Bab 5
Suara tangis Baby Samuel membangunkan Abraham dan Bu Emil dari tidur mereka. Hari sudah pagi, namun karena semalaman begadang, keduanya tak dapat menahan kantuk lagi. Bahkan Abra sampai tidak ke kantor demi menjaga putra tercintanya.Baby Samuel sudah dipindahkan ke ruang perawatan, sehingga Abra dan mamanya bisa beristirahat dengan nyaman. Namun belum la mata terpejam, tangis bayi itu kembali terdengar. Gegas Abra menghampiri putra kesayangannya itu, lalu membawanya ke dalam gendongan."Cup cup cup, Sayang ... ini Daddy ... kamu tenang ya, Sam ...," ucapnya berusaha menenangkan Baby Samuel, namun sepertinya usahanya tak membuahkan hasil."Kenapa Samuel, Abra?" tanya Bu Emil yang belum sadar sepenuhnya. Ia berjalan gontai mendekati anak dan cucunya."Badannya panas lagi, Ma ... mending panggil doktet atau suster, deh, Ma ...," jawab Abraham panik."Sini biar Mama yang gendong, namanya lagi sakit, ya memang begini, Abra! Masa dikit-dikit manggil dokter, manggil suster? Mereka juga nggak bisa apa-apa, kan obat penurun demam juga sudah dikasih. Dia cuma butuh dikasih kenyamanan aja," tutur Bu Emil tak lelah mengajarkan ilmu parenting pada putra semata wayangnya yang kini menjadi single parent.Abraham memberikan Samuel pada mamanya, dan bayi itu terlihat lebih tenang."Kenapa dia lebih tenang sama Mama, padahal saya Daddy-nya?" tanya Abraham bingung."Karena dia nyaman sama Mama. Kenapa dia bisa nyaman? Karena Mama rilex, tidak panik. Bayi itu, makhluk paling peka di dunia, kalau kamu panik, dia akan lebih panik, tapi kalau kamu tenang, dia akan lebih tenang!" tutur Bu Emil menjelaskan.Abraham manggut-manggut, mencoba mencerna setiap yang disampaikan oleh mamanya. Terkadang otak bisnisnya menjadi semrawut kala dialih-fungsikam untuk mempelajari ilmu parenting yang benar-benar tak ia ketahui sebelumnya. Tak jaranng ia frustasi akibat gagal memahami bayi. Namun ia tak menyerah, sebagai orang tua tunggal, ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.Baby Samuel sudah tak menangis lagi, namun ia masih terlihat gelisah dalam gendongan omanya."Sepertinya dia haus deh, Abra," ucap Bu Emil pada putranya."Saya buatin susu ya, Ma ...," sahut Abra cepat tanggap."Nggak usah, mending kamu bawa dia ke kamar Ayleen, kondisi lagi demam begini, bagusnya minum Asi, itu bisa membantu menurunkan demam juga," ucap Bu Emil memberi opsi lain.Abra terdiam, ia tampak menimbang."Biar Ayleen saja yang kemari, daripada Samuel yang harus dibawa-bawa," sahut Abra kemudian."Ya Mama juga bilang apa? Harusnya Sam dan Ayleen berada di satu ruangan, supaya lebih simple. Kamu yang nggak mau!" protes sang mama."Saya nggak nyaman aja, Ma ... kalau harus satu ruangan dengan Ayleen. Melihat Ayleen selalu membuat saya teringat Airin, dan itu sangat mengganggu," jelas lelaki 40 tahun itu."Ya sudah, buruan kamu panggil Ayleen!" titah Bu Emil.Abra mengangguk, sekilas mengecup kepala Samuel, kemudian berlalu ke kamar Ayleen.Berkali-kali Abra mengetuk pintu, namun tak ada sahutan dari dalam. Ia pun perlahan membuka pintu, dan memandang ke dalam. Ternyata, sang penghuni justru tengah terlelap dalam tidurnya. Rasa lelah tak lagi bisa dikalahkan oleh Ayleen, sekeras apapun ia berusaha terjaga, tetap saja rasa kantuk mengalahkannya."Ya ampun ... masih tidur lagi!" gerutu Abra. "Masa iya saya yang bangunin sih? Tapi kalau nggak, kasihan juga Sam, dia butuh Asi," gumam Abra. Ia jadi dilema.Tak mau berpikir lebih panjang lagi, ia pun memasuki ruangan Ayleen. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan Sam, jadi apapun akan ia lakukan demi kesembuhannya.Langkah Abra terhentu tepat di hadapan Ayleen yang sedang terlelap dalam tidurnya. Sesaat ia memandangi wajah Ayleen, dan sekali lagi ia mengakui, bahwa Ayleen memiliki wajah yang sangat mirip dengan mantan istrinya, Airin.Hanya saja, ia mulai dapat menemukan perbedaan. Wajah Ayleen, terlihat kusam dan tidak terawat, berbeda dengan Airin yang selalu merawat wajah dan tubuhnya karena tuntutan pekerjaan.Abra mulai membanding-bandingkan. Wajah Airin memang lebih terawat, tapi base wajah Ayleen jauh lebih berkualitas. Bulu matanya yang lebat dan lentik, hidung yang lebih runcing, juga bibir yang lebih berisi membuat Ayleen terlihat berbeda dari Airin. Andai wajah Ayleen dirawat, pastilah dia akan jauh lebih cantik dari Airin. Dan Abra mulai menyadari itu."Ah, kenapa pula saya harus membanding-bandingkan mereka?" tukasnya.Ia pun segera teringat akan tujuan utamanya menemui Ayleen. Abra menghela nafas bersiap memanggil Ayleen agar wanita itu terjaga dari tidurnya, namun belum spat bibirnya tergerak, Ayleen menggeliat, membuatnya membatalkan niat, dan lebih memilih untuk menunggu Ayleen bangun saja.Ayleen mengerjap, mengumpulkan kesadaran, akan tetapi, menyadari ada lelaki di sisinya, ia refelek berteriak dan menarik selimutnya. Seolah tengah memasang warning pada lelaki yang hanya berdiri tenang tak bergeming."Bisa nggak, ga usah teriak-teriak? Ini rumah sakit!" tegur Abra."Astaghfirullah, Pak Abra! Lagian ngapain Pak Abra di ruangan saya?" tanya Ayleen penuh selidik."Nggak usah mikir aneh-aneh! Memangnya menurut kamu saya mau ngapain?" balas Abra jutek.Ayleen terdiam, memandang penuh selidik majikannya."Saya sudah ketuk-ketuk pintu, tapi kamu nggak dengar!" lanjut Abra lagi.Ayleen menoleh ke arah pintu yang terbuka, jelas saja hal itu membuktikan, bahwa majikannya memang tak punya niat yang tidak-tidak. Ia pun bernafas lega."Maaf, Pak ... saya ketiduran," cicit Ayleen."Buruan mandi dan ganti bajumu, pastikan tubuhmu bersih. Karena Samuel butuh asimu! Jangan pakai lama!" titah Abra."Siap, Pak ... tapi—." Ayleen menjeda kalimatnya."Tapi apa?""Tapi, maaf, Pak ... saya nggak bawa baju ganti," jawab Ayleen tertunduk."Biar saya cari bajunya, kau mandilah. Supaya nggak kelamaan. Biasanya di rumah sakit disediakan keperluan menyusui. Apa ukuran bajumu?" tanya Abra."Saya L, Pak." Ayleen menjawab apa adanya.Abra terdiam, "sama seperti ukuran Airin," batinnya."Ya sudah, mandilah! Nanti bajunya saya taruh di ranjang ini, kalau sudah selesai, segera datang ke kamar Samuel, kamu tahu, kan di mana kamar Sam?" tanya Abra."Tahu, Pak ... VVIP 1.""Bagus. Saya tunggu!" ucap Abra kemudian berlalu.Akan tetapi, baru dua langkah kali Abra maju, tiba-tiba Ayleen memanggilnya lagi."Pak!"Abra menghentikan langkah, dan kembali memutar posisi."Apa lagi?" sahutnya malas.Ayleen terlihat bingung."Kamu butuh sesuatu? Katakan saja! Selama untuk kebutuhan Samuel, aku akan memenuhinya," lanjut Abraham."Mohon maaf, sebelumnya, Pak ... sebenarnya saya malu mau mengatakan ini, tapi saya tidak ada pilihan lain, karena—""Sudah, nggak usah basa-basi! Katakan saja apa yang kamu butuhkan! Terlalu panjang berbicara hanya akan membuang-buang waktu!" Abraham memotong ucapan Ayleen.Ayleen tertunduk, "saya ... saya bu–butuh untuk mengganti Bra, Pak!" cicit Ayleen menahan malu. Sementara Abraham, reflek membolakan kedua mata, bibirnya bergerak mengulang kata yang diucapkan Ayleen dengan nada tak percaya."Bra?"Bab 6"Kamu—?" Abra menghentikan kalimatnya, tangannya mengusap wajah frustasi."Kalau Bapak tidak bersedia, biar saya yang ceri sendiri, Pak," ucap Ayleen menahan malu. Ia kemudian turun dari ranjang dan berjalan terpincang-pincang menuju kamar mandi.Dari tempatnya, Abraham memperhatikan Ayleen. Otaknya bekerja membayangkan bagaimana Ayleen akan berjalan mencari sesuatu yang dibutuhkannya itu. Tentu hal itu membuatnya segera merubah keputusan."Berapa ukurannya?" sambungnya cepat."Ah tidak usah, Pak ... biar saya cari sendiri," tolak Ayleen."Kamu mau mencarinya sendiri? dengan kaki yang pincang-pincang seperti itu? Butuh berapa lama waktu untuk kamu mendapatkan apa yang kamu butuhkan itu? sementara Putra saya Samuel, dia sudah menangis karena kehausan. Saya tidak mungkin membiarkannya lebih lama lagi untuk menunggu. Cepat katakan berapa ukurannya?!" titah Abraham.Sejujurnya Ayleen malu mengatakan ukuran bra-nya pada Abraham, apalagi, ukuran buah dadanya meningkat dua kali lipat s
Bab 7Suara pintu yang digedor-gedor dengan keras diiringi teriakan yang memanggil-manggil nama Ayleen membuat Surya—ayah Ayleen terkejut dan terbangun dari tidurnya."Ada apa sih ribut-ribut?" gumamnya seraya berjalan ke arah pintu dengan sempoyongan, matanya bahkan masih tertutup sebelah, beberapa kali ia menguap, menimbulkan aroma tak sedap dari mulutnya.Surya membuka pintu dengan muka bantalnya, dan cukup terkejut, saat mendapati Erwin yang berada di sana."Juragan muda," ucapnya seraya menegakkan posisi dirinya."Ooohh, aku tau sekarang kenapa anakmu itu males kali jadi istri, ternyata emang turunan bapaknya. Pemalas! Sudah lah miskin bukannya sadar diri buat cari kerja, malah males-malesan, pantesan utang numpuk!" omel Erwin menumpahkan emosi pada mertuanya."Ngapunten Juragan muda, ada apa? Kenapa teriak-teriak di rumah saya?" tanya Surya berusaha tetap sopan di depan anak juragan yang sangat diseganinya. Sebenarnya ia tak begitu segan, hanya saja karena ia terikat banyak huta
Bab 8"Makan yang banyak, Ayleen! Sayurannya jangan lupa. Kamu butuh semua itu untuk asimu!" titah Abraham, kini mereka tengah berada di meja makan untuk makan malam.Ayleen tengah menikmati ayam panggang bumbu rujak lengkap beserta sayur urapnya. Makanan yang ia idam-idamkan sejak hamil namun baru terwujud sekarang.Meski Erwin seorang putra juragan, namun ia tak pernah memberi jatah makan Ayleen dengan layak. Alasannya karena keberadaan Ayleen hanya sebagai penebus hutang, sehingga, makanan yang disajikan di meja khusus untuknya, dan Ayleen hanya berhak memakan sisanya. Ia memperlakukan Ayleen layaknya seorang budak yang tiada harganya.Tak jarang Ayleen hanya makan dengan sisa sambel di cobek, asal perut terisi walau sering kali tak kenyang.Lalu hari ini ia seperti mimpi, tiba-tiba disuruh memilih menu kesukaan dan hanya dalam hitungan menit makanan itu telah tersaji di hadapan.Merasa terharu, beberapa kali Ayleen tampak menyusut air mata agar tak sampai tumpah. Ia menikmati deng
Bab 9Setelah sarapan dan memastikan Ayleen memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan mengkonsumsi makanan sehat, susu dan juga multivitamin, Abra segera berpamit untuk pergi ke kantor."Saya ke kantor dulu ya, Ma ... sepertinya hari ini akan pulang terlambat, karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan." Abra berpamit pada mamanya."Ya sudah, hati-hati," ucap Bu Emil seraya memberikan tangannya, Abra segera menyambut dan menciumnya."Kalau ada apa-apa tolong dikabari ya, Ma ... titip Samuel," pesan Abra. Bu Emil mengangguk mengiyakan.Abraham kemudian beralih pada putranta yang tengah tertidur di dalam gendongan Ayleen. Ia menyentuh kepalanya, mengusap pelan rambut tipisnya, seraya mencium kening Sam dengan penuh cinta dan kelembutan."Saya titip Samuel ya, Ayleen. Pastikan kebutuhannya terpenuhi." Abra berpesan pada Ayleen."Baik, Pak," sahut Ayleen.Abra mencium sekali lagi pipi gembil Samuel, kemudian segera beranjak menuju kantornya.***"Permisi, Pak ... Anda memanggil saya?"
Bab 10Jelang Maghrib, Abra baru datang dari kerja. Seperti biasa, yang pertama dicarinya adalah Sam, putranya.Abra menemui mamanya yang sedang asyik menonton acara ajang memasak di TV, kemudian mencium tangannya sebagai bentuk hormat."Samuel mana, Ma? Hari ini dia rewel nggak?" tanya Abra pada mamanya."Samuel ada, dia nggak rewel kok, pinter banget malah hari ini. Semenjak ada Ayleen, Mama perhatikan dia lebih tenang. Mungkin dia nyaman, karena Ayleen selalu rutin menyusui dan mengecek popoknya. Mama lihat, Ayleen juga aktif mengajak Sam berkomunikasi, walau terlihat satu arah, tapi Sam menikmati itu, dia jadi happy dan nggak rewelan lagi," tutur Bu Emjl panjang lebar.Abra tersenyum puas mendengar penjelasan mamanya, tiada kabar yang lebih baik baginya saat pulang kerja kecuali kondisi Samuel yang aman dan tidak rewel, sesederhana itu kebahagiaan Abra."Saya jadi nggak sabar ingin ketemu, Sam," ucap Abra."Coba saja kamu temui di kamarnya, tadi selesai mandi, Ailin langsung membe
Bab 11Ayleen terdiam, memandang tuannya, mencerna maksud dari ucapannya."Hanya kalau kamu mau saja," lanjut Abraham."Terima kasih, sebelumnya, Pak ... tapi saya tidak ingin merepotkan Bapak," jawab Ayleen sungkan.Abraham mengangguk-angguk, "dari bahasamu bicara, saya bisa menyimpulkan, bahwa sebenarnya kamu butuh bantuan, hanya saja kamu sungkan." Abraham menimpali.Ayleen menautkan kedua alisnya, "dari mana Bapak bisa menyimpulkan demikian?" tanya Ayleen."Dari jawabanmu, karena jika memang tidak ada masalah dengan pernikahanmu, kamu pasti akan menjawab, 'tidak ada yang perlu dibantu, Pak, karena Alhamdulillah pernikahan kami baik-baik saja', tapi sayangnya jawaban kamu justru menggambarkan isi hati kamu." Abraham menjawab dengan menaikkan pangkal kedua alisnya, ekspresinya terlihat memojokkan Ayleen.Ayleen terdiam, dalam hati membenarkan ucapan Abraham, entah ia yang salah dalam berkata, atau Abraham yang memang kelewat peka."Kalau memang ada masalah, berbagilah! Terkadang kit
Bab 12"Ayleen, sore nanti kamu bersiap ya? Saya mau ngajak kamu dan Sam jalan keluar, sekalian ketemu sama pengacara," ucap Abraham sebelum berangkat kerja."Oh, iya, siap, Pak," sahut Ayleen."On time ya, saya pulang kerja, kamu harus sudah siap," pesan Abraham lagi."Baik, Pak," jawab Ayleen sembari menimang Sam. Seperti biasa, Abraham akan menyempatkan waktu untuk mengecup kening bayi itu sebelum meninggalkannya bekerja."Nitip Sam, ya?" ucapnya pada Ayleen, dan Ibu susu dari putranya itu hanya menjawab dengan senyuman, senyum yang mulai disukainya."Nggak biasanya loh, Ayleen, Abra itu bikin janji temu sama pengacara di luar begitu, biasanya dia akan datang ke kantornya, atau justru malah sebaliknya. Sepertinya dia hanya ingin mengajakmu jalan saja," tutur Bu Emil setelah memastikan mobil putranya melaju meninggalkan rumah.Ayleen tersenyum, "Ibu bisa saja, mungkin lebih tepatnya ingin mengajak Sam jalan, Bu, tapi saya otomatis ikut-ikutan, kan sepaket sama Sam," balas Ayleen tak
Bab 13“Ayleen …! Kamu sudah siap belum?” Teriak Abra seraya menggedor pintu kamar Ayleen.“Sudah, Pak … sebentar!” Sahut Ayleen dari dalam kamarnya.Tak berselang lama pintu kamar terbuka menampilkan dengan style yang berbeda. Wanita itu terlihat anggun dan menawan dalam balikan dress berwarna silver dengan jilbab senada. wajahnya juga terlihat lebih segar dan fresh dengan sapuan make up tipis yang baru kali ini digunakannya.Sesaat Abraham terpaku di tempatnya memandang Ayleen tak berkedip. Tak dapat ia pungkiri ia terkesima melihat kecantikan Ayleen yang semakin terpancar. Sementara Ayleen dia, jadi merasa salah tingkah dibuatnya.“Maaf, Pak … mau berangkat sekarang?” Tanya Ayleen menyadarkan Abraham.“Oh, iya. Kita berangkat sekarang, kamu sudah siap kan?” Tanya Abraham gelagapan.“Sudah, Pak,”“Kita mau ambilkan di kamarnya saya siapkan stroller nya, ya!” ucap Abraham memberikan perintah.“Siap, Pak.” Ayleen segera berlalu dari harapan Abraham, seketika lelaki itu menghembuskan n
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara