"Sayang, aku dengar kamu batalkan kerja sama dengan Pak Barata?" tanya Sasha dengan suara serak, mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Arjuna melepaskan dasinya dengan gerakan cepat, lalu menoleh dengan pandangan yang tajam, "Dari mana kamu tahu?" jawabnya, suaranya rendah, seolah membawa beban yang berat."Aku tahu dari Leo," ujar Sasha, hampir berbisik. "Dia memintaku untuk membujukmu, agar kamu jangan batalkan kerja sama itu."Arjuna diam sejenak, lalu terbaring di kasur, seolah ingin tenggelam dalam pikiran yang membingungkan dan kacau. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka, menambah keheningan yang mendalam.Sasha, tak bisa duduk diam, akhirnya duduk di tepi ranjang dan menyentuh lengan Arjuna dengan lembut, seakan mencoba memberi ketenangan pada jiwa yang tengah bergelora. "Sayang, aku rasa keputusanmu itu salah besar."Arjuna menghela napas panjang, kemudian menjawab dengan nada datar namun tegas, "Keputusanku sudah tepat. Aku tidak bisa han
Arumi berdiri di sudut dapur yang remang-remang, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Suasana yang sepi menambah ketegangan di dalam hatinya. Ia mengangkat telepon dari Barata dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapannya.“Arumi, kamu dengar aku?” suara Barata terdengar rendah dan penuh tekanan.Arumi mendekatkan telepon ke telinga, berusaha berbicara dengan pelan. “Iya, saya dengar. Apa yang harus saya lakukan sekarang?”Suara Barata terdengar seperti berbisik dari ujung telepon, "Apa kamu punya rencana baru?"Arumi menelan ludah, menatap sekeliling dapur dengan waspada. "Saya sebenarnya sudah punya rencana...."Namun, tepat saat itu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungnya dengan keras. Arumi terlonjak kaget, hampir saja menjatuhkan ponselnya. Ia menoleh dengan cepat."Bibi sedang telepon siapa?"Keheningan yang menggantung di udara pecah ketika Alex memecahnya dengan suara yang datar dan penuh penekanan.Arumi tersentak, jantungnya
Melody terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat, matanya setengah tertutup, seolah dunia di sekitarnya berputar begitu cepat. Arjuna, Sasha, dan dokter sudah berkumpul di sekelilingnya, masing-masing menatap dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Dokter itu, dengan tangan terampil, memeriksa kondisi Melody, namun ekspresinya berubah serius setelah beberapa saat. Ia berhenti sejenak, memandang Melody dengan pandangan penuh perhatian."Kapan terakhir kali Nona datang bulan?" suara dokter itu terdengar lembut, namun ada keheningan yang terasa begitu berat.Melody menatap ke bawah, mengumpulkan tenaga untuk menjawab, suara nyaris tak terdengar. "Sekitar satu bulan yang lalu, dan... hingga akhir bulan ini, saya belum juga datang bulan, Dok."Dokter itu mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. Namun, ia tak segera mengalihkan pandangannya dari Melody. Sekilas, ia melirik Arjuna yang berdiri di dekat pintu, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun matanya beg
Keesokan harinya, suasana pagi itu terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tak terungkapkan. Melody, Arjuna, dan Sasha berada di dalam mobil, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri. Saat mobil berhenti di depan gedung rumah sakit, Arjuna, yang biasanya tenang dan penuh kontrol, secara refleks menggenggam tangan Melody dengan lembut. Genggaman itu, meski sederhana, terasa begitu berat. Melody, yang merasakan sentuhan itu, seolah terhenti sejenak. Jantungnya berdebar hebat, seperti ada ribuan serangga yang berkumpul di dalam dadanya, merayap naik ke tenggorokan, mematikan kata-kata. Sasha, yang duduk di kursi belakang, menatap pemandangan itu dengan rasa tidak suka yang begitu jelas. "Sayang," suaranya tajam, penuh nada protes, "Kita tidak sedang menyeberangi jalan. Kenapa kamu harus menggenggam tangannya seperti itu?" Nada suaranya mencerminkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan, seolah mengingatkan Arjuna akan kenyataan yang tak bisa ia elakkan.Arjuna, yang m
“Siapkan semua barangmu, aku sudah menjualmu pada seorang CEO dengan imbalan 1 miliar,” kata Suripto dengan begitu santai ketika baru memasuki rumahnya.Melody yang sedari tadi sibuk membersihkan dapur langsung terkejut mendengar ucapan suaminya. “Maksudmu apa, Mas?”“Aku sudah menjualmu, seorang CEO kaya sedang mencari wanita yang mau menyewakan rahimnya untuk mengandung anaknya. Jadi, aku menjualmu kepadanya untuk mendapat imbalan itu,” jelas Suripto seolah tidak ada yang salah di sini. “Aku butuh uang itu untuk bayar hutang karena kalah judi.”Melody membelalakkan matanya lebar-lebar. Ia tahu, menikah dengan Suripto adalah penyesalan terbesarnya, dan sekarang semua itu benar-benar membuatnya menjadi semakin menyesal. Namun, saat itu dia harus menuruti permintaan terakhir neneknya, melihatnya menikah dengan Suripto yang dianggap sebagai laki-laki paling baik di kampungnya.“Kenapa harus aku yang menanggung semuanya? Kenapa aku yang harus membayar harga dari kesalahanmu? Semua itu ul
Melody dan Alea memasuki kediaman Arjuna yang mewah, dengan lampu kristal yang memantulkan cahaya lembut. Namun, Melody merasa terperangkap dalam kemewahan yang menindih, seperti berada di tempat yang salah. Mereka disambut oleh seorang wanita cantik bergaun merah, ia adalah Sasha istri Arjuna. Senyumnya manis, tapi tatapannya tajam, menyelidiki setiap inci diri Melody, membuatnya semakin tidak nyaman. "Sayang, apakah wanita ini yang akan mengandung anak kita nanti?" tanya Sasha, yang kini mendekat dan berdiri disamping Arjuna. Arjuna hanya mengangguk pelan, ekspresinya datar, Melody semakin tegang, memeluk putrinya, Alea, semakin erat seiring kekhawatirannya yang tumbuh. Tiba-tiba, tatapan Sasha beralih tajam ke arah Alea, penuh perhatian. "Lalu siapa anak kecil ini?" tanya Sasha lagi, sambil menunjuk ke arah Alea dengan tatapan penuh tanya. "Dia putrinya Melody," jawab Arjuna singkat, namun dengan nada yang tegas dan jelas. "Apa? Anak? Kenapa tidak cari yang masih single?" uj
Pembantu di rumah Arjuna mengetuk pintu kamar Melody dengan suara lembut namun tegas, "Nyonya Sasha dan Tuan Arjuna sudah menunggu, Nona."Melody yang terburu-buru segera bergegas membangunkan Alea dan menitipkannya pada pembantu. Ia mencium kening anaknya dengan lembut, "Alea, Ibu akan segera kembali.""Seharusnya kamu bersiap lebih awal," kata Sasha, suaranya dingin dan penuh tekanan. "Apa kamu tidak mengerti arti disiplin?"Melody menundukkan kepala, wajahnya dipenuhi ketegangan. Kata-kata itu menghujamnya, tetapi ia tidak mampu membalas tatapan tajam Sasha. Perasaan cemas semakin menghimpit hatinya.“Ma–maaf, Nyonya,” kata Melody lirih.Sasha hanya berdecak, lalu melangkah lebih dulu. Jelas ia ingin semua ini cepat dilakukan dan cepat mendapat hasil.****Setibanya di rumah sakit, perasaan campur aduk menyelimuti mereka bertiga. Melody, yang akan menjalani pemeriksaan kesehatan rahim, tampak cemas namun berusaha tegar. Ini adalah langkah besar dalam perjalanan mereka—Melody bersed
Setelah menerima kabar melalui telepon, Arjuna, Sasha, dan Melody kembali ke rumah sakit untuk menyelidiki lebih lanjut penyebab kegagalan kualitas sperma Arjuna dalam mencapai tahap fertilisasi."Jadi, hasil dari analisis kualitas sperma yang kami lakukan sebelumnya menunjukkan ada penurunan yang cukup signifikan," kata dokter dengan suara tenang, namun penuh perhatian. "Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Yang paling umum adalah stres, pola hidup yang tidak sehat, atau bahkan faktor lingkungan."Melody yang duduk di samping Arjuna, meremas tangannya sendiri, perasaan semakin berat seiring penjelasan dokter."Apa ada solusi, Dok, untuk meningkatkan kualitas sperma?" tanya Sasha yang nampak sangat berharap."Stres harus dikurangi, gaya hidup lebih sehat, dan kami akan menunggu satu minggu lagi untuk evaluasi ulang," jawab dokter, memandang mereka dengan penuh perhatian."Apakah ada suplemen atau obat yang bisa membantu?" tanya Sasha, merasa khawatir jika hal ini memerlukan waktu
Keesokan harinya, suasana pagi itu terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tak terungkapkan. Melody, Arjuna, dan Sasha berada di dalam mobil, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri. Saat mobil berhenti di depan gedung rumah sakit, Arjuna, yang biasanya tenang dan penuh kontrol, secara refleks menggenggam tangan Melody dengan lembut. Genggaman itu, meski sederhana, terasa begitu berat. Melody, yang merasakan sentuhan itu, seolah terhenti sejenak. Jantungnya berdebar hebat, seperti ada ribuan serangga yang berkumpul di dalam dadanya, merayap naik ke tenggorokan, mematikan kata-kata. Sasha, yang duduk di kursi belakang, menatap pemandangan itu dengan rasa tidak suka yang begitu jelas. "Sayang," suaranya tajam, penuh nada protes, "Kita tidak sedang menyeberangi jalan. Kenapa kamu harus menggenggam tangannya seperti itu?" Nada suaranya mencerminkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan, seolah mengingatkan Arjuna akan kenyataan yang tak bisa ia elakkan.Arjuna, yang m
Melody terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat, matanya setengah tertutup, seolah dunia di sekitarnya berputar begitu cepat. Arjuna, Sasha, dan dokter sudah berkumpul di sekelilingnya, masing-masing menatap dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Dokter itu, dengan tangan terampil, memeriksa kondisi Melody, namun ekspresinya berubah serius setelah beberapa saat. Ia berhenti sejenak, memandang Melody dengan pandangan penuh perhatian."Kapan terakhir kali Nona datang bulan?" suara dokter itu terdengar lembut, namun ada keheningan yang terasa begitu berat.Melody menatap ke bawah, mengumpulkan tenaga untuk menjawab, suara nyaris tak terdengar. "Sekitar satu bulan yang lalu, dan... hingga akhir bulan ini, saya belum juga datang bulan, Dok."Dokter itu mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. Namun, ia tak segera mengalihkan pandangannya dari Melody. Sekilas, ia melirik Arjuna yang berdiri di dekat pintu, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun matanya beg
Arumi berdiri di sudut dapur yang remang-remang, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Suasana yang sepi menambah ketegangan di dalam hatinya. Ia mengangkat telepon dari Barata dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapannya.“Arumi, kamu dengar aku?” suara Barata terdengar rendah dan penuh tekanan.Arumi mendekatkan telepon ke telinga, berusaha berbicara dengan pelan. “Iya, saya dengar. Apa yang harus saya lakukan sekarang?”Suara Barata terdengar seperti berbisik dari ujung telepon, "Apa kamu punya rencana baru?"Arumi menelan ludah, menatap sekeliling dapur dengan waspada. "Saya sebenarnya sudah punya rencana...."Namun, tepat saat itu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungnya dengan keras. Arumi terlonjak kaget, hampir saja menjatuhkan ponselnya. Ia menoleh dengan cepat."Bibi sedang telepon siapa?"Keheningan yang menggantung di udara pecah ketika Alex memecahnya dengan suara yang datar dan penuh penekanan.Arumi tersentak, jantungnya
"Sayang, aku dengar kamu batalkan kerja sama dengan Pak Barata?" tanya Sasha dengan suara serak, mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Arjuna melepaskan dasinya dengan gerakan cepat, lalu menoleh dengan pandangan yang tajam, "Dari mana kamu tahu?" jawabnya, suaranya rendah, seolah membawa beban yang berat."Aku tahu dari Leo," ujar Sasha, hampir berbisik. "Dia memintaku untuk membujukmu, agar kamu jangan batalkan kerja sama itu."Arjuna diam sejenak, lalu terbaring di kasur, seolah ingin tenggelam dalam pikiran yang membingungkan dan kacau. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka, menambah keheningan yang mendalam.Sasha, tak bisa duduk diam, akhirnya duduk di tepi ranjang dan menyentuh lengan Arjuna dengan lembut, seakan mencoba memberi ketenangan pada jiwa yang tengah bergelora. "Sayang, aku rasa keputusanmu itu salah besar."Arjuna menghela napas panjang, kemudian menjawab dengan nada datar namun tegas, "Keputusanku sudah tepat. Aku tidak bisa han
Kenapa Tuan mengatakan hal itu pada Tuan Barata?" tanya Melody, suaranya bergetar sedikit saat ia duduk kembali di dalam mobil, tatapannya penuh tanya dan bingung.Dengan ekspresi serius, Melody melanjutkan, "Bukankah Tuan dan Nyonya sendiri yang meminta agar status saya di keluarga kalian tetap disembunyikan? Lalu kenapa tiba-tiba... seperti itu?"Arjuna terdiam, perlahan mengatur pernafasannya yang mulai terasa berat. Rasa bingung dan kekesalan menyelimuti hatinya, seolah ada kekuatan yang tak terduga mendorongnya untuk membongkar rahasia itu di hadapan Barata. Ia tak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar begitu saja, seakan-akan semuanya terjadi tanpa kendali. Keheningan semakin menekan, membiarkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab terus menggelayuti pikirannya."Saya takut karir Nyonya Sasha akan hancur jika Tuan Barata membeberkan rahasia ini pada media," ujar Melody dengan nada gugup, matanya tak berani menatap Arjuna.Arjuna menatapnya tajam, suaranya berubah tajam dan p
Melody berjalan dengan langkah yang masih gemetar, setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Hati dan pikirannya bergejolak, dipenuhi dengan rasa takut dan kecemasan yang semakin mendalam. Saat sampai di pintu kamar Alea, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Begitu pintu terbuka, Alea yang duduk di sudut kamar langsung berlari kecil menyambutnya. “Ibu!” Alea memanggil dengan riang, melompat ke pelukan Melody. “Alea kangen, Ibu!"Melody membalas pelukan Alea, merasakan kehangatannya yang sedikit menenangkan. Namun, kekhawatiran tentang ancaman Sasha terus membayangi pikirannya. Melihat Alea, Melody merasa beban semakin berat di dadanya.Alea melepas pelukan dan menatap ibunya dengan penuh perhatian. “Ibu kenapa sih? Kok mukanya kayak capek banget?” tanya Alea, khawatir melihat ekspresi Melody yang tampak lelah.Melody tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik wajah yang lembut. “Ibu nggak
Perjalanan panjang yang penuh lika-liku akhirnya mencapai ujungnya. Melody dan Arjuna tiba di rumah, namun rasa penasaran Melody masih terus membayangi setelah mendengar ucapan Arjuna mengenai Barata. Tanpa ragu, ia pun mengikuti langkah Arjuna, bertekad untuk menemukan jawaban yang selama ini mengganggu pikirannya."Tuan, kenapa kita harus menemui Tuan Barata? Bukankah kita sedang menghindarinya?" tanya Melody, sambil berlari-lari kecil, berusaha menyusul langkah Arjuna yang secepat kilat.Arjuna tiba-tiba menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba, dan tanpa peringatan, kening Melody yang tengah mengejar langkahnya langsung "bertemu" dengan punggung Arjuna. Plak! Seketika, Melody merasa seperti ditabrak tembok, matanya berputar sejenak, dan dia pun hampir kehilangan keseimbangan.Melody mengusap keningnya yang sedikit sakit karena terbentur punggung Arjuna. “Maaf, Tuan,” ucapnya dengan cepat, suara sedikit cemas. Arjuna hanya mengangguk pelan tanpa menoleh, lalu berbalik dan menatapny
Barata memasuki rumah dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya tampak penuh amarah. Begitu sampai di depan ruang tamu, ia melihat Suripto sedang duduk santai di salah satu kursi, namun begitu melihat ekspresi Barata, Suripto langsung merasakan ketegangan yang mencekam.Tanpa berkata banyak, Barata mendekat dengan langkah cepat dan langsung membuang kata-kata yang penuh kemarahan. "Suripto, kamu saya pecat," katanya dengan suara dingin, tanpa ada sedikit pun ampun.Suripto terkejut dan berdiri dari kursinya. "Apa? Kenapa Tuan Barata tiba-tiba memecat saya?" tanyanya dengan nada kebingungan, mencoba mencari penjelasan.Barata menatapnya dengan tatapan tajam, matanya penuh api kemarahan. "Semua rencanamu gagal, Suripto!" jawabnya, suaranya keras dan penuh amarah. "Aku tidak berhasil membawa Melody ke rumah! Kamu gagal melaksanakan tugasmu!"Suripto merasa jantungnya berdegup kencang. Ia telah bekerja keras untuk Barata, dan tak pernah terbayang akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu
Sosok yang muncul di sudut mata Melody adalah Arjuna. Dengan langkah cepat dan tegas, Arjuna mendekat dan langsung menghentikan langkah Barata, berdiri di antara keduanya dengan sikap yang jelas menunjukkan perlindungan. Melody merasa sedikit lega meskipun ketegangan masih terasa di udara.Arjuna tiba tepat pada saat yang paling kritis, sementara Melody dengan sigap menepis tangan Barata dan berlari, bersembunyi di balik perlindungan Arjuna. Barata mendengus kesal, merasa semua rencananya hancur seketika akibat kehadiran Arjuna yang tak terduga."Apa yang sebenarnya Pak Barata lakukan? Saya melihat Pak Barata seolah memaksa Melody," ujar Arjuna, berusaha menahan emosinya agar tetap terkendali.Barata tersenyum dingin, mencoba menyembunyikan nada agresifnya. "Maaf, Pak Arjuna, saya hanya meminta Melody untuk mengantar saya ke toko kue. Namun, dia menolak dengan sangat keras. Pak Arjuna tahu sendiri, saya tidak suka sekali ditolak." Nadanya penuh d