“Apa saja yang kalian lakukan hingga aku harus bermalam di penjara?!” teriak Ghina pada pengacaranya dari dalam sel. Hari sudah berganti, tetapi wanita paruh baya itu masih mengenakan pakaian kemarin dan rambutnya sedikit lebih berantakan. Beberapa tahanan mendesis marah karena Ghina terlalu berisik saat mereka sedang menikmati sarapan. Sementara para penjaga bersikap seolah tidak mendengar bumbu-bumbu pertikaian itu. Ghina langsung tutup mulut. Dia meremas jeruji besi yang membatasinya dengan sang pengacara. “Nona Sydney tidak menjawab panggilan kami, Nyonya. Sehingga kami sulit melakukan mediasi dengannya,” jawab pengacara pria yang tampak lusuh karena harus lembur mengurus Ghina semalaman. “Anak itu pasti sengaja!” geram Ghina sambil melebarkan matanya yang memerah. Pengacara Ghina menelan ludah, tidak yakin harus merespons apa. “Apa kita tidak bisa menuntutnya balik?! Aku sudah memberikan uang 50 juta padanya untuk tutup mulut!” ide Ghina kemudian. Pria berjas biru tua it
Pipi Sydney spontan memerah. Sendok bayi yang dia pegang bahkan terjatuh ke lantai. Sydney segera menyadarkan diri dan mengambilnya. Lalu, mencuci sendok itu di wastafel. Morgan selalu menggoda Sydney. Namun mengingat bagaimana pria itu tidak pernah melakukan tindakan yang lebih jauh, bahkan menolak Sydney saat wanita itu menunjukkan tubuh polosnya, dia tidak ingin gegabah menanggapi Morgan. ‘Dia pasti hanya iseng!’ batin Sydney meyakinkan diri. Sydney memutar tubuh, kembali menghadap Morgan. “Kau bukan bayiku,” sahut Sydney sambil menggerakkan tangan dengan salah tingkah. Dia tidak berani menatap mata Morgan. Mata elang pria itu bisa membuat Sydney tersesat jika ditatap terlalu lama. Morgan masih menyeringai. Perlahan, dia melangkah dan mengikis jarak dengan Sydney. “Haruskah aku minum ASI darimu supaya aku bisa resmi menjadi bayimu, Mami Sydney?” tanya Morgan sedikit membungkuk untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Sydney. Ronald membelalak mendengar atasannya yang ding
“Suapan terakhir!” tukas Morgan sambil menyuapi Jade yang kini membuka mulutnya dengan mudah. Untuk membuat bayi laki-lakinya makan lahap, Morgan harus bersedia menyerahkan wajahnya untuk dimainkan oleh Jade. Sehingga saat mangkuk makanan Jade bersih, Morgan tidak bisa menyembunyikan senyum bangganya. “Ini pekerjaan tersulit yang pernah aku lakukan,” tambah Morgan menyodorkan mangkuk kosong itu pada Sydney. Setelah mengusap pelan rambut cokelat Jade dan Jane yang mulai lebat, Morgan beralih pada Sydney. “Selamat, kau berhasil,” ucap Sydney menggerakan tangannya. Morgan menaikkan salah satu sudut bibirnya, tidak percaya bahwa dia merasa senang hanya karena berhasil menyuapi seorang bayi. “Tampaknya, kau sengaja memilihkan bayi yang sulit untukku,” ujar Morgan sambil melirik Jane. “Jane tampak lebih ramah denganku.” “Jika kau kesulitan mendekati bayimu, berarti kau kurang meluangkan waktu untuk bermain dengan mereka,” sahut Sydney menatap Morgan dengan lekat. Perasaan h
Sydney mengerjap perlahan saat merasa tubuhnya bergoyang dan melayang di udara. Beberapa waktu lalu, seingatnya dia tertidur di sofa kamar si kembar setelah menyusui. ‘Apa ada gempa?!’ batin Sydney spontan membuka matanya dengan cepat. Bukannya melihat kamar si kembar, tatapan Sydney justru langsung bertemu dengan wajah Morgan yang tengah menatap lurus ke depan. Pria itu sedang menggendong dan membawanya melintasi koridor mansion yang gelap. Morgan sedikit menunduk sebelum melihat ke depan lagi. “Kau bangun?” tanya pria itu. “Lanjutkanlah tidurmu, aku hanya memindahkanmu ke kamarku.” Sydney mengeratkan pegangannya pada leher Morgan dan menyembunyikan wajahnya di sana. Wangi tubuh Morgan terhirup oleh Sydney dan menghantarkan aliran listrik yang membuat jantungnya berdebar. Napas Morgan menjadi berat. Sydney juga merasakan dada pria itu berdetak cepat. Setelah sampai di kamar Morgan, pria itu membaringkan Sydney di ranjangnya. Sydney menatap Morgan yang masih berdiri di sisi ran
“Waa … waa …!” Tangisan Jade dan Jane dari monitor yang ada di kamar Morgan membangunkan Sydney. Saat Sydney ingin bangun dari posisi berbaringnya, dia merasa sesuatu yang berat menindih pinggangnya. Itu adalah tangan Morgan yang tengah memeluk Sydney dari belakang. ‘Oh!’ Sydney berseru dalam hati saat mengingat dia tidur bersama pria itu semalaman. Benar-benar hanya tidur, sesuai perkataan Morgan. Untuk penampilan fisik yang seakan bisa meniduri wanita manapun yang dia temui, Sydney sempat tidak percaya Morgan mampu menahan diri sekuat itu. ‘Apakah aku tidak menarik di matanya?’ tanya Sydney meragukan dirinya sendiri. ‘Atau seleranya adalah … model seperti Veronica?’ Sydney menggigit bibirnya. Dengkuran Morgan yang halus dari arah belakang menyadarkan lamunan Sydney. Dia segera bangkit dengan hati-hati supaya Morgan tidak terbangun. Namun, Morgan ahli dalam merasakan perubahan gerakan yang sangat kecil. Dia menyadari Sydney bergerak menjauh dan pria itu segera mengeratkan pel
“Aku ingin mengundang mereka ke rumah mendiang orang tuaku,” tukas Sydney kemudian. “Untuk apa?” tanya Morgan sambil menaikkan kedua alis. Sydney menghela napas dan menjawab, “Mengejutkan mereka?” “Sepertinya menarik,” sahut Morgan sambil menyeringai. “Kali ini hanya aku, Morgan. Aku tidak ingin mereka tahu kita dekat,” elak Sydney dengan cepat. “Aku tidak mungkin membiarkan Tante Ghina dan Om Fred tahu tentang … kita. Mereka tidak bisa dipercaya.” Pria itu menggeleng dan membuang muka, mengalihkan perhatiannya pada si kembar yang sedang memainkan air liur mereka. Morgan mengelapnya dengan tisu. Sydney menyentuh lengan Morgan, supaya pria itu kembali menoleh padanya. “Jika tidak denganku, maka kau tidak akan mendapat izin keluar,” tukas Morgan dengan tegas tanpa menoleh. Sydney menangkup rahang Morgan dengan kedua tangannya. Lalu membuat pria itu melihat matanya. Dia menatap Morgan dengan tatapan penuh permohonan yang lembut. “Beri aku syarat apa pun, aku akan menerimanya as
Ting tong! Sydney sedang memperbaiki dekorasi bunga saat mendengar pintu bel rumah mendiang orang tuanya berbunyi tepat pada pukul tujuh malam. Rumah itu sudah Sydney dekorasi dengan indah. Taplak meja berwarna putih, bunga mawar berwarna senada, dan piring mahal koleksi mendiang ibunya berhasi mempercantik ruang makan. Untuk hidangan makan malamnya, Sydney memasaknya bersama Layla, Celia dan Miran. Morgan mewajibkan Sydney untuk memboyong ketiga pelayan ini dari mansionnya untuk tinggal sementara di sini. Sydney membuka pintu. Seperti dugaannya, dia langsung melihat wajah Ghina dan Fred. Wanita muda itu tersenyum dan mempersilakan tamunya masuk dengan mengulurkan salah satu tangan ke arah dalam. Ghina sempat mengira Sydney hanya akan berpenampilan biasa, mengingat wanita itu sudah bangkrut. Namun ternyata gaun yang Sydney kenakan adalah salah satu keluaran terbaru yang terbatas dari brand ternama. “Lihat Tante, Sydney!” Ghina langsung bersuara sambil memegang lengan Sydney, me
Sydney membeku di tempat dan membelalak. Cara Vienna mendorong Layla, mengingatkan Sydney sesuatu. Saat wanita itu mendorongnya hingga Sydney berakhir di rumah sakit dan kehilangan segalanya. Tubuh Sydney melemas, tetapi dia segera meremas tangannya untuk menguatkan diri. “Bibi!” seru Celia yang ada di dekat Layla, menyadarkan Sydney dari bayang-bayang traumanya. Celia memegang kedua bahu Layla dan membantunya berdiri. Kemudian pelayan muda itu menatap tajam Vienna dengan berani. “Beraninya Nyonya menampar Bibi Layla?! Bahkan mulutku tidak sudi memanggil wanita tanpa adab sepertimu dengan panggilan Nyonya!” protes Celia, wajahnya memerah. “Sydney, kau sangat tidak becus melatih pelayan-pelayanmu!” Vienna bangkit kembali dari duduknya. “Biar aku yang urus!” Vienna mengangkat tangannya lagi, hampir menampar Celia. Namun Sydney yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya, segera menahan tangan Vienna dengan tatapan membunuh yang dia pelajari dari Morgan. Sydney sebenarnya tidak menduga
“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat
“Apa kau benar-benar harus pergi sekarang?” tanya Sydney sambil menggerakan tangan. Hari di mana Morgan harus pergi cukup lama akhirnya tiba. Pria itu menghentikan langkahnya di depan pintu mansion. Angin pagi yang berembus pelan mengibaskan helaian rambutnya, sementara mata Sydney sudah berkaca-kaca. Sudah beberapa lama Sydney bersama Morgan, dia baru merasa kehilangan setelah pria itu berniat dinas panjang. Morgan menoleh dan melangkah mendekat. Dia mendekatkan wajahnya dan menatap mata Sydney dari jarak dekat. Pria itu mengangkat tangan dan mengusap pelan air mata yang mulai turun di pipi kekasihnya. “Dengar aku baik-baik,” bisik Morgan lembut. “Kau baru boleh pergi keluar sendiri setelah pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk Bella, Vienna, dan Lucas. Mengerti?” Sydney mengangguk, cepat-cepat menghapus air mata yang tersisa dengan punggung tangan. Wanita itu tampak marah pada dirinya sendiri karena terlalu lemah. Morgan mendekatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku jug
Lucas melangkah keluar dari mansion Morgan dengan langkah berat dan bahunya jatuh. Dia mengepalkan tangan erat-erat, seperti hendak meninju siapa pun yang berani menghiburnya saat itu.Udara pagi yang dingin menusuk tulang, tetapi amarah di dalam diri Lucas lebih membakar dari apa pun.Setelah Lucas menghilang di balik pintu utama, Ken berdeham.“Jika ini semua untuk membalas dendam Sydney,” ucap Ken membuka obrolan sambil menyilangkan kaki dan melirik Morgan, “mengapa kau memberi mereka jalan untuk kabur?”Morgan menyesap kopinya perlahan. Asap tipis mengepul dari permukaan cairan pekat itu.“Akan lebih menyenangkan jika mereka kalah karena rasa putus asanya setelah terluka cukup parah,” jawab Morgan sambil menaruh cangkir di atas meja. “Aku ingin melihat mereka kejang-kejang sebelum mati.”Ken tertawa kecil. Bukan tawa lepas, melainkan semacam menahan geli yang menggelitik perutnya.Dia seperti sedang menyaksikan sebua
“Kau melakukan itu untukku?” tanya Sydney seraya menaikkan kedua alis dan membentuk bahasa isyarat dengan kedua tangannya. Sydney merasa tenggorokanya kering, dan matanya belum beranjak dari milik Morgan—berusaha mencari jawaban lain, jika memang ada. Morgan mengangguk pelan. “Untuk siapa lagi?” tanya Morgan datar. “Dia mengganggumu dan hampir melukaimu. Aku tidak akan bisa memaafkannya. Lalu aku hanya memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Bella. Kedua wanita itu berkomplotan.” Sydney menyipitkan mata, tubuhnya seketika kaku. “Berkomplotan?” tanya Sydney mengulang ucapan Morgan sambil menggerakan tangan perlahan. “Apa maksudmu mereka bekerja sama dalam kasus pemerkosaan itu?” “Ya,” jawab Morgan tanpa ragu. “Bella butuh pelampiasan. Olive butuh pelindung. Mereka memanfaatkan satu sama lain seperti memperdagangkan bencana. Apa kau marah padaku?” Seketika, dunia dalam kepala Sy
"Saya butuh waktu untuk berpikir beberapa menit." Suara Lucas akhirnya pecah di antara deru napas beratnya.Tangan Lucas yang masih menggenggam kemudi, kini mulai gemetar. Di luar sana, malam begitu hening. Namun di dadanya, badai bergemuruh tanpa henti.Terdengar tawa Morgan dari seberang telepon, nyaring dan penuh ejekan.“Mengapa jadi kau yang perlu waktu untuk berpikir?” tanya Morgan penuh sarkas. “Kau yang membutuhkanku, Lucas. Jika tidak mau, silakan pergi dan jangan mengotori pemandangan dimansion-ku.”Lucas menutup mata sejenak. Dia mengangkat tangan dan menyugar rambutnya ke belakang, menahan agar kepalanya tidak meledak karena frustrasi.Seluruh tubuh Lucas terasa seperti terbakar oleh amarah dan kekalahan sekaligus.Selama ini, Lucas pikir proyek pengawalan eksklusif itu adalah peluang besar. Kerja sama dengan Morgan akan membuat nama Zahlee Entertainment dan Monarch Legal Group naik kelas.‘Sejak awal Tuan Morgan memang hanya ingin menjebakku dan Vienna,’ ucap Lucas dalam
Setelah berita beralih ke topik lain, Sydney melangkah cepat menuju ruang kerja Morgan. Dia meninggalkan Layla yang masih terpaku di sana.Namun, ada dua anak buah yang berjaga di depan ruang kerjanya. Saat melihat Sydney mendekat, keduanya membungkuk hormat.“Maaf, Nona. Tuan Morgan sedang mengadakan rapat daring dengan Menteri Perdagangan,” ujar salah satunya memberi tahu.Sydney menautkan alisnya, padahal ada banyak hal yang ingin di tanyakan.Wanita itu mengetik cepat di layar ponsel, lalu memperlihatkannya pada mereka berdua.“Beri tahu Morgan jika aku menunggu di kamarku.”“Akan kami sampaikan, Nona.” Salah satu dari mereka mengangguk.Sydney tidak berkata apa-apa lagi. Dia mencengkram ponsel dengan erat saat berjalan menjauh dengan langkah yang semakin cepat.Sesampainya di kamar, Sydney langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Rambut panjangnya menjuntai ke sisi wajah, menutupi ekspresi muram yang mulai mengendap di sana.Sydney menarik napas panjang, lalu membuka portal ber
"Apa yang baru saja kulakukan ...." desah Bella lirih dan suaranya bergetar. Begitu pula dengan tangannya yang gemetar. Pistol yang masih mengepul itu jatuh dari genggamannya dan menghantam lantai dengan dentingan logam yang keras. Pandangan Bella mengabur dan napasnya tercekat. Di hadapannya, tubuh Olive terbujur kaku di lantai kafe. Darah mengalir dari dada wanita itu, membentuk genangan yang perlahan meluas. Yang membuat Bella ketakutan, mata Olive masih terbuka dan menatapnya penuh amarah. Sunyi mendadak mengurung ruangan. “P-Pembunuh! Dia membunuhnya!” teriak seseorang di sudut ruangan. Teriakan itu membangunkan semua orang dari keterpakuan mereka. Beberapa pengunjung memekik, sebagian lainnya merunduk ketakutan. Bella menoleh cepat dengan wajah yang memucat. Bola matanya bergerak liar, seperti rusa yang terjebak dalam jerat. Wanita itu berbalik. Dengan sorot mata penuh amarah, Bella menatap tajam kedua pengawalnya yang berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa-apa. “B
“Pergilah!” geram Bella dengan wajah memerah. “Kau sudah cukup beruntung masih selamat dari amukan Morgan. Jangan mencari masalah denganku!”Alih-alih mundur atau gentar, Olive justru menanggapi dengan tawa lebar, keras, dan penuh ejekan.Suaranya menggema di dalam kafe, membuat beberapa pasang mata yang semula hanya mengintip mulai terang-terangan menoleh.“Jangan seperti itu pada teman lamamu, Veronica,” ujar Olive berpura-pura sedih sambil memegang dadanya.Bella mengernyitkan dahi. Olive tidak biasanya memanggil Bella dengan nama panggung.“Veronica Pillpel kecil yang menggemaskan dan polos,” lanjut Olive sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi, matanya bersinar penuh kemenangan.“Kau ingat? Kita sudah berteman sejak aku menemukan bakat luar biasamu di usia 17 tahun. Ya ampun, betapa cepat waktu berlalu.” Olive mengibaskan rambutnya ke belakang.Genggaman Bella pada gelas es kop
Bella menyandarkan punggungnya di kursi belakang mobil. Dia menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun. Wanita itu hanya menggulir layar ponsel ke atas dan ke bawah.Nina, sang manajer, baru saja membuka pintu mobil.“Kau mau beristirahat di mana?” tanya Nina sembari melirik ke arah kursi penumpang.“Bawa aku ke kafe,” desah Bella tanpa menoleh. “Aku butuh es kopi.”Tanpa bertanya lagi, Nina masuk ke kursi kemudi dan langsung menyalakan mesin. Mobil melaju perlahan menjauh dari lokasi syuting.Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan Pop Cafe, sebuah tempat kecil yang sering mereka datangi untuk kabur sejenak dari hiruk-pikuk dunia selebriti.“Kau ingin pesan apa? Yang biasa?” tanya Nina sambil menoleh ke belakang, bersiap keluar.Bella menghela napas panjang, kemudian melihat sekeliling. Keramaian kafe itu seperti magnet baginya kali ini.“Aku akan ikut kau turun,” jawab Bella sambil merapikan rambut dan memeriksa riasannya di spion tengah.Nina menaikkan k