Pagi ini Aleena di rumah sendiri. Theo ikut dengan sang Kakek pergi ke toko mainan, seperti yang Aleena tahu kalau Theo sangat lengket dengan Neneknya. Aleena baru menyiapkan makan siang di ruang makan, tetapi saat ia menghubungi Papanya, Papanya bilang dia akan pergi makan di luar dengan Theo dan Ronald, hingga Aleena menghubungi Asher untuk pulang ke rumahnya dan makan bersama. Tak lama kemudian, suara klakson mobil di depan pun terdengar. Segera Aleena berjalan membuka pintu. Wanita cantik itu tersenyum melihat Asher turun dari dalam mobil. "Selamat siang, Sayang," sapa Asher berjalan masuk ke dalam rumah sambil menyipirkan tuxedo hitamnya di lengan kirinya. "Selamat siang juga," jawab Aleena memberikan senyuman di bibirnya. Asher mendekati Aleena, merangkul pinggang kecil istrinya dan mengecup pelipis wanita kesayangannya itu dengan mesra. "Kenapa rumah sepi sekali, Sayang?" tanya Asher sambil berjalan masuk ke dalam rumah. "Di mana Papa dan Theo?" "Mereka pergi ke toko mai
Aleena dan Asher sampai di Murniche saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih lima menit. Mereka berdua, berjalan masuk ke dalam rumah dan disambut oleh beberapa orang-orang kepercayaan Darren. Kedatangan Asher membawa Aleena membuat Camelia kaget. Apalagi saat melihat Theo yang digandeng oleh kedua orang tuanya. "Akhirnya kalian datang juga," sapa Camelia, berjalan ke arah Asher dan Aleena. "Iya, Ma. Selamat malam..." Aleena membungkukkan badannya di hadapan Camelia. Camelia pun tersenyum. "Malam, Aleena. Selamat datang di rumah Mama dan Papa, ayo ke belakang," ajaknya. Asher merangkul Aleena sambil menggendong Theo yang tampak diam dan merajuk. "Papa ke mana, Ma?" tanya Asher. "Papamu ada di ruang makan, ayo segera ke sana," ajak Camelia. Asher menggenggam tangan Aleena. Mereka berjalan ke ruang makan, dan di sana ada Darren yang duduk di ruang makan menatap ke arah Asher yang datang bersama Aleena di sampingnya. Ekspresi wajah yang datar dan dingin, Aleena mencoba
Asher membawa Aleena pulang bersamanya. Sepanjang perjalan, Aleena hanya diam dan memeluk Theo yang tertidur. Sungguh, Asher merasa bersalah melihat Aleena direndahkan oleh Papanya secara terang-terangan seperti tadi. "Sayang, kita pulang ke rumah lama, ya," ajak Asher menoleh pada Aleena sekilas. "Kita akan sampai tengah malam lebih buka kembali ke Lamberg. Kasihan Theo sudah tidur." Aleena mengangguk. "Iya, aku akan menghubungi Papa nanti." Asher merasa lega mendengar jawaban Aleena. Ia segera melanjukan kecepatan mobilnya menuju ke suatu tempat. Mobil hitam itu masuk ke dalam sebuah pekarangan rumah megah. Rumah di mana dulu Aleena pernah tinggal di sana, di paviliun, sebagai istri sekali pakai untuk Asher Benedict. Saat mobil berhenti di pekarangan rumah, Aleena pun keluar dari dalam mobil. Ia menatap sekitar dengan tatapan tak menentu dan perasaan campur aduk. "Kenapa, hm?" tanya Asher merangkul pundak Aleena sambil menggendong Theo. "Paviliunnya," ujar Aleena menatap pav
Udara kota Murniche lebih dingin dari udara udara di Lamberg. Aleena bangun karena merasakan separuh tubuhnya merasa berat, dan kehangatan yang menyelimutinya secara dominan. Aleena merasakan rengkuhan hangat pelukan Asher. Wanita itu menarik napasnya panjang dan mendorong lengan kekar suaminya. "Ya ampun, dia memelukku atau ingin menghabisiku, sih," protes Aleena lirih. Aleena menoleh dan menatap wajah Asher. "Asher, tanganmu berat sekali..." Laki-laki itu langsung bangun saat mendengar protesan Aleena. Istrinya itu menatapnya dengan tatapan tajam dan cemberut. Hal itu membuat Asher tersenyum, ia kembali menarik Aleena dalam pelukannya dan mengusap-usap pucuk kepala Aleena, seolah Aleena adalah anak kecil yang sedang dimanjakan oleh Ayahnya. "Asher, aku ingin ke kamar mandi. Ini sudah jam enam," ujar Aleena menepuk-nepuk pu dak Asher. "Sebentar lagi saja, Sayang..." Asher melah meletakkan kepalanya di bahu kiri Aleena dan menjadikannya bantal dengan nyaman. Aleena mengelus ke
Aleena mendengarkan banyak cerita tentang Asher dan Theo dari Bibi Julien selama ia pergi. Aleena tidak menyangka bila Asher dan Marsha memang kembali, namun itu hanya sebuah status, dan ternyata Asher sudah berkali-kali mengajukan cerai pada Marsha. Malam ini, Aleena tengah duduk melamun di kamar. Aleena meletakkan ponselnya, ia baru saja menghubungi sang Papa kalau ia akan pulang besok malam, karena Asher masih ada urusan. Pintu kamar pun terbuka perlahan, sosok Asher masuk ke dalam kamar dan menatap istrinya yang tengah melamun. "Sayang," panggilnya pelan. "Hm?" Aleena membalikkan badannya, wanita cantik itu langsung memeluk Asher saat Asher mendekat. "Kenapa, hm? Masa baru ditinggal beberapa jam saja sudah kangen?" tanya Asher mengelus kening Aleena dan mengecupnya. "Ya ... aku seharian di ruang dengan Bibi dan Theo," ujar Aleena. "Tadi aku ke paviliun, dan aku juga keliling taman." Asher masih memeluknya. "Sekarang diam saja di sini berdua, temani aku istirahat," ujar Ashe
Asher memeluk Aleena yang sudah terlelap. Asher mengecup wajah Aleena bertubi-tubi dan berkali-kali ia mengucapkan terima kasih pada Aleena. Setelah membantu Aleena memakaikan piyamanya kembali, Aleena pun langsung tertidur pulas tanpa mempedulikan Asher lagi."Tidurlah yang nyenyak, Sayang. Kau pasti kelelahan," bisik Asher mengecup lagi pipi Aleena. Istrinya itu tidak mengucapkan apapun selain kedua matanya yang masih setia terpejam. Perlahan, Asher menyibakkan selimutnya. Ia meraih jubah mandi miliknya di tepian ranjang dan memakainya cepat. Sebelum beranjak, Asher menyahut ponselnya dan melihat ada beberapa pesan masuk, pesan-pesan itu dari Papanya. 'Besok pagi temui Papa di rumah. Papa ingin membicarakan sesuatu denganmu.' 'Balas pesan Papa, Asher...' Asher sama sekali tidak tertarik membalas pesan itu. Ia memilih diam di tepi ranjang, kembali melirik ke belakang menatap Aleena yang tidur pulas kelelahan karena ulahnya.Asher mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Ale
Asher tak menyadari bila Aleena sudah bangun. Wanita cantik itu masih setia berdiri di ambang pintu ruangan keluarga tempat Asher berada saat ini. Begitu Asher menutup telfonnya dengan seseorang barusan, barulah laki-laki itu beranjak dari duduknya. Asher berbalik ke belakang dan ia menemukan istrinya di sana, berdiam, diam menatapnya. "Sayang," panggil Asher pelan, lebihnya ia terkejut melihat Aleena. Laki-laki itu segera beranjak cepat dari duduknya dan berjalan mendekati Aleena yang diam menundukkan kepalanya dengan muka bantal. "Kenapa bangun? Katanya tadi lelah," ujar Asher mengulurkan tangannya mengusap pipi lembut Aleena. "Aku pikir kau sudah di kamar," ujar Aleena. Wanita itu menoleh ke kamar Theo. "Theo sudah pulang, kan?" "Sudah, Sayang." Asher merangkul pundak Aleena dan ia tersenyum melihat wajah Aleena yang sedikit pucat dan lemas. "Mau istirahat sekarang, atau—""Ngantukku sudah hilang. Aku lapar sekali, tadi belum sempat makan malam kau sudah mengajakku melakuka
Saat Asher tidak di rumah, Aleena hanya berdua saja dengan Theo. Pada mulanya, Aleena merasa tenang dan senang di rumah hanya berdua. Tetapi, tiba-tiba saja ada tamu yang datang.Sepasang suami istri yang datang bertamu, mereka mencari Asher karena laki-laki yang datang bersama istrinya ini adalah rekan dekat Asher.Tetapi tetap saja, Aleena tidak mengenali mereka. "Apa Asher sudah pergi dari tadi?" tanya laki-laki itu. "Iya, Tuan. Tapi dia bilang tak akan lama perginya. Kalau begitu, biar saya telfon dulu." Laki-laki itu mengangguk. Aleena pun segera berjalan ke ruang tengah dan ia bergegas menghubungi Asher untuk cepat pulang. "Mama ... Ma, Theo mau minum susu!" Suara Theo menggema di dalam rumah. "Iya Sayang, sebentar ya, masih ada tamu..." Aleena menggendong Theo dan mengajaknya ke depan. Tamunya itu tampak diam memperhatikan Aleena cukup lama. Geovan adalah sahabat dekat Asher, yang ia tahu istrinya adalah Marsha. Tapi entah kenapa sekarang ada wanita lain yang jauh lebih
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih