“Ya, Bu. Jadi motor yang diambil oleh Pak Didik itu satunya atas nama dia dan satunya lagi atas nama Ibu. Kedua motor itu sama mereknya hanya beda warna saja. Tapi hanya atas namanya saja yang rutin dia bayar sedangkan atas nama Ibu, sama sekali belum dia angsur.” Hah??? “Maaf, Pak. Tapi Saya bener-bener nggak tahu kalau nama Saya dipakai buat mengambil kreditan motor, kok bisa sih Bapak percaya gitu aja memberikan kreditan sementara Saya hanya IRT yang tidak mungkin bisa membayar angsuran, lagipula memang Saya memang tidak pernah berurusan mengambil langsung motor dari tempat Bapak, Bapak silahkan cek juga tidak ada motor yang Bapak maksud.” Aku semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh petugas dari dealer sepeda motor ini.“Kami sudah terbiasa memberikan kreditan ke pada orang yang memang terbiasa mengambil produk kami, Pak Didik ini salah satu pelanggan kami dan waktu itu jelas-jelas dia memberikan jaminan bahwa Ibu juga sedang membutuhkan motor, bahkan Pak Didik sudah ditit
Aku sudah bilang nggak punya uang, beli bensin aja rasanya susah apalagi harus bayar kreditan motor, kalau Mas pakai KTP si Mayang lahh suruh aja dia yang bayar.” Aku mendengarnya langsung tak terima. Nih anak langsung tidak ada sopan santunnya memanggilku langsung tanpa embel-embel mbak di depan namaku, mentang-mentang aku bukan lagi masuk dalam anggota keluarganya.“Enak aja mau melimpahkan tanggung jawab ke aku yang nggak tahu apa-apa, ingat ya aku bisa melaporkan Mas mu itu ke polisi karena sudah berani-beraninya menggunakan KTP ku untuk mengambil motor yang bukan atas kemauanku.” Sahutku tak mau kalah. “Hei … ada apalagi ini, kamu ini Mayang setiap kamu datang selalu saja tak lepas dari kata Polisi di mulut dan otakmu itu, katakan pada Ibu, ini sebenarnya ada apa.” Ibu datang lalu Mas Didik, Iwan kontan mulutnya terkunci. Rasain. “Tanyakan aja sama anak kamu yang sekolahnya tinggi ini.” Aku sengaja membuat ibu penasaran, pandangannya beralih ke pada ke dua anaknya yang kini s
“Nggak menyangka sama sekali ya, Kak. Itu si Didik kok bisa-bisanya pakai KTP Kakak buat ambil motor lagi dan ternyata motor yang dia ambil untuk adiknya yang baru nikah itu, lagak mereka kok bikin kesal ya, Kak?” sungut Farida. Aku hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala.“Entahlah, Da. Mereka itu sudah serasa punya uang yang banyak. Mas Didik juga nggak pernah bilang kalau ambil dua motor sekaligus, kan sebelumnya hanya ambil satu aja. Tapi, sudahlah itu sekarang semua urusan mereka. Kita fokus urusan kita saja, setidaknya Kakak jadi tahu seperti apa mereka itu.” Sahutku seraya turun dari motor saat Farida baru saja mematikan mesin motornya dan kami sudah berada persis di halaman rumah.“Aku kok jadi pengen ketawa mulu ya, Kak. Lihat ekspresi mantan Ibu Mertuamu itu, aku yakin sekarang dia pasti marah, malu bercampur aduk. Marah karena harus mengeluarkan uang yang banyak untuk membayar cicilan dan denda yang dihindari si Iwan, malu mau tak mau duit yang mungkin punya si Didi
“Tunggu … apa mendorong Arthur dari kereta bayinya sampai kepala anakku bocor juga jadi bagian rencana Ibu?” Kiki langsung mengangkat kepalanya, wajahnya langsung pucat pasi dan dia kembali menunduk, tak menjawab. “Kalau ditanya itu jawab, Mbak.” Farida seakan tak sabaran. Aku menunggu seraya menghela napas panjang.“Maafkan aku, Mbak. Kalau itu tidak ada Bu Sutinah menyuruhku. Aku sendiri yang kesal karena Emi tak mau meminjamkan uang. Tapi… sumpah, Mbak. Aku sama sekali nggak bermaksud membuatnya sampai celaka begitu, aku hanya ingin membuatnya menangis dengan jatuh dari kereta bayi, hanya itu saja.” Aku langsung memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri. Tanpa basa basi setelahnya aku langsung menampar wajah tetanggaku yang kepo ini. Kiki memegang wajahnya yang memerah. Farida bahkan kaget dengan apa yang aku lakukan. “Kamu melakukan apa saja untuk anakmu, begitu juga dengan aku. Tamparan itu mewakili rasa sakitku karena apa yang sudah kamu lakukan terhadap anakku, dia masih
“Apa benar begitu, Bu?” tanya Bapak dengan suara lantang. Ibu kelihatan ketakutan. Tapi … sekian menit kemudian dia dengan santainya memperbaiki posisi duduknya lalu membuka suara. “Apa Bapak yakin percaya sama mantan menantu kayak si Mayang ini yang sudah jelas-jelas mencelakai Ibu waktu itu, kalau memang betul Ibu yang ingin membayar tetangganya ini, memangnya ada bukti?” Mataku membulat sempurna, kok bisa dengan entengnya dia mengelak bahkan dengan gaya yang sangat santai. Sepertinya dia pemain sandiwara terbaik, wajib dapat penghargaan ini. Mata Bapak kini beralih padaku, tatapan tak suka. “Bagaimana, Mbak Kiki? Apa kamu ada bukti?” tanya Ibu dengan santai. Dengan pelan bisa kulihat Kiki menggeleng lemah. Ibu langsung tersenyum samar. “Waktu itu hanya aku dan kedua menantu Ibu aja yang bicara, tidak ada saksi dan uangnya juga dikasih begitu saja tanpa adanya bukti.” Aku merutuk apa yang dilakukan oleh tetanggaku itu, bisa-bisanya tidak ada bukti sama sekali. Sekarang bersiap
Pov Sutinah Pagi-pagi sekali fokusku sudah teralihkan oleh suara orang mual di kamar mandi berulang kali. Aku melangkah mendekat dan membuka sedikit pintu kamar mandi yang belum tertutup sepenuhnya. Kulihat Farah, istri Purwanto sedang berjongkok sembari memegang gayung penuh air di tangan kirinya dan kulihat dia berusaha memuntahkan sesuatu dari mulutnya, hanya saja tak bisa.Aku langsung berinisiatif memijat tengkuk lehernya, tak lama muntahan nasi ayam yang baru saja dia telan sebelumnya sebagai sarapannya, ke luar begitu saja. Tak lama ia ke luar dari kamar mandi.“Siramkan muntahanku, Bu. Kepalaku pusing aku mau tidur, istirahat.” Tanpa banyak bicara aku mengambil gayung berisi air yang ada di tangannya, kemudian membersihkan bekas muntahan yang sudah menyebar di lantai kamar mandi.Setelahnya, aku pergi ke dapur ingin membuatkan air hangat buat menantuku itu, sepertinya dia sedang tidak enak badan terlihat dari gaya berjalannya yang sedikit limbung. Begitu air hangat siap, aku
“Persyaratan diterima bekerja di salonnya ya harus masih cewek, Bu. Kalau ketahuan sudah punya suami dan anak, sementara kontraknya masih berjalan. Farah harus mengganti uang kerugian karena berbohong dengan bayar denda yang cukup banyak termasuk mengembalikan lima puluh persen dari gaji yang selama ini dia dapatkan.” Aku benar-benar pusing. Kok bisa? “Jadi selama ini Farah mengaku sebagai gadis ketika bekerja di salon? Kok bisa?” cecar ku tak habis pikir.“Ya bisalah, Bu. Karena mencari kerjaan itu nggak gampang. Setingkat Farah yang lulusan sarjana muda saja musti bolak balik mencari pekerjaan ke sana ke sini, kalau nggak berbohong mana mungkin bisa dapat kerjaan, lagian Farah itu juga nggak ada keahlian yang dia punya. Makanya dia selalu ditolak tiap melamar, sudah untung dia kerja di salon meski kerjanya hanya memijat orang tapi minimal dia ada kerja dan bisa menghasilkan.” Sahut Purwanto. Aku diam tak bisa menjawab omongannya, benar-benar kaget.“Tapi, masih banyak kerjaan yan
“Bu, bangun … Bu.” Aku mengerjapkan mata memperhatikan dengan samar Farah mengendong Sekar sudah ada di hadapanku, aku yang tadinya terlelap seakan bermimpi. Tanpa basa basi ia langsung menyerahkan Sekar ke padaku. Mataku belum sepenuhnya terbuka, seketika langsung kaget begitu saja.“Malam ini Sekar tidur sama Ibu, aku nggak mau mengurusnya. Jangan lupa ambil dot sama termos air panasnya di kamar, kepalaku pusing mau tidur, cepat ya sebelum aku tutup pintu kamar,” perintahnya. Aku hanya bisa mengelus dada berusaha sabar.“Termos sama dotnya bisa kamu bawa sekalian atau suruh aja suamimu yang antar, Ibu lagi nggak enak badan agak demam.” Ujarku seraya menidurkan Sekar di sampingku. “Nggak bisa, Bu. Ini jadwal Purwanto main game, katanya tadi lagi ada turnamen dan dia nggak bisa diganggu malah biasanya dia main sampai subuh itu, Ibu aja ke kamarku cepat … pusing kepalaku.” Tanpa mendengar jawabanku, ia langsung ke luar kamar menuju ke kamarnya. Mau tak mau aku bangkit dari tempat ti
Part 95 Pov Mayang“Kasihan Farah, Mbak Mayang. Setelah Mamanya meninggal malah Ia ikut menyusul meninggal bunuh diri dengan memotong nadi tangannya karena tak tahan menerima hinaan dari anak-anak sekitar rumahnya kalau wajahnya rusak akibat terkena luka bakar waktu masih di rumah Ibu Sutinah, setelah itu dia diceraikan sama suaminya. Katanya Farah ketahuan menggadaikan rumah Ibu Sutinah dan sekarang Ibu Sutinah bersama Didik dan Pur katanya mengontrak rumah kecil di pinggiran kota, lengkap sudah penderitaan keluarga Ibu Sutinah akibat menantunya itu. Syukur saja Iwan sama Shinta tidak bernasib sama.” Bu Trisno menyampaikan kabar duka itu saat ia bertandang ke rumah untuk membicarakan persiapan pernikahan Syawal dan Emi yang akan digelar dua hari lagi.Mungkin ini terdengar gila tapi Allah SWT sudah mengatur semuanya, aku yang dulunya dizolimi oleh orang-orang yang pernah hadir dalam hidupku, satu persatu seakan mendapatkan karma atas apa yang sudah mereka lakukan. Farah yang begit
Part 94 “Kalau tidak, berarti kalian harus mengosongkan rumah ini, karena Ibu Farah sudah menggadaikan rumah ini dengan memberikan sertifikat rumah pada bos kami. Dia juga sudah menerima uang dua ratus juta tiga bulan yang lalu.” Mataku melotot mendengarnya, masalah apalagi yang dilakukan oleh Farah kali ini. “Ya Allah, bagaimana sudah ini, Dik, Pur. Farah memang betul-betul keterlaluan menjadi menantu bisanya hanya menyusahkan saja. Huhuhuuu.” Ibu menangis sesenggukan begitu tahu rumah yang kami tempati sekarang sudah sepenuhnya dikuasai oleh rentenir.“Apa kalian punya bukti kalau Farah memang yang menggadaikan rumah ini pada bos kalian?” Dua orang penagih utang tersebut malah tertawa. Setelahnya salah satu memperlihatkan foto copy sertifikat dan tanda bukti tanda tangan Farah di sana menyetujui syarat-syarat pinjaman uang dengan jaminan sertifikat rumah.Aku, Pur juga Ibu sudah tidak bisa berbuat banyak. Kami benar-benar dipecundangi oleh Farah. Apalagi Purwanto, ia merasa ikut
Part 93“Terus, bagaimana dengan Mas Didik? Apa Mbak memaafkannya juga?” Deggg. Nama itu lagi, rasanya seharian ini sudah beberapa kali teringat akan dirinya. Orang yang sudah mengisi hidupku dalam beberapa tahun ini, kalau ditanya apakah aku mencintainya? Ya aku sangat mencintainya, hanya begitu banyak luka yang ia torehkan ke padaku sehingga aku memilih sebisa mungkin pergi jauh dari kehidupannya, meski saat mediasi pada proses perceraian kami, ia kekeh tidak mau berpisah. Aku memutuskan menjauh agar dapat menjaga kewarasan hatiku. “Lho, Mbak malah melamun.” Aku tersenyum malu ketika Iwan memergoki aku sedang melamun karena pertanyaannya.“Aku juga sudah memaafkan Mas mu, bahkan Ibumu. Bagiku yang lalu biarlah menjadi pengalaman berharga saja. Oya kalian tadi ke sini aku pikir mau pesan sesuatu. Mau bolu atau malah rendang daging saja.” Ujarku cepat mengalihkan topik pembicaraan.Malas membahas hal yang lampau.“Oya hampir lupa, Shinta maunya Mbak Mayang buatkan nasi dengan daging
Part 92 Pov Mayang Pagi sekali aku dan kedua adikku sudah mulai bersiap membuka toko, kegiatan kami setiap harinya seperti ini. Tiba-tiba saja mobil Syawal berhenti di halaman dan Emi yang semula ada di depan menggendong Arthur melihat pemandangan segera masuk. Aku tahu jika Emi masih menghindar berbicara dengan calon suaminya tersebut. Persoalan perempuan yang mengaku sebagai kekasih Syawal membuat hubungan adikku dengan Syawal seketika renggang. Emi sudah membatalkan pernikahan, hanya saja aku senang dengan kegigihan Syawal ingin meraih hati adikku kembali, kadang aku membayangkan jika saja Mas Didik berlaku begitu padaku, mungkin saja kami masih bersama sampai saat ini. Tapi, ya sudahlah semua hanya tinggal kenangan sekarang. Bahkan aku tinggal menunggu ketuk palu saja.“Kak, aku cuma mau bilang kalau perempuan yang mengaku kekasihku itu ditangkap semalam bersama orang yang menyuruhnya, sebetulnya semalam dia ditangkap karena petugas kepolisian sedang menggerebek tempat perjudia
Part 91Kulihat handphone di tangan Purwanto, segera kuambil dengan cepat dan membuka layar lalu mencari kamera dan menghadapkan posisi kamera ke arah depan, persis ke wajahku. Begitu aku melihat penampakan wajahku, handphone Purwanto sampai terjatuh dari tanganku. Apa aku tak salah lihat?Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku. Wajahku sudah seperti monster yang menyeramkan. Bagaimana bisa Purwanto tak terkejut melihatku? Apa dia menahan tawa agar tak membuatku malu, bentuk mata yang kurasakan perih kelopaknya berkeriput sehingga bola mataku terlihat mau ke luar dari tempatnya. Selain itu wajahku menghitam dan mengerut di beberapa tempat, selain itu bentuk mulutku terasa miring dan tidak berada di tempat seharusnya. Aku berusaha mengingat dan mencerna apa yang sudah terjadi padaku, kenapa gara-gara api yang membakar rambut juga membuat kobaran api di wajahku membuat wajahku sulit dikenali lagi. Tamat riwayatku.Habis semua sudah kecantikan yang dulunya aku banggakan, aku melihat kembali
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk