Sepulang dari rumah sakit, Aleena benar-benar dijaga oleh Asher sejak pagi, siang, dan hingga kini sudah sore hari. Aleena baru saja bangun dari tidurnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang dan meraih ponselnya miliknya di atas meja yang tampak menyala. Padahal beberapa hari yang lalu ponsel itu susah untuk dinyalakan. Pasti Asher yang telah mengotak-atiknya. "Bagaimana dia membenarkannya? Apakah bisa diisi daya lagi?" gumam Aleena tersenyum tipis. "Dengan begini aku bisa menghubungi Samuel dan video call dengan Papa." Aleena awalnya sudah sangat kesenangan. Namun, saat Aleena membuka kontak panggilan, tidak ada nomor sama sekali kecuali nomor Asher di sana. "Hah? Ke-kenapa semua nomornya hilang?" gerutu Aleena. "Nomor Samuel, Bibi Baritha, nomor teman-teman semuanya hilang?!" Helaan napas panjang dan kecewa terdengar dari bibir Aleena. Ini sudah keempat kalinya Asher menghapus semua kontak di ponselnya. "Pasti dia yang menghapusnya," gerutu Aleena cemberut. Aleena beranjak dari
Suara deringan ponsel berkali-kali terdengar dari ponsel milik Asher di atas nakas yang berada di kamar Aleena. Aleena yang mendengarnya pun bisa melihat nama Marsha di sana. Ia tidak berani menyentuh ponsel milik Asher sedikitpun. Gadis itu mengepalkan jemarinya untuk mengungkapkan betapa gelisahnya ia. "Pasti Nyonya menunggu Tuan," gumam Aleena lirih. "Mungkin aku akan mengatakan pada Tuan kalau Nyonya terus menelfon, setidaknya Tuan bisa pulang ... dan Nyonya tidak salah paham denganku." Aleena keluar meninggalkan kamarnya dan mencari Asher. Setelah makan malam bersama, Aleena kembali ke kamar dan meninggalkan Asher di lantai satu. Gadis itu kembali melangkah ke arah dapur. Di sana, Aleena melihat Asher tampak menyiapkan obat dan vitamin untuk Aleena minum malam ini. Dengan begitu hati-hati dan terlihat betapa pedulinya ia pada Aleena. Air putih dalam gelas, beberapa butir vitamin di dalam mangkuk kecil dan potongan buah-buahan di atas piring. Aleena menghentikan langkahnya
Pagi-pagi sekali, Aleena terbangun dari tidurnya. Gadis itu merasakan pelukan yang hangat mendekapnya dengan erat. Aleena tidak tahu kapan Asher masuk ke dalam kamar dan tidur bersamanya. Hingga laki-laki ini sudah berada di samping Aleena. "Tuan Asher," lirih Aleena menatapnya dengan tatapan lekat. Gadis itu terus menatapi paras tampan yang tersuguh di hadapannya kini. Sebelum Aleena melepaskan pelukan Asher dan menyibak selimutnya. Aleena melihat ponselnya yang menyala, ia meraih benda pipih itu dan melihat banyak sekali pesan makian yang Marsha kirimkan padanya.Semakin Aleena menahan, ia semakin ketakutan. Meskipun Aleena selama ini tahu, seperti apa seorang Marsha di belakang Asher. Wanita itu lebih menyeramkan dari yang Aleena bayangkan. "Kau sudah bangun?" Suara bariton serak itu membuat Aleena tersentak pelan. Ia meletakkan ponselnya di atas meja dengan cepat dan menoleh ke belakang pada Asher yang baru saja bangun. "Ya, Tuan," jawab Aleena lirih. Gadis itu berjalan men
Dengan keberanian yang terkumpul, Aleena membuka pintu rumahnya. Ia menatap sosok Marsha yang berdiri tepat di hadapannya dengan wajah dingin dan kaku menahan amarah yang besar. Napas Aleena tercekat saat Marsha melangkah mendekati, spontan Aleena mundur beberapa langkah. "Di mana Asher?" tanya wanita itu dengan nada geram. "Tu-tuan Asher sudah pulang, Nyonya," jawab Aleena tertunduk. "Beberapa menit yang lalu..." Marsha berdecak menatap Aleena tajam dan emosi. "Kenapa kau tidak menyuruhnya pulang sejak kemarin, heh? Aku sudah menghubungimu berulang kali sejak kemarin, Aleena!" teriak wanita itu. Aleena semakin tertunduk, jemarinya meremas dress panjang yang ia pakai. Rasa takut yang menguasai dirinya membuat gadis itu gemetar. "Saya sudah meminta Tuan pulang, Nyonya. Tapi Tuan menolaknya, bahkan sudah berkali-kali," jawab Aleena dengan kepala tertunduk. "Alasan! Kau pasti menahannya, kan?!" Marsha menuding wajah Aleena dengan satu tangannya mencengkram pundak kiri Aleena kuat
Hari sudah gelap, Asher kembali ke rumahnya setelah seharian di sibuk di kantor. Laki-laki itu baru saja turun dari dalam mobilnya, ia tidak memiliki rasa semangat sedikitpun. Berbeda saat ia pulang ke rumahnya di Palonia. Asher melangkah masuk ke dalam rumah, kepulangannya disambut oleh Marsha di ruang makan. Wanita itu tersenyum lebar menghampirinya. Bagaimanapun juga, Marsha harus bisa mengambil hati Asher seperti dulu. "Sayang, kau sudah pulang," sapanya dengan wajah berseri-seri. "Aku sudah meminta pelayan memasakkan makanan kesukaanmu. Ayo kita makan malam bersama, Sayang..." Marsha meraih lengan Asher dan memeluknya. Namun dengan wajah dingin dan tak acuh, Asher melepaskan tangan wanita itu. "Aku tidak lapar," jawab Asher menatap wanita itu malas. "Masih banyak pekerjaan yang harus aku urus." "Ayolah, Sayang ... Pelayan sudah menyiapkan itu semua dari sore," rengek Marsha memeluk lengannya erat-erat. Asher berdecak kesal, ia tidak mau mendengarkan rengekan istrinya itu l
Dua hari berlalu, Aleena menghabiskan hari-harinya dengan penuh kegundahan. Tak sehari pun ia tidak merasa resah, memikirkan bayinya, dan bagaimana Aleena bisa mempertahankan anak ini untuk terus bersamanya. Sampai akhirnya pagi ini Aleena didatangi oleh Samuel di kediamannya. Sahabatnya datang tiba-tiba dengan wajah cemas, saat Aleena membukakan pintu. "Samuel," sapa Aleena dengan wajah terkejut. "Ke-kenapa kau ke sini lagi?""Aku mencarimu di rumah sakit, aku pikir kau masih dirawat di sana," ujarnya sambil menatap Aleena lekat-lekat. "Aku terus kepikiran dirimu, Al. Beberapa hari yang lalu aku sibuk di kantor dan sekolah jadi aku tidak sempat menjengukmu." "Ya ampun, Samuel ... ayo masuk," ajak Aleena. "Tidak usah. Kita duduk di sini saja," ujar Samuel menahan lengan Aleena. Samuel memperhatikan wajah Aleena yang tampak pucat dan kurus, juga bibir tipisnya yang kering hingga terlihat Luka kecil di sana. Kenapa Aleena menjadi begini? Padahal hanya beberapa hari saja Aleena saki
Di pagi yang mendung ini, Aleena berhasil menghubungi Marsha dan membuat janji untuk bertemu. Ia merasa sangat beruntung saat Marsha tidak menolak ajakannya. Aleena mendatangi sebuah rumah makan mewah di pusat kota Palonia. Sudah setengah jam lamanya ia menunggu Marsha, sampai wanita itu tiba dan masuk ke dalam ruangan di mana hanya ada ia dan Marsha di sana. "Selamat pagi, Nyonya ... silakan duduk," ujar Aleena berdiri dari duduknya. Marsha menatap Aleena tajam, sudut matanya memicing tajam seketika. "Untuk apa kau mengajakku bertemu, Aleena? Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Marsha tanpa basa-basi. Aleena tertunduk dan menarik napasnya pelan. Ia mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk mengatakan ini semua. "Sebelumnya saya ingin meminta maaf pada Nyonya. Saya ingin membahas tentang anak ini," ujar Aleena mengusap perutnya. Kedua alis Marsha menukik seketika. "Apa maksudmu? Kenapa dengan anak itu?" "Nyonya, saya tahu Nyonya sangat membenci saya dan anak ini ka
Air hujan yang turun membasahi sekujur tubuh Aleena. Gadis itu berjalan kaki pulang kembali ke rumahnya setelah bertemu dengan Marsha. Dinginnya air yang semakin deras setiap detiknya, Aleena mampu menyembunyikan air mata yang menetes untuk beribu kalinya dari pelupuk mata Aleena. 'Pada akhirnya, aku menjadi seorang Mama yang buruk untuk anakku, Mama yang tidak bisa melindungi anaknya sendiri ... bahkan dalam hidup ini aku gagal dalam segala hal.' Aleena mengangkat kedua telapak tangannya yang gemetar, merasakan derasnya air hujan yang membasahinya. "Seandainya aku tidak membawa nyawa baru dalam perutku, aku pasti akan mengakhiri hidupku," lirih Aleena. Gadis itu berjalan dan berdiri di sebuah jembatan kota. Di tengah hujan deras yang membuat lalu lintas di sekitar sana sepi. Aleena menatap ke bawah, betapa derasnya air sungai yang mengalir. Ia berpikir berlipat-lipat untuk mengakhiri hidupnya. Bila ia mati, anak yang tidak bersalah ini pun juga akan mati, bahkan di saat ia belu
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung
Saat jam istirahat, Arabelle berada di dalam kelas sendirian. Gadis itu duduk diam dan mendengarkan materi listening yang Mr. Diana berikan padanya tadi. Berkali-kali Arabelle mendengarkannya. Sampai tiba-tiba saja gadis itu tersentak saat seseorang menempelkan susu kotak dingin di pipinya. "Aduh, ya ampun..." Arabelle terperanjat. Suara kekehan terdengar begitu renyah dan manis. Arabelle terdiam sejenak, suara itu bukanlah suara Theo, tetapi suara Harvey. Arabelle tersenyum tipis menyadari keberadaan Harvey di sana. "Selamat datang lagi di sekolah, Arabelle," ucap Harvey mengusap pucuk kepala Arabelle. "Kak Harvey, aku pikir siapa..." "Pasti kau pikir Theo, kan?" tanyanya. "Heem." Arabelle langsung mengangguk. Harvey meraih satu bangku dan duduk di sana. Laki-laki itu menatap wajah Arabelle yang tampak semakin putih, bersih, dan cantik setelah beberapa minggu Arabelle tidak pergi ke sekolah. Bagaimanapun juga, Harvey sangat menyukai gadis ini meskipun ia tahu kalau Arabelle
Hari ini menjadi hari pertama Arabelle bersekolah setelah sempat beberapa Minggu gadis itu tidak hadir ke sekolah. Arabelle datang bersama dengan Ayahnya. Guru-guru pun tampak senang Arabelle sudah kembali bersekolah, terlebih lagi saat ini kepala sekolah di tempat itu sudah diganti dan murid yang merundung Arabelle pun juga sudah dikeluarkan dari sekolah."Ara, nanti kalau pulang sekolah jangan akal-akalan pulang sendirian, oke!" Jordan menatap putrinya yang berdiri di depan pintu kelas. Arabelle mengangguk. "Iya, Ayah. Siap!" Jordan beralih menatap Vivian yang ada di samping Arabelle. "Vian, tolong bantu Arabelle, ya, Nak," ujar Jordan pada gadis berambut sepundak itu. "Iya, Om. Jangan khawatir, saya pasti akan membantu Arabelle. Om tidak perlu cemas, sekali ada saya, semuanya aman!" seru Vivian memeluk Arabelle dan tersenyum gemas. Jordan pun ikut tersenyum, laki-laki itu merasa lega saat melihat putrinya sudah kembali tersenyum manis bersama teman-temannya. "Kalau begitu, A
Kedatangan Arabelle membuat Theo dan kedua adiknya tampak begitu senang. Gadis itu datang tanpa mengabari Theo lebih dulu. Theo juga langsung mendekati Arabelle yang tengah bersama dengan Ayahnya dan juga bersama kedua orang tua Theo. Tatapan Jordan menajam pada Theo saat pemuda itu mendekat. "Kenapa ada acara tidak bilang-bilang pada Paman?! Sengaja tidak mengundang Paman?!" seru Jordan pada Theo. Theo terkekeh geli. "Tidak begitu, Paman..." Pemuda itu mendekati Arabelle yang duduk di samping Leo dan Lea, juga Vivian di sana. Theo duduk di samping Leo dan merangkul Arabelle dari belakang. "Kau mengajak Ayah ke sini?" tanya Theo pada Arabelle. Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Iya, Kak." Theo menghela napasnya pelan. "Padahal aku tadi sempat berpikir mau ke sana setelah membantu anak-anak membakar ikan. Aku terus kepikiran dirimu, Ra. Hanya kau saja yang tidak ada di sini." "Tidak apa-apa, Kak. Ini Ara sudah di sini." Theo tersenyum mengusap pucuk kepala Arabelle. "Heem,
Suasana malam di rumah Theo sangat ramai malam ini. Semua teman-teman Theo datang dan mereka tampak gembira dengan acara memanggang ikan dan makanan lainnya di halaman teras samping. Theo duduk di sebuah sofa teras, ia terdiam menatap teman-temannya yang heboh sendiri. Di sampingnya ada Dylan bersama Lea. "Adik Lea cantik sekali malam ini? Wahh ... bajunya lucu sakali warna merah muda," ujar Dylan menekuk kedua lututnya di hadapan Lea. Lea mengerjapkan kedua matanya menatap Dylan. Anak perempuan itu menunjukkan lengannya dan bandana merah milik Dylan masih terpasang di sana. "Ini dari Kak Dylan dulu," ujarnya dengan senyuman gemas. "Masih disimpan?" "Masih. Tidak boleh hilang," jawab anak perempuan itu. "Tante harus menyimpannya baik-baik, Dylan. Pernah dulu basah saat Lea mandi, dia menangis seharian," sahut Aleena dari belakang, wanita itu meletakkan sebuah teko besar berisi minuman dingin. Dylan terkekeh mendengarnya. "Padahal hanya bandana saja, Tan." "Heem, tapi dia bila
Semua teman-teman Theo tampak terkejut dengan kedatangan Jonath yang bisa bersamaan dengan Vivian. Mereka berdua pun juga terlihat kikuk."Kenapa kalian bisa bersamaan datangnya?" tanya Theo pada Jonat dan Vivian. "Kau bilang tadi kau mau pergi ke rumah Nenekmu! Terus kenapa kau ada di sini?" tanya Gery menatap Jonath. Pemuda itu duduk di samping Theo. "Tidak jadi, aku mencari kalian di mana-mana. Tidak sengaja bertemu dengan dia!" serunya menunjuk Vivian dengan dagunya. "Oh, aku pikir kalian pacaran," sahut Dylan. "What the hell! Vian, pacaran sama Kak Jonath, ilfil sekali!" serunya dengan bergidik geli. Seketika, Vero menepuk-nepuk pundak Jonath. "Wahh ... wahh, belum tahu dia dengan aura-aura terdalam dari seorang Jonath!" serunya. Gery dan Theo mengangguk kompak sambil tertawa, sedangkan Vivian duduk bersama Arabelle dan memeluk sahabatnya itu. "Vian, Vian ... kau terlalu meremehkan Jonath. Cewek mana yang di perumahan jalan Hydrangea yang belum pernah jadi pacar Jonath.
Theo mengajak Arabelle ke sebuah taman yang berada tidak jauh dari kediaman Jordan. Setiap langkah yang Arabelle ambil, Theo begitu memperhatikannya dengan betul. "Hati-hati, Ra. Sedikit ke kiri, di depan ada anak kecil-kecil main bola. Kalau sampai bola itu mengenalmu, bisa aku tendang mereka semua," seru Theo. Arabelle terkekeh mendengarnya. "Kak Theo tidak malu mengajakku seperti ini? Lihat, aku membawa tongkat seperti orang buta." Theo menatap wajah gadis itu dari samping. "Kenapa harus malu. Di dunia tidak ada manusia yang sempurna, kan? Lagipula, kau juga tidak betul-betul buta. Kau hanya sedang sakit, Arabelle..." Pemuda itu mengusap pucuk kepala Arabelle dengan gemas. "Ayo duduk di sana." Mereka berdua berjalan ke arah sebuah bangku taman. Theo merangkul Arabelle dan mengajaknya duduk di sebuah bangku taman. Sebelumnya, Theo sudah membeli banyak cemilan dan juga minuman-minuman sejak perjalanan ke taman tadi. "Mau minum air putih?" tawar Theo. "Boleh." Arabelle mengang
Keesokan paginya, Theo benar-benar menepati janjinya dan ia sungguh datang ke kediaman Jordan pagi ini. Theo membawa satu kotak berisi sandwich dan susu kotak rasa stroberi kesukaan Arabelle. Pemuda itu membawa mobil baru milik Papanya, Theo memarkirkannya di depan rumah Jordan. "Permisi, Kek ... selamat pagi," sapa Theo pada Julian, Papa Jordan. "Heem, pagi juga, Theo," balas Julian tersenyum. "Sana masuk, Arabelle masih sarapan dengan Papanya di belakang." "Iya, Kek." Theo berjalan masuk ke dalam rumah. Pemuda itu melangkah ke arah ruang makan, langkah Theo terhenti di sana saat ia melihat Arabelle tengah disuapi oleh sang Ayah. Rasa terenyuh dirasakan oleh Theo. Apakah anak perempuan di dunia ini benar-benar sangat dicintai dan disayangi oleh Ayahnya? Bahkan tak hanya melihat Arabelle saat ini, di rumahnya pun ada Lea yang selalu diperlukan layaknya seorang princess oleh Asher. Theo melangkah ke arah mereka berdua. "Selamat pagi," sapanya penuh semangat. "Pagi..." Jordan m
Setelah pulang ke rumah seharian. Arabelle merasa sangat senang berada di rumah. Meskipun kali ini ia tidak bisa mandiri lagi seperti hari-hari kemarin. Malam ini, Arabelle duduk di kursi di dalam kamarnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya di sana. 'Aku tidak bisa membaca pesan apapun di ponselku. Jangankan membaca, aku tidak bisa menemukan keberadaan ponselku saat ini,' batin Arabelle sedih dan sendu. Gadis itu memejamkan kedua matanya pelan. "Ya Tuhan, semoga kedua mataku cepat sembuh," lirihnya pelan. Arabelle mengangkat wajahnya cepat dan menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia mendengar suara pintu kamarnya yang terbuka. "Ayah..." "Ada Kak Theo," ujar Jordan pada Arabelle. Gadis itu terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk. "Heem." Jordan menatap Theo dan menepuk pundaknya dengan pelan. Theo pun melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda milik Arabelle. Pemuda itu mendekati Arabelle dan Theo meraih satu kursi, ia memilih