Bab 16Airin memandang Ayleen tak berkedip, seolah tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Bagaimana tidak, ia seolah tengah bercermin saat memandang Ayleen, tak menyangka bisa bertemu dengan seseorang yang begitu mirip dengannya."Kamu?" tunjuknya pada Ayleen, Airin tak sanggup melanjutkan kalimatnya."Dia Ayleen, ibu barunya Sam," terang Abraham membuat Airin semakin ternganga, hal yang sama juga terjadi pada Ayleen, ia tak menyangka tuannya akan mengakuinya sebagai ibu baru Sam di depan ibu kandungnya. Detik berikutnya Airin tertawa cukup keras."Ibu baru? Jadi secepat itu kamu nikah lagi?" tanya Airin.Abraham hanya terdiam tanpa menjawab. Memilih diam agar terhindar dari dosa kebohongan, juga mulut julid mantan.Airin tersenyum sinis, "Segitu sulitnya kamu move on dari aku, sampai istri baru pun wajahnya harus dipermak persis sepertiku. Menyedihkan sekali," ucap Airin mengejek.Ayleen memandang dua orang yang berdebat di hadapannya dengan bingung."Terserah kamu mau bilang
Bab 17Malam setelah pertemuan Sam dengan ibunya, Airin. Bayi itu menjadi rewel. Tidurnya tak nyenyak, hingga berkali-kali membuat sang Daddy terjaga akibat tangisnya. Dengan menahan kantuk, Abraham berusaha menenangkan Sam.Ia memang berkomitmen bahwa malam adalah saatnya quality time dengan Sam, ia memutuskan untuk merawat sendiri putranya saat malam hari tanpa bantuan baby sister ataupun mamanya.Akan tetapi, malam ini pekerjaan menjaga Sam cukup memberatkannya. Bayi itu tak berhenti menangis sehingga membuatnya kewalahan.Abraham pun akhirnya memutuskan untuk menemui Ayleen dan meminta bantuannya untuk menenangkan Sam.Dengan Sam dalam gendongan, ia mengetuk pintu kamar Ayleen. Tak butuh waktu lama, pintu itu terbuka, menampilkan Ayleen dalam versi bangun tidur."Pak Abra?" Ucap Ayleen terkejut. "Sam kenapa, Pak?" Tanya Ayleen."Iya, nggak tahu ini, kok tiba-tiba rewel aja, saya sampai nggak bisa tidur. Kamu bisa bantu jaga dia dulu tidak? Saya ngantuk banget, besok pagi ada meeti
Bab 18"Iya, Pak, buka baju. Kan skin to skin, bagaimana caranya bisa skin to skin kalau tidak membuka baju?" Tanya Ayleen bingung."Kan bisa pakai kulit tangan, atau kulit-kulit yang lainnya?" Sahut Abraham."Tapi lebih efektifnya memang dada bertemu dada, Pak." Ayleen menjelaskan."Ya sudah, kamu buka baju Sam, lalu biarkan dia di kasurnya, nanti biar saya urus sendiri," titah Abaraham, tentu dia tak nyaman jika harus bertelanjang dada di depan Ayleen."Baik, Pak." Ayleen pun segera mengukuti arahan tuannya, meletakkan bayi dalam gendongannya di kasur, untuk membuka bajunya.Namun baru saja Ayleen melepas Sam dari gendongannya, bayi itu kembali menangis histeris, membuat Ayleen merasa tak tega melihatnya, pun dengan Abraham, ia kembali meminta Ayleen untuk menimang bayi itu."Kamu lepas bajunya sambil digendong bisa, kan? Tanya Abraham."Bisa, Pak," sahut Ayleen."Ya sudah, lakukan!" Titah Abra.Ayleen pun duduk di tepi ranjang, masih dengan menimang Sam, ia bersenandung kecil, semb
Bab 19Abra berbaring di ranjang yang tersedia di kamar Sam, lalu meminta Ayleen meletakkan Sam di dadanya. Darah Ayleen berdesir hebat, kala punggung jarinya tak sengaja menyentuh dada Abra saat neletakkan Sam di sana. Bayi itu segera menemukan posisi nyaman di atas dada daddy-nya. Kedua tangan kekar Abra mendekapnya erat, memberikan kehangatan."Saya pakaikan selimut ya, Pak?" Tawar Ayleen."Heemm!" Jawab Abra dengan kesadaran tersisa lima watt.Ayleen segera meletakkan selimut di permukaan punggung Sam, sebuah kain tipis yang hanya melindunginya dari terpaan udara malam secara langsung. Saat demam, bayi tidak memerlukan selimut yang tebal, karena selimut tebal hanya akan memperburuk kondisinya."Kamu jangan ke mana-mana, ya? Jagain Sam, jangan sampai jatuh. Kalau dia sudah nyaman, dan demamnya sudah turun, pindah ke sisi saya. Saya ngantuk banget, nggak tahan lagi untuk tidak memejamkan mata," ucap Abraham dengan suara lebih seperti kumur-kumur."Ba ... baik, Pak," sahut Ayleen ter
Bab 20Ayleen mengerjap, seolah merasa ada pasang mata yang tengah memperhatikannya. Perlahan, katup matanya terbuka, sesaat ia terdiam, kemudian menyadari, bahwa kini telapak tangannya bertumpuk dengan telapak tangan Abraham memeluk Sam.Pandangan Ayleen kemudian beralih pada tubuh Abra yang berada di hadapannya, dada tanpa busana membuatnya yang belum sadar sepenuhnya mendadak berteriak.WeSontak Abraham terbangun karena terkejut, begitupun dengan Samuel. Bayi itu seketika menangis mendengar jeritan Ayleen."Ayleen! Kamu apa-apaan sih!" Tegur Abraham, tangannya dengan cepat mengambil Sam dan membawanya ke dalam gendongan. Menenangkan bayi itu dengan menepuk-nepuk pundaknya.Ayleen terlihat bingung. "Maaf, Pak ... saya terkejut melihat Bapak di sini," sahut Ayleen sekenanya."Kok kamu yang terkejut? Harusnya saya yang terkejut, kamu ngapain di sini? Bukannya semalam saya minta kamu langsung kembali?" Balas Abraham.Ayleen tampak mengingat-ingat, pandangannya masih mengarah pada dad
Bab 21Sore ini, Abra dan Ayleen melakukan perjalanan ke Malang, bersama beberapa orang suruhan Abra yang lainnya. Mereka telah merencanakan sesuatu untuk bisa mendapatkan berkas-berkas yang dibutuhkan Ayleen untuk pengajuan gugatan cerai.Sepanjang perjalanan, Ayleen terlihat tak tenang. Wanita itu terus terlihat gelisah, melihat itu, Abraham menjadi tak tega."Kamu kenapa, Ayleen?" Tanya Abraham."Ehm ... tidak apa-apa, Pak, saya hanya takut," sahut Ayleen sambil menunduk dan meremas jemarinya. Sore ini, mereka jalan ke Malang tanpa Sam. Untuk kali pertama, mereka jalan hanya berdua. Abraham sengaja meninggalkan Sam di rumah demi keamanannya."Apa yang kamu takutkan?" Tanya Abraham."Saya takut, Erwin mengetahui kedatangan saya, dan dia akan mencegah saya kembali, Pak, " tutur Ayleen menunduk."Itu tidak akan pernah terjadi, Ayleen!" Ucap Abraham yakin."Kenapa Bapak begitu yakin? Erwin adalah orang yang sangat licik dan licin, mata-matanya ada di mana-mana, ia akan dengan mudah men
Bab 22Mobil yang ditumpangi Ayleen dan Abraham berhenti tak jauh dari rumah Erwin."Saya harus bagaimana ini, Pak?" Tanya Ayleen bingung."Kamu harus tenang dulu, jangan turun sebelum kamu merasa tenang!" Sahut Abraham.Ayleen tampak menghembuskan nafas."Saya nggak bi—""Kamu bisa! Nggak usah takut, nggak usah khawatir, saya ada di sini untuk membantu kamu. Sekarang kamu minum ini, lalu atur nafas kamu sampai tenang," tutur Abraham perhatian. Tangannya bergerak memutar tutup botol air mineral yang masih tersegel dan menyerahkannya kepada Ayleen.Ayleen menerima botol tersebut, "terima kasih, Pak," ucapnya kemudian segera meneguknya sampai sedikit tumpah-tumpah karena tangannya gemetaran dan dia melakukannya dengan buru-buru."Pelan-pelan saja, Ayleen." Abraham memperingati."Maaf, Pak," sahut Ayleen, mengusap ujung bibirnya yang basah."Tutupnya!" Ucap Abraham menyerahkan tutup botol yang masih digenggamnya.Ayleen segera meraihnya, lalu menutup botol yang dibawanya."Sekarang atur
Bab 23"Lepaskan Ayleen!" Titah Abraham sekali lagi, tanpa memperdulikan pertanyaan Surya tentang siapa dirinya.Surya tersenyum sinis, "kau tak bisa seenaknya meminta seorang Ayah melepaskan putrinya." Surya berucap tak gentar, walau dalam hati ia penasaran, siapa gerangan lelaki tampan yang memberikan perlindungan untuk Ayleen itu.Daddy Sam itu tersenyum sinis. "Ayah mana yang tega mengorbankan kebahagiaan putrinya dengan membiarkannya berada di lembah kesengsaraan? Anda mengaku seorang Ayah tapi tak memiliki kasih sayang di hati Anda, apakah pantas disebut Ayah?" Sahut Abraham tenang, namun berhasil menohok relung hati terdalam ayah Ayleen."Kurang ajar!" Sentak Surya bersiap memberikan bogeman untuk Abraham. Namun Ayleen segera mencegah."Jangan, Yah!" Teriak Ayleen.Abraham hanya tersenyum tipis. "Lepaskan Ayleen untukku. Akan kukabulkan apapun permintaanmu!" Ucap Abraham menarik perhatian Surya."Pak, tidak perlu, sebaiknya kita pergi saja dari sini," cegah Ayleen, tak ingin le
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara