Asher melewati Marsha begitu saja tanpa ada rasa peduli sedikitpun. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar inap Aleena. Di sana, Asher melihat Aleena tertunduk mengusap-usap perutnya dan tampak berbicara sendiri dengan anak di dalam kandungannya tersebut. Perasaan Asher mendadak kalut. Apa yang telah Marsha katakan pada Aleena?!"Aleena," panggil Asher pelan. Gadis itu mengangkat wajahnya terkejut, hingga tak sempat baginya menghapus air mata itu. Asher mendekatinya cepat dan menarik pelan pundak Aleena untuk menatapnya. Iris hitam itu menelisik tajam wajah Aleena. "Kau menangis? Kenapa ... apa yang Marsha katakan padamu, hm?" Asher mengelus pipi itu dengan ibu jarinya. Lidah Aleena terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Hingga kata-kata yang mulanya tersusun rapi di dalam otaknya, seolah tertelan begitu saja. "Dia tidak menyakitimu, kan?" tanya Asher cemas, laki-laki itu tertunduk menatap telapak tangan Aleena yang memeluk perutnya. Asher mengusap perut itu hingga
Perjalanan dari Palonia ke Murniche menempuh waktu berjam-jam. Sampai akhirnya Asher tiba di siang hari di rumahnya, dan itu pun Asher segera bergegas ke kantor untuk bertemu dengan para rekan bisnisnya. Rapat penting yang tidak bisa ia lewatkan, memerlukan konsentrasi tinggi untuk tiap detail masalah. Dari pukul satu hingga pukul setengah empat sore, rapat itu terselesaikan dengan baik. Di dalam ruangan berdinding kaca itu, masih ada empat orang di sana, salah satunya Asher dan Papanya yang kini tengah memperhatikannya. "Beberapa hari ini kau tidak tampak di Murniche. Saat aku datang ke rumahmu juga tidak ada siapapun, dua hari berturut-turut Papa ke rumahmu pagi dan sore, tapi kau tidak ada. Marsha juga baru pergi kata pelayan ... kau ke mana, Asher?" tanya Darren menelisik paras tampan putranya. "Mengurus urusan yang sangat penting," jawab Asher dingin dan datar. Alis tebal Darren mengerut tajam. Bahkan Asher tampak tidak serius sama sekali. "Urusan penting apa? Kantor? Papa
Senja yang indah di kota Palonia, dapat Aleena saksikan setiap sore hari tanpa terlewat sehari pun. Gadis itu duduk di deretan bangku tunggu di depan kamar rawat inapnya. Duduk termenung menatap dinding kaca, memperhatikan burung-burung berterbangan menghiasi langit jingga yang tampak memancarkan cahaya hangat ke wajahnya. 'Berapa lama lagi aku menunggu? Apa dia kembali mengingkari janjinya?' batin Aleena diliputi rasa resah. Gadis itu tertunduk mengusap perutnya yang mulai terasa nyeri di bagian bawah. Tetapi Aleena mencoba untuk tetap tenang. Sampai tiba-tiba, seorang wanita mendekati Aleena yang tengah melamun dengan wajah sedih dan resah. "Nyonya, kau baik-baik saja?" tanyanya. Suara lembut itu membuat Aleena mengangkat wajahnya. Kedua pupil matanya melebar menatap seorang wanita hamil yang berdiri di sampingnya membawa tiang infus, dan anak kecil berkisar usia lima tahun memeluk kakinya. Alena tersenyum seketika. "Ya, saya baik-baik saja," jawabnya mengangguk. Wanita itu
Aleena melepaskan pelukannya dari Asher. Ia menatap buket bunga mawar yang Asher bawakan untuknya. Senyuman manis di bibir tipisnya terukir lembut menunjukkan rasa senang di dalam hatinya. "Kau menyukainya?" tanya Asher mengusap pucuk kepala Aleena. "Ya. Saya sangat menyukainya," jawab gadis itu menatapnya hangat. Aleena kembali menoleh ke arah dinding kaca, matahari sudah terbenam sempurna. Dan harapan yang Aleena ucapkan tadi, ia ingin Asher datang sebelum matahari tenggelam. Tuhan mengabulkannya...Asher merangkul Aleena dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Di sana, Aleena kembali duduk di atas ranjang rumah sakit. Ia memperhatikan Asher yang tengah melepaskan mentel dan tuxedo hitamnya. "Tuan, kata Dokter Regina kondisi saya sudah baik, saya diizinkan pulang besok pagi," ujar Aleena menyerah sebuah amplop putih pada Asher. Asher menoleh dan meraih kertas itu sambil menatap Aleena penuh telisik. "Kau yakin sudah baik-baik saja?" "Sudah, Tuan." Saat Asher sibuk membaca s
Sepulang dari rumah sakit, Aleena benar-benar dijaga oleh Asher sejak pagi, siang, dan hingga kini sudah sore hari. Aleena baru saja bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang dan meraih ponselnya miliknya di atas meja yang tampak menyala. Padahal beberapa hari yang lalu ponsel itu susah untuk dinyalakan. Pasti Asher yang telah mengotak-atiknya. "Bagaimana dia membenarkannya? Apakah bisa diisi daya lagi?" gumam Aleena tersenyum tipis. "Dengan begini aku bisa menghubungi Samuel dan video call dengan Papa." Aleena awalnya sudah sangat kesenangan. Namun, saat Aleena membuka kontak panggilan, tidak ada nomor sama sekali kecuali nomor Asher di sana. "Hah? Ke-kenapa semua nomornya hilang?" gerutu Aleena. "Nomor Samuel, Bibi Baritha, nomor teman-teman semuanya hilang?!" Helaan napas panjang dan kecewa terdengar dari bibir Aleena. Ini sudah keempat kalinya Asher menghapus semua kontak di ponselnya. "Pasti dia yang menghapusnya," gerutu Aleena cemberut. Aleena beranjak dari
Suara deringan ponsel berkali-kali terdengar dari ponsel milik Asher di atas nakas yang berada di kamar Aleena. Aleena yang mendengarnya pun bisa melihat nama Marsha di sana. Ia tidak berani menyentuh ponsel milik Asher sedikitpun. Gadis itu mengepalkan jemarinya untuk mengungkapkan betapa gelisahnya ia. "Pasti Nyonya menunggu Tuan," gumam Aleena lirih. "Mungkin aku akan mengatakan pada Tuan kalau Nyonya terus menelfon, setidaknya Tuan bisa pulang ... dan Nyonya tidak salah paham denganku." Aleena keluar meninggalkan kamarnya dan mencari Asher. Setelah makan malam bersama, Aleena kembali ke kamar dan meninggalkan Asher di lantai satu. Gadis itu kembali melangkah ke arah dapur. Di sana, Aleena melihat Asher tampak menyiapkan obat dan vitamin untuk Aleena minum malam ini. Dengan begitu hati-hati dan terlihat betapa pedulinya ia pada Aleena. Air putih dalam gelas, beberapa butir vitamin di dalam mangkuk kecil dan potongan buah-buahan di atas piring. Aleena menghentikan langkahnya
Pagi-pagi sekali, Aleena terbangun dari tidurnya. Gadis itu merasakan pelukan yang hangat mendekapnya dengan erat. Aleena tidak tahu kapan Asher masuk ke dalam kamar dan tidur bersamanya. Hingga laki-laki ini sudah berada di samping Aleena. "Tuan Asher," lirih Aleena menatapnya dengan tatapan lekat. Gadis itu terus menatapi paras tampan yang tersuguh di hadapannya kini. Sebelum Aleena melepaskan pelukan Asher dan menyibak selimutnya. Aleena melihat ponselnya yang menyala, ia meraih benda pipih itu dan melihat banyak sekali pesan makian yang Marsha kirimkan padanya.Semakin Aleena menahan, ia semakin ketakutan. Meskipun Aleena selama ini tahu, seperti apa seorang Marsha di belakang Asher. Wanita itu lebih menyeramkan dari yang Aleena bayangkan. "Kau sudah bangun?" Suara bariton serak itu membuat Aleena tersentak pelan. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan cepat dan menoleh ke belakang pada Asher yang baru saja bangun. "Ya, Tuan," jawab Aleena lirih. Gadis itu berjalan men
Dengan keberanian yang terkumpul, Aleena membuka pintu rumahnya. Ia menatap sosok Marsha yang berdiri tepat di hadapannya dengan wajah dingin dan kaku menahan amarah yang besar. Napas Aleena tercekat saat Marsha melangkah mendekati, spontan Aleena mundur beberapa langkah. "Di mana Asher?" tanya wanita itu dengan nada geram. "Tu-tuan Asher sudah pulang, Nyonya," jawab Aleena tertunduk. "Beberapa menit yang lalu..." Marsha berdecak menatap Aleena tajam dan emosi. "Kenapa kau tidak menyuruhnya pulang sejak kemarin, heh? Aku sudah menghubungimu berulang kali sejak kemarin, Aleena!" teriak wanita itu. Aleena semakin tertunduk, jemarinya meremas dress panjang yang ia pakai. Rasa takut yang menguasai dirinya membuat gadis itu gemetar. "Saya sudah meminta Tuan pulang, Nyonya. Tapi Tuan menolaknya, bahkan sudah berkali-kali," jawab Aleena dengan kepala tertunduk. "Alasan! Kau pasti menahannya, kan?!" Marsha menuding wajah Aleena dengan satu tangannya mencengkram pundak kiri Aleena kuat
"Papa kenapa pulang? Kenapa tidak bobo di sini sama Theo dan Mama? Papa mau ke mana?" Theo mencekal erat bagian belakang mantel hitam yang Asher pakai saat ini. Asher menatap si kecil yang ragu-ragu, seperti antara ikut pulang Papanya, atau tinggal di sini dengan Mamanya malam ini. "Papa harus pulang, Sayang. Ini sudah malam. Mama harus istirahat, Nak," ujar Asher beralih menggendong Theo. "Katanya mau di sini saja sama Mama," ujar Aleena menatap cemberut putri kecilnya. "Mama kesepian kalau tidak ada Theo." "Emmm ... Theo maunya Paa bobo di sini juga," rengek anak itu memeluk leher Asher erat dan meletakkan kepalanya di pundak. Aleena mengusap punggung Theo dan menatapnya dengan tatapan sayang. Tentu saja, Aleena tidak ingin anaknya pulang dengan Asher. Ia ingin Theo tetap di sini bersamanya. Asher memperhatikannya wajah sedih Aleena. Laki-laki itu pun tersenyum tipis. "Theo hanya sedang mengantuk. Jangan khawatir, setelah di tidur, nanti tidurkan di dalam, ya," ujar Asher.
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema
Setelah dipindah kamar perawatan, Liam mengajak Theo masuk ke dalam sana. Namun, Liam tidak mengizinkan Asher, laki-laki tua itu benar-benar mati rasa pada seorang Asher Benedict, bukan hanya dia saja, tapi pada keluarganya juga. Kini, Liam menggendong Theo dan mengajaknya mendekati Aleena yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Mama..." Theo memanggilnya pelan. Anak itu mengerjapkan kedua matanya dan mencekal lengan Aleena dengan kedua tangan mungilnya. "Mama, kenapa tidak bangun-bangun, Kek?" tanyanya sambil mendongak menatap sang Kakek. "Iya Nak, Mama akan bangun nanti. Theo tunggu Mama bangun, ya, Sayang," ujar Liam. Theo mengangguk. "Iya, Kakek." Liam duduk memangku Theo, laki-laki itu diam menatap Aleena yang kini terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan oksigen dan keningnya yang dililit perban. Rasa sedih menjalar dalam hati Liam. Mengingat bagaimana putrinya sejak dulu sangat berharap ingin bertemu dengan putranya, tetapi kenapa saat Theo sudah berada di sini,
Tatapan penuh kebencian yang ditunjukkan oleh Liam membuat Asher semakin merasa bersalah. Apalagi Liam membentaknya tepat di hadapan Theo yang memeluk Liam. "Kau belum puas menyakiti anakku, hah?! Belum cukup kau membuat anakku tersiksa karenamu, Asher Benedict!" Liam melontarkan perkataan itu lagi dengan nada geram pada Asher. Asher tertunduk merasa bersalah. Namun, sebisa dan sebaik mungkin Asher akan tetap berusaha mendekati Aleena dan Papanya. "Maafkan saya, Tuan Liam," ucapnya lirih dan tulus. "Kedatangan saya Lamberg karena saya ingin mencari Aleena dan mempertemukan kembali dengan Theo," ujar Asher. Asher menatap putranya dalam gendongan Liam. Anak itu biasanya menolak digendong oleh orang yang tidak ia kenali sebelumnya tapi sekarang dia tampak diam dan manja dalam gendongan sang Kakek. "Meskipun seribu alasan baik kau katakan, Theo tetaplah anak dari Aleena," ujar Liam. "Kau itu pengecut, Asher Benedict! Kau berjanji padaku untuk menjaga putriku, tapi apa?! Putriku kemb