Sudah dua hari berturut-turut Samuel selalu datang di pagi hari ke Palonia. Dan ia selalu datang tanpa tangan kosong, berbagai jenis makanan yang ia belikan untuk Aleena. Seperti pagi ini, mereka berdua duduk bersama di teras. Samuel datang membawakan pancake apel untuk Aleena. Namun, Aleena tidak kunjung memakannya hingga membuat Samuel bertanya-tanya. "Al, kenapa? Kau tidak suka pancake apel?" tanya Samuel menyentuh punggung tangan Aleena. "Apa kau mau makanan yang lain? Biar aku belikan di luar...." "Oh, ja-jangan, Samuel!" pekik Aleena menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Samuel memperhatikan perubahan wajah Aleena. "Kalau tidak suka, tidak usah dimakan." "Aku suka. Hanya saja ... aku mengingat seseorang," ucap Aleena melipat bibirnya dan tertunduk. Pancake apel adalah menu sarapan kesukaan Asher. Mengingat laki-laki itu membuat Aleena merasa kebas di ulu hatinya. Teringat bagaimana Asher mengingkari janjinya, padahal Aleena sudah berusaha payah, ia sudah kesenangan sepert
Sesampainya di rumah sakit, Aleena langsung ditangani oleh beberapa dokter di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Asher menunggu di luar bersama dengan Jordan. Tak henti-hentinya Asher menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Aleena. "Apa yang sudah aku lakukan?" Asher mengusap wajahnya putus asa. "Ya Tuhan, selamatkan anak dan istriku..." Laki-laki itu tertunduk memijit pangkal hidungnya. Di sampingnya, Jordan memperhatikan Asher yang sangat kalut. Untuk pertama kalinya ia melihat Asher semenyesal ini. "Tuan harus tenang, saya yakin Nona Aleena dan bayinya akan baik-baik saja," ujar Jordan. "Tapi dia sangat kesakitan. Itu semua karena aku ... bila terjadi sesuatu pada anakku, itu semua adalah salahku," ucap Asher mengusap wajahnya dengan kedua mata memerah. Dari arah lorong depan, tampak Samuel berjalan masuk ke dalam sana. Laki-laki itu melihat Asher di sana. Samuel datang karena ia sangat khawatir pada Aleena. Di sisi lain, ia ingin mengatakan sesuatu yang
"Kau laki-laki yang sangat jahat, Tuan Asher ... teganya kau padaku!" Aleena memukuli tangan Asher dengan sisa-sisa tenaga lemahnya. Ia menatap Asher dengan penuh kekecewaan dan kebencian yang mendalam. Sedangkan Asher, laki-laki itu masih setia menggenggam tangan Aleena dan mengusap wajah gadis itu. "Aku tahu aku salah, tapi jangan seperti ini ... tenanglah, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Kasihan bayi di dalam perutmu, kasihan anak kita, Aleena," bisik Asher menenangkan gadis itu. "Kau hanya memikirkan anak ini, tapi kau tidak pernah memikirkan aku," seru Aleena meremas pundak Asher. "Kau tidak akan tahu sakit yang aku rasakan!" "Aleena..." Asher menatap wajah pilu gadis itu. Aleena memegangi perutnya dan memejamkan kedua matanya sejenak. "Aku sangat menyesal, Tuan Asher. Aku menyesal menerima tawaran untuk hamil anakmu," ungkap Aleena, suaranya terdengar serius dalam marahnya. "Tahu begini, aku akan tidak akan mau berada di posisi ini. Aku akan mencari uang itu, den
Suhu udara yang hangat dan nyaman membuat Aleena terlelap dengan damai semalaman. Gadis itu mengabaikan adanya Asher yang menjaganya. Namun pagi ini, saat Aleena terbangun ia kembali berada di dalam kamarnya seorang diri. Tidak ada siapapun di sana. "Shhh ... aduh sakit, pinggangku," lirih Aleena mengeluh pelan memegangi pinggangnya. Perlahan-lahan Aleena duduk, ia mengusap perutnya yang terasa sesak. Setelah kejadian kemarin, Aleena merasakan sakit pada perut dan pinggangnya tiap kali ia bergerak. Tatapannya tertuju pada jendela kamarnya. Alis Aleena mengerut menatap air hujan di luar. "Tidak biasanya turun hujan di musim semi," gumamnya. Aleena beralih menatap ruangan kosong di mana ia berada saat ini. "Dia benar-benar pergi ... " Bibir Aleena mengatup rapat. "Biarlah, lebih baik seperti ini." Aleena meremas baju rumah sakit yang ia pakai dan memejamkan kedua matanya. Mengingat Asher, membuat suasana hatinya menjadi temaram dan sedih. Di tengah lamunannya, tiba-tiba pintu k
Sudah dua hari dua malam Asher belum pulang ke rumahnya sama sekali. Bahkan dia selalu menolak panggilan dari Marsha. Hal ini membuat Marsha geram pada Asher, pasalnya ia cemas kalau Asher meluangkan waktu sebanyak itu hanya untuk menyenangkan Aleena di Palonia. Tentu saja, Marsha semakin kesal dan benci pada Aleena!"Pasti gadis itu kesenangan karena ditemani oleh Asher!" geram Marsha mengepalkan tangannya kuat-kuat dan memukul meja kayu di sampingnya. "Gadis murahan itu memang tidak tahu diri!" Marsha kembali berjalan ke depan, harap-harap suaminya pulang malam ini. Meskipun Marsha juga baru saja sampai di rumah setelah seharian ia pergi bersenang-senang dengan teman-temannya. Kedua matanya mendongak menatap langit yang menurunkan hujan sejak pagi hingga malam. Perasaan kesal turut serta menyelubungi hati Marsha saat ini. "Aku tidak akan secemas ini kalau Asher pergi ke luar kota karena urusan bisnis! Tapi kalau dia pergi hanya untuk mengurus gadis itu dan anak di dalam perut
Setelah dokter memeriksa kondisi Aleena, gadis itu mengeluh tidak nyaman dalam posisi tidur ataupun duduk, hingga dokter mengizinkan Aleena untuk berjalan-jalan perlahan-lahan di lorong rumah sakit. Dan benar, Aleena merasa rileks meskipun sakitnya masih terasa, sekalipun rasa mencekam itu sudah tidak terlalu. Ditemani Asher yang membawakan tiang infus dan berjalan merangkulnya. "Apa masih terasa sakit?" tanya laki-laki itu menundukkan kepalanya menatap Aleena."Sedikit. Tapi tidak seperti tadi ... sudah mendingan," jawab Aleena berdiri di depan sebuah dinding kaca. Gadis itu mengusap perutnya dan tertunduk dengan wajah pucatnya yang basah karena berkeringat tipis. Asher mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap wajah cantik itu dengan perlahan. Dan senangnya, saat Aleena tidak menolak atau protes sedikitpun. Justru Aleena setia memegangi tangan Asher. Gadis itu menatap ke arah luar, dua hari di dalam rumah sakit membuatnya rindu pemandangan di luar sana, udara segar, dan ia rindu
"Heh, bangun...! Bangun, Aleena! Jangan manja dan banyak drama seperti ini, bangun...!" Aleena tersentak saat seseorang mengguncang bahu dan membentaknya dengan cukup keras. Kedua matanya yang terasa berat pun terbuka. Sampai semua kesadarannya terkumpul, Aleena menatap Marsha yang berdiri di samping tempat tidurnya. "Nyo-Nyonya..." Dengan penuh keterkejutan, Aleena segera beranjak perlahan-lahan. "Nyonya sudah dari tadi?" "Ya, aku sudah dari tadi melihat kau akting seperti seorang pasien!" jawab Marsha dengan nada geram. Aleena tertunduk meremas selimutnya sambil mengusap perutnya yang tiba-tiba terasa kaku setiap ia bangun tidur. "Maaf, Nyonya. Saya benar-benar tertidur dan tidak tahu kedatangan Nyonya," ujar Aleena jujur. "Semalam saya tidur cukup larut karena perut saya sakit..." "Ck! Kenapa bayimu itu sangat merepotkan sekali! Aku lihat para wanita yang lain hamil tidak merepotkan seperti bayimu ini!" pekik Marsha dengan seraut wajah sinisnya yang galak. Aleena langsung m
Asher melewati Marsha begitu saja tanpa ada rasa peduli sedikitpun. Laki-laki itu bergegas masuk ke dalam kamar inap Aleena. Di sana, Asher melihat Aleena tertunduk mengusap-usap perutnya dan tampak berbicara sendiri dengan anak di dalam kandungannya tersebut. Perasaan Asher mendadak kalut. Apa yang telah Marsha katakan pada Aleena?!"Aleena," panggil Asher pelan. Gadis itu mengangkat wajahnya terkejut, hingga tak sempat baginya menghapus air mata itu. Asher mendekatinya cepat dan menarik pelan pundak Aleena untuk menatapnya. Iris hitam itu menelisik tajam wajah Aleena. "Kau menangis? Kenapa ... apa yang Marsha katakan padamu, hm?" Asher mengelus pipi itu dengan ibu jarinya. Lidah Aleena terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Hingga kata-kata yang mulanya tersusun rapi di dalam otaknya, seolah tertelan begitu saja. "Dia tidak menyakitimu, kan?" tanya Asher cemas, laki-laki itu tertunduk menatap telapak tangan Aleena yang memeluk perutnya. Asher mengusap perut itu hingga
Rumah Liam yang biasanya sepi, sore ini menjadi sangat ramai sejak adanya Theo. Cucu laki-lakinya yang sangat ceria dan menggemaskan. Liam meminta Ronald mengajak Theo ke toko mainan dan mengambil mainan apa saja yang Theo mau.Dan kini, Theo tengah bermain di ruang tengah ditemani oleh Aleena, sambil meminum susu cokelat kesukaannya di dalam botol miliknya yang Asher bawakan kemarin. "Kalau minum susu tidak boleh sambil lari-larian, Sayang. Sini tidur di sini, Nak," bujuk Aleena, ia mengambil sebuah bantal dan meletakkan di pangkuannya. Anak itu berbaring di pangkuan Aleena sambil minum susu. "Mama, Theo mau bobo sini, boleh?" pintanya."Tentu saja boleh. Nanti tidur berdua dengan Mama ya, Sayang..." Aleena menunduk dan mengecup kening Theo. "Iya. Biarkan saja Papa sendirian. Siapa suruh Papa nakal sama Mama," serunya heboh. "Theo di sini menjaga Mama, menjaga Kakek," ujar anak itu. "Iya Sayang. Anak Mama memang pintar." Aleena mengusap rambut Theo dengan lembut. "Ayo, habiskan
Aleena sudah diizinkan pulang pagi ini. Ia dijemput oleh Papanya yang datang bersama seseorang. Tapi, kedatangan seorang laki-laki tampan bersama dengan Liam sungguh mengganggu ketenangan Asher. Dia adalah Christofer, yang ikut datang ke sana. Aleena kaget melihat Papanya datang bersama Christofer. "Loh ... Papa kenapa datang dengan Chris? Di mana Ronald?" tanya Aleena. "Ronald sedang ada urusan, jadi Papa meminta bantuan Chris," jawab Liam, ia melirik Asher yang berada di sana. "Papa tidak akan membiarkan dia mengantarkanmu. Yang ada nanti dia akan datang terus setiap hari." "Papa..." Aleena menatap lekat sang Papa. Aleena kembali menatap Christofer. "Maaf ya, Chris, kalau aku merepotkanmu." "Tidak masalah, Al," jawab Christofer, sambil tersenyum dan mengusap pucuk kepala Aleena. "Sudah, ayo kita pulang," ajak Liam merangkul Aleena. Mereka pun bergegas keluar dari dalam ruangan itu. Theo juga tampak sangat antusias berjalan digandeng oleh Aleena. Mereka bertiga berjalan di
Asher berjalan di lorong rumah sakit sore ini. Laki-laki itu membawa buket bunga Peony. Ia juga membelikan makanan kesukaan Aleena dan Theo. Namun, saat Asher melangkah di lorong menuju ruangan rawat Aleena, ia melihat seorang laki-laki tampan berbalut tuxedo navy keluar dari dalam sana. Langkah Asher pun terhenti, bahkan kini ia berpapasan dengan laki-laki itu dan mereka saling melirik dalam diam dan dingin. "Siapa laki-laki itu?" gumam Asher. Ia memutar sedikit tubuhnya dan menoleh ke belakang menatap laki-laki yang kini bergegas pergi. "Apa mungkin selama ini ... Aleena memiliki kekasih?" tanyanya entah pada siapa. Kedua tangan Asher terkepal seketika. "Wanita itu...." Segera Asher bergegas menuju kamar rawat inap Aleena. Ia membuka pintu dan melihat Aleena tengah bersama Theo, putra kecilnya itu tampak asik memakan sebuah donat cokelat. "Papa...!" Theo bersorak gembira melihat kedatangan Asher. "Halo, Sayang," Asher mengusap pucuk kepala si kecil. "Papa, lihat ... barusa
Siang ini, Liam datang ke rumah sakit menjenguk putrinya, karena semalam ia tidak sempat menemani Aleena. Seperti biasa, Liam sangat perhatian dan sayang pada putri semata wayangnya. Liam senang melihat Aleena tengah bersama Theo. "Pa ... Papa datang dengan siapa?" tanya Aleena pada sang Papa. "Dengan Ronald, Nak," jawab Liam sebelum ia melirik Theo dan tersenyum. "Theo tidak ikut pulang dengan Asher?" "Tidak, Pa. Dia ingin di sini menemaniku," jawab Aleena memeluk Theo yang masih tertidur.Liam tersenyum hangat, menahan wajah Theo memang seperti menatap Aleena dan Asher. Anak itu memiliki perpaduan wajah pas pada kedua orang tuanya. "Kepalamu masih pusing, Nak?" tanya Liam mengulurkan tangannya mengusap kepala Aleena. "Iya, Pa. Kadang pusing, kadang juga tidak." Aleena mengusap keningnya yang terlilit perban. "Tetapi, Aleena sudah merasa baikan." "Syukurlah kalau begitu." Pintu ruangan itu pun terbuka, tampak Ronald datang membawa paper bag dan meletakkannya di atas meja. "T
Malam ini Aleena bisa merasakan tidur memeluk Theo. Meskipun Asher menemani di sampingnya. Sejujurnya, Aleena tidak bisa tidur meskipun kepalanya sangat pusing. Di sisi lain, Asher juga tidak tidur. Laki-laki itu diam-diam seperti tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Hingga tanpa sengaja, Asher menatap pada Aleena yang menatapnya. Laki-laki itu tersenyum mengulurkan telapak tangannya mengusap pucuk kepala Aleena dengan lembut hingga membuat sang empu cemberut kesal padanya. "Cepat tidur, Aleena," ujarnya membujuk. "Aku tidak mengantuk. Kau sendiri, cepat istirahat. Atau mungkin kalau kau ingin pulang, segeralah pulang. Aku akan di sini dengan Theo," seru Aleena menarik selimutnya. "Aku akan tetap di sini menemani kalian," jawab Asher."Awas saja kalau sampai istrimu itu datang ke sini marah-marah padaku seperti dulu!" kecam Aleena. "Aku tidak akan memaafkanmu, Asher!" Asher terkekeh mendengar apa yang Aleena ucapkan. Ternyata, setelah lima tahun mereka terpisah, Aleena
Dengan adanya Asher di sana, Aleena merasa tidak nyaman sama sekali. Meskipun ia dulunya pernah mencintai laki-laki ini dengan sepenuh hati, namun rasanya Aleena tidak ingin mengulangi cinta itu lagi. Tetapi, setidaknya Aleena bersyukur karena ada Theo yang selalu mengajak Aleena berbincang dan manja padanya. "Mama, kepala Mama masih sakit, ya?" tanya anak itu sambil duduk di samping Aleena. "Iya, Sayang. Mama pusing," jawab Aleena sambil mengusap pipi Theo. "Emmm ... kalau Mama sudah sembuh, nanti pulang ke rumah Papa ya, Ma. Theo maunya tinggal sama Mama, bukan sama Mama itu," serunya sambil berbaring dan memeluk Aleena.Mama itu? Siapa? Aleena bertanya-tanya dalam diamnya. Berarti Asher mempunyai istri lagi, apakah tetap Marsha? Atau wanita lain lagi? Entah kenapa, dalam relung hatinya yang terdalam, ada rasa kecewa yang ingin coba Aleena abaikan saat ini. Sekalipun laki-laki itu memiliki istri atau bagaimanapun, menyendiri sekalipun, Aleena tidak peduli. "Mama..." Theo mema
Setelah dipindah kamar perawatan, Liam mengajak Theo masuk ke dalam sana. Namun, Liam tidak mengizinkan Asher, laki-laki tua itu benar-benar mati rasa pada seorang Asher Benedict, bukan hanya dia saja, tapi pada keluarganya juga. Kini, Liam menggendong Theo dan mengajaknya mendekati Aleena yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. "Mama..." Theo memanggilnya pelan. Anak itu mengerjapkan kedua matanya dan mencekal lengan Aleena dengan kedua tangan mungilnya. "Mama, kenapa tidak bangun-bangun, Kek?" tanyanya sambil mendongak menatap sang Kakek. "Iya Nak, Mama akan bangun nanti. Theo tunggu Mama bangun, ya, Sayang," ujar Liam. Theo mengangguk. "Iya, Kakek." Liam duduk memangku Theo, laki-laki itu diam menatap Aleena yang kini terbaring lemah tak berdaya dengan bantuan oksigen dan keningnya yang dililit perban. Rasa sedih menjalar dalam hati Liam. Mengingat bagaimana putrinya sejak dulu sangat berharap ingin bertemu dengan putranya, tetapi kenapa saat Theo sudah berada di sini,
Tatapan penuh kebencian yang ditunjukkan oleh Liam membuat Asher semakin merasa bersalah. Apalagi Liam membentaknya tepat di hadapan Theo yang memeluk Liam. "Kau belum puas menyakiti anakku, hah?! Belum cukup kau membuat anakku tersiksa karenamu, Asher Benedict!" Liam melontarkan perkataan itu lagi dengan nada geram pada Asher. Asher tertunduk merasa bersalah. Namun, sebisa dan sebaik mungkin Asher akan tetap berusaha mendekati Aleena dan Papanya. "Maafkan saya, Tuan Liam," ucapnya lirih dan tulus. "Kedatangan saya Lamberg karena saya ingin mencari Aleena dan mempertemukan kembali dengan Theo," ujar Asher. Asher menatap putranya dalam gendongan Liam. Anak itu biasanya menolak digendong oleh orang yang tidak ia kenali sebelumnya tapi sekarang dia tampak diam dan manja dalam gendongan sang Kakek. "Meskipun seribu alasan baik kau katakan, Theo tetaplah anak dari Aleena," ujar Liam. "Kau itu pengecut, Asher Benedict! Kau berjanji padaku untuk menjaga putriku, tapi apa?! Putriku kemb
Kabar Aleena kecelakaan tak hanya membuat Asher panik. Bahkan Liam yang mendapatkan telfon dari pihak rumah sakit langsung bergegas ke sana bersama dengan Ronald—salah satu asistennya. Di lorong rumah sakit tempat Aleena diperiksa kini, Liam melihat anak kecil menangis di depan pintu tampak duduk dipelukan seorang laki-laki. Siapa mereka?Liam pun mendekat. "Kalian siapa?" tanyanya, sebelum ia menatap Jordan dengan tatapan marah. Liam lupa dengan wajah ajudan Asher tersebut. "Jangan-jangan ... kau yang menabrak putriku, heh?! Kau yang membuat putriku kecelakaan?!" teriaknya. "Ti-tidak, Tuan Liam ... mohon tenang dulu," Jordan langsung beranjak dari duduknya. "Tenang bagaimana?! Anakku ... dia anakku satu-satunya! Aku hanya punya Aleena di dunia ini!" Liam mengusap wajahnya dan menangis sambil mundur perlahan-lahan. Laki-laki tua itu menyandarkan punggungnya di dinding dan ia begitu sedih.Padahal tadi, Liam melihat Aleena diam di rumah karena anaknya izin untuk libur bekerja. Sam