terperangah, tidak percaya. Laki-laki itu seketika berdiri. Memegang kepalanya yang mendadak terasa sakit. "Apa yang akan kau lakukan padanya? Jangan bilang kau akan melakukan sesuatu pada pemuda itu? Paul! Meski pun dia orang yang mencuri berkas Lost, dia tetap putra Nona. Kau bisa dihajar olehnya!" Ethan berkata panik, tapi nada suaranya seperti berbisik. Paul menatap laki-laki di hadapannya dengan pandangan datar. "Bisakah kau tetap melacak lokasinya tanpa banyak bertanya? Keadaannya mendesak, akan kujelaskan nanti." "Tapi-""Ethan, w
"Apa maksudmu? Kenapa Randu tidak ada di sana?""Kami sudah menyisir sekitaran area tempat di mana sinyal handphone Randu terakhir ditemukan. Tapi, tidak ada apa pun di sini. Tempat ini kosong." Paul menjelaskan, namun matanya tak lepas mengintai tempat itu. Riana terduduk di kasur, memijat pelipisnya pelan. Mendadak dia tidak bisa berpikir. Haruskah dia menemui Martin dan berlutut dihadapannya? Riana menggeleng keras, berlutut dihadapan manusia hanya akan membuatnya terlihat lemah, kecuali dia bersalah.Wanita itu memutar otak, mencari cara. Sialnya, Riana sungguh tidak bisa memikirkan apa pun, otaknya mendadak kosong. "Aish, sial!" Umpatnya kesal. "aku akan ke sana!" "Tidak, Nona." Cegah Paul. "sebaiknya kau tetap di sana. Belum waktunya Gean berangkat, dia akan curiga jika kau mendadak pergi tanpa alasan."Riana mengemas barangnya cepat, "Gean sudah berangkat, dia pergi tadi saat aku baru tiba. Dan aku punya waktu dua hari sebelum Gean kembali. Sebelum itu, aku harus memastika
"Apa yang kau inginkan?"Sosok itu sedikit melunak, dia menurunkan nada suaranya. "Kau adalah menteri.""Lantas?""Lost mengincar putraku."Dia menaikkan alis, "Sejak kapan kau punya anak?"Riana mendengkus, kenapa orang-orang kerap menanyainya hal serupa? "Apa pentingnya aku menjawab pertanyaanmu? Faktanya aku nemiliki putra.""Penting, itu menunjukkan bahwa tidak sedang menipu daya diriku. Lagipula, kau mandul, Riana." Sial! Kesal, wanita itu mengepalkan tangan. Jika tidak membutuhkan bantuannya, mungkin sudah Riana hajar. "Kau tidak pernah memperbaiki filter bicaramu rupanya, menteri Doja."Doja tersenyum, "Ini bukan gayamu, jangan bertele-tele, cepat katakan yang kau inginkan! Aku tidak punya banyak waktu meladenimu." Ujarnya kesal, seraya bejalan menuju kursi tamu. "Beri aku akses senjata."Doja menoleh pada Riana secepat kilat, "Kau ingin aku memberi akses perdagangan senjata ilegal?!""Ya.""Aku menteri! Menteri pertahanan! Apa kata orang nanti jika aku ketahuan?!" Doja men
Paul memejamkan matanya, dia sedang pusing sekarang. Kenapa? Selalu pertanyaan itu yang melintas dalam pikiran. "Apa yang kau pikirkan?" Johan mencoba memecah hening.Paul menghela napas kasar. "Kenapa?" "Kenapa apanya?" "Kenapa kehidupan rumit ini menjadi hidupku?"Dibalik kemudi, Johan melirik Paul. Dia tersenyum tipis. "Tidak ada yang kebetulan. Di dunia ini, semakin besar masalahmu, semakin kuat dirimu.""Kau mengujiku." Paul tersenyum miring. "Jika kau tidak diberi ujian, hidupmu akan monoton. Kau tidak akan tahu bagaimana tegangnya berada di roller coster. Kau tidak akan tahu berada di tepi jurang dengan tangan memegang pisau. Kau tidak akan tahu, seberapa kuat dirimu untuk menghadapinya." Paul sedikit terenyuh dengan perkataan Johan. Tidak salah jika Riana selalu mempercayai Johan dalam setiap tugas. Pria itu dewasa dan bijak. Meski keputusannya bergabung dengan Lost adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. "Apa kau pernah merasa menyesal bergabung dengan Lost?" Paul me
Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe
Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d
Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka
“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Riana terkejut. Bagaimana Riana tidak terkejut. Sekalipun Riana tidak pernah mengatakan perihal tempat ini kepada siapa pun kecuali rekan-rekannya yang ikut bersamanya. Markas yang Riana dirikan, berada di tempat terpencil sekaligus tersembunyi. Sengaja ia memilih tempat ini, karena lebih memungkinkan bersembunyi. Selain tempat, keamanan juga Riana terapkan cukup ketat. Lalu, tiba-tiba Claire datang, tanpa pemberitahuan, setelah bertahun-tahun lamanya.Sebagai tamu, kenapa Claire tidak datang ke rumahnya? Kenapa dia tahu tempat ini? Apa tujuannya?Prasangka-prasangka buruk kembali berkelebatan di benak Riana. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku tidak pernah memberitahumu tentang ini. Darimana kau tahu?" Riana bertanya betubi-tubi."Maaf, Riana. Aku lancang datang ke tempat persembunyianmu. Tapi, aku tahu tempat ini setelah mengikuti putraku."“Apa?!” Riana membelalak.“Saat itu, aku datang ke rumahmu. Ingin menyapa, melihat putraku. Tapi, aku tid
Segurat ingatan masa lalu menyeruak dipikiran Riana. Mungkin pula itu sebab Martin mendendam padanya.Padahal saat dulu, Riana sering kali mengajak keluar dari tempat itu bersamanya, melepas belenggu yang mengikat. Menjalani kehidupan biasa. Layaknya orang-orang.Sayangnya, Martin selalu menolak mentah-mentah. Berdalih bahwa tempat itu sudah seperti rumah baginya. Tidak ada tempat bagi orang-orang sepeti mereka di luar sana.Setelah berhasil melepaskan diri, kini Riana harus kembali ditarik ke dalam belenggu menyesakkan, yang membuat hidupnya selama ini tidak bebas. Padahal, perjuangan Riana agar bisa lepas tidaklah main-main.Masa lalu itu menghancurkan segalanya. Mungkin Riana harus rela melepaskan Gean. Mungkin pula pria itu tidak sudi untuk melihatnya lagi.Riana menekuk kakinya, menunduk menenggelamkan wajah dikedua lipatan tangan. Menangis terisak dalam diam.Jika mencintai ternyata sesulit dan sesakit ini. Riana ingin memutar waktu, kembali pada masa itu. Memilih menetap di san
Riana merapikan barang miliknya yang tersimpan rapi di camp khusus anggota. Memasukkanya dalam sebuah kardus besar. Wanita itu bersungguh-sungguh atas ucapannya. Keluar dari tempat ini adalah salah satu tujuan Riana sejak dulu. Bukan, bukan hanya karena Gean. Gean hanya salah satu alasan terbesar Riana untuk pergi dari tempat ini. Riana mencintai Gean, sangat mencintainya. Selama beberapa tahun mereka menjalin hubungan, Riana tidak pernah mengungkap identitas aslinya pada sang kekasih. Ia tidak ingin kekasihnya itu mengetahuinya sekarang. Bagaimanapun, Riana tidak siap jika ia harus kehilangan Gean. Selain itu, alasan penting Riana adalah, karena ia sudah muak dengan semuanya. Organisasi ini begitu mengekang, membelenggu hidupnya. Ia terikat oleh perintah misi yang mengharuskannya merenggut sesuatu yag berharga dari orang lain. Senyum, tawa, teman, keluarga, harta, bahkan nyawa mereka. Membuat Riana selalu dirundung perasaan bersalah, yang kian hari semakin menggunung. Menyesakk
Jakarta, 28 tahun yang lalu. Tiga mobil van berhenti di depan sebuah gedung megah. Prajurit berseragam khusus yang memiliki lambang bunga aster kecil di dada kirinya keluar secara bertahap.Mereka bersenjata lengkap. Beberapa berjaga di luar, mengambil posisi siap menyerang. Beberapa lagi masuk menyerbu dengan cara masuk mengendap-endap. Ini misi pertama mereka yang dilakukan secara berkelompok.Mereka segera berpercar setelah berhasil masuk, mencari target. Riana dan Martin adalah anggota pengepung dalam. Keduanya pun segera memisahkan diri setelah yang lain berpencar. Mereka menuju ruang bawah tanah. Sebelumnya mereka diberi peta gedung yang memiliki banyak ruang ini. Salah satu target bisa saja berada di ruang bawah tanah, yang sengaja mereka bangun untuk bertransaksi dengan para penjual pasar hitam. Ya, gedung megah ini adalah tempat transaksi bagi para penjual dan pembeli pasar hitam. Banyak dari mereka adalah orang berpengaruh, sebagian lagi hanya terjebak dan sulit keluar
Baru saja mobil mereka memasuki pekarangan rumah, pandangan mata Riana langsung tertuju pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Wanita itu segera melompat turun, sadar bahwa suaminya sudah kembali dari luar kota. Tapi, ini belum genap sehari, kenapa Gean sudah kembali? Gegas Riana memasuki rumah, namun langkahnya terhenti di ambang pintu. Gean tidak sendirian, melainkan ada tiga orang lainnya di sana. Riana tertegun dengan kehadiran Martin di rumahnya. Laki-laki itu duduk pertumpang kaki, bersandar pada sofa. Wajahnya begitu cerah dengan senyum yang mengembang sempurna. Rona bahagia begitu terpancar, menunjukkan kepuasaan di sana. "Sedang apa kau di sini?" Riana bertanya dengan geraman tertahan, kedua tangannya mengepal erat. "Menunjukkan kebenaran," jawabnya santai. Riana melirik Gean yang masih fokus pada sebuah kamera, wanita itu membelalak. Riana berlari mendekat, dia duduk bersimpuh di samping kaki sang suami. "Mas." Riana memanggil Gean yang masih bergeming,